Malam menyelimuti kota kecil di pinggiran Stockholm, salju turun perlahan di luar jendela, menambahkan suasana romantis dalam kamar hotel mewah yang mereka tinggali. Di dalamnya, suasana jauh dari hening—karena Leon, tentu saja, tidak bisa diam.Elera sedang duduk bersila di ranjang dengan kaus hangat dan celana tidur longgar, wajahnya fokus pada buku catatan kecil yang entah kenapa ia bawa bahkan saat honeymoon. Sementara Leon, dalam balutan piyama satin abu gelap, duduk santai di sofa dekat perapian, segelas wine di tangan, dan sorot matanya tak pernah lepas dari Elera."Apa kau benar-benar menulis catatan pasien sekarang, Dokter Vasquez?" Leon akhirnya bertanya, suaranya serak santai.Elera tidak mengalihkan pandangan. “Aku hanya mencatat hal-hal yang perlu kuingat. Kau pikir aku akan membiarkan otakku berkarat dua minggu tanpa kerja?”Leon bangkit, berjalan pelan ke arahnya, lalu duduk di tepi ranjang. “Kukira honeymoon itu waktunya untuk… menikmati hal lain. Kau tahu, selain tulis
Pagi menyambut dengan lembut saat sinar matahari menerobos tirai tipis kamar hotel mewah itu. Elera mengusap wajahnya pelan, mencoba meredakan debar jantung yang belum juga normal sejak membuka mata tadi. Ia melirik ke sisi tempat tidur—kosong. Leon sudah tidak di sana. Mungkin sedang di ruang tengah, atau keluar sebentar.Ia menghela napas dan bangkit dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi. Setelah melepas pakaian tidurnya, ia melangkah masuk ke dalam shower dengan langkah ringan, membiarkan air hangat membasahi kulitnya dan menyapu sisa-sisa kantuk. Suasana tenang dan uap air yang mengepul membuat segalanya terasa lebih rileks. Ini seharusnya jadi waktu untuk dirinya sendiri.Sayangnya, ia lupa satu hal penting.Ia tidak mengunci pintu.Dengan santainya, pintu terbuka perlahan, dan suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Elera tak langsung menyadarinya, sampai suara rendah dan penuh godaan itu terdengar begitu dekat di belakang telinganya.“Pagi yang bagus untuk mandi,
Pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi langkah-langkah cepat dan bisikan singkat di antara Leon dan tim keamanannya. Elera berdiri di balik dinding kamar hotel, mengenakan mantel tipis di atas gaun santainya, menatap Leon yang kini tengah berbicara melalui earphone kecil di telinganya dengan nada rendah namun tegas.Ia tahu, saat Leon berubah menjadi sosok itu—dingin, penuh perhitungan—maka ada sesuatu yang tidak baik sedang terjadi.“Leon,” panggilnya pelan saat pria itu selesai berbicara.Leon menoleh, matanya langsung melunak saat melihatnya. Dalam sekejap, ia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Elera.“Kita harus pindah,” katanya tanpa basa-basi.Elera mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Hotel ini tidak lagi aman. Ada aktivitas mencurigakan di sekitar perimeter,” jawabnya, lalu meraih koper kecil milik Elera dan menariknya dengan satu tangan. “Kita akan pindah ke lokasi yang lebih aman, dan setelah itu, aku janji akan mengajakmu berkeliling. Seharian penuh. Tidak ada gangguan
Pagi itu terasa berbeda.Matahari Swedia menyapa perlahan dari balik tirai tipis, menyebarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan yang masih sepi. Elera terbangun lebih dulu, matanya mengerjap perlahan saat menyadari tempat tidurnya terasa… terlalu nyaman.Lengan hangat Leon masih melingkar di pinggangnya, nafas pria itu teratur dan lembut, membelai tengkuknya seperti irama yang menenangkan. Ia tidak tahu kapan tepatnya Leon menariknya mendekat semalam. Yang pasti, tidak ada keraguan, tidak ada rasa canggung. Hanya ada kedekatan yang mendalam… dan menenangkan.Elera menatap wajah pria itu dalam diam. Garis rahangnya yang tegas, alis yang sedikit berkerut bahkan saat tidur, dan bibir yang semalam disentuhnya dengan penuh keberanian. Ia mengingat lagi ciuman itu. Lembut. Nyaman. Hangat.Ia, Elera Vasquez, benar-benar mencium Leon Santiago.Bukan karena tantangan. Bukan karena gertakan.Tapi karena perasaan yang perlahan, diam-diam… dan tak tertolak."Aku tahu kau menatapku," suara berat Leo
Suara hujan yang mengetuk lembut jendela kaca hotel mereka menjadi latar sempurna malam itu. Cahaya dari layar televisi memantul pelan di permukaan kulit Elera dan Leon yang duduk berdampingan di atas ranjang king-size, dibalut selimut tipis dan kenyamanan hangat kamar hotel mereka yang mewah.Film yang mereka tonton awalnya terasa biasa saja, drama romantis berlatar kota tua yang cantik. Tapi perlahan, adegan-adegan di layar mulai bergeser ke arah yang lebih intim—kecupan lembut, sentuhan hangat, napas yang tercekat di udara tipis… Semuanya tertata indah, begitu nyata, dan entah bagaimana… membakar suasana.Elera menggigit bibirnya perlahan, duduk bersandar dengan tangan terlipat di dada. Tapi posisinya justru memperlihatkan kelembutan garis leher dan bahunya. Leon melirik dari samping, tidak berkata apa-apa, tetapi senyumnya perlahan terangkat.“Kenapa film ini seperti... panas ya?” gumam Elera, suaranya serak tertahan.Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuh, satu
Uap hangat mulai memenuhi ruangan saat air pancuran menyala, mengalir lembut di dalam kamar mandi hotel yang luas dan elegan. Elera berdiri di depan wastafel, baru saja melepas jubah tidurnya, ketika suara langkah kaki yang terlalu familiar membuatnya menegang.Ia menoleh pelan, dan seperti yang ia duga—Leon sudah berdiri di ambang pintu, hanya mengenakan handuk putih melingkar di pinggangnya, rambutnya masih sedikit berantakan, wajahnya menyimpan senyum nakal yang terlalu berbahaya di pagi hari.“Apa kau tahu arti dari ‘privasi’, Tuan Santiago?” tanya Elera dengan alis terangkat.Leon mengangkat bahu sambil berjalan santai ke arahnya. “Aku tahu. Tapi kau istriku. Dan kamar mandi ini luas… dan airnya cukup untuk dua orang.”Elera memutar mata. “Kalau aku menendangmu keluar sekarang, itu termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kan?”Leon tertawa pelan, lalu mendekat dan menyentuh pinggang Elera dengan satu tangan, menariknya sedikit lebih dekat. “Sayang, aku cuma ingin membantu. Kau tadi
Malam telah turun dengan lembut, memeluk kota dalam semilir angin yang membawa aroma bunga musim semi. Setelah sambutan heboh dan pesta kecil di mansion Santiago bersama para sahabat mereka, Elera akhirnya bisa menghela napas lega. Ia duduk di balkon kamarnya, mengenakan gaun santai tipis dan secangkir teh hangat di tangannya. Cahaya lembut dari lampu taman menyinari wajahnya yang tampak tenang—setidaknya untuk malam ini.Dari dalam kamar, langkah kaki Leon terdengar mendekat. Ia baru saja selesai mengganti pakaian, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Sejenak ia berdiri di ambang pintu balkon, memandangi istrinya yang kini terlihat jauh lebih damai dibandingkan saat pertama kali ia menculik—eh, menyelamatkan—gadis itu.“Kau tidak lelah?” Leon bertanya pelan, duduk di kursi seberang Elera.Elera menoleh, tersenyum tipis. “Bersama kalian semua? Lelah mental iya, fisik… belum tentu.”Leon tertawa kecil. “Kau bisa minta aku mengurut kakimu kalau mau.”“Terima kasih, tapi aku masih tak
Pagi di mansion Santiago dimulai seperti biasa—dengan suara gaduh dan aroma kopi yang menyengat. Elera turun dengan rambut acak-acakan dan ekspresi setengah sadar, sementara Leon sudah duduk rapi di meja makan dengan laptop terbuka dan ekspresi serius.“Kenapa kau sudah seperti pebisnis sejati jam segini?” gerutu Elera sambil duduk di seberang Leon.Leon menoleh, menyunggingkan senyum menggoda. “Karena istriku tidak memberiku pilihan lain selain bekerja keras demi membelikan semua perlengkapan dapur barunya.”Elera menyipitkan mata. “Kau yang bilang ingin rumah tangga normal.”“Kau yang bilang ingin rumah tangga penuh cinta, bukan daftar belanja,” balas Leon dengan nada santai.Kai, yang muncul entah dari mana, langsung ikut menyela sambil menggigit sepotong roti. “Kalau pagi kalian gak berantem, rasanya bukan pasangan pengantin baru ya.”Maya muncul dari belakang Kai dengan gaya dramatis. “Berantem? Itu bukan berantem, itu flirty fight. Beda tipis dengan foreplay.”Elera melempar bant
Malam itu mansion terasa lebih hidup dari biasanya. Tawa dari ruang makan menyebar hingga ke ruang tengah, tempat Kai dan Dante kini duduk santai sambil menikmati kopi, sementara Leon dan Elera masih di dapur kecil, bergurau sambil membereskan makanan sisa.Dante menyandarkan tubuhnya di sofa, satu tangan menopang kepala, sedangkan Kai duduk di samping dengan ekspresi penuh observasi.“Pernah membayangkan bos kita yang dingin dan penuh aura mafia itu... sekarang jadi budak cinta di dapur?” gumam Kai, menyesap kopinya.Dante menyeringai. “Dulu dia lebih banyak menatap layar komputer dan laporan bisnis daripada menatap wanita. Sekarang? Satu kerutan di kening Elera saja bisa bikin dia tegang setengah mati.”Kai mengangguk pelan, lalu memutar tubuhnya sedikit saat melihat Elera tertawa kecil saat Leon menyeka saus di sudut bibirnya dengan tisu. Pemandangan yang dulu tampaknya mustahil, sekarang jadi kebiasaan baru.Leon Santiago. Dulu dikenal sebagai pria paling rasional dan kanebo kerin
Suara gemericik air mengalun lembut dari balik pintu kamar mandi, sementara uap hangat mulai menyelimuti ruangan. Elera berdiri di bawah shower, membiarkan air mengalir menenangkan tubuhnya yang lelah setelah hari panjang. Rambutnya basah, dan sabun perlahan turun mengikuti lekuk punggungnya.Ia mengembuskan napas perlahan. Akhirnya, sedikit waktu untuk dirinya sendiri.Atau… setidaknya itu yang ia pikirkan.Klik.Elera menoleh cepat ke arah pintu yang tidak terkunci—kesalahan fatal yang terlalu sering dia lakukan akhir-akhir ini, terutama saat berbagi rumah dengan seseorang seperti Leon Santiago.Dan benar saja, sosok tinggi itu masuk tanpa beban, hanya mengenakan celana pendek tidur dan ekspresi paling tidak berdosa yang pernah Elera lihat.“Leon!” serunya, menutupi dada dengan satu tangan sementara tangan satunya mencari handuk. “Keluar! Ini kamar mandi, bukan ruang rapat!”Leon hanya mengangkat alis, lalu dengan tenang menarik kausnya dan melemparkannya ke gantungan. “Dan itu memb
Elera tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Leon.Pria itu terlihat begitu santai, begitu percaya diri—tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang lebih berbahaya dari biasanya.Seolah-olah dia tahu persis apa yang sedang terjadi dalam kepala Elera.Seolah-olah dia menikmati bagaimana pertahanannya perlahan runtuh.Dan sialnya, dia benar.Elera meneguk anggur merahnya dengan gugup, tetapi bahkan itu tidak bisa menenangkan degup jantungnya."Kau terlalu diam," suara Leon rendah, penuh nada menggoda.Elera menghela napas panjang. "Kau terlalu menyebalkan."Leon menyeringai. "Tapi kau tetap di sini."Sial.Dia benar lagi.Elera meletakkan gelasnya dengan hati-hati di meja, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius."Jadi, bagaimana ini akan berakhir?" katanya pelan.Leon mencondongkan tubuhnya, membiarkan wajahnya semakin dekat dengan Elera."Sayang…" bisiknya, "ini tidak akan berakhir. Ini baru saja dimulai."Elera kehilangan kata-kata.Karena dalam detik berikutnya, Leon sudah berdiri d
Pagi di mansion Santiago dimulai seperti biasa—dengan suara gaduh dan aroma kopi yang menyengat. Elera turun dengan rambut acak-acakan dan ekspresi setengah sadar, sementara Leon sudah duduk rapi di meja makan dengan laptop terbuka dan ekspresi serius.“Kenapa kau sudah seperti pebisnis sejati jam segini?” gerutu Elera sambil duduk di seberang Leon.Leon menoleh, menyunggingkan senyum menggoda. “Karena istriku tidak memberiku pilihan lain selain bekerja keras demi membelikan semua perlengkapan dapur barunya.”Elera menyipitkan mata. “Kau yang bilang ingin rumah tangga normal.”“Kau yang bilang ingin rumah tangga penuh cinta, bukan daftar belanja,” balas Leon dengan nada santai.Kai, yang muncul entah dari mana, langsung ikut menyela sambil menggigit sepotong roti. “Kalau pagi kalian gak berantem, rasanya bukan pasangan pengantin baru ya.”Maya muncul dari belakang Kai dengan gaya dramatis. “Berantem? Itu bukan berantem, itu flirty fight. Beda tipis dengan foreplay.”Elera melempar bant
Malam telah turun dengan lembut, memeluk kota dalam semilir angin yang membawa aroma bunga musim semi. Setelah sambutan heboh dan pesta kecil di mansion Santiago bersama para sahabat mereka, Elera akhirnya bisa menghela napas lega. Ia duduk di balkon kamarnya, mengenakan gaun santai tipis dan secangkir teh hangat di tangannya. Cahaya lembut dari lampu taman menyinari wajahnya yang tampak tenang—setidaknya untuk malam ini.Dari dalam kamar, langkah kaki Leon terdengar mendekat. Ia baru saja selesai mengganti pakaian, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Sejenak ia berdiri di ambang pintu balkon, memandangi istrinya yang kini terlihat jauh lebih damai dibandingkan saat pertama kali ia menculik—eh, menyelamatkan—gadis itu.“Kau tidak lelah?” Leon bertanya pelan, duduk di kursi seberang Elera.Elera menoleh, tersenyum tipis. “Bersama kalian semua? Lelah mental iya, fisik… belum tentu.”Leon tertawa kecil. “Kau bisa minta aku mengurut kakimu kalau mau.”“Terima kasih, tapi aku masih tak
Uap hangat mulai memenuhi ruangan saat air pancuran menyala, mengalir lembut di dalam kamar mandi hotel yang luas dan elegan. Elera berdiri di depan wastafel, baru saja melepas jubah tidurnya, ketika suara langkah kaki yang terlalu familiar membuatnya menegang.Ia menoleh pelan, dan seperti yang ia duga—Leon sudah berdiri di ambang pintu, hanya mengenakan handuk putih melingkar di pinggangnya, rambutnya masih sedikit berantakan, wajahnya menyimpan senyum nakal yang terlalu berbahaya di pagi hari.“Apa kau tahu arti dari ‘privasi’, Tuan Santiago?” tanya Elera dengan alis terangkat.Leon mengangkat bahu sambil berjalan santai ke arahnya. “Aku tahu. Tapi kau istriku. Dan kamar mandi ini luas… dan airnya cukup untuk dua orang.”Elera memutar mata. “Kalau aku menendangmu keluar sekarang, itu termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kan?”Leon tertawa pelan, lalu mendekat dan menyentuh pinggang Elera dengan satu tangan, menariknya sedikit lebih dekat. “Sayang, aku cuma ingin membantu. Kau tadi
Suara hujan yang mengetuk lembut jendela kaca hotel mereka menjadi latar sempurna malam itu. Cahaya dari layar televisi memantul pelan di permukaan kulit Elera dan Leon yang duduk berdampingan di atas ranjang king-size, dibalut selimut tipis dan kenyamanan hangat kamar hotel mereka yang mewah.Film yang mereka tonton awalnya terasa biasa saja, drama romantis berlatar kota tua yang cantik. Tapi perlahan, adegan-adegan di layar mulai bergeser ke arah yang lebih intim—kecupan lembut, sentuhan hangat, napas yang tercekat di udara tipis… Semuanya tertata indah, begitu nyata, dan entah bagaimana… membakar suasana.Elera menggigit bibirnya perlahan, duduk bersandar dengan tangan terlipat di dada. Tapi posisinya justru memperlihatkan kelembutan garis leher dan bahunya. Leon melirik dari samping, tidak berkata apa-apa, tetapi senyumnya perlahan terangkat.“Kenapa film ini seperti... panas ya?” gumam Elera, suaranya serak tertahan.Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuh, satu
Pagi itu terasa berbeda.Matahari Swedia menyapa perlahan dari balik tirai tipis, menyebarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan yang masih sepi. Elera terbangun lebih dulu, matanya mengerjap perlahan saat menyadari tempat tidurnya terasa… terlalu nyaman.Lengan hangat Leon masih melingkar di pinggangnya, nafas pria itu teratur dan lembut, membelai tengkuknya seperti irama yang menenangkan. Ia tidak tahu kapan tepatnya Leon menariknya mendekat semalam. Yang pasti, tidak ada keraguan, tidak ada rasa canggung. Hanya ada kedekatan yang mendalam… dan menenangkan.Elera menatap wajah pria itu dalam diam. Garis rahangnya yang tegas, alis yang sedikit berkerut bahkan saat tidur, dan bibir yang semalam disentuhnya dengan penuh keberanian. Ia mengingat lagi ciuman itu. Lembut. Nyaman. Hangat.Ia, Elera Vasquez, benar-benar mencium Leon Santiago.Bukan karena tantangan. Bukan karena gertakan.Tapi karena perasaan yang perlahan, diam-diam… dan tak tertolak."Aku tahu kau menatapku," suara berat Leo
Pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi langkah-langkah cepat dan bisikan singkat di antara Leon dan tim keamanannya. Elera berdiri di balik dinding kamar hotel, mengenakan mantel tipis di atas gaun santainya, menatap Leon yang kini tengah berbicara melalui earphone kecil di telinganya dengan nada rendah namun tegas.Ia tahu, saat Leon berubah menjadi sosok itu—dingin, penuh perhitungan—maka ada sesuatu yang tidak baik sedang terjadi.“Leon,” panggilnya pelan saat pria itu selesai berbicara.Leon menoleh, matanya langsung melunak saat melihatnya. Dalam sekejap, ia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Elera.“Kita harus pindah,” katanya tanpa basa-basi.Elera mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Hotel ini tidak lagi aman. Ada aktivitas mencurigakan di sekitar perimeter,” jawabnya, lalu meraih koper kecil milik Elera dan menariknya dengan satu tangan. “Kita akan pindah ke lokasi yang lebih aman, dan setelah itu, aku janji akan mengajakmu berkeliling. Seharian penuh. Tidak ada gangguan