Diana melangkah dengan penuh keyakinan menuju apartemen yang telah ia cari tahu lokasinya dengan susah payah.Jejak langkahnya bergema di sepanjang koridor sunyi, seakan-akan dinding-dinding di sana turut menyaksikan kobaran api kemarahan yang membakar relung hatinya.Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan ketegasan yang tak terbantahkan.Pintu itu terbuka, memperlihatkan Jesika yang berdiri terpaku dengan mata membulat, seperti rusa yang tertangkap dalam cahaya terang di tengah malam.“N-Nyonya Diana?” Suara Jesika bergetar, mencerminkan keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan."Silakan masuk, Nyonya," lanjutnya dengan bibir bergetar, seperti orang yang tahu bahwa badai besar akan segera menerjang.Diana melangkah masuk, auranya memenuhi setiap sudut ruangan dengan hawa dingin yang menusuk.Matanya yang kelam, bagai lautan dalam tanpa cahaya, menatap Jesika tanpa sedikit pun kelembutan."Jawab pertanyaanku dengan jujur, Jesika." Suaranya bagaikan belati yang terhunus, tajam da
Di ruang VIP yang sunyi, hanya ada mereka berdua—Elena dan Karl tengah menikmati makan malam—terpisah dari hiruk-pikuk di luar, seolah waktu hanya bergerak di sekitar mereka.Elena mengangkat pandangannya dari piringnya, menemukan tatapan Karl yang sedari tadi enggan beralih darinya. Matanya hitam pekat, dalam, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak."Ada apa?" tanya Elena akhirnya, mencoba mengusik diam yang menggantung di antara mereka.Karl mengangkat alisnya sedikit sebelum menghela napas panjang, seolah menimbang-nimbang sesuatu yang penting. "Aku membutuhkan sekretaris untuk Federick," ujarnya tenang."Federick?" Elena mengerutkan kening, penasaran dengan nama yang terdengar asing itu. "Siapa dia?"Karl meletakkan garpunya dengan gerakan perlahan sebelum menjawab, "Sahabatku. Dia yang akan mengisi jabatan di Union setelah Vero mengundurkan diri sebagai CEO di sana."Elena menyipitkan matanya, ekspresinya menyiratkan ketidakpercayaan. "CEO?" ulangnya dengan nada menggantung."Kenap
"Jawabannya simpel. Karena dia menyebalkan," ucap Karl dengan santai, seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah tindakan yang mengancam nyawa seseorang, melainkan sekadar menyingkirkan gangguan kecil di jalanan.Elena menyipitkan mata, tatapannya menusuk penuh kecurigaan. "Huh?"Karl menghela napas kasar, ekspresinya seakan jengah dengan kebodohan dunia. "Kau pikir aku tidak melihat apa yang sudah Diana lakukan padamu di restoranmu?" Nada suaranya lebih berat kini, penuh dengan kemarahan yang mendidih di bawah permukaan.Elena menghembuskan napas panjang, tangannya mengusap sisi gelas wine yang mulai terasa hangat oleh sentuhan jemarinya."Tapi tidak harus kau cekik juga, Karl. Itu terlalu berlebihan. Dia akan semakin curiga bahwa aku memiliki hubungan denganmu."Karl tersenyum miring, tatapan tajamnya menelisik langsung ke dalam jiwa Elena, seakan melihat sesuatu yang bahkan belum sempat ia sadari."Karena faktanya memang seperti itu. Kau telah menjadi milikku. Kenapa harus ditutupi?
Sidang pertama perceraian Elena dan Gio akan dimulai hari ini. Ruang sidang terasa begitu luas dan dingin, temboknya tinggi menjulang dengan pilar-pilar megah yang menciptakan kesan sakral sekaligus menekan.Elena sudah tiba tiga puluh menit lebih awal, duduk dengan punggung tegak di bangku yang terasa lebih keras dari biasanya.Tangannya bertaut di pangkuan, jemari saling mencengkeram erat, tetapi wajahnya tetap tenang—sebuah topeng yang telah ia kenakan selama ini.Hakim, seorang pria paruh baya dengan sorot mata penuh wibawa, akhirnya berbicara, suaranya menggema di ruangan."Nyonya Elena yang terhormat. Apakah Anda sudah yakin dengan keputusan Anda untuk bercerai dengan Tuan Gio?"Elena mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. Matanya menatap lurus ke arah hakim, tanpa keraguan."Ya, Yang Mulia," jawabnya, suaranya tegas meskipun dadanya bergetar. "Saya tidak ingin mempertahankan hubungan yang sudah tidak sejalan, terlebih lagi dia telah mengkhianati saya."Hakim mengangguk-angguk
“Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu bersama dengan Karl, Elena!” desis Gio, suaranya serupa angin beracun yang merayapi kulit.Matanya membara, menelusuri setiap lekuk wajah Elena dengan ketajaman obsidian yang dingin.Wanita itu mendengkus, dadanya naik-turun menahan gejolak amarah yang mendidih di balik tulang rusuknya.“Kau benar-benar egois, Gio! Kau selalu memikirkan dirimu sendiri, menempatkan kebahagiaanmu di singgasana tertinggi, sementara aku harus merangkak dalam penderitaan!” Suaranya pecah, menggema seperti kaca yang terhempas ke lantai marmer.“Oh, tentu saja.” Gio tertawa kecil, sebuah tawa yang lebih mirip belati tipis yang mengiris udara di antara mereka.“Aku akan selalu menghalangi hubunganmu dengan Karl. Jangan pernah bermimpi, Elena, karena cinta kalian hanyalah ilusi yang akan kuhancurkan sebelum sempat tumbuh menjadi kenyataan.”Elena menatapnya, pupilnya melebar, seolah mencari sisa-sisa kebijaksanaan dalam tatapan pria itu.Namun, yang d
Karl menatap Elena dengan mata teduh, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya.Kemudian, dengan suara yang tak tergesa-gesa, ia berkata, “Ya. Kami memang satu sekolah dulu.”Elena menahan napas, menunggu kelanjutannya.“Dan, ya, Gio memang tampak tidak menyukaiku. Aku bisa merasakannya dari dulu. Tapi aku membiarkannya, tak pernah meladeninya.”Karl menghela napas, suaranya terdengar datar, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada bicaranya—sebuah ketenangan yang terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di kepala Elena.Elena menatap Karl, mempelajari ekspresinya. Pria itu tampak tak terpengaruh, seolah masa lalu yang baru saja terkuak itu bukanlah hal yang penting baginya.Namun, di sisi lain, Elena merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin tak pernah Karl ungkapkan.“Itu sebabnya dia mendekatiku karena dia tahu, aku menyukaimu sejak kuliah. Tapi, dia juga malah mengkhianatiku. Aku tidak mengerti dengan cara pikirnya seperti apa.”Elena
Satu bulan yang lalu…Langit senja menggoreskan semburat jingga di balik jendela luas kantor Karl, tetapi atmosfer di dalam ruangan itu justru terasa pekat, penuh ketegangan yang seolah menyesakkan udara.Gio berdiri di hadapan Karl dengan rahang mengatup, matanya menyala penuh amarah yang ditahan.“Aku tidak akan membiarkan Elena jatuh ke pelukanmu, sampai kapan pun!” suaranya terdengar tajam, seperti bilah pisau yang berusaha menusuk pertahanan Karl.Karl, seperti biasa, hanya menanggapinya dengan santai. Ia bersandar di kursinya, tangan bertaut di depan dada, menatap Gio dengan sorot mata tenang yang justru semakin membakar emosi pria itu.“Oh ya?” jawabnya datar, seakan tak terpengaruh oleh amukan Gio.Gio mendengkus, kesal melihat ekspresi tak acuh Karl. “Bukankah kau sendiri yang telah membuka peluang untukku mengambil Elena darimu?” ucapnya, suaranya dipenuhi nada kemenangan, meski samar-samar ada jejak frustrasi di sana.Karl masih tetap tenang. Namun, saat nama Jesika meluncu
“Hi, Gio? Bagaimana sidang ceraimu? Apakah berjalan dengan lancar?” Jesika membuka percakapan dengan suara yang terdengar ringan, tetapi matanya mengabarkan badai yang mengendap di sudut-sudut jiwanya.Gio, yang duduk di balik meja kerja dengan bahu sedikit menegang, mengangkat kepalanya. Tatapannya kelam, sekelam kabut yang menyelimuti fajar yang enggan datang.“Aku akan memperbaiki semuanya dengan Elena,” katanya datar, nyaris tanpa nyawa, seakan kalimat itu bukan miliknya, melainkan sebuah keputusan yang telah diukir takdir di atas batu dingin.Jesika, yang baru saja meletakkan beberapa dokumen di hadapan pria itu, hanya menatapnya sekilas, sekilas saja.“Ya, aku tahu.” Suaranya lirih, tapi bukan karena rapuh—melainkan karena terlalu lelah untuk menyampaikan lebih dari yang seharusnya.Gio mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tidak biasa di sana—sebuah nada yang begitu asing hingga terasa mengganggu."Apa maksudmu?" tanyanya, curiga merayapi dadanya seperti bayangan panjang di sore
Dua hari telah berlalu sejak Karl mengklarifikasi semua tuduhan yang Gio lemparkan padanya. Semua telah berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan.Tidak ada lagi tatapan curiga dari orang-orang, tidak ada lagi bisik-bisik di belakangnya. Segala fitnah yang pernah menyesakkan dadanya kini telah menguap bersama kenyataan.“Hari ini kau yakin tidak ingin kuantar?” tanya Karl, yang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan menyilang di dada. Tatapannya penuh perhatian, meski tersirat nada pasrah dalam suaranya.Elena menoleh dan tersenyum kecil. “Aku yakin. Di sana ada Maia dan staf lainnya. Lagipula, aku bisa menjaga diri.”Karl menghela napas, lalu berjalan mendekat, mengusap lembut pipi istrinya. “Aku tahu kau bukan anak kecil yang harus kujaga dua puluh empat jam, tapi tetap saja… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”Elena menepuk lembut tangan Karl yang masih bertengger di pipinya. “Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”Karl masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangg
“Argh! Berengsek! Karl sialan!”Gio menghantam vas bunga ke dinding, pecahannya beterbangan, menghiasi lantai apartemennya yang sudah berantakan.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam gelombang amarah yang tak terbendung. Meja di depannya dihantam dengan satu pukulan keras, menyebabkan gelas dan piring berhamburan, pecah menjadi serpihan kecil."Bajingan!" pekiknya penuh amarah, matanya merah menyala seperti bara api.Tangannya meraih bingkai foto yang ada di rak, dilemparkannya dengan kasar hingga kaca fotonya pecah berantakan. Rahangnya mengeras, otaknya terus dipenuhi satu pertanyaan: Dari mana Karl tahu?Selama ini, ia menyimpan rapat-rapat fakta bahwa ia mandul. Tak ada seorang pun yang tahu, tak ada seorang pun yang seharusnya tahu! Namun entah bagaimana Karl menemukan kelemahannya. Berengsek!“Kau sudah menyulutkan api dalam hidupku, Karl. Apa kau tahu, aku sangat membencimu, semakin membencimu karena sudah membuatku hancur!” pekiknya dengan dada naik turun karena amarahny
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu