Dua jam perjalanan telah berlalu dan pesawat pun mendarat dengan selamat. Ardhan dan Nara turun dari pesawat tersebut dengan hati-hati. Keduanya berjalan berdampingan."Mas, kamu sudah kasih tahu Kakek?" tanya Nara. Karena sebelumnya Nara sempat mendengar bahwa Ardhan akan memberitahu Kakek Herlado saat sudah sampai bandara, sehingga Nara mengingatkan hal itu begitu dirinya menyadari bahwa Ardhan tak kunjung menghubungi Kakek Heraldo.Ardhan menoleh ke arah Nara. "Belum." Ardhan berhenti sejenak, ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel lalu menyodorkannya kepada Nara."Saya, Mas?" tanya Nara sembari menunjuk ke dirinya sendiri."Iya, memangnya siapa lagi?" balas Ardhan dengan santai.Ardhan melanjutkan langkah kakinya kembali, sedangkan Nara ... Ia sibuk sendiri dengan ponsel Ardhan yang ada di genggaman tangannya. Ia mencoba mencari nomor Kakek Heraldo dalam langkahnya.Sampai Nara tertinggal agak belakang, sekitar dua langkah dari sana. "Nanti kamu bilang saja sama Kakek k
Gerbang tinggi, besar dan kokoh itu terbuka lebar dengan sendirinya. Mobil pun memasuki halaman rumah, lalu menepi di dekat sebuah air mancur yang ada di halaman rumah tersebut.."Kita sudah sampai, Tuan," ucap Rico.Nara menoleh ke arah sekeliling rumah. Tetapi, melihat Ardhan yang masih berbaring di kursi panjang mobil tersebut membuatnya hanya diam. Ia tidak pergi ke mana-mana.Kakek Heraldo bangkit dari duduknya. Sebelum turun dari mobil limousine-nya, ia menoleh ke arah Ardhan dan Nara."Kalian tidak turun?" tanya Kakek Heraldo kepada keduanya.Nara menoleh dengan wajah agak terangkat. " Kakek duluan saja, nanti saya dan Mss Ardhan akan segera menyusul.Kakek Heraldo pun berjalan keluar dari mobil untuk memasuki rumah. "Kenapa kamu menunggu saya?" tanya Ardhan kepada Nara. Dirinya terus menahan perutnya yang masih terasa agak perih."Karena kamu suami saya. Saya harus melayanimu dengan baik. Lagi pula, saya tidak ingin memasuki rumah itu sendiri tanpa pemiliknya."Ardhan merasa
"Tuan, ini kopernya!" ujar Rico.Ardhan pun memberi jalan. "Kamu taruh saja di sana!" Begitulah pesannya.Rico pun buru-buru menaruh koper itu di dalam kamar dekat ranjang. Setelah itu, ia pun berpamitan pergi dari sana."Kalau begitu, saya permisi," ucap Rico."Iya. Jangan lupa makan. Sepertinya kamu bekerja terlalu banyak!" ungkap Ardhan kepada Rico yang merupakan orang kepercayaannya.Nara yang mendengar hal itu langsung tercengang karena Ardhan ternyata memang perhatian pada semua orang. "Ternyata dugaanku selama ini memang salah. Dia memang baik pada semua orang. Tidak mungkin dia memperlakukan aku dengan spesial, kalau dia saja tidak mencintai aku sama sekali," batin Nara.Tanpa disadarinya sendiri, rupanya Nara merasa kecewa terhadap sikap Ardhan yang ternyata memang baik pada semua orang. "Kenapa aku malah memikirkan hal itu? Ya, biarkan saja. Lebih bagus kalau dia memang peduli pada semua orang. Sudah seharusnya manusia saling peduli dan sudah seharusnya juga aku tidak berha
Hari telah berganti ...Pada kesekian kalinya, Ardhan dan Nara melewati malam dengan tidur bersama. Nara menyibak selimut, ia menoleh ke samping yang ternyata memang Ardhan. Ia mengingat kejadian semalam, yang mana selepas memijat Ardhan ia mengantuk dan tanpa sadar malah tertidur."Apapun yang terjadi, aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang istri saja. Tapi, aku tetap tidak boleh terciut dengan segala macam perlakuannya," batin Nara.Ia turun dari ranjang tempat tidurnya. Saat itu, Ardhan masih dalam keadaan tidur nyenyak."Sebaiknya aku mandi duluan karena hari ini sudah mulai ngantor lagi," gumam Nara sembari berjalan menuju kamar mandi. Ia menutup rapat kamar mandi tersebut.Selepas mandi, Nara berjalan keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian kantor yang biasanya ia kenakan. Untungnya, di rumah itu sudah tersedia berbagai macam pakaian yang ia perlukan. Saat itu, Nara mengenakan rok sepaha dengan atasan kemeja merah muda. Begitu keluar dari walk in closet, ia meliha
Nara dibuat bingung dengan kunci yang dilemparkan kepadanya. "Loh, Mas ... Kamu mau kita berangkat bareng?" tanya Nara. Namun, rupanya Nara salah mengira. Ia salah paham dengan maksud Ardhan memberikan kunci mobil kepadanya."Kamu pergi sendiri dengan mobil itu. Biar saya pakai mobil yang lain!" jelasnya."Tidak usah, Mas. Biar saya pesan ojek online saja," jawabnya.Tetapi, Ardhan tidak setuju dengan ide Nara."Ojek online itu bikin kamu kepanasan. Saya tidak mau kalau kulit kamu jadi rusak akibat polusi!"Saat itu, Ardhan tidak langsung pergi. Ia melirik ke arah totebag yang membuatnya penasaran. Tetapi, ia tidak bertanya dan kemudian melangkah pergi dari dapur. Nara melihat punggung Ardhan yang hampir tak terlihat lagi di dapur. Tangannya mengepal erat kunci mobil itu. "Apa yang aku lakukan? Jusnya belum aku masukkan ke dalam wadah."Ia pun bergegas memasukkan jus mangga susu yang dibuatnya itu ke dalam dua botol 250 ml. Setelah itu, ia pun memasukkan kedua botol itu ke dalam t
Nara berdiri sopan dengan kedua tangan di depan. "Mohon maaf, ada apa ya, Pak Ardhan?" tanya Nara.Seperti yang Ardhan inginkan, Nara bersikap sebagaimana dirinya memperlakukan atasan. Ia tidak bersikap sebagaimana istri terhadap suaminya. Jika dilihat sekilas, mereka tampak seperti orang asing."Tadi, wanita itu ... Ada yang kalian bersamanya?" tanya Ardhan sembari menatap kedua mata Nara. Tatapannya seolah tengah mengintai apa yang dipikirkan istrinya tersebut. Sebab, mata adalah jendela hati. Sehingga, Ardhan berpikir bahwa dirinya mungkin bisa mengetahui jawaban Nara, entah itu sedang berbohong atau jujur.Nara tersenyum. "Tidak ada sesuatu hal yang penting, Pak. Kami hanya bertegur sapa saja." Sengaja Nara menyembunyikan hal itu dari Ardhan, karena dirinya tidak mau jika hal ini malah menjadi boomerang baginya.Walaupun sebelumnya Nara sempat berpikir bahwa pemberian mobil dari Ardhan terlalu berlebihan, tetapi kini ia mulai menikmati kenyamanan itu. Dengan membawa kendaraan sen
"Itu tidak masalah."Meskipun begitu, Ardhan tetap menginginkan bubur tersebut."Kalau baru dibeli, pasti masih terpisah dan belum teraduk," batin Ardhan berpikir ulang."Mana buburnya. Saya mau itu, kamu makan yang ini saja!" Dengan santainya Ardhan mengatakan hal tersebut.Sejujurnya Nara sangat keberatan, tetapi ...."Mas, kenapa kamu tidak bilang mau bubur?" "Kamu sendiri yang tidak menawari saya itu!" pungkas Ardhan dengan kedua alis terangkat. "Benar. Harusnya tadi aku tawari saja yang aku mau beli," batin Nara tampak lemas."Ya sudah, kalau begitu Anda makan saja, tidak apa-apa. Biar saya beli lagi saya nanti," ungkap Nara sembari menyodorkan bubur ayam untuk sarapan paginya.Ardhan menerimanya dengan senang hati, saat itu ia tampak sangat puas karena sudah berhasil menukar makanan dengan milik Nara.Tok Tok Tok "Ini aku, Reyhan. Apa boleh masuk?" Ardhan dan Nara bersamaan menoleh ke arah pintu. "Ya, masuklah!" sahut Ardhan dari dalam ruangannya. Saat itu, Nara tengah berdi
Nara dan Reyhan sudah keluar dari lobi, tetapi Nara penasaran tujuan Reyhan menginginkan dirinya mengantar untuk bertemu kekasih Reyhan tersebut.Rasa penasaran yang melonjak itu menjadikan langkah kakinya seolah manja dan tidak mau meneruskan melangkah.Hal inilah yang membuat Nara berhenti berjalan. "Tunggu sebentar!" ujar Nara tiba-tiba.Reyhan pun berhenti. Ia menoleh dan berdiri di tempat."Tenang saja ... Aku sengaja mengajak kamu ke suatu tempat, supaya kamu bisa terbebas dari kekangan suami kamu."Tetapi, Nara tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Reyhan. Ia hanya mengatakan seperlunya saja, karena sadar bahwa kini dirinya masih ada di lingkungan kantor. Tidak bisa sembarang mengatakan sesuatu."Kamu mau pergi ke mana? Kita pakai mobil ini saja!" ujar Nara sembari memperlihatkan kunci mobilnya sendiri.Reyhan langsung melihat ke arah kunci mobil itu. "Kamu yakin tidak mau naik mobilku?" "Pakai mobilku saja!" "Memangnya kita akan pergi ke mana? Katakan dengan jelas!" Na
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-