Olivia langsung menekan nomor ponsel Nolan. Dia mendengar suara nada sambung dan tidak berselang lama terdengar suara Nolan yang ada di ujung telepon. “Nolan, aku harus kembali ke Jakarta,” ucap Olivia pada Nolan yang ada di ujung telepon. Dia pun kembali mengatakan alasannya mengapa dirinya harus kembali ke Jakarta hari ini juga. Namun, dia juga tidak ingin mengganggu aktivitas Nolan untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. “Aku bisa kembali sendiri atau bersama dengan, Adel.” Olivia menutup sambungan teleponnya setelah mendapatkan izin dari Nolan untuk kembali lebih dulu. Dia pun berjalan mengambil tasnya dan ke luar dari dalam kamar. Dia menuju ke kamar Adel yang ada di sebelahnya. Dia mengetuk pintunya dan tidak begitu lama Adel membukakan pintunya. Dia menatap wanita yang ada di depannya yang terlihat sudah siap untuk pergi. “Kamu mau pergi ke mana?” tanya Olivia pada Adel. “Bukankah kita akan kembali ke Jakarta.” “Kamu tahu? Bukankah aku belum mengatakannya padamu.” Adel
Olivia menatap orang itu dengan tajam. Orang itu pun mendekat ke arah dokter. Dia tersenyum kecut saat mendengar kesedihan dan kekecewaan dari nada bicara orang itu yang tidak lain adalah ibu tirinya. “Katakan padaku! Dia tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Miranda pada sang dokter. Olivia terus memperhatikan Miranda yang terlihat sedih dengan kesehatan suaminya. Entah mengapa dia sama sekali tidak percaya dengan wanita itu. Di dalam benaknya berkata jika Miranda adalah pemain sandiwara yang handal. “Tenangkan dirimu! Bukankah dokter yang merawatmu memintamu untuk tetap di kamar?” Sang dokter berkata pada Miranda. “Aku tidak ingin berada di kamarku! Aku ingin bersama dengan suamiku! Izinkan aku untuk bertemu dengannya!” “Jangan keras kepala! Saat ini kamu masih belum pulih sepenuhnya. Biarkan suamimu ada di kamar untuk beristirahat.” “Izinkan saja dia bertemu dengan suaminya. Biarkan dia mengurus suami yang sangat dicintainya itu,” sela Olivia yang sudah tidak tahan lagi mendengar perk
Saat ini Olivia sudah ada di ruang kerjanya. Dia duduk sembari memeriksa beberapa dokumen yang ada di mejanya. Dokumen itu diberikan oleh asisten ayahnya. “Masuk!” perintahnya pada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya. Dia melihat Adel yang berjalan masuk. Terlihat Adel membawa beberapa map lalu menyerahkan kepadanya. Dia pun menyimpan map itu di atas meja untuk diperiksanya nanti. “Apakah kamu sudah tahu alamat orang itu?” tanya Olivia pada Adel. “Sudah. Kapan kita akan menemuinya?” “Jam makan siang. Kita akan pergi ke sana.” Adel pun mengangguk dan dia mengatakan beberapa hal yang harus dilakukan oleh Olivia pada map yang baru saja diberikan olehnya. Setelah mengatakan itu dia pun pergi menuju ke ruangannya yang tidak jauh dari ruangan Olivia. Olivia setelah selesai memeriksa dokumen yang diberikan oleh asisten ayahnya. Barulah dia memeriksa dokumen yang diberikan oleh Adel barusan. Dia membacanya dengan perlahan dan teliti lalu mengambil bolpoinnya. “Akhirnya sudah
"Ada apa?” tanya Adel setelah melihat Olivia menutup sambungan teleponnya. “Aku harus pergi! Apakah kamu bisa mengurusnya?” “Apa perlu aku temani?” Olivia terdiam sejenak. Dia memikirkan tentang proses pengiriman pasangan suami istri yang ada di depannya. Apakah bisa tanpa dirinya atau tanpa Adel. Sebab di dalam benaknya masih ada rasa khawatir. “Adel, apakah kamu bisa menjaga mereka sampai tiba di tujuannya? Aku hanya percaya padamu.” “Kamu yakin?” “Aku yakin.” “Baiklah kalau begitu,” sambung Adel sembari menyerahkan kunci mobil miliknya. Olivia mengambil kunci mobil milik Adel. Dia pun pamit kepada pasangan suami istri itu. Setelah itu dia pergi meninggalkan mereka dan langsung menuju ke mobil. Dia sudah ada di dekat mobil dan langsung masuk ke dalam mobil. Lalu menjalankannya. Dia mempercepat laju mobilnya dan harus segera tiba di tempat yang ingin ditujunya. Jalanan yang ditempuhnya lumayan padat sehingga dia tiba di rumah sakit sedikit lama. Dia pun akhirnya tiba
Olivia tersenyum kecut saat mendapatkan ancaman dari Paula. Dia dengan cekatan mengambil senjata tajam itu dan sekarang keadaan berbalik. Dia mulai memain-mainkan senjata milik Paula. “Apa kamu yakin ingin melukai wajahku? Apakah kamu tidak takut jika aku yang melakukan itu pada wajahmu?” “Kamu ....” “Kamu pikir aku wanita lemah? Aku tahu jika kamu adalah orang yang ada di balik penculikan itu?” “Lakukan saja! Aku sama sekali tidak takut denganmu! Aku juga tidak peduli jika kamu melukai wajahku,” “Kamu pikir aku wanita sepertimu?” Olivia membuka kaca pintu mobil dan melempar pisau itu ke luar. Dia pun membuka pintu mobil lalu ke luar dari dalam mobil. Sebelum pergi meninggalkan Paula dia menatap wanita itu dengan tajam. “Jangan mengancamku karena kamu bukan lawanku,” Olivia berkata pada Paula. Dengan nada meremehkan. Dia kembali tersenyum tatkala melihat rasa kesal dari raut wajah wanita itu. Setelah itu dia berjalan meninggalkan Paula. Dia terus berjalan meski tidak tahu a
"Mengapa masih menyembunyikan sesuatu dariku,” Olivia kembali berkata pada Nolan. Olivia terus menatap pria itu dengan tatapan penuh selidik. Dia yakin jika Nolan memang merencanakan sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Rasa ingin tahunya begitu besar dan pria itu masih tetap saja diam. “Aku takut kamu akan terkejut dan merasa jijik denganku. Bahkan kamu akan membenci aku.” “Jelaskan padaku! Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan?” Olivia terus saja bertanya pada Nolan. “Aku berencana untuk ....” Sebelum Nolan melanjutkan kalimatnya ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Olivia mengabaikan itu dan dia menunggu Nolan melanjutkan kalimatnya. “Sebaiknya aku pergi! Jika tidak mereka akan terkejut dan membuat keributan,” Nolan berkata lalu dia berjalan menuju balkon. Olivia hanya memandangi kepergian Nolan. Dia benar-benar yakin jika pria itu menyembunyikan rencana yang sangat besar. Dia semakin kesal karena orang yang ada di balik pintu kamarnya terus saja mengetuk. Dia pun t
"Sudah cukup! Aku tidak ingin mendengar perdebatan lagi. Sekarang Aku menyerahkan perusahaan pada Olivia. Dan kamu Sayang lebih baik pikirkan dulu bisnismu yang lainnya!” ucap Leon pada Miranda. “Tapi ....” “Tidak ada tapi-tapi lagi! Jika kamu tidak menurut maka kamu akan menyesal!” potong Leon sebelum istrinya melanjutkan kalimatnya. Olivia tersenyum melihat drama yang ada di depannya. Dia sedikit merasa bingung juga dengan sikap ayahnya. Namun, dia berpikir jika ayahnya memang sengaja menjadikannya perisai perusahaan agar dirinya bisa menyelesaikan semua kekacauan yang dibuat oleh Miranda. Dia pun melihat ibu tirinya yang merasa kesal dengan sikap sang ayah. Olivia melihat sekilas wajah sang ayah yang terlihat sedih. Ada kemungkinan ayahnya merasa sedih karena harus berkata tegas pada istrinya itu. “Sayang, kamu sudah tidak percaya lagi padaku?” tanya Miranda pada suaminya. Sembari menatapnya dengan saksama. “Aku bukannya tidak percaya padamu. Namun, semuanya sudah seperti ini
“Apa ini?” tanya Olivia pada asisten ayahnya. Sembari menatap melihat amplop yang sudah ada di tangannya. “Nona, baca saja di rumah. Biar Anda bisa mencerna semuanya dengan baik. Sehingga bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.” Sang asisten sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. Setelah itu dia pergi meninggalkan nonanya. Dan kembali ke ruangan untuk menjaga sang tuan yang masih perlu perlindungan darinya. Olivia menatap pria itu pergi menjauh darinya. Setelah itu dia kembali melihat amplop yang ada di tangannya. Dia pun naik ke dalam taksi yang tidak begitu lama baru menurunkan penumpangnya. Selama di dalam perjalanan dia hanya memandangi amplop yang ada di tangannya. Dia hendak membukanya dan membacanya tetapi diurungkan olehnya karena dia ingat dengan pesan asisten ayahnya itu. “Lebih baik aku membacanya di rumah,” gumam Olivia. Akhirnya Olivia tiba di rumah. Dia dikejutkan dengan kehadiran Miranda. Wanita itu sedang duduk di atas sofa sembari menatapnya dengan soro