*Happy Reading*
Aneh!Itu yang aku pikirkan beberapa hari ini, perihal kiriman-kiriman yang datang dari Tita.Bukan apa-apa, aku hanya heran saja, kenapa kiriman itu selalu datang tepat ke tempat di mana aku berada? Sementara sebulan ini, aku melakukan pemotretan di tempat-tempat yang berbeda, dan aku tidak pernah memberitahukan Tita satu kali pun tentang jadwal kerjaanku. Lalu, kenapa Tita bisa tahu?Aneh kan? Menurut Kalian bagaimana?"Dev, makan siang lo." Lika tiba-tiba datang, membawa bungkusan berlogo restoran mahal."Dari siapa? Tita lagi?" Aku hanya menebak. Soalnya aku baru menyelesaikan sesi pemotretan hari ini, dan belum menyuruh Lika mengorder makanan apapun."Siapa lagi? Yang paling rajin ngirimin lo makanan kan cuma dia. Duh, perhatian banget ya calon anak tiri lo itu." Ternyata benar. Tita lagi pelakunya."Okeh, mari kita lihat. Kali ini dia kirim apa ya ...?" Lika membuka bungkusan itu. "Oh ya*Happy Reading*"Devia?! Kamu dengar saya tidak? Pelankan mobil--""Iya bawel!"Cukup sudah! Aku kesal sekali dengan situasi ini. Aku pun bukan hanya memelankan mobilku, tapi sekalian menepi dan berhenti. Lebih dari itu, aku bahkan langsung keluar dari mobil dan menghampiri mobil yang turut berhenti di belakangku.Awas ya kamu duda tukang nguntit!Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu mobil yang terlihat gelap dengan tidak sabaran. Si pemilik mobil pun menurunkan kaca jendelanya sebelum berdecak kesal dan akhirnya ikut turun dari singgasananya."Kamu ini!" Pria itu menggeram sambil membungkus tubuhku dengan jas yang sudah dia lepaskan. "Angin malam itu tidak bagus. Jangan cari penyakit, bisa tidak?" Kini ia malah mengomel.Saat ini aku memang tengah memakai dress model kemben, yang panjangnya hanya setengah paha. Kalau kata nyonya Ammar sih, kayak pakai handuk, cuma ada gliternya saja. Makanya Si Gemoy itu biasa men
*Happy reading*Aku terus melangkah mundur, seiring mendekatnya langkah pelaku penusukan Pak Aksa padaku. Tatapan tajamnya membuat aku menelan saliva kelat, dengan tubuh bergetar dan jantung yang benar-benar bertalu cepat. Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan bagaimana saat ini?Jika aku lari, bagaimana dengan Pak Aksa? Tapi tetap di sini pun, bukan pilihan yang bagus. Aku bisa mati konyol di tangan orang itu!Sialan! Kenapa sih, aku harus terjebak di situasi seperti ini? Kan, aku jadi serba salah. Rasanya kayak ada di film warkop jaman dulu. Maju, kena. Mundur, mentok!Aduh ... Pak Aksa, kenapa sih, situ bikin aku serba salah mulu?!"Devia, lari!" seru Pak Aksa yang terlihat berusaha berdiri lagi dengan susah payah di tempatnya. Setelah sempat tersungkur beberapa saat lalu. Lari? Aku juga maunya gitu. Tapi ... boro-boro lari. Jalan aja aku susah ini. Bukan hanya karena aku sedang pakai heels tingg
*Happy Reading*Gengs, kayaknya aku kena karmanya Intan, deh!Dulu, kalau tidak salah aku pernah menertawakan Intan saat dia cerita dijebak Bella, hingga akhirnya mau menikah dengan Pak Dika. Nah, sekarang aku merasakan hal yang sama. Bedanya, kalau dulu Intan dijebak Bella untuk menjadi Mama barunya. Kalau aku merasa dijebak Pak Aksa untuk menjadi Mama baru anak-anaknya. Sama-sama untuk Mama baru, sih. Cuma oknumnya berbeda. Duh, Gusti ... jangan iseng, dong!"Minum dulu, Nur." Intan menyodorkan sebuah minuman kaleng dingin, seraya duduk di sampingku yang masih setia menunggu pintu besar di hadapanku terbuka.Pintu besar bertuliskan 'Ruang Operasi'. Di mana Pak Aksa sedang mendapat tindakan medis. Aku sangat berharap dia bisa bertahan."Bir bintang gak ada, Tan? Gue butuh doping, nih."Pletak!Intan pun dengan senang hati menjitak kepalaku, membuat aku langsung mendelik garang pada emaknya
