Nara berdiri sopan dengan kedua tangan di depan. "Mohon maaf, ada apa ya, Pak Ardhan?" tanya Nara.Seperti yang Ardhan inginkan, Nara bersikap sebagaimana dirinya memperlakukan atasan. Ia tidak bersikap sebagaimana istri terhadap suaminya. Jika dilihat sekilas, mereka tampak seperti orang asing."Tadi, wanita itu ... Ada yang kalian bersamanya?" tanya Ardhan sembari menatap kedua mata Nara. Tatapannya seolah tengah mengintai apa yang dipikirkan istrinya tersebut. Sebab, mata adalah jendela hati. Sehingga, Ardhan berpikir bahwa dirinya mungkin bisa mengetahui jawaban Nara, entah itu sedang berbohong atau jujur.Nara tersenyum. "Tidak ada sesuatu hal yang penting, Pak. Kami hanya bertegur sapa saja." Sengaja Nara menyembunyikan hal itu dari Ardhan, karena dirinya tidak mau jika hal ini malah menjadi boomerang baginya.Walaupun sebelumnya Nara sempat berpikir bahwa pemberian mobil dari Ardhan terlalu berlebihan, tetapi kini ia mulai menikmati kenyamanan itu. Dengan membawa kendaraan sen
"Itu tidak masalah."Meskipun begitu, Ardhan tetap menginginkan bubur tersebut."Kalau baru dibeli, pasti masih terpisah dan belum teraduk," batin Ardhan berpikir ulang."Mana buburnya. Saya mau itu, kamu makan yang ini saja!" Dengan santainya Ardhan mengatakan hal tersebut.Sejujurnya Nara sangat keberatan, tetapi ...."Mas, kenapa kamu tidak bilang mau bubur?" "Kamu sendiri yang tidak menawari saya itu!" pungkas Ardhan dengan kedua alis terangkat. "Benar. Harusnya tadi aku tawari saja yang aku mau beli," batin Nara tampak lemas."Ya sudah, kalau begitu Anda makan saja, tidak apa-apa. Biar saya beli lagi saya nanti," ungkap Nara sembari menyodorkan bubur ayam untuk sarapan paginya.Ardhan menerimanya dengan senang hati, saat itu ia tampak sangat puas karena sudah berhasil menukar makanan dengan milik Nara.Tok Tok Tok "Ini aku, Reyhan. Apa boleh masuk?" Ardhan dan Nara bersamaan menoleh ke arah pintu. "Ya, masuklah!" sahut Ardhan dari dalam ruangannya. Saat itu, Nara tengah berdi
Nara dan Reyhan sudah keluar dari lobi, tetapi Nara penasaran tujuan Reyhan menginginkan dirinya mengantar untuk bertemu kekasih Reyhan tersebut.Rasa penasaran yang melonjak itu menjadikan langkah kakinya seolah manja dan tidak mau meneruskan melangkah.Hal inilah yang membuat Nara berhenti berjalan. "Tunggu sebentar!" ujar Nara tiba-tiba.Reyhan pun berhenti. Ia menoleh dan berdiri di tempat."Tenang saja ... Aku sengaja mengajak kamu ke suatu tempat, supaya kamu bisa terbebas dari kekangan suami kamu."Tetapi, Nara tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Reyhan. Ia hanya mengatakan seperlunya saja, karena sadar bahwa kini dirinya masih ada di lingkungan kantor. Tidak bisa sembarang mengatakan sesuatu."Kamu mau pergi ke mana? Kita pakai mobil ini saja!" ujar Nara sembari memperlihatkan kunci mobilnya sendiri.Reyhan langsung melihat ke arah kunci mobil itu. "Kamu yakin tidak mau naik mobilku?" "Pakai mobilku saja!" "Memangnya kita akan pergi ke mana? Katakan dengan jelas!" Na
Di mana lokasinya? Kamu katakan saja, supaya aku bisa langsung ke tempatnya!" Reyhan menoleh ke arah Nara, matanya seolah tengah menyiratkan sesuatu. "Ke jalan. Melati dekat sebuah minimarket. Kita pergi ke sana," ujar Reyhan dengan nada santai.Nara pun langsung menambah kecepatan kemudinya. Tetapi, mobil mewah yang dibawa ini sangat menarik bagi Reyhan."Sepertinya aku mengenal mobil ini," ucap Reyhan."Ini mobil suamiku. Kenapa memangnya?" "Wah, enak sekali jadi suami kamu. Dia memiliki banyak sekali mobil, tapi di sisi lain tampaknya dia tidak pernah puas dengan itu." Reyhan kembali menoleh ke arah Nara. "Sekarang kamu pasti sudah sangat bahagia karena memiliki suami yang kaya. Kalau aku ajak kembali pun pasti sudah tidak mau," Reyhan berandai-andai.Nara yang mendengarnya langsung berkedip cepat. Ia kembali teringat kenangan akan masa lalu, tetapi dirinya mencoba sadar bahwa sesuatu yang sudah menjadi masa lalu tidak akan bisa kembali dan sama."Jangan bahas ke sana. Tujuan ki
"Gawat kalau dia pergi! Rencanaku bisa gagal!" batin Reyhan.Melihat Nara yang sudah bersiap untuk pergi. Sebelum hal itu terjadi, Reyhan pun segera menahannya."Kamu jangan dulu pergi ke mana-mana, Nara. Bukannya kamu sudah setuju untuk menemani aku."Namun, saat itu Nara hanya terdiam. Tak sekalipun ia memiliki keinginan untuk menyahut perkataan mantan kekasihnya tersebut."Jujur saja, aku tidak terlalu nyaman berada di sini, apalagi hanya berdua," batin Nara.Meskipun begitu, Nara berusaha menahan segala kekesalan yang tersimpan dalam benaknya tersebut. " ... Sambil menunggu, bagaimana kalau kita pesan makanan dulu? Kebetulan aku sudah sangat lapar sekali," ungkap Reyhan. Mencari-cari kesempatan dibalik perangkap yang telah dibuatnya tersebut.Nara yang ada di sana pun belum menyadari tentang apa yang dipikirkan Reyhan. Ia hanya berpikir bahwa mantan kekasihnya memang akan bertemu dengan seorang wanita. Walaupun ia sendiri belum membuktikan siapa orangnya.Dibalik wajahnya yang ter
Makanan sudah datang, tetapi Nara merasa bahwa wanita yang katanya kekasih Reyhan tak kunjung datang."Mana dia? Kenapa belum datang?" gumam Nara sembari terus melihat ke pintu.Reyhan yang mendengar gumaman Nara pun langsung menyahutnya. "Mungkin sebentar lagi."Nara berpikir bahwa Reyhan mungkin saja berbohong kepadanya, walau ia sendiri masih ragu. Ia berpikir bahwa tidak mungkin jika Reyhan masih menginginkan dirinya. "Aku harap dugaanku ini salah," batin Nara.Lantas, tanpa berlama-lama lagi, Nara pun langsung menyantap makanan yang ada di meja itu. Ia menyuap makanan ke mulutnya secara perlahan.Dari jarak agak jauh itu Rico terus memperhatikan. Ia tidak mau sampai kehilangan jejak mereka.Nara yang tampak kepanasan saat menyantap makanan itu membuatnya segera membantu. "Jangan buru-buru, sini aku bantu tiupkan buat kamu," ujar Reyhan berinisiatif. Tetapi, Nara langsung menolaknya. "Tidak usah. Ini tidak sepanas itu, kok. Lagi pula aku sedang banyak pekerjaan di kantor, aku
Nara pun bergegas untuk melakukan pekerjaan yang telah diperintahkan oleh Ardhan sebelumnya. Pada saat Nara tidak ada di ruangan itu, Ardhan sengaja berjalan-jalan untuk melihat para karyawan yang tengah bekerja. Ruangan yang awalnya ramai karena gosip yang melibatkan Nara itu, seketika menjadi sepi dan semuanya fokus bekerja saat suara langkah kaki Ardhan terdengar. Suara langkah kaki Ardhan ini memang sudah dikenali oleh mereka. Langkah santai Namun terdengar berat dan tegas. Mereka juga mencium aroma khas yang langsung menyebar di ruangan itu.Ardhan berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Dari jarak jauh ia memperhatikan Nara yang tengah memprint file yang akan digunakan untuk rapat nanti.Namun, karena Nara fokus bekerja, sehingga ia tidak menyadari hal itu. Hanya beberapa karyawan yang gemar menggosipkannya saja yang menyadari bahwa Ardhan datang ke ruangan itu bukan tanpa tujuan.Setelah selesai memprint, Nara pun segera keluar dari ruangan itu dengan mem
Krosaakkk! Terdengar suara dibalik semak dan pepohonan yang ada di dekat kantor. Ardhan menoleh, ia merasa seperti ada orang yang sedang mengawasinya."Ada apa? Apa ada sesuatu?" tanya Sarah saat melihat Ardhan yang hanya terdiam sembari memasang telinga untuk mendengarkan sekali lagi.Namun, saat Ardhan tengah mendengarkan dengan serius, suara itu tak lagi terdengar."Tidak ada, Ma. Ayo!"Ardhan menaiki mobilnya, diikuti dengan Sarah. Mereka duduk di depan. "Mama heran sama kamu. Kenapa kamu suka dengan wanita itu? Dan ... Kenapa juga dia masih harus bekerja di kantor ...? Mama tahu ini berlebihan, tapi ... Seharusnya dia itu di rumah saja kalau sudah menikah!" "Masih ada lagi unek-uneknya, Ma?" sahut Ardhan. Ia membelokkan mobilnya dan langsung tancap gas pergi dari kantor menuju tempat tujuannya."Belum. Mama masih belum menerima kalau kamu mendapat istri yang tidak layak seperti dia!"Walaupun Sarah mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya, tetapi Ardhan berpikir bahwa ini
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-