“Kau hanya menginginkanku tanpa adanya ikatan hubungan? Itu maksudmu, Karl?”Suara Elena terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang ditelan oleh jarak yang begitu dekat di antara mereka.Tangannya refleks menahan pergerakan Karl yang hendak mendaratkan ciuman di bibirnya. Namun, tindakan itu justru membuat wajah mereka semakin dekat, terlalu dekat. Tatapan mereka bertemu—dua pasang mata yang saling memanah, memuntahkan emosi yang sulit diuraikan.Hembusan napas mereka bercampur, hangat dan bergetar, menciptakan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.Karl menyunggingkan senyuman miring, senyuman yang selalu tampak penuh makna dan mematikan.Dengan lembut namun penuh kendali, tangannya meraih tangan Elena, mengangkatnya perlahan hingga wanita itu terkesiap. Sentuhan itu, meskipun sederhana, terasa seperti arus listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.“Jangan bicara tentang ikatan hubungan,” ujar Karl, suaranya dalam dan bergetar seperti bariton yang bergema di ruang sunyi, “jika h
“Jangan terburu-buru, Elena. Santai saja.”Suara Karl terdengar ringan, tetapi setiap katanya seperti duri halus yang menancap di benak Elena. Pria itu mengenakan sepatu hitam mengilapnya dengan gerakan yang penuh keanggunan, seolah dunia tunduk di bawah kakinya.Tatapannya tajam, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang memprovokasi. Ia tahu betul bagaimana membuat Elena merasa gusar.“Kau akan selalu membutuhkanku apa pun bentuknya. Kita lihat saja nanti. Aku pergi dulu,” ucap Karl santai, tetapi nada suaranya seperti ancaman yang terselubung.Ia melangkah mendekat, membungkuk sedikit, seolah hendak mencium bibir Elena. Namun, di detik terakhir, ia mengurungkan niatnya.Sebuah senyuman miring menghiasi wajahnya, dan matanya berkilat penuh kemenangan. Elena hanya bisa berdiri di sana, bibirnya terkatup rapat, sementara emosi yang berkecamuk di dadanya hampir tak tertahankan.Karl berbalik dan pergi, meninggalkan Elena yang mengepalkan tangannya erat. Napasnya memburu, berusah
Gio melangkahkan kakinya ke ruang kerja Karl, setiap jejaknya menciptakan dentuman halus yang terasa lebih nyaring di ruang yang mencekam itu.Dingin udara ruang kerja itu bersekutu dengan ketegangan yang menggantung, menyelubungi tubuh Gio seperti kabut yang menyesakkan.Tatapan angkuhnya mengunci pada wajah Karl, yang baru saja menutup laptopnya dengan gerakan ringan seolah tak ada badai yang tengah merayap masuk.“Selamat datang, Tuan Gio yang terhormat.” Suara Karl mengalir lembut, namun ada sesuatu yang tajam di balik nadanya.Senyumnya terukir di bibir, tetapi itu bukan senyum keramahan—lebih seperti belati yang disembunyikan di balik sarung beludru. “Tidak biasanya kau datang kemari tanpa diundang.”Gio berdiri tegak, bayangannya meluas di lantai seperti sosok yang siap menyerang. “Aku sudah tahu semuanya, Karl. Tidak usah berpura-pura ramah padaku,” katanya, suaranya serendah bisikan badai sebelum hujan menghantam bumi.Matanya yang kelam memantulkan sesuatu yang hampir menyer
“Elena?”Suara Karl menggema di apartemennya yang lengang, menyelinap di antara dinding-dinding putih yang dingin.Ia memanggil nama itu sekali, dua kali, seperti doa yang memohon jawaban. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya, keheningan yang terasa seperti ejekan pahit.“Elena? Apa kau sedang mandi?” panggilnya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih keras, hampir menyerupai tuntutan.Namun, tak ada suara air yang mengalir, tak ada desah napas yang tertangkap telinga. Hanya keheningan yang menyelimuti, seolah apartemen itu menolak memberikan petunjuk.Karl berdiri terpaku di tengah ruang tamu, keningnya berkerut dalam-dalam. Matanya menatap ke sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan Elena, namun semuanya hanya menyisakan kehampaan.“Ke mana dia? Bukankah dia sudah tidak mau pulang ke rumah Gio lagi?” gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti bicara kepada dirinya sendiri.Dengan gerakan yang tiba-tiba, Karl merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel dan segera menghubung
“Apa lagi yang dia inginkan? Kenapa harus mengacak-acak ruang kerjaku!” Suara Elena bergema dalam ruang mobil yang sunyi, nada frustasi meluap bersama hembusan napasnya yang berat.Ia baru saja mencicipi sedikit ketenangan, namun kini harus kembali ke kota itu—tempat segala luka dan kepedihan terus menghantuinya.Pegunungan yang menjulang di kejauhan kini perlahan tertelan oleh gedung-gedung kota yang semakin mendekat. Elena memandang jalan di depannya dengan tatapan kosong, sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gio.“Seharusnya dia menikmati hidupnya dengan Jesika,” gumamnya, nada suaranya penuh getir. “Kenapa harus mencariku? Jika kau memang mencintaiku, kau tidak akan selingkuh dengan Jesika, Gio.”Tangannya naik mengusap kening yang berdenyut, mencoba menenangkan pikiran yang terasa penuh sesak. Mobil yang melaju seakan menjadi pelarian dari kekacauan yang Gio ciptakan.Namun, setiap kilometer yang ia tempuh membawa Elena semakin dekat pada kenyataan yang enggan ia hadapi.“B
“Rekaman itu pasti ada di ponselmu, kan? Kemarikan ponselmu. Aku harus melihat semuanya dengan jelas!” Suara Gio memecah keheningan seperti pisau tajam yang menusuk kulit malam.Matanya menyala dengan intensitas yang nyaris menyerupai api yang tak terkendali, membakar apa saja yang menghalangi jalannya.Elena berdiri tegak, tubuhnya memancarkan keteguhan meski hatinya bergetar hebat. Ia menggelengkan kepala, sebuah perlawanan kecil namun penuh makna, cukup untuk memancing amarah suaminya yang sudah di ambang batas kewarasan.“Kau memang gila, Gio,” Elena akhirnya meledak, suaranya tinggi, bergetar oleh campuran kemarahan dan luka yang mendalam. “Kau yang selingkuh, tapi malah menyalahkan orang lain. Di mana hati nuranimu itu, huh?”Gio menggertakkan giginya, suara keras itu seperti gemuruh badai yang hendak melanda. “Kau tahu, Gio? Aku sudah mengantongi banyak bukti perselingkuhanmu dengan Jesika. Jika kau tidak ingin menceraikanku, maka biarkan aku saja yang menceraikanmu.”Elena ber
“Aku membencimu!” pekik Elena. Suaranya pecah, seperti gelas kristal yang dilemparkan ke lantai marmer.Matanya memancarkan api kebencian, tetapi di balik nyalanya yang menyala-nyala, ada luka yang tersembunyi, perih dan berdenyut.Wajahnya yang lelah tampak seperti kanvas yang penuh dengan guratan rasa sakit dan pengkhianatan.Tangannya mengepal erat, gemetar menahan badai emosi yang tak lagi mampu ia bendung.“Aku membencimu, Karl, dan juga Gio! Kalian tidak ada bedanya! Kalian hanya tahu caranya menghancurkan hatiku!” Air matanya mengalir, bukan lagi sebagai tanda kelemahan, tetapi sebagai ungkapan kebencian yang sudah membusuk di relung jiwanya.Karl tetap diam. Wajahnya datar, namun ada sesuatu yang berubah di matanya—keraguan, kesedihan, atau mungkin keterkejutan.Ia hanya bisa memandang Elena, mendengarkan setiap kata yang menusuk jantungnya seperti belati yang digoreskan perlahan.“Kalian hanya menyakitiku,” lanjut Elena, suaranya serak, seperti seseorang yang telah kehilangan
Karl berdiri di ruangan sempit dengan lampu putih terang yang menyinari setiap garis di wajahnya.Udara di ruangan itu terasa berat, seolah dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata.Suara jam dinding berdetak lambat, namun cukup nyaring untuk menggema di kepala Karl, bersaing dengan denyut nadinya yang teratur namun kuat.“Tuan Karl. Jelaskan kronologinya. Kenapa Anda menghajar Tuan Gio sampai babak belur seperti ini?” Suara polisi terdengar datar namun tegas, memecah keheningan yang mencekam.Gio, duduk di sudut ruangan, menahan sakit di rahangnya. Bekas pukulan Karl yang menghantamnya seperti badai terlihat jelas di wajahnya.Meski wajahnya remuk, matanya masih menyala dengan kemarahan yang tak tertahan, seperti api yang tak kunjung padam.Karl melipat tangannya di depan dada. Wajahnya tenang, seperti prajurit yang tahu bahwa pertempuran sudah dimenangkannya.Dengan nada rendah namun penuh keyakinan, ia menjawab, “Karena Gio tiba-tiba saja mengamuk seperti setan di ruang kerja Elena.
Malam telah tiba. Langit pantai dihiasi bintang-bintang yang redup, sementara gelombang laut memecah keheningan dengan suara lembut yang teratur.Aroma garam bercampur dengan bau minuman alkohol yang tumpah, menguar dari gelas-gelas pesta yang berserakan.Lampu-lampu warna-warni berkilauan, menari-nari di atas pasir, menciptakan ilusi yang kontras dengan kegelapan malam.Musik dari DJ berdentum memekakkan telinga, membuat detak jantung terasa berpacu dengan irama bass yang menghentak.Orang-orang tertawa, menari liar, dan melupakan dunia sejenak dalam euforia pesta yang tak mengenal batas.Namun, di sudut yang agak sepi, di bawah bayang-bayang pohon kelapa yang bergoyang ringan diterpa angin, Elena dan Karl berdiri dalam ruang kecil yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk.Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keheningan yang jauh lebih bising daripada suara musik yang memekakkan.Mata Elena menatap Karl, sorotnya tajam tetapi rapuh. Ia menarik napas pelan, tetapi berat—seperti sedang
“Kau mau membawaku ke mana, Karl?” tanya Elena, suaranya sedikit terangkat untuk melawan suara deru mesin speedboat yang membelah permukaan laut biru.Karl menoleh sejenak, matanya yang tajam namun hangat memandang Elena sebelum kembali fokus pada kemudi.“Pergi ke beach club yang tak jauh dari pulau ini,” jawabnya ringan.Elena terdiam. Ia memandangi buih ombak yang terpecah di sisi speedboat, sementara angin membawa aroma asin laut yang khas.Beach club… sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Kesibukannya mengelola restoran miliknya seolah telah menelan seluruh waktunya.Bertahun-tahun ia larut dalam ambisi dan kerja keras hingga melupakan hal sederhana seperti menikmati hidup.Setengah jam berlalu. Perlahan, di hadapan mereka mulai terlihat bangunan berarsitektur tropis dengan atap jerami yang menjulang, diapit oleh deretan pohon kelapa yang menari-nari di bawah belaian angin.Musik chill-out berdentum lembut dari kejauhan, berpadu dengan suara tawa dan
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini