Amel mengangguk, tidak bisa menahan diri untuk mengeluh tentang perilaku menjijikkan manajer toko itu.Dimas tersenyum, lalu berujar, "Baiklah, aku akan mengantarmu ke toko untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Aku juga sudah menghubungi toko temanku. Kita akan pergi melihatnya nanti, oke?""Oke!" Amel memberi isyarat oke dan segera membersihkan meja setelah makan.Sekitar setengah jam kemudian, Amel mengganti pakaian, merias wajahnya dengan riasan tipis, lalu pergi bersama Dimas.Memanfaatkan waktu kosong ini, Dimas menelepon sepupunya, Yunita."Kak Dimas, apa matahari terbit dari barat hari ini? Ada urusan apa sampai kamu meneleponku secara pribadi?" tanya Yunita dengan sedikit nada kagum.Nada suara Dimas tidak lagi selembut saat dia berbicara dengan istri kecilnya. Dia sudah kembali ke sikap dinginnya yang biasa saat berkata, "Pilihkan dua set produk perawatan kulit yang belum pernah kamu buka, lalu berikan pada kakak iparmu."Setelah jeda, pria itu menambahkan, "Aku mau yang t
"Besar sekali tempat ini." Amel menghela napas dengan penuh emosi dan tatapan iri. Peralatan di sini sangat lengkap. Selain itu, karena dulunya tempat ini adalah sebuah toko kue, ruangannya hampir sempurna, seakan dibuat khusus untuknya.Terlebih lagi, tempat ini cukup besar, cocok untuk melayani makan di tempat ataupun pesan antar. Lingkungannya juga bagus. Ruangan di sini didominasi warna putih, dengan lampu kristal emas muda yang saling melengkapi, membuat toko makanan penutup ini menjadi elegan.Amel tampak puas. Hal ini membuat hati Dimas merasa bahagia.Pria itu meletakkan tangannya di bahu Amel, menunjuk ke seluruh aula sembari berkata, "Hm, sisi kanan adalah ruang makan yang lebih cocok untuk pekerja kantoran dan pelajar, sementara sisi kiri adalah area untuk balita. Ini cocok untuk ibu dan bayi. Tapi menurutku, perlu ada area untuk ruang menyusui yang nyaman. Bagaimana menurutmu?"Amel tak dapat menyembunyikan kebahagiaan dalam matanya saat mendengar ini. Dia menatap Dimas den
Setelah memikirkannya, Amel tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tiga jari."Enam juta? Bagaimana kalau enam juta?"Dia berkedip ke arah Dimas, lalu berkata dengan tatapan polos, "Aku tahu ini toko temanmu, tapi kita nggak bisa selalu berpikir untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Toko seperti ini harga sewanya sekitar 8 juta sebulan. Aku sudah menghitungnya, jumlah maksimum yang bisa aku bayarkan untuk sewa saat ini adalah 6 juta. Tapi kita bisa menyewanya dengan sistem tahunan dan membayar deposit sebesar 20 juta terlebih dulu, lalu membayar sisa biaya sewanya setiap bulan. Selain itu, kita bisa memberi temanmu produk gratis juga. Bagaimana? Apakah menurutmu ini bagus?"Dimas mengangkat alisnya. Gadis kecil itu tidak hanya memiliki prinsip, tapi juga pandai berbisnis.Sambil menjaga harga sewa tetap rendah, dia juga menunjukkan ketulusan yang dalam, dipadukan dengan sedikit sentuhan kemanusiaan."Begini saja, bagaimana kalau kamu memberiku nomor telepon temanmu? Biar aku y
Jari-jari Dimas yang memegang ponsel sedikit menegang. Dia bertanya dengan suara yang dalam, "Amel, kenapa kita nggak menyewanya seharga 3 juta saja? Temanku juga melihat nggak mudah bagiku untuk memulai bisnis, jadi dia ingin membantuku."Cukup sulit bagi Dimas untuk berbohong dengan serius.Namun, Amel menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan tegas, "Nggak bisa. Kalau begini, kamu akan berutang budi yang besar pada temanmu. Segala sesuatu di dunia ini mudah untuk dibicarakan, tapi sulit untuk membayar utang budi. Biarkan aku yang bicara dengannya. Kalau dia nggak setuju, kita bisa menyewa toko lainnya."Dimas mengerutkan kening sambil bertanya, "Apa toko ini nggak bagus?""Bukannya nggak bagus, malah bagus sekali. Kalau aku hanya membayar uang sewa 3 juta, aku akan merasa nggak nyaman. Kalau hatiku nggak nyaman, pekerjaan ini nggak akan menarik lagi."Ah, sungguh sulit untuk melawan wanita ini.Terkadang terlalu memiliki prinsip, membuat Dimas jadi sangat pusing.Namun, justru ka
Entah kenapa, Amel merasakan perasaan hangat di hatinya saat mendengar jawaban pria itu.Amel tampaknya sangat mudah terpesona akhir-akhir ini.Kilat rasa malu yang muncul di matanya tentu saja tidak luput dari pandangan Dimas.Wanita itu makin peduli pada dirinya. Tanda ini jelas adalah hal yang bagus.Keduanya punya pemikiran masing-masing. Saat mereka berbincang, ponsel Amel tiba-tiba berdering.Telepon itu berasal dari sahabat Amel, Lidya.Ketika Amel menjawab telepon, dia mendengar suara Lidya yang memekakkan telinga, "Temanku! Kesayanganku! Kenapa kamu mengundurkan diri? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak langsung memberitahuku? Huhuhu, apa kamu sudah nggak menganggapku sahabatmu? Terjadi hal sebesar ini, tapi kamu nggak memberitahuku!""Aku .... Bukannya aku nggak mau memberitahumu. Aku baru saja mengundurkan diri, masih nggak tahu harus berkata apa. Bagaimana kamu tahu kalau aku mengundurkan diri? Tentu saja kita masih bersahabat. Aku hanya mencoba untuk mencari waktu yang tep
Melihat kekhawatiran Amel, Dimas kurang lebih bisa menebak alasannya. Dia mengusap kepala Amel sambil berkata, "Jangan khawatir. Kalau orang tuamu bertanya, kamu bisa menyerahkan semua tanggung jawab padaku."Amel melirik Dimas. Dia merasa khawatir sekaligus geli.Apa pria ini tidak takut orang tuanya akan menyalahkannya?"Lidah Ibuku cukup tajam. Kemarin kita berjanji pada mereka untuk membeli rumah. Kalau aku menyerahkan tanggung jawab tentang masalah mengundurkan diri ini padamu, apa kamu nggak takut orang tuaku akan menyalahkanmu?"Dimas menggelengkan kepala saat menjawab, "Ayah dan Ibu adalah orang yang bijaksana. Selain itu, menurutku nggak ada salahnya kamu mewujudkan impianmu. Anak muda harus berusaha mewujudkan mimpi mereka."Yang terpenting, Dimas punya kemampuan dan sumber daya finansial. Dia bisa melepas identitas sementara ini jika diperlukan.Dengan kata-kata Dimas, Amel seakan memiliki keberanian di dalam hatinya. Dia tersenyum, lalu berkata, "Nggak apa-apa. Aku sudah be
Terlebih lagi, wajah Dimas yang tanpa ekspresi terlihat sedikit menakutkan. Dia buru-buru berkata, "Sejak kapan kalian sampai? Kenapa nggak mengatakan apa-apa? Ayo duduk dulu.""Kami sudah mendengarnya sejak beberapa saat yang lalu."Amel juga terlihat tidak senang. Meski dia tahu Bibi Mirna melakukan semua ini demi kebaikannya sendiri dan mempertimbangkan masalah dari sudut pandangnya, apa yang wanita itu katakan benar-benar membuat orang tidak senang.Lili buru-buru menjelaskan, "Aku dan Bibi Mirna hanya mengobrol santai, jangan dianggap serius.""Bagus kalau sudah datang."Mirna meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan keras, lalu berkata dengan serius, "Amel, Bibi bukan bermaksud mengkritikmu. Kamu masih muda, ini adalah waktu di mana kamu seharusnya bekerja keras dan membuat kemajuan. Hanya ketika seorang wanita punya uang, dia baru bisa memiliki kepercayaan diri! Dengan pendapatan 10 sampai 12 juta per bulan, setidaknya kamu nggak perlu minta uang pada orang lain!"Dia menun
"Apa katamu?" Mirna tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Menurutnya, saat ini Amel hanya sedang berdalih untuk membenarkan tindakannya."Kamu sedang cari mati? Baru berapa lama kamu bekerja? Berapa banyak tabunganmu? Kamu tahu nggak, berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk memulai usaha? Benar-benar naif!"Melihat hal tersebut, Lili sendiri juga tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan kening dan membujuk putrinya, "Ya benar, Amel. Kata-kata Bibi Mirna memang kasar, tapi itu nggak salah. Membuka toko nggak semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu banyak hal yang harus dilakukan. Kamu bilang punya modal. Selama bertahun-tahun ini, apa kamu pikir Ibu nggak tahu berapa banyak uang yang sudah kamu hasilkan? Kamu mana punya modal untuk membuka toko, kecuali kamu menang lotre."Amel memang memenangkan hadiah, tetapi bukan hadiah lotre."Aku ...." Amel tidak bisa berkata-kata."Modal awal untuk membuka toko berasal dari tabungan kami berdua. Meski nggak banyak, tetap sudah