Matahari sore menyinari taman belakang mansion Santiago dengan lembut. Rumput hijau yang terawat tampak berkilau keemasan, dan angin membawa aroma bunga segar yang baru saja mekar. Di tengahnya, sebuah tikar piknik sudah digelar rapi.Leon duduk bersandar di batang pohon, mengenakan kemeja santai dan celana linen. Di pangkuannya, Elera bersandar, rambutnya diikat longgar dan mengenakan gaun kasual berwarna pastel. Wajahnya bersinar lembut, penuh ketenangan dan kebahagiaan. Di depan mereka, Alva sedang bermain gelembung sabun yang ditiupkan oleh alat otomatis mungil—hadiah iseng dari Kai yang entah kenapa ternyata sangat berguna."Aku nggak ingat kapan terakhir kita bisa seperti ini. Santai. Tenang," bisik Elera sambil menggenggam tangan Leon yang membelai rambutnya.Leon menoleh dan mencium pelipisnya. "Dan utuh," tambahnya pelan. "Kamu, aku, dan Alva."Alva menjerit kecil kegirangan saat berhasil memecahkan gelembung sabun dengan kepalan mungilnya, lalu kembali berlari ke arah orang
Pagi itu, Leon berangkat lebih awal dari biasanya. Ia harus melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Surabaya. Sebelum pergi, ia sempat mengecup kening Elera yang masih setengah tertidur, membisikkan kata-kata lembut agar istrinya beristirahat dengan baik.Elera menggeliat kecil di tempat tidur, mendengar suara langkah kaki Leon menjauh. Rumah terasa sedikit sunyi tanpa kehadiran suaminya yang biasanya terlalu protektif dan selalu memastikan dirinya dalam pelukan sebelum pergi.Saat matahari naik perlahan di langit, Elera mempersiapkan diri untuk masuk kerja siang ini. Namun, ada sesuatu yang aneh.Tubuhnya terasa berbeda.Bukan hanya rasa lelah biasa, bukan hanya sisa rasa capek karena bermain sepanjang hari sebelumnya dengan Alva dan pasukan kecil mereka. Ini... sensasi yang sangat familiar.Sama seperti dulu, sebelum Alvario hadir dalam hidup mereka.Dengan jantung berdebar, Elera membuka laci kecil di meja riasnya. Di dalamnya, tersimpan beberapa test pack yang pernah ia simpan—han
Setelah pengumuman kecil namun mengguncang pagi itu, Alva tampak semakin sibuk dengan “misi” barunya. Dengan ekspresi serius dan mulut cemberut khas anak-anak, ia berkeliling rumah dengan langkah kecilnya yang cepat, membawa boneka dinosaurus di tangan kanan dan mainan stetoskop mainan di lehernya.Elera, yang sedang duduk bersandar di sofa dengan Leon di sampingnya, tertawa melihat tingkah anak mereka. "Sepertinya dia benar-benar menyiapkan diri jadi kakak," katanya, mengusap perutnya yang masih rata tapi kini terasa berbeda.Leon melirik Alva yang sedang mendekat sambil menggertak bonekanya. "Dinosaurus jahat nggak boleh dekat-dekat adik!" serunya sambil menunjuk lantai dengan dramatis. "Adik masih kecil!"Elera menutup mulut menahan tawa, sementara Leon berpura-pura serius. “Tuan Jenderal,” katanya dengan nada formal, “kami sebagai rakyatmu siap menerima tugas.”Alva dengan cepat mendekat, menunjuk Leon dan berkata, “Papa jaga Mama! Aku jaga rumah!”Leon menegakkan badan, memberi h
Kepala rumah sakit Dr. Raymond belum lama duduk di ruangannya pagi itu saat sekretarisnya masuk sambil membawa secangkir kopi dan wajah ragu-ragu.“Ada panggilan penting, Pak. Dari... Tuan Leon.”Raymond menaikkan alis. “Pagi-pagi begini?”Sekretaris itu mengangguk. “Katanya, urgent family matter.”Dengan penasaran, Raymond mengambil telepon di meja dan menekan tombol sambungan. “Halo, Leon?”“Dokter Raymond,” suara Leon terdengar tegas namun santai di ujung sana. “Aku ingin melakukan sedikit penyesuaian.”Raymond menyandarkan tubuh ke kursi, sudah terbiasa dengan gaya langsung Leon. “Penyesuaian seperti apa? Jangan bilang kamu mau bangun tower baru di atas atap gedung RS.”“Bukan,” balas Leon. “Ini soal Elera. Dia sedang hamil, dan aku tidak ingin dia terlalu lelah. Aku minta agar jam praktik dan jadwal operasinya dipangkas—sebisa mungkin hanya menangani pasien ringan atau observasi saja.”Raymond tertawa pelan. “Leon... dia spesialis trauma bedah. Pasien ringan itu bukan menunya.”“
Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar keluarga itu, menyinari perlahan ranjang besar tempat tiga sosok terbaring santai. Leon membuka mata lebih dulu, menyadari bahwa ada dua kepala kecil—satu besar dan satu sangat kecil—yang menempel di dada dan lengannya.Alva sudah terbangun sejak tadi, tapi alih-alih membuat kekacauan, bocah itu hanya berbaring tenang sambil memeluk perut bundanya. Tangannya yang mungil membentuk lingkaran di perut Elera yang mulai sedikit menonjol.“Adik cepat datang ya,” bisiknya, pelan tapi penuh cinta. “Aku udah punya banyak mainan buat kamu.”Leon menahan senyum. Dia tak menyangka putranya bisa sedewasa itu di usianya yang belum genap tiga tahun.Elera mengerjap pelan, menggeliat sedikit, lalu tersenyum saat melihat kedua lelaki kecil dan besar itu memandanginya.“Pagi...” gumamnya.“Pagi,” jawab Leon lembut, mencium keningnya.“Adik belum datang,” Alva mengeluh kecil, masih menempel di perut bundanya. “Aku udah tunggu lama.”Elera tertawa. “Adik belum
Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.Dor! Dor! Dor!Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.Elera membeku.Pria itu berusa
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.Leon Santiago.Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.Di luar, suara langkah kaki mendekat.Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.Leon.Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi."Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang memb
Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar keluarga itu, menyinari perlahan ranjang besar tempat tiga sosok terbaring santai. Leon membuka mata lebih dulu, menyadari bahwa ada dua kepala kecil—satu besar dan satu sangat kecil—yang menempel di dada dan lengannya.Alva sudah terbangun sejak tadi, tapi alih-alih membuat kekacauan, bocah itu hanya berbaring tenang sambil memeluk perut bundanya. Tangannya yang mungil membentuk lingkaran di perut Elera yang mulai sedikit menonjol.“Adik cepat datang ya,” bisiknya, pelan tapi penuh cinta. “Aku udah punya banyak mainan buat kamu.”Leon menahan senyum. Dia tak menyangka putranya bisa sedewasa itu di usianya yang belum genap tiga tahun.Elera mengerjap pelan, menggeliat sedikit, lalu tersenyum saat melihat kedua lelaki kecil dan besar itu memandanginya.“Pagi...” gumamnya.“Pagi,” jawab Leon lembut, mencium keningnya.“Adik belum datang,” Alva mengeluh kecil, masih menempel di perut bundanya. “Aku udah tunggu lama.”Elera tertawa. “Adik belum
Kepala rumah sakit Dr. Raymond belum lama duduk di ruangannya pagi itu saat sekretarisnya masuk sambil membawa secangkir kopi dan wajah ragu-ragu.“Ada panggilan penting, Pak. Dari... Tuan Leon.”Raymond menaikkan alis. “Pagi-pagi begini?”Sekretaris itu mengangguk. “Katanya, urgent family matter.”Dengan penasaran, Raymond mengambil telepon di meja dan menekan tombol sambungan. “Halo, Leon?”“Dokter Raymond,” suara Leon terdengar tegas namun santai di ujung sana. “Aku ingin melakukan sedikit penyesuaian.”Raymond menyandarkan tubuh ke kursi, sudah terbiasa dengan gaya langsung Leon. “Penyesuaian seperti apa? Jangan bilang kamu mau bangun tower baru di atas atap gedung RS.”“Bukan,” balas Leon. “Ini soal Elera. Dia sedang hamil, dan aku tidak ingin dia terlalu lelah. Aku minta agar jam praktik dan jadwal operasinya dipangkas—sebisa mungkin hanya menangani pasien ringan atau observasi saja.”Raymond tertawa pelan. “Leon... dia spesialis trauma bedah. Pasien ringan itu bukan menunya.”“
Setelah pengumuman kecil namun mengguncang pagi itu, Alva tampak semakin sibuk dengan “misi” barunya. Dengan ekspresi serius dan mulut cemberut khas anak-anak, ia berkeliling rumah dengan langkah kecilnya yang cepat, membawa boneka dinosaurus di tangan kanan dan mainan stetoskop mainan di lehernya.Elera, yang sedang duduk bersandar di sofa dengan Leon di sampingnya, tertawa melihat tingkah anak mereka. "Sepertinya dia benar-benar menyiapkan diri jadi kakak," katanya, mengusap perutnya yang masih rata tapi kini terasa berbeda.Leon melirik Alva yang sedang mendekat sambil menggertak bonekanya. "Dinosaurus jahat nggak boleh dekat-dekat adik!" serunya sambil menunjuk lantai dengan dramatis. "Adik masih kecil!"Elera menutup mulut menahan tawa, sementara Leon berpura-pura serius. “Tuan Jenderal,” katanya dengan nada formal, “kami sebagai rakyatmu siap menerima tugas.”Alva dengan cepat mendekat, menunjuk Leon dan berkata, “Papa jaga Mama! Aku jaga rumah!”Leon menegakkan badan, memberi h
Pagi itu, Leon berangkat lebih awal dari biasanya. Ia harus melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Surabaya. Sebelum pergi, ia sempat mengecup kening Elera yang masih setengah tertidur, membisikkan kata-kata lembut agar istrinya beristirahat dengan baik.Elera menggeliat kecil di tempat tidur, mendengar suara langkah kaki Leon menjauh. Rumah terasa sedikit sunyi tanpa kehadiran suaminya yang biasanya terlalu protektif dan selalu memastikan dirinya dalam pelukan sebelum pergi.Saat matahari naik perlahan di langit, Elera mempersiapkan diri untuk masuk kerja siang ini. Namun, ada sesuatu yang aneh.Tubuhnya terasa berbeda.Bukan hanya rasa lelah biasa, bukan hanya sisa rasa capek karena bermain sepanjang hari sebelumnya dengan Alva dan pasukan kecil mereka. Ini... sensasi yang sangat familiar.Sama seperti dulu, sebelum Alvario hadir dalam hidup mereka.Dengan jantung berdebar, Elera membuka laci kecil di meja riasnya. Di dalamnya, tersimpan beberapa test pack yang pernah ia simpan—han
Matahari sore menyinari taman belakang mansion Santiago dengan lembut. Rumput hijau yang terawat tampak berkilau keemasan, dan angin membawa aroma bunga segar yang baru saja mekar. Di tengahnya, sebuah tikar piknik sudah digelar rapi.Leon duduk bersandar di batang pohon, mengenakan kemeja santai dan celana linen. Di pangkuannya, Elera bersandar, rambutnya diikat longgar dan mengenakan gaun kasual berwarna pastel. Wajahnya bersinar lembut, penuh ketenangan dan kebahagiaan. Di depan mereka, Alva sedang bermain gelembung sabun yang ditiupkan oleh alat otomatis mungil—hadiah iseng dari Kai yang entah kenapa ternyata sangat berguna."Aku nggak ingat kapan terakhir kita bisa seperti ini. Santai. Tenang," bisik Elera sambil menggenggam tangan Leon yang membelai rambutnya.Leon menoleh dan mencium pelipisnya. "Dan utuh," tambahnya pelan. "Kamu, aku, dan Alva."Alva menjerit kecil kegirangan saat berhasil memecahkan gelembung sabun dengan kepalan mungilnya, lalu kembali berlari ke arah orang
Sore itu, setelah tawa dan kehebohan soal 'hukuman kerajaan', suasana di Mansion Santiago perlahan menjadi lebih tenang.Elera duduk santai di teras belakang bersama Leon dan Alva. Matahari mulai tenggelam, memandikan halaman dengan cahaya keemasan yang hangat.Leon memangku Elera di pangkuannya, sementara Alva duduk di samping mereka dengan mainannya.Sesekali Alva mengoceh dengan bahasa bayinya, membuat kedua orangtuanya tertawa lembut."Aku rindu momen santai seperti ini," gumam Elera sambil bersandar di dada Leon.Leon menunduk dan mengecup puncak kepala Elera. "Aku juga," katanya pelan, "keluarga kecilku adalah tempatku pulang."Alva yang sepertinya merasa diabaikan, langsung menarik tangan Leon sambil berkata, "Papa, mama, maen!"Leon tertawa dan membungkuk meraih Alva, mendudukkan si kecil di pangkuan mereka berdua.Mereka bertiga membentuk lingkaran kecil, begitu erat dan hangat."Kalau begini rasanya," kata Leon perlahan, sambil menatap kedua orang yang paling dicintainya,"a
Langkah Elera menuruni tangga pelan-pelan, masih setengah mengantuk, tapi hatinya penuh kehangatan.Begitu ia mencapai lantai bawah, pemandangan yang menantinya membuatnya ingin tertawa dan menangis sekaligus.Di ruang keluarga, Alva sedang duduk di pangkuan Leon, dengan Dante di samping mereka — meskipun Dante masih tampak setengah memegangi lukanya sambil berlagak sebagai 'penasihat kerajaan' Alva.Kai, di sudut lain, memeriksa sesuatu di tablet sambil sesekali mencuri pandang ke arah mereka, dan Maya... Maya sibuk mengenakan mahkota mainan di kepala Alva.Suasana terasa begitu penuh cinta dan tawa.Leon, yang mendengar langkah ringan Elera, langsung menoleh.Tatapan matanya melunak saat melihat istrinya berdiri di sana, mengenakan piyama yang ia pilihkan tadi — rambutnya sedikit berantakan, mata masih sayu, tapi... bagi Leon, dia tak pernah terlihat lebih cantik dari ini.Tanpa berkata apa-apa, Leon bangkit, menggendong Alva di satu tangan, lalu menghampiri Elera."Ratu kita sudah
Pagi itu villa terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di atas lantai kayu hangat, sementara suara burung-burung kecil dari luar menjadi latar alami yang merdu.Leon dan Elera sibuk di kamar, mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper.Elera duduk bersila di atas tempat tidur, melipat pakaian mereka dengan rapi, sementara Leon lebih banyak mondar-mandir, memasukkan berbagai benda ke dalam tas... bahkan beberapa barang yang sebenarnya bukan milik mereka.“Leon...” Elera memanggil sambil melipat blus. “Itu sandal villa. Bukan punya kita.”Leon melirik sandal di tangannya, lalu mengangkat bahu dengan cuek.“Mereka pasti mau memberikannya sebagai kenang-kenangan. Ini sandal saksi bisu pertempuran kita.”Elera memukul bantal di sebelahnya dengan geli. “Sandal villa, Leon.”Leon tertawa kecil, akhirnya meletakkan sandal itu kembali ke raknya. Dia lalu mendekat dan berjongkok di depan Elera, merebut blus dari tangannya dan mulai membantunya melipat
Bulan madu mereka terasa seperti dunia milik berdua, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mereka yang penuh dengan intrik dan tantangan. Di tengah keheningan pantai yang indah, hanya suara deburan ombak yang terdengar, Elara dan Leon menikmati momen penuh kedamaian, jauh dari segala ancaman.Leon terbaring di samping Elara, menatap wajah istrinya yang kini tengah berbaring santai di atas matras besar. Tangannya melingkar di pinggang Elara, membelai lembut perutnya. Mata Leon yang penuh perhatian tak lepas dari Elara, seakan mengekspresikan sejuta kata yang tak terucapkan.Dengan senyum nakal, dia mendekatkan wajahnya ke perut Elara, mencium lembut kulitnya yang halus. "Aku sangat senang," katanya dengan suara lembut yang hampir berbisik, "jika di dalam perutmu ini akan ada adik untuk Alvario."Elara menatapnya dengan sedikit rasa terkejut, namun senyum perlahan muncul di bibirnya. "Leon..." suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh kehangatan. "Apa yang kamu katakan itu... seriu