"Anak saya sudah dua kali mengikuti ujian ini, tapi tidak lulus juga. Apa anda bisa mengajar? Atau anda cuma sekedar menginginkan uang?"
Sarah memandang wanita muda yang pakaiannya mencolok itu dengan tenang. Dia sudah biasa dimarahi oleh para orangtua yang merasa setelah memasukkan anaknya ke sekolah atau tempat kursus maka mereka bisa lepas tangan.
"Ibu pikir belajar piano sekali seminggu selama setengah jam cukup? Sudah berapa kali saya meminta ibu untuk mengawasi anak ibu agar berlatih setiap hari. Karena setiap kali les kami mulai lagi dari awal. Selain itu, selama setahun ini anak ibu bisa dibilang hanya les selama tujuh bulan, sisanya izin karena pergi jalan-jalan atau anaknya ketiduran."
Wanita muda itu baru akan membuka mulutnya ketika Sarah mengarahkan telapak tangannya ke wajah wanita itu.
"Silakan ibu pindahkan anak ibu ke guru yang lain. Tapi kalau ibu terus bersikap seperti ini, sampai kapanpun anak ibu tidak akan pernah lulus," ucap Sarah lalu segera masuk kembali ke dalam kelas dan menguncinya.
"Dasar sombong! Kau pikir kau siapa berani bicara sekasar itu kepada orangtua murid! Lihat saja, aku pasti akan menghancurkanmu!" teriak wanita itu sambil menggedor pintu kelas Sarah dengan keras.
Sarah membuang napas dengan keras, sambil melemparkan buku-buku piano yang dia pegang ke atas meja. Kepalanya terasa sakit dan jantung berdetak sangat cepat. Sarah langsung duduk karena lututnya terasa sangat lemah.
Sarah sudah berusia 30 tahun, dia sudah menjadi guru musik selama sepuluh tahun. Tapi persoalan seperti ini tetap saja menguras energinya. Para orangtua muda yang selalu saja merasa guru adalah anak buahnya, hanya karena mereka membayar uang sekolah atau uang kursus.
Rasanya Sarah ingin segera pulang, namun dia masih memiliki tiga kelas lagi hari ini. Maka dia segera mencuci wajahnya dan bersiap menyambut murid-muridnya.
***
"Bisa bicara sebentar?" tanya Rachel, pemilik Sekolah Musik Cantilena, tempat Sarah mengajar. Tepat setelah Sarah menyelesaikan kelasnya.
"Ada apa? Apa kau mau membahas tentang orangtua murid yang mengamuk tadi?" tanya Sarah dengan santai.
Pemilik sekolah musik ini adalah teman kuliah Sarah. Ayahnya seorang konglomerat, karena itu dia bisa membuka sekolah musik meskipun tidak memiliki latar belakang musik. Sarah membantunya mendirikan sekolah musik ini enam tahun yang lalu.
"Apakah kau tidak bisa sedikit lebih sabar menghadapi mereka?" tanya Rachel dengan lembut.
"Aku bukan anak buah mereka, bahkan aku bukan anak buahmu. Kita partner begitupun mereka dan aku. Kalau orangtua tidak mau bekerja sama dan menyalahkan guru karena mereka tidak mau melakukan bagiannya, menurutmu bagaimana aku harus bersikap?" jawab Sarah dengan penuh emosi.
"Iya, aku mengerti." Rachel menghembuskan napas dengan keras.
"Tapi bagaimanapun juga mereka mengeluarkan uang, jadi tidak bisa disalahkan kalau mereka sedikit menuntut. Aku mohon, bekerjasamalah dengan mereka," pinta Rachel membujuk Sarah yang keras kepala.
"Aku tidak bisa, kau saja yang urus mereka," tegas Sarah.
"Baik, kalau begitu aku akan membuat kebijakan baru untukmu. Mulai bulan ini, kau hanya akan mengajar murid-murid dewasa. Murid anak-anak akan aku alihkan ke guru yang lain." Sarah menatap Rachel dengan tajam.
"Ini demi kebaikanmu dan sekolah musik ini. Paling tidak kau tidak perlu lagi bertemu dengan orangtua yang menuntut macam-macam," lanjut Rachel yang sedikit gentar melihat mata Sarah.
"Oke, terserah padamu saja!" jawab Sarah ketus lalu segera meninggalkan sekolah musik itu.
Mengajar orang dewasa berarti berkurangnya setengah pendapatan. Murid dewasa jumlahnya tidak sebanyak anak-anak, dan sebagian dari mereka tidak akan bertahan lama. Ada yang hanya belajar selama beberapa bulan dan kalau mereka tertarik mungkin bertahan selama setahun.
