Plak!Suara tamparan itu menggema, menampar udara dengan keras seperti kilatan petir di langit yang mengancam badai.Diana terhuyung ke belakang, matanya membelalak tak percaya saat rasa panas menjalar di pipinya yang baru saja mendapat tamparan telak dari Karl.“Apa yang kau lakukan?! Kenapa tiba-tiba menamparku?!” pekiknya, nada suaranya sarat dengan kemarahan yang tersulut.Karl berdiri tegak, tatapan matanya berkilat penuh amarah, seolah dia adalah dewa penghukum yang turun langsung untuk menuntaskan keadilan.Rahangnya mengatup kuat, dan suaranya keluar sebagai desisan tajam yang menusuk udara di antara mereka.“Aku menamparmu karena kau pun menampar Elena tanpa sebab. Itu yang dinamakan membalas apa yang sudah kau lakukan, Diana.”Senyuman masam terbit di bibir Diana. Ia mendengus kecil, kemudian tertawa sinis seolah tak terima dengan penghinaan itu.“Oh! Jadi wanita murahan itu mengadu padamu tentang apa yang sudah aku lakukan padanya?”Karl terkekeh rendah, sebuah tawa yang di
Diana melangkah dengan penuh keyakinan menuju apartemen yang telah ia cari tahu lokasinya dengan susah payah.Jejak langkahnya bergema di sepanjang koridor sunyi, seakan-akan dinding-dinding di sana turut menyaksikan kobaran api kemarahan yang membakar relung hatinya.Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan ketegasan yang tak terbantahkan.Pintu itu terbuka, memperlihatkan Jesika yang berdiri terpaku dengan mata membulat, seperti rusa yang tertangkap dalam cahaya terang di tengah malam.“N-Nyonya Diana?” Suara Jesika bergetar, mencerminkan keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan."Silakan masuk, Nyonya," lanjutnya dengan bibir bergetar, seperti orang yang tahu bahwa badai besar akan segera menerjang.Diana melangkah masuk, auranya memenuhi setiap sudut ruangan dengan hawa dingin yang menusuk.Matanya yang kelam, bagai lautan dalam tanpa cahaya, menatap Jesika tanpa sedikit pun kelembutan."Jawab pertanyaanku dengan jujur, Jesika." Suaranya bagaikan belati yang terhunus, tajam da
Di ruang VIP yang sunyi, hanya ada mereka berdua—Elena dan Karl tengah menikmati makan malam—terpisah dari hiruk-pikuk di luar, seolah waktu hanya bergerak di sekitar mereka.Elena mengangkat pandangannya dari piringnya, menemukan tatapan Karl yang sedari tadi enggan beralih darinya. Matanya hitam pekat, dalam, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak."Ada apa?" tanya Elena akhirnya, mencoba mengusik diam yang menggantung di antara mereka.Karl mengangkat alisnya sedikit sebelum menghela napas panjang, seolah menimbang-nimbang sesuatu yang penting. "Aku membutuhkan sekretaris untuk Federick," ujarnya tenang."Federick?" Elena mengerutkan kening, penasaran dengan nama yang terdengar asing itu. "Siapa dia?"Karl meletakkan garpunya dengan gerakan perlahan sebelum menjawab, "Sahabatku. Dia yang akan mengisi jabatan di Union setelah Vero mengundurkan diri sebagai CEO di sana."Elena menyipitkan matanya, ekspresinya menyiratkan ketidakpercayaan. "CEO?" ulangnya dengan nada menggantung."Kenap
"Jawabannya simpel. Karena dia menyebalkan," ucap Karl dengan santai, seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah tindakan yang mengancam nyawa seseorang, melainkan sekadar menyingkirkan gangguan kecil di jalanan.Elena menyipitkan mata, tatapannya menusuk penuh kecurigaan. "Huh?"Karl menghela napas kasar, ekspresinya seakan jengah dengan kebodohan dunia. "Kau pikir aku tidak melihat apa yang sudah Diana lakukan padamu di restoranmu?" Nada suaranya lebih berat kini, penuh dengan kemarahan yang mendidih di bawah permukaan.Elena menghembuskan napas panjang, tangannya mengusap sisi gelas wine yang mulai terasa hangat oleh sentuhan jemarinya."Tapi tidak harus kau cekik juga, Karl. Itu terlalu berlebihan. Dia akan semakin curiga bahwa aku memiliki hubungan denganmu."Karl tersenyum miring, tatapan tajamnya menelisik langsung ke dalam jiwa Elena, seakan melihat sesuatu yang bahkan belum sempat ia sadari."Karena faktanya memang seperti itu. Kau telah menjadi milikku. Kenapa harus ditutupi?
Sidang pertama perceraian Elena dan Gio akan dimulai hari ini. Ruang sidang terasa begitu luas dan dingin, temboknya tinggi menjulang dengan pilar-pilar megah yang menciptakan kesan sakral sekaligus menekan.Elena sudah tiba tiga puluh menit lebih awal, duduk dengan punggung tegak di bangku yang terasa lebih keras dari biasanya.Tangannya bertaut di pangkuan, jemari saling mencengkeram erat, tetapi wajahnya tetap tenang—sebuah topeng yang telah ia kenakan selama ini.Hakim, seorang pria paruh baya dengan sorot mata penuh wibawa, akhirnya berbicara, suaranya menggema di ruangan."Nyonya Elena yang terhormat. Apakah Anda sudah yakin dengan keputusan Anda untuk bercerai dengan Tuan Gio?"Elena mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. Matanya menatap lurus ke arah hakim, tanpa keraguan."Ya, Yang Mulia," jawabnya, suaranya tegas meskipun dadanya bergetar. "Saya tidak ingin mempertahankan hubungan yang sudah tidak sejalan, terlebih lagi dia telah mengkhianati saya."Hakim mengangguk-angguk
“Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu bersama dengan Karl, Elena!” desis Gio, suaranya serupa angin beracun yang merayapi kulit.Matanya membara, menelusuri setiap lekuk wajah Elena dengan ketajaman obsidian yang dingin.Wanita itu mendengkus, dadanya naik-turun menahan gejolak amarah yang mendidih di balik tulang rusuknya.“Kau benar-benar egois, Gio! Kau selalu memikirkan dirimu sendiri, menempatkan kebahagiaanmu di singgasana tertinggi, sementara aku harus merangkak dalam penderitaan!” Suaranya pecah, menggema seperti kaca yang terhempas ke lantai marmer.“Oh, tentu saja.” Gio tertawa kecil, sebuah tawa yang lebih mirip belati tipis yang mengiris udara di antara mereka.“Aku akan selalu menghalangi hubunganmu dengan Karl. Jangan pernah bermimpi, Elena, karena cinta kalian hanyalah ilusi yang akan kuhancurkan sebelum sempat tumbuh menjadi kenyataan.”Elena menatapnya, pupilnya melebar, seolah mencari sisa-sisa kebijaksanaan dalam tatapan pria itu.Namun, yang d
Karl menatap Elena dengan mata teduh, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam benaknya.Kemudian, dengan suara yang tak tergesa-gesa, ia berkata, “Ya. Kami memang satu sekolah dulu.”Elena menahan napas, menunggu kelanjutannya.“Dan, ya, Gio memang tampak tidak menyukaiku. Aku bisa merasakannya dari dulu. Tapi aku membiarkannya, tak pernah meladeninya.”Karl menghela napas, suaranya terdengar datar, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada bicaranya—sebuah ketenangan yang terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di kepala Elena.Elena menatap Karl, mempelajari ekspresinya. Pria itu tampak tak terpengaruh, seolah masa lalu yang baru saja terkuak itu bukanlah hal yang penting baginya.Namun, di sisi lain, Elena merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin tak pernah Karl ungkapkan.“Itu sebabnya dia mendekatiku karena dia tahu, aku menyukaimu sejak kuliah. Tapi, dia juga malah mengkhianatiku. Aku tidak mengerti dengan cara pikirnya seperti apa.”Elena
Satu bulan yang lalu…Langit senja menggoreskan semburat jingga di balik jendela luas kantor Karl, tetapi atmosfer di dalam ruangan itu justru terasa pekat, penuh ketegangan yang seolah menyesakkan udara.Gio berdiri di hadapan Karl dengan rahang mengatup, matanya menyala penuh amarah yang ditahan.“Aku tidak akan membiarkan Elena jatuh ke pelukanmu, sampai kapan pun!” suaranya terdengar tajam, seperti bilah pisau yang berusaha menusuk pertahanan Karl.Karl, seperti biasa, hanya menanggapinya dengan santai. Ia bersandar di kursinya, tangan bertaut di depan dada, menatap Gio dengan sorot mata tenang yang justru semakin membakar emosi pria itu.“Oh ya?” jawabnya datar, seakan tak terpengaruh oleh amukan Gio.Gio mendengkus, kesal melihat ekspresi tak acuh Karl. “Bukankah kau sendiri yang telah membuka peluang untukku mengambil Elena darimu?” ucapnya, suaranya dipenuhi nada kemenangan, meski samar-samar ada jejak frustrasi di sana.Karl masih tetap tenang. Namun, saat nama Jesika meluncu
Malam telah tiba. Langit pantai dihiasi bintang-bintang yang redup, sementara gelombang laut memecah keheningan dengan suara lembut yang teratur.Aroma garam bercampur dengan bau minuman alkohol yang tumpah, menguar dari gelas-gelas pesta yang berserakan.Lampu-lampu warna-warni berkilauan, menari-nari di atas pasir, menciptakan ilusi yang kontras dengan kegelapan malam.Musik dari DJ berdentum memekakkan telinga, membuat detak jantung terasa berpacu dengan irama bass yang menghentak.Orang-orang tertawa, menari liar, dan melupakan dunia sejenak dalam euforia pesta yang tak mengenal batas.Namun, di sudut yang agak sepi, di bawah bayang-bayang pohon kelapa yang bergoyang ringan diterpa angin, Elena dan Karl berdiri dalam ruang kecil yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk.Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keheningan yang jauh lebih bising daripada suara musik yang memekakkan.Mata Elena menatap Karl, sorotnya tajam tetapi rapuh. Ia menarik napas pelan, tetapi berat—seperti sedang
“Kau mau membawaku ke mana, Karl?” tanya Elena, suaranya sedikit terangkat untuk melawan suara deru mesin speedboat yang membelah permukaan laut biru.Karl menoleh sejenak, matanya yang tajam namun hangat memandang Elena sebelum kembali fokus pada kemudi.“Pergi ke beach club yang tak jauh dari pulau ini,” jawabnya ringan.Elena terdiam. Ia memandangi buih ombak yang terpecah di sisi speedboat, sementara angin membawa aroma asin laut yang khas.Beach club… sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Kesibukannya mengelola restoran miliknya seolah telah menelan seluruh waktunya.Bertahun-tahun ia larut dalam ambisi dan kerja keras hingga melupakan hal sederhana seperti menikmati hidup.Setengah jam berlalu. Perlahan, di hadapan mereka mulai terlihat bangunan berarsitektur tropis dengan atap jerami yang menjulang, diapit oleh deretan pohon kelapa yang menari-nari di bawah belaian angin.Musik chill-out berdentum lembut dari kejauhan, berpadu dengan suara tawa dan
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini