Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Gavin. Tatapannya beralih dari Shanka kepada pria yang mesih menunggu jawabannya.“Bunda, Om ini siapa?” tanya Shanka sambil menatap Gavin penuh tanya.Aneska memilih tidak menjawab pertanyaan sang anak. Dia justru menjajarkan tinggi tubuhnya agar setara dengan sang anak sambil menatap matanya lekat.“Shanka main dulu sama Mama Maisa, ya? Bunda mau bicara sebentar sama Om ini.”“Hai, Ganteng. Boleh Om tahu siapa namanya?” tanya Gavin sambil membungkuk di depan Shanka, mengabaikan tatapan tidak suka Aneska, dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan nama Om adalah Gavin.”Shanka mengerjap pelan melihat Gavin yang tersenyum ramah di depannya. Dia menoleh kepada sang ibu seperti meminta persetujuan untuk berkenalan. Setelah melihat anggukan Aneska, bocah lelaki itu menyambut uluran tangan Gavin dengan senyum tak kalah manis.“Namaku Shanka, Om. Alsaki Shankara S ....”“Shanka, sudah dulu, ya? Seka
Gavin bergegas turun dari mobil begitu sampai di depan toko kue milik Maisa. Dia mempercepat langkahnya menuju kamar yang tadi ditempati Aneska, tetapi nihil. Wanita itu sudah tidak ada di tempatnya.“Ada yang ketinggalan, Dok?” tanya Maisa begitu melihat Gavin berkacak pinggang sambil menyugar rambut di depan kamar.“Oh, di mana Anes? Saya ada perlu sama dia?”“Barusan pulang ke kos karena enggak enak badan. Memangnya ada perlu apa, Dok?”“Di mana tempat kosnya? Bisa antarkan saya?”Maisa mengangguk ragu mendengar permintaan Gavin. Namun, wanita itu bergegas berbalik dan berjalan keluar toko kue, kemudian berjalan ke kiri sejauh lima meter sebelum menyeberang dan memasuki gang kecil, kemudian berhenti di depan indekos dengan pagar hitam dan berlantai dua dengan cat berwarna biru.Usai membuka pintu, Maisa berjalan ke kamar paling ujung yang terletak di lantai satu sebelum mengetuk pintunya. Tak berselang lama, Shanka membuka pintu sambil menyunggingkan senyuman.“Mama? Ada per
Aneska melangkah mendekati brankar di mana Viona terbaring lemah tak sadarkan diri. Sekejap mata bayangan tentang sosok yang selalu ramah dan menyayanginya tak tampak lagi. wajah tua itu pucat dengan mata terpejam rapat. Ah, betapa sakitnya hati Aneska melihat wanita yang selalu membelanya di hadapan Elvano itu sedang tak berdaya.“Oma, ini Anes datang.” Aneska meraih tangan kanan Viona dan menggenggamnya erat. Dia bahkan mencium punggung tangan wanita itu dan mengusapkannya ke pipi. “Maafkan Anes, Oma. Maaf.”Tak terbendung lagi bulir bening yang coba ditahan Aneska sejak tadi. Air mata mengalir deras membasahi pipi putih wanita itu. Tubuh bergetar Aneska memancing haru seseorang yang menatapnya lekat dari balik pintu kaca. Manik mata biru itu tak mampu lagi menyembunyikan bahagia karena melihat kembali wanita yang sangat dirindunya.“Anes ....”“Kapan Mas datang?” tanya Gavin yang sejak tadi menatap dalam hening sambil menggendong Shanka.“Baru saja. Papi yang kasih tahu kalau
Gavin meraup wajah kasar begitu keluar dari ruang UGD setelah mengetahui kondisi Elvano. Sesak napas yang diderita pria itu akibat asam lambung parah membuatnya harus menggunakan masker oksigen untuk sementara waktu.Belum hilang rasa terkejut karena kondisi Elvano, Gavin kembali dikejutkan dengan tidak adanya Aneska dan Shanka di ruang tunggu. Dia celingukan dan bergegas mencari ibu dan anak itu hingga keluar rumah sakit.“Aaargh, sial!” umpat Gavin sambil menjambak rambut karena frustasi.Setelah tak menemukan apa yang dicari, dia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan menghubungi Aneska. Tersambung, tetapi wanita itu tak kunjung menjawabnya. Gavin makin dibuat frustasi sehingga memutuskan untuk berlari ke tempat parkir dan menaiki mobilnya. Namun, belum sempat keluar gerbang, sosok Aneska dan Shanka tampak keluar dari dalam gedung rumah sakit.Satu helaan napas panjang penuh kelegaan terdengar lolos dari mulutnya. Dia kembali turun dari mobil dan berlari menghampiri Ane
Aneska yang sudah menunggu di depan hotel segera masuk ke mobil begitu Gavin membunyikan klakson. Lalu, menatap penuh tanya pria yang duduk di balik kemudi, tetapi tak ada kata yang terucap hingga mobil yang dikemudikannya kembali melaju.Aneska berulang kali menghela napas panjang untuk mengusir sebah dalam dada usai mendengar kalimat yang diucapkan Gavin lewat telepon. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali bungkam sepanjang perjalanan hingga kendaraan roda empat itu berhenti di tempat parkir rumah sakit.Aneska mengekor Gavin sambil menggandeng Shanka menyusuri lorong rumah sakit yang panjang sampai tiba di persimpangan. Namun, dahi wanita itu berkerut ketika Gavin berbelok ke kanan, berbeda arah dengan kamar ICU yang seharusnya berbelok ke kiri. Lagi, Aneska hanya bungkam dan terus mengikuti Gavin sampai tiba di ruang VVIP.Begitu masuk, mata tua Viona langsung berbinar menatap Aneska. Dia merentangkan kedua tangan dengan senyum yang terkembang sempurna. Jangan tanya bag
Elvano bergeming di kursi samping kemudi sambil menengadah dan memejamkan mata. Sekejap mata bayangan tentang kejadian yang baru saja terjadi kembali berkelebat di kepala. Aneska terkejut melihat kedatangannya. Namun, belum sempat membuka mulut, wanita itu sudah lebih dulu menyeretnya keluar indekos. Lalu, kalimat peringatan yang dilontarkannya cukup membuat jantung Elvano bagai diremas kuat.“Jangan pernah muncul di hadapanku lagi, Bapak Elvano yang Terhormat. Kita hanyalah sebuah masa lalu, jadi jangan ganggu hidupku!”Sakit. Tentu saja sakit karena kata-kata yang pernah terlontar dari mulutnya dikembalikan oleh wanita yang selama ini dicarinya. Kepergiannya menyisakan luka, tetapi begitu bertemu tetap tak dapat direngkuh. Ya, semua sikap Aneska adalah karena kesalahannya di masa lalu yang tidak menganggap wanita itu ada dalam hidupnya.Elvano mengembuskan napas panjang dan meraup wajah kasar sebelum menoleh kepada Gavin yang sejak tadi bungkam duduk di balik kemudi.“Kedatangan
Shanka bergeming dengan tangan terkepal sambil menatap seorang bocah lelaki yang menangis kencang sambil menutupi mata dengan lengannya. Di pipi bocah itu tampak luka kemerahan dan sedikit bengkak.“Ada apa ini?” tanya wanita yang dipanggil Dita tadi. Dia mendekat dan langsung menarik lengan Shanka sebelum membawanya keluar kelas, sedangkan seorang guru lainnya berusaha menenangkan bocah yang menangis.Sementara itu, Elvano mengikuti Dita dan Shanka yang sedang menuju suatu ruangan. Dita langsung duduk sambil memegang kedua lengan Shanka.“Boleh Ibu tahu apa yang terjadi tadi, Shanka?” tanya Dita dengan nada suara yang lembut.Shanka membuang pandangan dan bungkam, sehingga membuat Dita menggeleng lemah sebelum menangkup dagunya. Wanita itu tersenyum tipis sambil mengusap lembut kepala anak didiknya.“Apa Doni menghinamu lagi, Shanka?”Lagi, bocah lelaki itu bergeming sambil menatap langit-langit ruangan. Sikapnya itu membuat Dita menghela napas panjang sebelum meraih Shanka dan
Elvano mengeluarkan ponsel dan menghubungi Gavin yang masih menunggu di mobil. Kemunculan dokter pria itu bersamaan dengan Maisa yang berlari dari arah dapur.“Apa yang terjadi dengan Anes? Siapa Anda? Anda apakah dia?” Pertanyaan beruntun yang dilontarkan Maisa tak digubris Elvano sama sekali. Pria itu terlalu fokus dengan Aneska yang masih belum sadarkan diri dalam pelukannya.Melihat itu, Gavin menghela napas panjang sebelum membuka mulut. “Bu Maisa, ini adalah Elvano. Kakak saya sekaligus ....”Gavin tak meneruskan ucapannya karena mendapat tatapan tajam Elvano. Dia memilih segera bungkam daripada harus menerima konsekuensi yang lebih berat dari sang kakak. Beruntungnya, Maisa tak mengindahkan dan segera memerintah Elvano untuk membawa Aneska ke kamar yang berada di sudut halaman belakang.Pria tegap dengan manik mata biru itu langsung membopong Aneska dan membawanya ke kamar dan membaringkannya. Lalu, menyuruh Gavin secepatnya memeriksa Aneska yang masih belum juga sadarkan