Sarah menyadari kalau Rachel sedang menghukumnya dengan cara yang halus.
***
"Kau sudah datang? Sepertinya malam ini pengunjung agak ramai, jadi tolong mainkan lagu yang bersemangat," ucap pemilik Kafe Kofee tempat Sarah bekerja sebagai penyanyi dan pemusik tetapnya.
"Baik," jawab Sarah dengan lemah. Lalu segera berjalan ke arah keyboard yang berada di pojok ruangan.
Sarah akan bermain musik selama satu setengah jam lalu istirahat selama setengah jam sebelum bermain musik lagi selama sejam dan pulang. Besok pagi dia akan mengajar musik di Sekolah Pioneer, sekolah mahal yang ditujukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu dilanjutkan dengan mengajar musik di Cantilena dan terakhir tampil di kafe ini.
Sudah hampir tiga tahun Sarah melakukan hal ini selama 5 hari dalam seminggu. Sementara setiap Sabtu pagi, selama 3 jam, dia bekerja sebagai penghibur yang akan bermain musik dan bernyanyi untuk para jompo yang dititipkan keluarganya, di sebuah panti wreda mewah dan berbiaya cukup mahal. Panti Wreda itu berada di pinggir kota, namun bayarannya yang cukup tinggi membuat Sarah terus bertahan. Setelah itu, dia kembali mengajar di Cantilena dan pada malam harinya dia akan kembali bermain di kafe.
Hari minggu yang seharusnya menjadi hari liburnya dihabiskan Sarah untuk mengajar musik bagi anak-anak ekspatriat dari pagi hingga sore hari. Setelah itu, dia baru akan menghabiskan waktunya untuk tidur dan bersantai di rumah. Karena minggu malam kafe tempat dia bekerja biasanya diisi oleh pemusik tamu.
"Ada apa denganmu? Kau tampak tidak bersemangat. Apa kau sakit?" tanya salah satu pelayan kafe yang sering menemani Sarah ketika dia beristirahat.
"Aku hanya lelah," jawab Sarah sambil memasukkan makanan yang disajikan untuknya ke dalam mulut.
Setiap malam Sarah diberikan jatah makan dan minum dari kafe, diluar bayaran yang dia terima tiap bulan. Itulah alasan dia tetap memaksakan dirinya untuk terus bertahan menjadi pemusik kafe, karena tampil di kafe artinya dia tidak perlu membeli makan malam.
"Bersemangatlah, barusan ada pengunjung di ruangan VIP. Siapa tahu kita bisa mendapatkan tips yang besar bila terlihat bersemangat," seru si pelayan sambil mengepalkan tangannya memberi semangat.
"Tamu VIP? Baiklah," jawab Sarah terpacu, lalu segera menghabiskan makanannya.
Sarah segera memulai permainan pianonya begitu waktu istirahatnya selesai. meskipun Sarah tidak bisa melihat ke dalam, tapi dia tahu bahwa para tamu di ruangan VIP bisa menyaksikan dirinya dari kaca yang membatasi mereka. Kaca memang sengaja dibuat gelap dari luar agar privasi para tamu VIP terjaga.
"Mereka meminta dinyanyikan lagu ulang tahun," bisik salah seorang pelayan sambil menunjuk ke ruangan VIP. Sarah mengangguk dan mulai menyanyikan dua lagu ulang tahun dengan penuh semangat. Tepat setelah Sarah selesai memainkan lagu yang yang kedua Sarah dipanggil.
"Mereka memintamu masuk ke ruang VIP, sepertinya kau akan mendapat tips yang cukup besar," bisik pelayan tadi dengan iri.
Sarah tersenyum bahagia. Dia berjalan dengan yakin ke ruangan VIP sambil membayangkan uang tips yang akan dia terima malam ini.
Tapi ... dia mematung begitu melihat orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Dia mengenali sebagian dari mereka.
Seorang gadis cantik yang tampak jauh lebih muda dari Sarah berdiri dan menyapanya dengan ramah.
"Kakak Sarah, apa kabar?"
"Nadine," ucap Sarah sambil memandang ke segala arah."Wah, selamat ya. Akhirnya kau menemukan panggilan hidupmu." Seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Nadine namun usianya jauh di atas Sarah menyindir sambil tertawa. Dia adalah Angel, ibu Nadine yang juga ibu tiri Sarah."Apa kalian membutuhkan sesuatu? Kalau tidak aku akan kembali tampil," ucap Sarah sambil menutup pintu ruangan VIP. Dia bisa mendengar gelak tawa dari dalam tepat setelah pintu tertutup."Ka, tunggu." Sarah menghentikan langkahnya tapi tidak berbalik."Ka, aku mohon tolong maafkan aku dan Mama," mohon Nadine dengan suara lembut."Sudahlah, aku tidak ingin membahas masalah yang sudah lalu.""Aku tidak membicarakan masa lalu kak. Aku meminta maaf karena mungkin akan melangkahimu dan menikah duluan," ucap Nadine lembut namun menusuk. Sarah sadar dia tidak bermaksud meminta maaf, tapi memamerkan kemampuannya mendapatkan laki-laki.Sarah segera berjalan dengan cepat menuju ke tempatnya dan kembali memainkan mu
"Perkenalkan ini Sarah, salah satu guru di tempat ini," ucap Rachel kepada Theo."Halo, saya Theo," ucap Theo sambil memberikan tangannya."Sarah," jawab Sarah sambil menjabat tangan Theo yang lembut dan tanpa sengaja, menghirup aroma citrus yang menyegarkan dari tubuh Theo.'Aromanya memabukkan dan kulit tangannya terasa selembut kapas,' batin Sarah mendamba."Sebenarnya Sarah adalah salah satu guru terbaik kami. Selain itu dia juga pemain musik yang cukup handal dan sering tampil di beberapa tempat." Rachel mempromosikan Sarah kepada Theo yang mendengarkan dengan seksama."Hanya saja dia memiliki satu kelemahan," lanjut Rachel yang membuat wajah Sarah yang putih bersih memerah dan mata bulatnya membesar. Sarah sangat kesal karena Rachel akan menjatuhkannya setelah mengangkatnya sedikit tinggi."Seperti yang kau saksikan tadi, dia bukan orang yang sabar." Sarah memandang Rachel dengan tajam. Kalau saja tidak ada Theo, dia pasti akan mencengkram leher Rachel.Theo tertawa dan herannya
[Sarah, bisakah hari ini kau luangkan waktu?] Sarah yang sedang dalam perjalanan menuju ke sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, membaca pesan yang dikirimkan Rachel dengan kesal.[Untuk apa?] balas Sarah singkat.Hari masih pagi tapi Rachel sudah mengajaknya bertemu. Sarah menduga pasti ada persoalan di sekolah musik, karena itu Rachel menghubunginya sepagi ini.[Theo ingin bertemu dan membicarakan rencanamu untuk mengajar putrinya.][Aku akan tiba di sekolah musik jam 2 siang. Waktuku kosong sampai jam 4,] balas Sarah cepat. Lagi-lagi dia merasa bersemangat karena akan bertemu dengan Theo. Lalu seakan seseorang menamparnya dengan keras, Sarah kembali menyadari bahwa Theo adalah suami seseorang.Siang itu, Sarah tidak membuang waktunya dan langsung berangkat menuju ke sekolah musik. Sarah merasa putus asa karena tidak bisa mengendalikan perasaannya. Meski menyadari bahwa Theo adalah pria beristri, namun hati Sarah tetap berbunga-bunga membayangkan akan bertemu dengannya sebentar la
"Dia tidak keberatan aku mengajar anaknya?" tanya Sarah tidak percaya."Ya, tapi dia menitipkan pesan. Pekerjaanmu adalah mengajar musik bukan yang lain. Jadi jangan suka ikut campur urusan yang lain!" tegas Rachel. Sarah tersenyum lega lalu mengangguk dengan keras.***Sarah memeriksa penampilan dari pantulan bayangannya di kaca iklan yang ada di halte kereta bawah tanah."Lumayan," guman Sarah sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari. Dia sangat gugup tapi berusaha untuk tenang. Selama perjalanan menuju ke rumah Theo, Sarah tidak henti-hentinya meremas tangannya hingga memutih. Semakin dekat jantungnya berdegup makin kencang. Sarah menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan dan mengulangnya beberapa kali.Akhirnya Sarah berdiri di depan pagar tinggi berwarna hitam, kedua sisinya terdapat tembok putih yang dihiasi tanaman merambat dengan bunga-bunga kecil berwarna warni. Namun, di sisi kiri ada kaca yang lebih mirip seperti jendela kecil. Sarah berusaha mengintip ke dala
"Nadine." Dengan suara sedikit bergetar Sarah memanggil nama adik tirinya. "Kalian saling kenal?" tanya Theo heran. "Ya, dia anak ayah tiriku," jelas Nadine sambil tersenyum palsu. "Dunia ini memang sempit. Ternyata kau keluarga guru musik putriku." komentar Theo tidak percaya. Dalam sehari dia sudah mendapatkan dua kejutan. "Nona Sarah, Nadine adalah sekretaris baru saya. Ada beberapa pekerjaan yang harus segera kami selesaikan. Tapi saya juga ingin melihat kelas musik pertama Grace, karena itu saya memintanya membawa pekerjaan kesini," jelas Theo canggung. Sarah mengangguk. "Nadine, ini putriku Grace." "Halo Grace," sapa Nadine mencoba meraih tangan Grace. "Berhenti!" perintah Sarah cepat. Nadine langsung menghentikan gerakannya dan menatap Sarah dengan tajam. "Dia tidak suka disentuh." Nadine mengalihkan pandangannya ke arah Theo yang mengangguk tanda setuju dengan perkataan Sarah. "Nona Sarah bisa lanjutkan lagi pelajarannya. Nadine dan saya akan ke ruang kerja," ucap The
"Iya, ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Karena itu Theo menamai putrinya Grace, sama dengan nama istrinya." Sarah menelan ludah sambil terus menatap Rachel. Membicarakan Grace selalu membuatnya merasa pilu."Lalu, apakah dia menikah lagi?" tanya Rachel ragu."Tidak, laki-laki itu sepertinya masih sangat mencintai almarhum istrinya sampai terus bertahan sendirian. Aku yakin dia mencari perempuan yang sama seperti istrinya. Aku sudah katakan, sampai mati pun pasti tidak akan bertemu dengan wanita seperti Grace!" ucap Rachel terdengar seperti mengejek, tapi sebenarnya merasa kasihan.Sarah yang masih terkejut mendengar penjelasan Rachel tiba-tiba seperti mendapat hadiah yang sangat dia inginkan.'Dia single. Dia bukan suami seseorang.' Sarah terus berguman di dalam hatinya dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Suasana hati Sarah tiba-tiba menjadi sangat baik. Ternyata cintanya tidak salah, dia boleh memiliki rasa itu. Tapi ada satu hal yang mengganjal di hati Sarah."Bagaimana
"Baik kalau begitu. Maaf kami berdebat di sini," ucap Sarah cepat. Lagi-lagi dia kehilangan kendali dan bersikap seenaknya. Sarah menyesal sekali lagi memberikan kesan buruk di hadapan Theo."Kau lihat Theo. Kalau bukan karena kemampuan musik dan mengajarnya yang luar biasa, sudah lama dia kuusir dari sekolah musikku," adu Rachel sambil mendengus. Theo tersenyum paksa.Sementara Sarah hanya diam, dia tidak mau bereaksi karena khawatir akan kembali bersikap buruk di hadapan Theo. Padahal hal seperti ini selalu terjadi di antara mereka, namun bagi orang yang tidak mengenal mereka Sarah pasti tampak kurang ajar.Sarah dan Rachel meninggalkan rumah Theo dengan keadaan kesal. Mereka bahkan masih terus berdebat di dalam perjalanan menuju ke Cantilena. Meski begitu mereka tidak pernah menyimpan dendam, setibanya di Cantilena mereka sudah menyelesaikan permasalahannya dan melupakan perdebatan mereka.Sedangkan Theo masih merasa terpukul dengan sikap Sarah. Theo merasa Sarah adalah wanita deng
"Tuan Theo, maaf saya masuk tanpa izin. Tadi Grace mengajak saya masuk untuk memperlihatkan hasil karyanya," jelas Sarah dengan gugup. Sementara Grace masih terus berbicara tanpa mempedulikan ayahnya dan Sarah.Theo tidak menjawab Sarah dan hanya berdiri menunggu Grace selesai berbicara. Sarah tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya mengikuti Theo berdiri diam sambil mendengarkan Grace."Bagus sekali Grace," puji Theo setelah Grace selesai menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan tata surya.Grace tidak memberi reaksi apapun, dia langsung pergi kembali ke kamarnya. Tinggallah Sarah dan Theo di dalam ruang kerja Theo."Sepertinya tugas Nona Sarah di rumah ini sudah selesai. Mari saya antarkan sampai ke pintu," ujar Theo sopan namun dingin."Maaf boleh saya menanyakan sesuatu tuan?" tahan Sarah pada saat Theo baru akan melangkah keluar dari ruang kerjanya."Ada apa?" Theo berbalik menghadap Sarah. Dia bisa mengirup aroma lembut vanila dari rambut Sarah."Apakah tuan berencana membe