Olivia mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak tahu jika Miranda juga ada di dalam kamar sang ayah. Saat Nolan menekan ayahnya dan berakhir dengan kematian. Rasa dendam yang ada di dalam hatinya pada Miranda semakin besar. Dia juga berniat untuk membuat Nolan menyesali semua perbuatannya pada ayahnya.“Apa tujuanmu memperlihatkan semua ini padaku?” tanya Olivia. Setelah dia melihat video itu. Dan dia juga sudah bisa mengontrol emosinya.“Tujuanku? Entahlah. Aku tidak tahu apa tujuanku
Olivia begitu terkejut dengan Dean yang menggila karena Paula mengutuk Miranda. Dia sempat berpikir jika pria itu akan berubah setelah tahu apa yang dilakukan oleh wanita busuk itu. Namun, sepertinya Dean sama sekali tidak bisa berubah. Pria itu terus akan berada di sisi Miranda. Serta membelanya walaupun wanita itu sudah melakukan banyak hal kejahatan dan membuat orang-orang menderita. “Dia adalah adikmu. Apakah kamu ingin menghabisinya hanya karena wanita busuk itu,” ujar Angel. Yang membuat Dean berhenti menendang pintu ruangan yang ada di depannya. Dean membalikkan tubuhnya dan menatap Angel yang mengatakan jika Miranda adalah wanita busuk. Dia tidak bisa menerima semua itu. Dia mengepalkan tangannya dan langsung menyerang Angel. “Seharusnya aku menghabisimu! Agar kamu tidak banyak menghinanya!” tukas Dean sembari terus menyerang Angel. “Kamu pikir bisa dengan mudah menghabisiku? Bermimpi saja!” timpal Angel. Yang berhasil menangkis atau menghindari serangan Dean. Olivia
Olivia sudah kembali ke rumah Nolan. Dia sekarang sudah ada di dalam kamar. Dia tidak menemukan pria itu di dalam kamarnya. Dia pun duduk di atas ranjang lalu merebahkan tubuhnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dan kembali teringat dengan semua hal yang sudah dilihatnya. Dia pun memejamkan matanya sejenak dan akhirnya terlelap. Sehingga tidak menyadari jika Nolan memasuki kamarnya. “Dia sedang tidur,” ucap Nolan pada seseorang yang ada di ujung telepon. Sembari menatap Olivia yang tertidur di atas ranjang. Nolan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang yang ada di ujung telepon. Setelah itu dia pun memutuskan sambungan teleponnya. Dia menyimpan ponselnya di atas nakas lalu duduk di samping Olivia. Dia menatap dengan lekat wanita yang tertidur pulas itu. Dia benar-benar tidak ingin melepaskannya. Dia ingin menjadikan Olivia sebagai wanitanya. Dan tidak peduli jika dirinya harus dibenci oleh Olivia karena menekannya agar tidak lari darinya. “Entah sejak kapan aku menjadi s
“Kamu begitu kejam! Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu pada, Paula?” ujar Olivia. Setelah dia mendengar Nolan menyebut nama wanita itu. “Itu belum seberapa. Apakah kamu mau merasakan apa yang dirasakan oleh wanita itu?” “Nolan, bajingan kamu! Aku benci kamu! Kamu benar-benar seperti iblis. Kamu sama saja seperti, Miranda. Yang rela melakukan hal busuk untuk menghadapi orang yang tidak kamu sukai!” Olivia berusaha untuk melepaskan diri dari Nolan. Akan tetapi, pria itu terus saja berjalan sembari menggendongnya di atas pundaknya. Ada beberapa pelayan dan pengawal yang melihatnya. Namun, mereka langsung mengalihkan pandangannya. Sebab mereka tidak ingin mendapatkan kemarahan dari sang tuan. Hingga akhirnya Nolan berada di dalam kamar. Pria itu mengunci pintu kamarnya lalu menghempaskan tubuh Olivia di atas ranjang. “Memuakkan!” tukas Olivia. Sembari mengubah tubuhnya. Menjadi duduk di atas ranjang. Olivia hendak berdiri. Akan tetapi, Nolan menyerangnya. Sehingga tubuh Oliv
Olivia sedikit merasa jenuh dengan hari-harinya di Pulau Jeju karena dia sama sekali tidak bisa keluar dengan bebas. Dia juga sedikit kesulitan untuk bertemu dengan Adel. Karena wanita itu sedang sibuk melakukan semua perintah Nolan yang menurutnya sangat tidak penting. “Sampai kapan kamu mau menghalangi aku bertemu dengan, Adel?” tanya Olivia pada Nolan yang baru saja duduk di depannya. “Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan dengannya?” “Itu bukan urusanmu. Lagi pula Adel masih menjadi asistenku.” “Dia harus menyelesaikan beberapa hal sebelum dia menikah dengan, Ian.” “Kapan mereka akan menikah?” Sebelum Nolan menjawab pertanyaan Olivia. Dia mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam saku jasnya. Dia melihat nomor yang tertera di layar ponselnya dan tersenyum tipis. “Ada yang ingin aku tunjukkan padamu. Ikutlah denganku!” ucap Nolan. Sembari berdiri dan dia mengabaikan panggilan teleponnya. “Ke mana?” “Ikut saja denganku.” Nolan pun berjalan menjauh dari Olivi
"Seburuk apa? Aku sudah terbiasa mendapatkan kabar buruk bahkan dari orang yang dekat denganku,” Olivia kembali berkata. Dengan nada datar sembari menatap Nolan. “Baiklah. Kalau begitu kita temui saja mereka sekarang juga.” Olivia kembali memasang wajahnya. Dia mengikuti langkah Nolan yang sudah berjalan lebih dulu darinya. Dia sedikit mempercepat langkahnya karena pria yang ada di depannya melangkah dengan lebar. Sehingga dirinya tidak bisa mengejarnya. Nolan menyadari akan hal itu. Dia pun memperlambat sedikit langkahnya. Sekesal apa dia pada wanita yang ada di belakangnya. Dia tetap masih peduli dengannya. “Di mana mereka semua?” tanya Nolan. Pada seorang pria yang baru saja membuka pintu rumah. “Semuanya suda menunggu Anda di ruang tengah.” Setelah mendengar itu Nolan mengangguk dan dia berjalan menuju ruang tengah yang dikatakan oleh pria tadi. Yang merupakan pelayan di rumah itu. Olivia pun masuk ke dalam rumah itu. Dia memberikan sedikit senyumnya saat pelayan pria
"Iya aku. Dia sudah memanfaatkan aku untuk menjalankan misinya balas dendam pada ayahku. Dia juga bisa memanfaatkan kamu untuk mencapai ambisinya yang lain,” sambung Olivia. Sekarang giliran Olivia yang menyerang Miranda. Dia tidak akan bisa dikalahkan dengan mudah oleh wanita itu. Dia sudah banyak belajar dari Miranda sehingga dirinya bisa sedikit mengimbanginya. Dia melontarkan semua hal yang bisa membuat wanita itu menjadi tidak yakin dengan cintanya pada Nolan. Dia tersenyum miring saat melihat rasa kesal dari raut wajah wanita itu. “Terus saja mengatakan hal itu. Aku sama sekali tidak percaya. Aku yakin pria itu sangat mencintai aku. Dia rela melakukan apa saja demi aku. Baik dulu maupun sekarang. Selamanya dia akan menjadi milik aku,” Miranda berkata dengan nada kesal pada Olivia. Olivia hanya tersenyum mendengar perkataan yang terlontar dari mulut wanita yang ada di depannya. Dia melihat ke arah belakang Miranda. Terlihat Nolan. Adel dan Ian yang mendekat ke arahnya. “Ka
Olivia sudah berada di dalam sebuah kamar. Dia duduk di atas sofa. Dengan sebuah kotak di atas pangkuannya. Dia menatap kotak itu yang baru diberikan oleh Adel kepadanya. “Kamu bukalah dan bacalah dengan tenang. Aku akan melihat situasi di luas sana. Apabila kamu memerlukan laptop ... kamu bisa menggunakannya,” Adel berkata pada Olivia. Sembari menyimpan sebuah laptop di atas meja. “Terima kasih.” Olivia melihat Adel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu pun akhirnya ke luar dari dalam kamar. Lalu menutup pintu kamar dengan rapat. Dia kembali menatap kotak itu dan membukanya. Ada beberapa amplop putih dan sebuah flash drive. Sebelum membuka flash drive itu. Dia lebih memilih membaca amplop putih yang ada tiga dan semuanya ada nomornya. “Mengapa ayah menomorinya? Apakah aku harus membuka yang nomor satu dulu?” gumam Olivia. Lalu dia mengambil amplop nomor satu. Dia membukanya dan mulai membacanya. Dia melihat juga jika tulisan itu adalah tulisan sang ayah. Dia sedik