"Tuan Theo, maaf saya masuk tanpa izin. Tadi Grace mengajak saya masuk untuk memperlihatkan hasil karyanya," jelas Sarah dengan gugup. Sementara Grace masih terus berbicara tanpa mempedulikan ayahnya dan Sarah.Theo tidak menjawab Sarah dan hanya berdiri menunggu Grace selesai berbicara. Sarah tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya mengikuti Theo berdiri diam sambil mendengarkan Grace."Bagus sekali Grace," puji Theo setelah Grace selesai menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan tata surya.Grace tidak memberi reaksi apapun, dia langsung pergi kembali ke kamarnya. Tinggallah Sarah dan Theo di dalam ruang kerja Theo."Sepertinya tugas Nona Sarah di rumah ini sudah selesai. Mari saya antarkan sampai ke pintu," ujar Theo sopan namun dingin."Maaf boleh saya menanyakan sesuatu tuan?" tahan Sarah pada saat Theo baru akan melangkah keluar dari ruang kerjanya."Ada apa?" Theo berbalik menghadap Sarah. Dia bisa mengirup aroma lembut vanila dari rambut Sarah."Apakah tuan berencana membe
"Oh mengenai hal itu, aku sedang menimbang waktunya. Tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat ini, karena ada urusan yang harus aku selesaikan dulu," jawab Theo berusaha menghindar."Baik Pak, tapi tolong jangan terlalu lama Pak. Saya khawatir Sarah akan terus meneror kami karena rumah itu," ujar Nadine sambil terisak ketakutan."Nadine, boleh saya tahu. Teror apa yang dia lakukan, sampai kalian ketakutan kepadanya?" selidik Theo yang sudah mulai meragukan Nadine."Dia selalu memaki kami dengan kasar, bahkan dia pernah mendorong saya sampai saya dibawa ke rumah sakit karena tangan saya patah Pak. Selain itu, ini cukup memalukan. Tapi dia selalu merebut setiap pria yang sedang dekat dengan saya." Suara Nadine terdengar sedikit bergetar, seperti sedang menahan tangis."Bagaimana caranya dia bisa merebut pria yang dekat denganmu?" Theo tidak mengerti lelaki mana yang bisa berpindah hati dari Nadine yang lembut dan sangat penuh perhatian kepada Sarah yang kasar dan tidak peduli.'Meskipu
"Grace?" Sarah tidak percaya dia akan bertemu Grace dan Theo di makam orangtuanya. "Ayo lihat mama. Ayo," ajak Grace sambil menarik ujung baju Sarah dengan keras. Sarah menatap Theo dengan canggung. Dia yakin Theo merasakan kecanggungan yang sama, karena Theo hanya mengganggukkan kepala tanpa menatapnya, ketika Sarah menyapanya. "Ayo, ayo," desak Grace membuat Sarah tidak dapat menolak. Dia dan Grace berjalan di belakang Theo yang membawa dua buket bunga besar. Ternyata makam almarhum istri Theo tidak terlalu jauh dari makam kedua orang tua Sarah. Dalam hatinya Sarah kembali tertawa. Di antara banyaknya makam di kota ini takdir malah mempertemukan mereka di sini. "Ini mama. Dia sudah meninggal. Tapi dia hidup di surga. Nanti kalau Grace mati, kami bertemu di surga," jelas Grace kepada Sarah, seakan-akan Sarah tidak mengetahui kenyataan itu. "Iya Grace," jawab Sarah sambil membaca tulisan yang terukir di atas nisan. "Grace letakkan bunganya." Theo menyerahkan salah satu buket k
Theo memandang Sarah tanpa berkedip. Gairah yang tidak pada tempatnya mengaliri pembuluh darahnya. Baru kali ini ada perempuan yang membela dan menyebut Grace anaknya tanpa keraguan sedikitpun. Dia bahkan tidak peduli ayah anak itu sudah menyakiti hatinya. Mendadak, Theo merasa yakin Sarah tulus menyayangi Grace."Ada apa tadi?" tanya Theo berpura-pura tidak mendengar semua pertengkaran tadi, setelah Sarah kembali duduk di kursinya."Tidak ada apa-apa, hanya segerombolan anak muda yang perlu diberi pelajaran sopan santun," jawab Sarah yang merasa lega karena Theo tidak mendengar perkataannya tadi.Dia takut Theo akan salah sangka bila mengetahui Sarah menyebut Grace sebagai anaknya."Croissant datang. Croissant garing tapi lembut. Baru dibakar dan dikeluarkan dari oven sehingga masih hangat dan lezat. Croissant tampak seperti bulan sabit. Bulan yang hanya terkena sedikit cahaya sehingga tidak tampak seluruh bagiannya." Sarah tersenyum mendengar penjelasan Grace. Beberapa hari yang la
"Tapi-" Sarah tidak sanggup meneruskan kata-katanya begitu tatapan mata Theo menunjukkan bahwa dia tidak menerima penolakkan. Sarah masuk ke dalam mobil dengan jantung yang berdegup sangat cepat karena telapak tangan Theo yang menyentuh kulitnya."Miss Sarah dan Papa sudah masuk ke mobil. Sekarang kita pulang!" seru Grace senang, karena akhirnya dia bisa pulang dan menonton acara kesukaannya.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Theo, mobil itu senyap. Supir Theo tidak berani menyalakan musik tanpa perintah Theo. Suhu dingin dari mesin pendingin mobil menusuk hingga ke hati Sarah. Dia tidak tahu suasana apa ini, tapi dia merasa takut, bahagia dan waswas secara bersamaan.Grace langsung membuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah, begitu mereka tiba di halaman kediaman Theo. Sarah yang tidak tahu harus berbuat apa, tetap diam di dalam mobil. 'Tadi kan dia sudah berjanji akan mengantarkan aku pulang,' batin Sarah yang melihat Theo dan supirnya juga ikut keluar dari mobil. "Apa ini
"Nona Sarah! Nona Sarah!" panggil Theo setelah membuka jendela mobilnya. Sarah berjalan semakin cepat, seakan-akan dia dikejar oleh seseorang. "Kenapa dia berjalan begitu cepat? Dia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal," guman Theo bingung. "Aku memang setuju! Tapi bukan berarti kau langsung membeli rumah itu Tuan Theo yang kaya raya. Apa kau tidak tersentuh mendengar ceritaku. Betapa berartinya rumah itu bagiku, betapa menderitanya hidupku demi bisa membeli rumah itu. Dasar laki-laki tidak berperasaan!" sungut Sarah yang tidak menyangka Theo akan langsung membeli rumah orangtuanya di hadapannya. Sarah berjalan sangat cepat, begitu sampai di depan apartemennya dia kehabisan napas. Sarah memandang gedung tidak terawat yang lebih tepat disebut rumah susun atau flat itu. Apartemen terdengar terlalu mewah. Tapi Sarah menghindari rasa iba yang akan muncul kalau mengatakan dia tinggal di sebuah rumah susun tua di daerah Pasaigi, daerah terkumuh di kota itu. Sarah masuk ke dalam tanp
"Siapa aku ini, hingga mengharapkan pria seperti dia," cibir Sarah kepada dirinya sendiri.Sarah sempat berpikir bahwa Theo setidaknya akan menyapanya, setelah pagi tadi mereka menghabiskan waktu bersama. Apalagi Theo mengantarkannya pulang jadi Sarah memiliki harapan terhadap pria itu.Sarah begitu kesal, kali ini bukan kepada Theo. Sarah kesal kepada dirinya sendiri karena bersikap seperti orang bodoh."Dia tidak menyukaimu Sarah. Dia bahkan membeli rumah orangtuamu tanpa memedulikanmu. Berhentilah berharap!" perintah Sarah kepada hatinya.Sarah melirik jam tangannya dan baru sadar bahwa dia harus segera pergi ke stasiun kereta. Dia tidak ingin terlambat tiba di kafe tempatnya bekerja.Sarah segera berlari keluar dari sekolah musik itu. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya dengan heran, dia terus berlari agar tidak ketinggalan kereta."Bukannya itu Nona Sarah?" tanya Theo yang melihat seorang wanita berlari melewati mobilnya yang sedang berhenti karena lampu mer
"Bapak mau duduk di mana?" tanya Nadine dengan suara lembut."Kamu datang sendirian Nadine?" sahut Theo tanpa menjawab pertanyaan Nadine."Dengan teman-teman Pak," jawab Nadine ragu.Dia memang sengaja datang bersama teman-temannya untuk memberitahu Sarah bahwa tadi siang Theo sudah setuju untuk membeli rumah ayah Sarah. Dia benar-benar penasaran dengan reaksi Sarah mendengar kabar itu. Siapa sangka dia malah bertemu Theo di sini. Rasanya seperti mendapat hadiah berlipat ganda."Kalau begitu, silakan bergabung dengan teman-temanmu. Jangan biarkan mereka menunggu," pinta Theo dengan dingin."Mereka tidak menunggu saya Pak. Saya bisa menemani bapak," rayu Nadine, membuat Theo menghela napas sambil menjorokkan bibirnya. "Saya mau makan sendirian," tegas Theo. Raut muka Nadine berubah. Dia tidak menyangka Theo akan mengusirnya seperti itu."Baik Pak," jawab Nadine sopan.Sarah terus memainkan keyboardnya sambil memandangi tuts hitam putih yang ada di hadapannya. Dia sangat terkejut ket