*Happy Reading*"Oh, ya, Dev. Tante juga udah follow IG kamu, loh. Follback, dong!" rengek si Tante, aka Mamanya Pak Aksa yang kini menatapku penuh harap. "I-iya, Tan. Nanti saya Follback. Tapi ... itu ... Tante gak mau tanya soal kondisi Pak Aksa." Sebisa mungkin, aku ingin mengembalikan kewarasan di tempat ini. Soalnya ... Asli! Aku bingung menghadapi orang tua Pak Aksa ini.Demi apa? Ini beneran orang tuanya Pak Aksa bukan, sih? Anaknya abis ditusuk orang dan sedang mendapat tindakan medis loh, di ruang operasi. Setidaknya khawatir atau apa gitu. Lah ini malah meributkan tanda tangan, photo bareng, dan kini follback IG. Gagal paham aku!"Saya kenapa? Saya sehat-sehat aja kok!" Eh?Aku pun makin mengerjap bingung, saat malah Ayahnya Pak Aksa yang menyahut dengan ringan."Bukan kamu, Pah! Maksud Devia itu Vino. Anak kita. Kamu sih, siapa suruh punya nama sama kayak anak kamu?"Hah?! Gimana maksudnya
*Happy Reading*Bruk!Aku menghempaskan diri dengan keras ke atas tempat tidur, sesampainya di apartemen."Finaly, rebahan juga gue!" Aku bermonolog seraya menghela napas lega.Ya. Akhirnya, setelah drama cukup alot di rumah sakit. Keluarga si papah pun membiarkan aku pulang dan istirahat dengan layak di apartemen sendiri.Lagian, mau ngapain juga aku di sana lama-lama? Dokter juga bilang si papah belum akan sadar dalam waktu dekat, karena masih dalam pengaruh obat bius paska operasi. Nah, dari pada ngejogrog gak ada kerjaan, mending balik ya kan? Mon maap aja, aku belum alih profesi jadi penunggu pojokan rumah sakit.Lebih dari itu, badanku juga udah lengket banget, ketek juga udah uasem tenan, maklum belum mandi dari kemaren. Penting dari itu semua, aku mau ganti semvak yang udah lembab. Nanti dorayaki di balik semvakku jamuran, repot aku. Gak bisa terima iklan sabun pembersih plus pemutih silingkingin. Belu
*Happy Reading*"Mama sama Papa ngapain? Kok, saling maen bibir??"Degh!Seketika aku pun tersentak, refleks mendorong dada bidang si papah dan menjauh, saat suara cempreng nan polos itu terdengar Mampus! Gue tercyduk, pemirsah!"Ti-Tita?" gumamku dengan kikuk, saat akhirnya melihat keberadaan Tita di sana. Aku malu!Demi apa? Bisa-bisanya aku menanggapi kegilaan si papah dan keenakan. Sampai tercyduk seperti ini pula. Kan, aku jadi pengen pulang kampung kalau begini."Eh ... Tita ... itu ... itu ...""Papa abis makan permen, ya, Makanya bibirnya diemutin Mama? Kok, Tita gak dibagi?"Ya salam! Harus bagaimana ini jelasinnya? Kan, gak mungkin aku jelasin detail. Belum waktunya buat Tita. Cukup Bella aja yang dewasa sebelum waktunya. Tita gak usah!"Bu--""Bukan Papa yang abis makan permen, tapi Mama. Makanya Papa minta dikit."Penjelasan macam apa itu, Misk
*Happy Reading*"Woy! Ngapa pagi-pagi muka lo udah kecut banget kek gitu? Ketumpahan cuka atau gimana?"Aku langsung menghadiahkan delikan kesal, saat mendengar celetukkan Lika pagi itu. Sialan! Emang aku kuah mpek-mpek dikasih cuka segala. "Jangan resek deh, Lik. Lagi mumet gue," keluhku akhirnya. Kembali menopang dagu dengan tangan yang berlipat di atas meja. "Mumet kenapa? Bukannya lo harusnya seneng, ya? Lo kan lagi panen job, Dev. Secara, siapa sih, yang gak kepo sekarang sama seorang Devia? Artis baru yang di gadang-gadang bakal menjadi menantu di keluarga Alexander. Ugh ... harusnya muka lo berseri-seri kali, Dev. Bukan malah keruh ke rendeman kaos kaki tiga abad begini." Lika makin menyebalkan. Membuang napas kasar, aku memilih mengabaikan Lika dan malah menjatuhkan kepala pada lipatan tangan di atas meja."Mbuh, lah, Lik. Gue males mikirinnya.""Lah, kok, gitu? Hei! Sebenarnya kenapa, Dev? Aneh banget sumpah!
*Happy Reading*"Pernikahan apa? Bapak jangan ngadi-ngadi, deh! Emang kapan saya bilang mau nikah sama Bapak?" Aku mencoba membantah pernyataan Pak Vino dengan segera, demi menyelamatkan wajahku di depan para teman sejawat. Gila ya nih duda! Masa main asal jeplak di forum internal kayak gini? Di depan semua penghuni agensi lagi. Kan, jadinya semua bisa makin kacau. Padahal selama ini aku selalu konsisten menjawab jika gosip itu hanya hoax semata. Eh ... si duda malah bongkar aib. Bangsul banget!"Kamu memang gak pernah dengan lantang bilang 'iya' pada lamaran saya. Tapi, ciuman kita waktu di rumah sakit saya rasa sudah lebih dari cukup sebagai jawaban."Uhuk! Uhuk!Para peserta meeting pagi itu pun makin radang, bengek, dan mungkin sebentar lagi typus mendengar celotehan Pak Vino yang ... asli bocor banget. Pun aku tentu saja. Yang kini rasanya mendadak ayan gara-gara mulut embernya. "Ternyata mere
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum