"Nanti aku akan menyuruhnya untuk meneleponmu kembali begitu dia keluar, ya?""Ya, tentu saja."Irfan langsung mematikan teleponnya, dia panik sampai berkeringat dingin.Setelah telepon dimatikan, Dimas keluar dengan mengenakan jubah mandi dengan rambut yang masih agak basah. Tubuhnya yang tinggi dengan sedikit hawa panas membuatnya tampak sangat santai.Dimas selalu tidur malam, sedangkan Amel sangat suka tidur. Jadi, biasanya Amel sudah tertidur lelap ketika Dimas selesai mandi.Mungkin seperti inilah tampak orang tampan setelah mandi.Amel melihat Dimas dengan agak terpesona."Siapa yang menelepon?"Dimas sangat senang melihat Amel menatapnya seperti itu, sebelum terkejut begitu melihat ponsel yang berada di tangan Amel.Ponsel itu adalah ponselnya.Amel agak panik karena memang tidak terlalu baik untuk menerima panggilan orang lain, jadi dia pun meminta maaf, "Oh, itu, Pak Irfan meneleponmu, tadi kamu nggak dengar waktu aku panggil, tapi aku takut dia ada urusan mendesak, jadi aku
Dimas adalah orang yang mudah terbangun. Karena pergerakan Amel agak heboh, dia pun langsung terbangun.Ketika mereka saling bertatapan, Amel merasa sangat malu sehingga wajahnya memerah.Apanya yang tidur dengan diam!"Kenapa?" tanya Dimas yang kebingungan sambil mengernyit. Wajah Amel merah sekali, apakah dia sakit?Dimas mengulurkan tangan untuk memegang dahi Amel, Amel pun menghindar dengan refleks.Dimas terkejut dan tatapannya menjadi muram. Dia tampak sangat kasihan seperti anjing yang terluka."Aku ... aku membangunkanmu, maaf." Amel menelan ludah karena agak gugup."Nggak perlu minta maaf, tidurku sudah cukup." Dimas tersenyum, lalu bangun untuk memakai pakaian.Dimas adalah tipe pria yang tampak kurus, tapi sebenarnya memiliki otot. Proporsi tubuhnya yang sempurna dan perut berototnya benar-benar luar biasa.Amel belum pernah melihat Dimas berganti pakaian. Awalnya dia merasa agak canggung, tapi kalau dipikir, tidak ada salahnya juga Dimas melakukan itu. Dia yang sudah terlal
"Terima kasih."Amel menyeka wajahnya dan mengucapkan terima kasih dengan tidak jelas.Setelah mencuci wajah, Amel tampak jauh lebih segar. Kulitnya yang memang putih tampak menjadi lebih cerah.Amel menatap Dimas yang sedang tersenyum dengan kebingungan, "Kamu juga belajar untuk pakai, bagus untuk kulit."Sambil bicara, Amel memegang wajah Dimas. Setelah memegang kulit wajah Dimas yang semulus telur yang sudah dikupas kulitnya, Amel merasa sangat terkejut, "Wajahmu sama sekali nggak berminyak, kulitmu benar-benar bagus sekali, irinya."Amel mengerutkan bibirnya dan menatap Dimas dengan heran, "Kamu juga nggak tampak seperti tokoh pria muda di televisi, kenapa kulitmu bisa semulus itu? Apakah kamu diam-diam melakukan perawatan?"Sudut bibir Dimas berkedut, bagaimana kalau dia bilang ini bawaan dari lahir?Dulu, Dimas akan pergi ke tempat perawatan setiap minggu untuk merilekskan diri. Dia sangat rajin dan makanan yang dimakannya juga tidak kuat rasanya, mungkin saja karena itu?"Nggak,
Amel sangat sabar. Saat memasak mi, dia mengajari Dimas cara memasak mi yang enak. Dia bahkan mengajari Dimas cara membuat telur mata sapi.Kali ini adalah pertama kalinya Dimas memasak telur mata sapi sendiri seumur hidupnya. Perasaan ini sungguh aneh baginya. Meski rasa masakannya biasa saja, Amel tetap memujinya. Wanita itu mengatakan bahwa kemampuannya dalam memasak sangat baik. Amel juga mengatakan bahwa saat pertama kali dia memasak, dia menghancurkan beberapa butir telur. Lili juga mengatakan bahwa dia membuang-buang makanan."Ibuku juga bilang kalau aku nggak bisa masak, nggak akan ada laki-laki yang menginginkanku di masa depan. Hahaha. Siapa sangka sekarang aku nggak hanya bisa memasak, tapi juga menjadi seorang koki makanan penutup profesional!" kata Amel sambil tersenyum dengan bangga. Dia mengedipkan mata pada Dimas sebelum melanjutkan, "Aku juga sudah punya suami sekarang. Kata-kata Ibuku semuanya salah."Melihat wanita itu berbicara tentang masa lalunya dengan begitu gem
Amel mengangguk, tidak bisa menahan diri untuk mengeluh tentang perilaku menjijikkan manajer toko itu.Dimas tersenyum, lalu berujar, "Baiklah, aku akan mengantarmu ke toko untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Aku juga sudah menghubungi toko temanku. Kita akan pergi melihatnya nanti, oke?""Oke!" Amel memberi isyarat oke dan segera membersihkan meja setelah makan.Sekitar setengah jam kemudian, Amel mengganti pakaian, merias wajahnya dengan riasan tipis, lalu pergi bersama Dimas.Memanfaatkan waktu kosong ini, Dimas menelepon sepupunya, Yunita."Kak Dimas, apa matahari terbit dari barat hari ini? Ada urusan apa sampai kamu meneleponku secara pribadi?" tanya Yunita dengan sedikit nada kagum.Nada suara Dimas tidak lagi selembut saat dia berbicara dengan istri kecilnya. Dia sudah kembali ke sikap dinginnya yang biasa saat berkata, "Pilihkan dua set produk perawatan kulit yang belum pernah kamu buka, lalu berikan pada kakak iparmu."Setelah jeda, pria itu menambahkan, "Aku mau yang t
"Besar sekali tempat ini." Amel menghela napas dengan penuh emosi dan tatapan iri. Peralatan di sini sangat lengkap. Selain itu, karena dulunya tempat ini adalah sebuah toko kue, ruangannya hampir sempurna, seakan dibuat khusus untuknya.Terlebih lagi, tempat ini cukup besar, cocok untuk melayani makan di tempat ataupun pesan antar. Lingkungannya juga bagus. Ruangan di sini didominasi warna putih, dengan lampu kristal emas muda yang saling melengkapi, membuat toko makanan penutup ini menjadi elegan.Amel tampak puas. Hal ini membuat hati Dimas merasa bahagia.Pria itu meletakkan tangannya di bahu Amel, menunjuk ke seluruh aula sembari berkata, "Hm, sisi kanan adalah ruang makan yang lebih cocok untuk pekerja kantoran dan pelajar, sementara sisi kiri adalah area untuk balita. Ini cocok untuk ibu dan bayi. Tapi menurutku, perlu ada area untuk ruang menyusui yang nyaman. Bagaimana menurutmu?"Amel tak dapat menyembunyikan kebahagiaan dalam matanya saat mendengar ini. Dia menatap Dimas den
Setelah memikirkannya, Amel tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tiga jari."Enam juta? Bagaimana kalau enam juta?"Dia berkedip ke arah Dimas, lalu berkata dengan tatapan polos, "Aku tahu ini toko temanmu, tapi kita nggak bisa selalu berpikir untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Toko seperti ini harga sewanya sekitar 8 juta sebulan. Aku sudah menghitungnya, jumlah maksimum yang bisa aku bayarkan untuk sewa saat ini adalah 6 juta. Tapi kita bisa menyewanya dengan sistem tahunan dan membayar deposit sebesar 20 juta terlebih dulu, lalu membayar sisa biaya sewanya setiap bulan. Selain itu, kita bisa memberi temanmu produk gratis juga. Bagaimana? Apakah menurutmu ini bagus?"Dimas mengangkat alisnya. Gadis kecil itu tidak hanya memiliki prinsip, tapi juga pandai berbisnis.Sambil menjaga harga sewa tetap rendah, dia juga menunjukkan ketulusan yang dalam, dipadukan dengan sedikit sentuhan kemanusiaan."Begini saja, bagaimana kalau kamu memberiku nomor telepon temanmu? Biar aku y
Jari-jari Dimas yang memegang ponsel sedikit menegang. Dia bertanya dengan suara yang dalam, "Amel, kenapa kita nggak menyewanya seharga 3 juta saja? Temanku juga melihat nggak mudah bagiku untuk memulai bisnis, jadi dia ingin membantuku."Cukup sulit bagi Dimas untuk berbohong dengan serius.Namun, Amel menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan tegas, "Nggak bisa. Kalau begini, kamu akan berutang budi yang besar pada temanmu. Segala sesuatu di dunia ini mudah untuk dibicarakan, tapi sulit untuk membayar utang budi. Biarkan aku yang bicara dengannya. Kalau dia nggak setuju, kita bisa menyewa toko lainnya."Dimas mengerutkan kening sambil bertanya, "Apa toko ini nggak bagus?""Bukannya nggak bagus, malah bagus sekali. Kalau aku hanya membayar uang sewa 3 juta, aku akan merasa nggak nyaman. Kalau hatiku nggak nyaman, pekerjaan ini nggak akan menarik lagi."Ah, sungguh sulit untuk melawan wanita ini.Terkadang terlalu memiliki prinsip, membuat Dimas jadi sangat pusing.Namun, justru ka