Braakkk…Suara keras berasal dari pot jatuh dan menyebabkan sepatu flat seorang wanita yang sudah bersih dan berwarna putih menjadi kotor. Belum lagi lantai yang semula bersih dan mengkilap kini turut kotor akibat tanah berserakan."Ya ampun, Damar! Bisa nggak sih kamu berguna sedikit? Tiap hari cuma main tanah sama tanaman!"Wanita pemilik sepatu tersebut meradang. Setelah bersiap cukup lama di dalam kamar, tiba-tiba saja usahanya yang memakan waktu harus sia-sia akibat insiden pagi ini.Namun si pria muda berambut ikal yang mana tadi tengah membawa pot tersebut membulatkan netranya. Kata maaf yang sudah berada di ujung lidah pun dia urungkan."Maksud Mba Tari Apa? Mba pikir bercocok tanam seperti ini tidak ada gunanya? Mba Tari salah besar!""Halah. Kalau ada gunanya, apa selama kamu bermain tanah dan tanaman seperti itu sudah menghasilkan duit? Tidak 'kan?!"Baru saja Damar mengayunkan tangannya hendak menampar wanit
Laju motor Damar perlahan memelan saat melihat wanita yang sempat diteriaki tadi berhenti di depan green house terbesar di Jakarta."Wah, dia pecinta tanaman? Menarik."Damar memutuskan untuk ikut masuk ke green house tadi, kebetulan disitu sepertinya sedang diadakan sebuah acara besar karena banyak orang yang lalu lalang keluar masuk. Netra pria beriris hitam itu membulat saat membaca banner yang terpampang. 'Seminar dan Peresmian Greenhouse untuk Menanggulangi Polusi di Ibukota'."Loh, ini acara yang aku sempat daftar bulan lalu 'kan? Aku daftar sebagai salah satu pelaksana di greenhouse nantinya. Kenapa aku tidak dapat kabar apapun?"Damar bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Mendadak dia seperti orang yang linglung, karena tiket untuk pembuktian kepada keluarga adalah Greenhouse tersebut. Greenhouse dengan nama "Downtown Greenhouse" itu telah menambah beberapa ruang baru.Pria dengan gelar s
Sriiiittttt…Mobil yang semula diikuti Damar mengerem mendadak saat Damar menghadang di depannya. Pria yang juga memiliki hobi touring tersebut seakan sudah bersahabat dengan keadaan jalanan, hingga ada celah sedikit dia bisa mengambil kendali dan bisa menyalip dengan lihai.Damar menghadang mobil tersebut tepat di arah pintu tol menuju Bogor. Sungguh di luar nalar, ini masih hari kerja dan kantor Rania tidak berada di Bogor. Kenapa mereka malah pergi keluar kota?Pria berbadan jangkung itu berusaha menahan emosi, padahal dalam lubuk hatinya sudah bertumpuk-tumpuk kedongkolan dengan banyak penyebabnya. Kini harus ditambah lagi dengan tingkah kekasih yang sudah menemaninya sejak masa kuliah."Rania! Keluar!" seru Damar seraya menunjuk wanita yang masih duduk di kursi penumpang.Damar pun masih berada di atas kuda besinya, akan tetapi netranya menatap tajam ke arah dua manusia yang duduk di dalam mobil. Sambil turun dari motor, Damar masih
Pertanyaan Guntur bagaikan angin lalu. Damar masih terus memukuli samsak bertubi-tubi, layaknya memukul musuh yang paling dia benci.Buggg…buggg buggg buggg…"Ini untuk keluargaku yang selalu menyalahkan karena ambil jurusan pertanian!" desis Damar dengan deru nafas yang memburu, setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi.Buggg…"Ini untuk Rania yang ternyata juga pengkhianat!"Buggg… Pakkk… buggg… buggg…"Ini untuk pria yang sudah berani merebut Rania dariku dan mempengaruhinya!" pungkas Damar di pukulan terakhir yang disertai tendangan pula.Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Damar terduduk lemas di rerumputan. Guntur yang mulai paham dengan pokok permasalahan dan penyebab sahabatnya emosi sepagi ini, pergi mengambilkan air minum di dapur umum."Kadang hidup memang sekejam itu. Ada banyak orang yang membenci dan memojokkan kita, walaupun mereka adalah orang-orang terdekat kita."Guntur berucap
Pasca Damar meminta izin pada ibunya untuk bekerja di perkebunan alias jadi tukang kebun, malam harinya di kediaman Adiwangsa diadakan sidang keluarga. Mungkin terkesan terlalu formal jika dibilang sidang, tapi itu memang suatu kegiatan dimana Damar dipojokan oleh semua anggota keluarga.Sebelumnya makan malam keluarga yang biasanya diwarnai dengan canda tawa Damar dengan Yoga, keponakannya yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Malam ini cukup berbeda. Dari awal hingga akhir tidak ada yang berani bersuara hanya dentingan piring dan sendok yang sesekali bersahutan menggema di ruang makan.Kini Pak Aji, Bu Diyah bersama kedua anaknya duduk bersama di ruang tengah. Yoga telah diajak papanya menuju kamar. Selain ada tugas sekolah, tidak mungkin juga anak sekecil Yoga dilibatkan dalam urusan keluarga yang cukup serius."Ibu sudah bilang semuanya sama Ayah. Jadi bener kamu mau jadi tukang kebun di desa terpencil itu?" tanya Pak Aji membuka suara.Da
"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna."Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam."Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang
Masa pengenalan Damar dengan lingkungan tempat dia akan bekerja selesai sudah, hari sudah berganti malam waktunya semua beristirahat.Netra Damar mengedar memperhatikan suasana kamar, memang sedikit berbeda dengan ruang tidurnya di rumah keluarga. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, namanya juga merantau pasti ada fase harus belajar menerima dan beradaptasi dengan keadaan. Lagipula disana tempatnya nyaman dan segar karena daerah dataran tinggi."Bro, kamu mau tidur di ranjang atas atau bawah?"Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Damar. Dia menoleh pada sumber suara, dimana suara tersebut berasal dari Danu, satu-satunya pegawai di perkebunan yang dia kenal."Dimana saja bolehlah," sahut Damar dengan santai.Mendengar jawaban Damar membuat Danu terkekeh. Dia paham betul ini adalah hal baru bagi seorang Damar yang terbiasa hidup di kota dengan berbagai fasilitas cukup mewah. Jangankan ranjang tingkat seperti sekarang ini, berbagi kamar saja pastinya belum pernah."Udah, kamu di ba
"Hmmm… tuh kan terpesona? Kemarin pas diceritain sih nggak percaya."Damar mengerjapkan netra beberapa kali lalu menoleh pada Danu. "Maksudnya dia…"Iya. Dialah Bu Eliana. Nyonya besar sekaligus pemilik perkebunan ini," sahut Danu mengangguk pasti. "Yang sudah janda tiga kali itu," lanjutnya setengah berbisik.Tangan Danu meraih jari Damar yang masih menunjukan ke arah Eliana, beruntung sang nyonya tidak memperhatikan pasti. Arah pandangan wanita bermata sipit itu mengedar memperhatikan tanaman di perkebunannya.Melihat Damar masih terdiam dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang juragan, Danu hanya bisa menghela nafas. Dia yang sudah berjalan beberapa langkah terpaksa kembali dan menyeret rekan kerja barunya itu."Eh, mau ngapain kamu? Aku masih normal ya," tolak Damar dengan refleks melepas tangan Danu.Tingkah Damar benar-benar bikin Danu mengelus dada. "Aku juga normal, Bro. Kita harus menghadap nyonya besar, bidadari kebunmu itu."Setelah mendengar alasan Danu menyeretnya, Damar
“El-Eliana?” ucap Sono dengan suara yang cukup gemetar.Sepertinya kehadiran sang mantan istri cukup memberikan rasa takut pada pria bertubuh tambun itu. Percuma saja berlagak sok berkuasa di depan para pegawai, tapi giliran sang pemilik perkebunan aslinya datang nyalinya langsung ciut.“Apa yang membuatmu tiba-tiba datang kesini lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai, bahkan sejak perceraian itu.”Suasana mendadak tegang saat tiba-tiba Eliana datang dan meluapkan segala emosinya pada sang mantan suami. Sungguh di luar nalar. Laksono sudah lama tidak datang ke kediaman Eliana dan juga perkebunan, bahkan sejak ketok palu sidang perceraian. Jika dia mendadak mendekati mantan istrinya lagi, itu artinya ada maksud dan tujuan tertentu.“Eliana, Sayang. Ayolah. Kita berdamai. Aku tau kita sudah bercerai, tapi bukan berarti kita tidak bisa bekerja sama dalam bisnis pertanian ini bukan?”Laksono berjalan mendekati wanita cantik yang pernah dia miliki itu. Mungkin rasa penyesalan menghinggapi be
Detik jam terus bergulir, tanpa terasa waktu sudah semakin sore. Tapi Damar dan para pekerja kebun lainnya masih sibuk mengolah perkebunan untuk menjadi lebih baik lagi.Begitu pula dengan Danu dan rekan-rekannya, masih sibuk menyelesaikan pembaharuan tembok keliling dan juga pintu tembusan dari perkebunan menuju rumah nyonya bos.“Apa-apaan ini? Kenapa tembok kelilingnya dijebol? Terus ini pupuk apa yang digunakan? Kok beda sama yang aku berikan dulu?”Sebuah suara membuat Damar, Danu dan para pekerja lainnya berhenti dari kegiatan. Mereka dengan kompak menoleh ke arah sumber suara.“Juragan Sono?”Sontak Damar menoleh pada Danu yang memanggil pria berbadan gempal dengan tas pinggang yang melekat di tubuhnya itu. “Juragan Sono?” ulang Damar dengan mengernyitkan dahi.Beberapa hari yang lalu Damar memang melihat Laksono saat berkunjung ke rumah nyonya bos pagi hari, hanya saja karena saat itu terlalu singkat waktunya, Damar tidak begitu memperhatikan dan lupa dengan sosok mantan suami
Ketika tiba di Desa Pendul, suasana sudah begitu sore. Terpaksa pekerjaan dilanjutkan besok hari. Beruntung saat Damar dan Imron pergi belanja tadi Danu bisa menghandle teman-temannya melakukan pekerjaan lain.“Sorry ya, Nu. Aku masih lupa jika jarak dari sini ke kota membutuhkan waktu hampir seharian,” ucap Damar merasa tidak enak.Wajar saja, Damar terbiasa hidup di kota dimana jarak dari tempat satu ke tempat lain cukup dekat dan bisa ditempuh dalam waktu hanya hitungan jam atau bahkan menit.Sementara tinggal di Desa Pendul masih baru dan belum merasakan bolak-balik, jadi dia masih belum terbiasa. Hal itu memaksa Damar harus membuat jadwal kerja dan belanja tidak bersamaan, agar tidak terulang kembali hari yang kurang produktif.“Udah, nggak usah dipikirkan. Kamu belum terbiasa pulang pergi disini,” sahut Danu dengan entengnya.Dia pria yang kini merupakan rekan kerja itu bercerita sambil berjalan menuju kamar mereka, sebelum akhirnya antri untuk mandi. Saat makan malam pun Damar
Disaat Damar masih mencerna dan mengingat mobil siapa yang ada di depan sana. Imron sudah turun duluan dengan emosi yang meluap-luap. Bahkan Damar baru tersadar akibat dirinya terlalu fokus dengan pikirannya, dia tidak mendengar Imron meracau apa saja saat masih di dalam mobil tadi.Brakkk!!!“Woy! Keluar kalian! Bisa bawa mobil nggak sih? Bisa lihat jalan nggak sih!” seru Imron sambil menunjuk-nunjuk dua ora di dalam mobil.Terlihat seorang pria dengan pakaian setelan tuxedo keluar dari pintu kemudi. Wajahnya tak kalah emosinya dengan Imron. Kini dua pria yang tidak saling kenal itu saling berhadapan. Tak sempat dengar apa yang mereka ucapkan karena tidak sekeras sebelumya, tiba-tiba saja Imron menarik kerah baju pria berseragam kantoran itu.Damar yang semula masih mengandalkan Imron untuk mengatasi masalah cukup sepele tersebut, kini terpaksa ikut turun demi melerai perdebatan yang terlihat semakin keruh.Tanpa disadari seseorang yang duduk di kursi kemudi mobil depan juga ikut tur
Damar dan Danu baru saja tiba di perkebunan pasca menyampaikan idenya pada sang nyonya. Jalan yang harus memutar membuat jarak yang sebenarnya begitu dekat terasa cukup jauh.“Maling! Maling!”Baru saja dua pemuda itu akan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, tiba-tiba saja mendengar teriakan maling. Sontak saja Damar dan Danu saling berpandangan dan sepersekian detik berlari ke arah sumber suara.“Itu seperti suaranya Nyonya Bos ya?” ucap Damar.Danu hanya menganggukkan kepala sambil terus berlari. Begitu tiba di gerbang kediaman Eliana, langkah mereka terhenti karena berpapasan dengan Laksono yang mengendarai motor cukup kencang.“Juragan?” Danu terkejut karena melihat mantan bosnya ada di kediaman Eli.Siapa itu, Nu?” tanya Damar masih menatap pria paruh baya yang berlalu dengan kuda besinya.“Juragan Sono. Mantan suaminya Nyonya Bos.”Mendengar jawaban Danu sontak saja membuat Damar terbelalak. Dia geleng-geleng kepala karena tidak menduga mantan suami Eliana setua itu. Bel
"Juragan?""Mas Sono?"Ucapan serentak nan kompak tersebut tentunya berasal dari dua wanita yang sedang terkejut dengan kedatangan pria bertubuh tambun. Pria yang sejak tadi sedang mengganggu pikiran Eli hingga membuat wanita berambut keriting gantung itu menjatuhkan gelas.Rasa penasaran dan berbagai pertanyaan tentu menghinggapi benak Eli dan Mbok Sumi hingga mereka berdua saling beradu pandang. Seakan berinteraksi lewat sorot mata masing-masing, dua wanita itu hanya diam lalu kembali menatap pria yang baru saja turun dari kuda besinya.Tanpa beban, Pria bernama Laksono itu berjalan seolah masih menjadi tuan rumah di tempat tersebut, tidak ada canggung sedikitpun. Hingga hal itu membuat Eliana mengernyitkan dahi."Mbok, bikinkan kopi ya," titahnya sambil menunjuk wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Eliana.Sungguh tidak punya adab dan etika. Meskipun dia pernah menjadi tuan rumah di kediaman tersebut, akan tetapi sekarang dia hanyalah orang lain yang jika berkunjung ada
Semua kejadian baik senang maupun sedih saat bersama Laksono kembali terngiang di benak Eliana. Akan tetapi hal yang paling membekas adalah saat sang suami dengan tega dan kejamnya membohongi dan memanfaatkan bisnis yang baru dimulai."Sayang, perkebunan biar jadi tanggung jawab aku. Kamu fokus merawat diri saja agar kita cepat diberikan momongan," ucap Laksono dengan lembut kala itu.Eliana yang sejatinya berprinsip menjadi istri yang baik, patuh dan penurut kepada suami pun hanya mengangguk patuh. Padahal hasil beli lahan perkebunan adalah murni uang tabungan Eliana yang dikumpulkan sejak lama.Sebagai warga kampung yang serba terbatas, Eliana memiliki mimpi bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi para tetangga yang terkadang bingung mencari sumber penghasilan. Hingga wanita berkulit putih itu bertekad menabung dari hasil kerjanya untuk bisa membuka bisnis yang tetap berjalan meskipun di kampung.Impian tersebut pun bisa terwujud akan kegigihan Eliana. Namun, hidup di desa pun meni
Meskipun mendapatkan reaksi yang kurang mengenakkan dari sang nyonya bos, Damar tetap mencoba menyampaikan idenya demi keamanan perkebunan dan juga keamanan nyonya bos sendiri."Bagaimana bisa begitu? Sengaja aku bikin tembok keliling agar terpisah antara perkebunan dan pekarangan rumahku. Kini kamu memberikan saran untuk diberi pintu. Jangan ngadi-adi kamu, Mar."Eliana nampak semakin murka dengan ide yang diberikan Damar. Wanita berambut keriting gantung itu menghela nafas kasar. Dia seakan sudah tidak betah lagi berbincang dengan pegawai barunya yang membuat naik pitam."Sabar dulu Nyonya. Saya belum selesai menyampaikan idenya. Jadi begini…Damar mulai melanjutkan pembicaraan tentang idenya yang mendadak muncul tadi. Dia menyarankan untuk diberi akses pintu antara perkebunan dan pekarangan rumah Eliana dengan tujuan agar sang nyonya tidak perlu memutar jika ada kepentingan ke perkebunan.Pintu tersebut harus terbuat dari besi yang kuat yang tidak bisa dibobol, sehingga nyonya bos
"Set dah. Galak bener itu orang. Tapi tetap cantik sih, makin cantik malah," gumam Damar terkekeh.Pria bertubuh jangkung itu masih berdiri di balik tembok sambil memegangi dada, memastikan detak jantungnya kembali normal karena sempat berpacu akibat rasa takut dan baper yang subah hadir secara bersamaan.Saat itu pula Danu telah datang dan menatap Damar dengan heran. Pria yang memiliki tinggi badan lebih pendek dari Damar itu mendekati sambil menepuk bahu sang teman."Woy, ngapain kamu senderan disini?" Danu menatap tembok dan Damar secara bergantian. "Jangan bilang kamu habis…Belum selesai bertanya, netra Danu seketika melebar saat Damar menganggukan kepala. Dia pun menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala."Aduh, Damar. Jadi anak baru jangan banyak tingkah. Nanti nyonya bos marah repot," keluh Danu."Emang udah marah dia. Lagian kamu juga tidak memberi tahu masalah peraturan tembok keliling ini."Tidak ingin dipojokan, Damar pun turut menyalahkan Danu yang tidak lengkap memberik