Lidya masuk ke dalam toko dan makan dua gigitan kue dengan enggan, lalu bergegas pergi ke tempat yang sesuai dengan alamat yang dikirimkan Mirna."Kak, Ibu memintaku membawakan ini untukmu," kata Andi yang tiba-tiba datang membawa termos makanan tidak lama setelah Lidya pergi."Andi, Ibu menyuruhmu membawakan apa untukku?""Ini ada iga rebus, daging rebus dan sup ayam tulang hitam yang Ibu masak siang ini. Ibu membawakan setiap porsi untukmu, cepat makanlah. Sup ayam tulang hitam ini dimasak oleh Nenek sepanjang pagi, rasanya enak sekali," sambung Andi sambil meletakkan termos makanan itu di atas meja."Benarkah? Kebetulan siang ini aku nggak makan banyak. Aku ingin mencicipi makanan yang enak-enak. Clara, ayo kemari, kita makan bersama," tawar Amel sambil memanggil Clara yang sedang membersihkan rak."Kak Amel, nggak perlu. Aku sudah makan siang," tolak Clara dengan sopan seraya tersenyum."Nggak masalah kalau kamu sudah makan, coba sedikit saja. Masakan ibu dan nenekku sangat lezat.
Mereka berdua sama-sama terdiam. Keduanya dipaksa oleh keluarga mereka untuk kencan buta. Oleh karena itu, suasananya agak canggung.Lidya tidak tahan lagi. Dia angkat bicara duluan untuk memecah keheningan. "Sejujurnya, aku datang kemari untuk berkencan denganmu benar-benar karena dipaksa oleh ibuku. Kalau aku nggak mau datang, ibuku nggak mau menganggapku sebagai anak lagi. Aku rasa, kamu datang kemari juga bukan atas kemauanmu sendiri, 'kan?"Pria itu tertawa pelan mendengar kejujuran Lidya dan kemudian menggelengkan kepalanya."Kita berdua senasib. Lagi pula, aku masih muda dan belum ingin menikah. Menurutku, sebaiknya begini saja. Saat kita kembali nanti, kita beri tahu keluarga masing-masing kalau kita nggak saling menyukai. Dengan begitu, kita nggak perlu tersiksa lagi. Bagaimana menurutmu?" tanya Lidya sambil mengangkat alisnya. Dia merasa ide yang diusulkannya tersebut cukup bagus.Bima menatap Lidya dan merasa ragu-ragu selama sesaat. "Sebenarnya, aku rasa usulmu itu nggak te
"Kamu pergi kencan buta?" Begitu telepon terhubung, terdengar suara tanya Andi yang penuh amarah dari ujung telepon."Andi, jangan marah dulu. Mari kita bertemu dan bicara." Lidya menyadari kesalahannya. Dia pun melembutkan nada bicaranya."Sekarang kamu ada di mana? Beritahukan lokasinya padaku. Aku akan segera menjemputmu." Nada suara Andi terdengar acuh tak acuh."Oke, aku akan kirimkan lokasinya padamu." Setelah menutup telepon, Lidya langsung mengirimkan lokasi tempatnya berada pada Andi.Tak lama kemudian, Andi pun tiba di tempat tersebut. Begitu masuk ke dalam mobil, Lidya melihat wajah Andi tampak kesal. Dia pun merendahkan sikapnya dan memeluk lengan Andi. "Apa kamu cemburu?""Nggak," jawab Andi dengan dingin."Ayolah, jangan keras kepala seperti itu. Aku tahu kamu cemburu. Jangan marah, ya, Andi? Aku juga terpaksa ke sini. Kamu juga tahu sendiri kalau ibuku terus memaksaku untuk pergi kencan buta. Kalau aku nggak mau pergi, dia pasti akan terus mengomel." Nada bicara Lidya te
"Kegiatan isi saldo dimulai besok dan berakhir tanggal 20 bulan depan.""Oke." Keduanya langsung sepakat untuk mengadakan kegiatan tersebut."Kak Amel, hari ini aku harus pulang lebih awal. Nenekku nggak enak badan. Aku ingin membawanya ke puskesmas untuk membeli obat.""Kesehatan orang tua itu penting. Cepatlah pergi. Kalau kamu kekurangan uang, katakan padaku sebelumnya. Aku bisa memberikan gajimu lebih awal." Amel langsung menyetujuinya. Dia bisa dianggap sebagai bos yang sangat sempurna."Kak Amel, aku punya cukup uang. Jadi, nggak perlu membayarkan gajiku lebih awal. Kalau begitu, aku pulang dulu." Clara langsung membereskan barang-barangnya dan buru-buru pergi.Amel duduk di meja kasir dan menjaga toko sendirian. Melihat langit di luar makin gelap, Amel memperkirakan jika Dimas seharusnya sudah selesai bekerja. Dia pun menelepon Dimas."Malam ini kamu nggak perlu menjemputku dari tempat kerja. Kamu bisa pulang dan makan sendiri. Aku harus menjaga toko sebentar malam ini.""Di man
Ketika mereka berdua baru saja duduk dan bersiap untuk makan, seorang wanita yang mengenakan seragam petugas kebersihan masuk ke dalam toko sambil membawa seorang anak laki-laki.Begitu masuk, anak laki-laki itu langsung berlari menuju etalase kue. Matanya berbinar saat melihat kue-kue di dalamnya. "Wow, kue-kue ini sangat cantik. Coba lihatlah ini, Bu."Anak laki-laki itu terlihat begitu antusias dan gembira.Wanita itu tersenyum penuh kasih sayang. Kemudian, dia mencuri pandang untuk meminta maaf pada Dimas dan Amel."Maaf, apa tokonya masih buka?" tanya wanita itu dengan takut-takut."Masih buka. Kalian mau beli apa?" Amel buru-buru berdiri untuk melayani pelanggan."Hari ini adalah hari ulang tahun anakku. Aku ingin membelikannya kue ulang tahun." Senyum di wajah wanita itu makin mengembang saat membicarakan putranya."Kue-kue di atas ini lebih cocok untuk anak-anak. Ini juga kue-kue yang paling laris di toko kami." Amel menunjukkan deretan kue di atas etalase sambil menjelaskannya
Suasana di luar agak canggung, jadi Dimas berinisiatif memulai percakapan, "Kak, apakah kamu pekerja kebersihan di sini?""Ya, aku bertanggung jawab atas jalan ini dan jalan sebelah," jawab wanita itu dengan tenang. Dia tidak merasa bahwa pekerjaan sebagai petugas kebersihan yang menyapu jalanan adalah suatu hal yang memalukan."Pasti pekerjaan ini melelahkan.""Nggak juga. Penghasilan satu bulan cukup untuk kami berdua.""Nak, berapa umurmu tahun ini?" tanya Dimas."Umurku 8 tahun," jawab anak kecil itu dengan patuh."Anak ini benar-benar pengertian," puji Dimas."Ya, anakku memang sangat pengertian sejak kecil. Dia nggak pernah merasa malu karena ibunya hanya seorang penyapu jalanan. Anak ini juga kasihan. Setiap pulang sekolah, dia menghampiriku, lalu membersihkan jalanan bersamaku. Dia belum pernah merayakan ulang tahun sebelumnya. Tapi tahun ini, setelah masuk sekolah, satu-satunya harapannya adalah dapat merayakan ulang tahunnya," kata wanita itu dengan nada tidak berdaya. Meskip
"Kakak, tolong tunggu sebentar. Kamu bisa membawa semua ini." Amel mengambil beberapa kue dan biskuit yang tahan lama untuk disimpan, lalu menyerahkannya pada mereka."Nggak, nggak. Kalian juga membuka toko untuk berbisnis. Bagaimana bisa kalian melakukan bisnis yang merugikan?""Kak, ambil saja. Kalau kue-kue ini nggak terjual dalam waktu semalam, semuanya juga akan tetap dibuang. Cepat ambil saja." Amel bersikeras berkali-kali sebelum mereka mau menerimanya."Terima kasih banyak, Nona."Setelah melihat mereka pergi, Amel masih menunjukkan senyuman di wajahnya."Apakah kamu begitu bahagia setelah melakukan bisnis yang merugikan?" canda Dimas."Tentu saja. Selama adik kecil itu bisa merayakan ulang tahun yang bahagia dan tak terlupakan, nggak masalah meski aku rugi. Harus aku katakan, Kakak itu sungguh luar biasa. Dia sanggup membesarkan seorang anak sendirian," kata Amel dengan kagum."Ya, beberapa orang memang harus berusaha sekuat tenaga hanya untuk tetap hidup. Baiklah, burgernya m
Meskipun Andi lebih muda dari Lidya, dia memiliki temperamen yang baik. Dia juga sangat pandai dalam menjaga orang lain. Saat bertengkar, Andi selalu menjadi orang yang menundukkan kepala untuk mengakui kesalahannya. Hari ini adalah pertama kalinya Andi kehilangan kesabaran. Bahkan Lidya pun dibuat terkejut olehnya."Aku melakukan semua ini untuk kita berdua. Kenapa kamu semarah itu?" Setelah Lidya tersadar, dia berteriak sedih pada sosok Andi yang menjauh.Alasan mengapa dia memiliki pemikiran seperti itu sepenuhnya karena memikirkan hubungan mereka berdua. Namun, Andi tidak memahaminya sama sekali.Di sisi lain, Dimas memarkir mobil dengan mantap di depan rumah mereka. Amel yang tertidur nyenyak, segera bangun setelah mobilnya diparkir."Bagaimana bisa aku tertidur?" Amel menggosok matanya yang mengantuk, lalu meregangkan tubuh."Mungkin kamu terlalu lelah akhir-akhir ini. Ayo turun. Aku akan menyiapkan air untukmu nanti, lalu kamu bisa mandi sambil bersantai." Setelah Dimas keluar d