*Happy Reading*
"Mama sama Papa ngapain? Kok, saling maen bibir??"Degh!Seketika aku pun tersentak, refleks mendorong dada bidang si papah dan menjauh, saat suara cempreng nan polos itu terdengarMampus!Gue tercyduk, pemirsah!"Ti-Tita?" gumamku dengan kikuk, saat akhirnya melihat keberadaan Tita di sana.Aku malu!Demi apa? Bisa-bisanya aku menanggapi kegilaan si papah dan keenakan. Sampai tercyduk seperti ini pula. Kan, aku jadi pengen pulang kampung kalau begini."Eh ... Tita ... itu ... itu ...""Papa abis makan permen, ya, Makanya bibirnya diemutin Mama? Kok, Tita gak dibagi?"Ya salam! Harus bagaimana ini jelasinnya? Kan, gak mungkin aku jelasin detail. Belum waktunya buat Tita. Cukup Bella aja yang dewasa sebelum waktunya. Tita gak usah!"Bu--""Bukan Papa yang abis makan permen, tapi Mama. Makanya Papa minta dikit."Penjelasan macam apa itu, Misk*Happy Reading*"Woy! Ngapa pagi-pagi muka lo udah kecut banget kek gitu? Ketumpahan cuka atau gimana?"Aku langsung menghadiahkan delikan kesal, saat mendengar celetukkan Lika pagi itu. Sialan! Emang aku kuah mpek-mpek dikasih cuka segala. "Jangan resek deh, Lik. Lagi mumet gue," keluhku akhirnya. Kembali menopang dagu dengan tangan yang berlipat di atas meja. "Mumet kenapa? Bukannya lo harusnya seneng, ya? Lo kan lagi panen job, Dev. Secara, siapa sih, yang gak kepo sekarang sama seorang Devia? Artis baru yang di gadang-gadang bakal menjadi menantu di keluarga Alexander. Ugh ... harusnya muka lo berseri-seri kali, Dev. Bukan malah keruh ke rendeman kaos kaki tiga abad begini." Lika makin menyebalkan. Membuang napas kasar, aku memilih mengabaikan Lika dan malah menjatuhkan kepala pada lipatan tangan di atas meja."Mbuh, lah, Lik. Gue males mikirinnya.""Lah, kok, gitu? Hei! Sebenarnya kenapa, Dev? Aneh banget sumpah!
*Happy Reading*"Pernikahan apa? Bapak jangan ngadi-ngadi, deh! Emang kapan saya bilang mau nikah sama Bapak?" Aku mencoba membantah pernyataan Pak Vino dengan segera, demi menyelamatkan wajahku di depan para teman sejawat. Gila ya nih duda! Masa main asal jeplak di forum internal kayak gini? Di depan semua penghuni agensi lagi. Kan, jadinya semua bisa makin kacau. Padahal selama ini aku selalu konsisten menjawab jika gosip itu hanya hoax semata. Eh ... si duda malah bongkar aib. Bangsul banget!"Kamu memang gak pernah dengan lantang bilang 'iya' pada lamaran saya. Tapi, ciuman kita waktu di rumah sakit saya rasa sudah lebih dari cukup sebagai jawaban."Uhuk! Uhuk!Para peserta meeting pagi itu pun makin radang, bengek, dan mungkin sebentar lagi typus mendengar celotehan Pak Vino yang ... asli bocor banget. Pun aku tentu saja. Yang kini rasanya mendadak ayan gara-gara mulut embernya. "Ternyata mere
*Happy Reading*Berusaha menebalkan wajah, yang sebenarnya sudah tebal dengan foundation dan kawan-kawannya hari ini. Aku pun menjauhkan tangan laknat yang nyasar ke tempat enak tadi dengan acuh, lalu sengaja segera melipatnya di bawah dada. Biar gak nyasar season dua, gaes!"Jangan ngadi-ngadi, Pak. Reaksi tubuh itu gak bisa dijadikan patokan soal hati. Karena di luar sana. Banyak kok, orang yang bisa ngeseks tanpa cinta. Lagi pula, reaksi tubuh saya tadi bisa di bilang wajar, kok. Soalnya, saya kan masih wanita normal." Aku berusaha tetap elegan menanggapi si Papah, meski aslinya malu pisan, euy. Bisa-bisanya aku kecolongan lagi. Pesona si papah memang mengkhawatirkan!"Memang betul. Tapi, lebih wajar lagi kalau kamu mendorong saya atau menolak. Kan, katanya kamu gak suka sama saya," balas si papah dengan senyum miringnya.Sialan! Pinter banget bapaknya si Tita nyautinnya. Kan aing harus muter otak lagi. Tapi ... be
*Happy Reading*Ini bohong, kan?Ini tidak mungkin!Aku tidak percaya dan tak ingin percaya sama sekali dengan ucapan Pak Vino barusan. Tita anak Kak Diana? Itu berarti, Tita adalah keponakan aku. Begitu, kan? Bagaimana bisa? Ya. Aku tahu, dulu saat Kak Diana pergi. Dia memang tengah mengandung. Selanjutnya aku tidak tahu bagaimana kabarnya. Karena keberadaan Kak Diana hilang begitu saja bak di telan bumi.Aku sudah mencoba mencari ke semua tempat. Bahkan sejujurnya, alasan aku bekerja jadi Artis pun, itu demi mencari keberadaan Kak Diana. Sekian tahun aku mencari, hasilnya selalu nihil. Aku tak bisa menemukan keberadaan, bahkan sekedar kabar kakakku sendiri. Pokoknya Kak Diana itu seperti raib.Itulah kenapa, tadi aku sempat menjadikan keberadaan Kak Diana sebagai syarat pernikahan pada Pak Vino. Meski aku tidak berharap banyak akan persetujuan darinya. Tetapi, jika memang benar dia serius akan perasaannya,
*Happy Reading*"Pak, ayolah! Jangan berbelit-belit kayak gini bisa, gak? Kepala saya sudah vertigo dadakan ini ngadepin kenyataan yang Bapak bawa hari ini. Jangan tambah lagi dengan kenarsisan Bapak. Saya cuma butuh penjelasan tentang kenyataan yang kalian sembunyikan selama ini. Tolonglah, Pak. Jangan bikin saya makin vertigo hari ini, ya?" Akhirnya aku pun memohon dengan sangat belas kasihan pria itu. Karena jujur, aku sudah kepo setengah mampus ini tentang Tita dan lainnya."Janji dulu, kamu akan menerima lamaran saya, jika saya menceritakan semuanya."Allahhurobbi pria ini! Masih aja sempat-sempatnya mancing di air keruh, ya? Gue kruwes juga dah tuh muka ganteng. Biar codet sekalian. "Bapak--""Tolong, Devia. Saya mohon. Saya benar-benar gak bisa jauh lagi dari kamu." Kini, malah Pak Vino yang memohon, dengan tatapan intens yang serius sekali. Aku harus gimana sekarang?Aku harus apa? Aku harus
*Happy Reading*"Devia, tunggu!""Hei! Hei! Devia?!"Lepasin!" "Devia? Saya mohon. Jangan seperti ini!"Pak Vino masih terus mencoba membujuk, saat mengejarku yang akhirnya memilih untuk segera pergi dari sana. "Devia?""Lepasin gue, Aksa Malvino Alexander!"Nah, kan. Tahu dong, kalau cewek sudah menyebut nama cowok dengan jelas dan lengkap seperti itu. Berarti marahnya bukan kaleng-kaleng. Dan ya! Aku memang sedang sangat marah sekali saat ini. Bagaimana tidak? Kalian bayangin sendiri saja gimana gemasnya aku dengan sikap pria tukang tarik ulur ini. Sudah keceplosan pun, masih saja tidak mau jujur. Kan, aku kesel, ya?"Okeh, Okeh. Sorry!" Pria itu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tapi, tolong jangan seperti ini, ya?""Lalu saya harus seperti apa? Diam saja Bapak permainkan sedari tadi? Diam saja, Bapak tarik ulur terus! Bapak kira saya apa? Layangan? Atau apa?" Aku memil
*Happy Reading*Demi apa?!Aku kira, Pak Vino akan membawaku ke tempat penting, atau gimana gitu. Kan, katanya mau menyelesaikan masalah kami. Yee kan?Seenggaknya, aku kira akan di bawa ke sebuah kuburan, bertuliskan nama Kak Diana. Orang yang memang sedang kami bahas sedari tadi. Ya ... seperti di film dan novel yang pernah aku baca. Nyatanya, dia malah membawaku ke tempat yang ... ugh! Nih, duda emang minta aku kepangin ususnya."Yakin kamu gak mau, ini enak, loh." Selain itu, bisa-bisanya dia menawariku selugas itu. Tanpa merasa berdosa sedikit pun. Apa kurang jelas muka jutekku?"Gak usah banyak bacot, deh! Udah abisin sana aja buruan. Sebelum saya lempar tuh mangkok ke jalanan," sahutku ketus. Tak menutupi sedikitpun kekesalanku.Gimana gak kesel. Kalian tahu gak aku dibawanya ke mana? Ke WARKOP pinggir jalan.Iya, betul! Alih-alih membawaku ke resto mewah dan privasi. Si duda sableng ini malah
*Happy Monday*"Sebenarnya Tita itu juga keponakan saya."Perlu beberapa detik untukku bisa mencerna ucapan si Papah. Entah karena otakku terlalu lemot, atau memang gaya si papah menjelaskan yang berbelit-belit. Menurut kalian, bagaimana?"Lalu, kenapa Tita malah di kenal sebagai anak Bapak oleh semua orang?" Akhirnya, aku menemukan fokusku lagi. "Hanya itu satu-satunya cara. Agar Tita bisa masuk ke dalam keluarga kami dan memakai nama Alexander.""Maksudnya?" tanya itu pun meluncur cepat. Seiring rasa penasaran yang masih menyelimuti. Bukannya langsung menjawab. Pak Vino malah bernapas dalam dan menatap aku lamat-lamat. "Devia. Kakak kamu, Diana itu selingkuhan Kak Alvin. Mereka menjalin hubungan di saat Kakak saya sudah punya istri."Aku tahu. Sangat tahu. Itulah kenapa, awalnya aku marah dengan Kakak dan berusaha menegur agar tidak melanjutkan perasaan gilanya pada bos di kantornya. Tetapi, karen
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum