Saat ini Olivia sudah ada di ruang kerjanya. Dia duduk sembari memeriksa beberapa dokumen yang ada di mejanya. Dokumen itu diberikan oleh asisten ayahnya. “Masuk!” perintahnya pada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya. Dia melihat Adel yang berjalan masuk. Terlihat Adel membawa beberapa map lalu menyerahkan kepadanya. Dia pun menyimpan map itu di atas meja untuk diperiksanya nanti. “Apakah kamu sudah tahu alamat orang itu?” tanya Olivia pada Adel. “Sudah. Kapan kita akan menemuinya?” “Jam makan siang. Kita akan pergi ke sana.” Adel pun mengangguk dan dia mengatakan beberapa hal yang harus dilakukan oleh Olivia pada map yang baru saja diberikan olehnya. Setelah mengatakan itu dia pun pergi menuju ke ruangannya yang tidak jauh dari ruangan Olivia. Olivia setelah selesai memeriksa dokumen yang diberikan oleh asisten ayahnya. Barulah dia memeriksa dokumen yang diberikan oleh Adel barusan. Dia membacanya dengan perlahan dan teliti lalu mengambil bolpoinnya. “Akhirnya sudah
"Ada apa?” tanya Adel setelah melihat Olivia menutup sambungan teleponnya. “Aku harus pergi! Apakah kamu bisa mengurusnya?” “Apa perlu aku temani?” Olivia terdiam sejenak. Dia memikirkan tentang proses pengiriman pasangan suami istri yang ada di depannya. Apakah bisa tanpa dirinya atau tanpa Adel. Sebab di dalam benaknya masih ada rasa khawatir. “Adel, apakah kamu bisa menjaga mereka sampai tiba di tujuannya? Aku hanya percaya padamu.” “Kamu yakin?” “Aku yakin.” “Baiklah kalau begitu,” sambung Adel sembari menyerahkan kunci mobil miliknya. Olivia mengambil kunci mobil milik Adel. Dia pun pamit kepada pasangan suami istri itu. Setelah itu dia pergi meninggalkan mereka dan langsung menuju ke mobil. Dia sudah ada di dekat mobil dan langsung masuk ke dalam mobil. Lalu menjalankannya. Dia mempercepat laju mobilnya dan harus segera tiba di tempat yang ingin ditujunya. Jalanan yang ditempuhnya lumayan padat sehingga dia tiba di rumah sakit sedikit lama. Dia pun akhirnya tiba
Olivia tersenyum kecut saat mendapatkan ancaman dari Paula. Dia dengan cekatan mengambil senjata tajam itu dan sekarang keadaan berbalik. Dia mulai memain-mainkan senjata milik Paula. “Apa kamu yakin ingin melukai wajahku? Apakah kamu tidak takut jika aku yang melakukan itu pada wajahmu?” “Kamu ....” “Kamu pikir aku wanita lemah? Aku tahu jika kamu adalah orang yang ada di balik penculikan itu?” “Lakukan saja! Aku sama sekali tidak takut denganmu! Aku juga tidak peduli jika kamu melukai wajahku,” “Kamu pikir aku wanita sepertimu?” Olivia membuka kaca pintu mobil dan melempar pisau itu ke luar. Dia pun membuka pintu mobil lalu ke luar dari dalam mobil. Sebelum pergi meninggalkan Paula dia menatap wanita itu dengan tajam. “Jangan mengancamku karena kamu bukan lawanku,” Olivia berkata pada Paula. Dengan nada meremehkan. Dia kembali tersenyum tatkala melihat rasa kesal dari raut wajah wanita itu. Setelah itu dia berjalan meninggalkan Paula. Dia terus berjalan meski tidak tahu a
"Mengapa masih menyembunyikan sesuatu dariku,” Olivia kembali berkata pada Nolan. Olivia terus menatap pria itu dengan tatapan penuh selidik. Dia yakin jika Nolan memang merencanakan sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Rasa ingin tahunya begitu besar dan pria itu masih tetap saja diam. “Aku takut kamu akan terkejut dan merasa jijik denganku. Bahkan kamu akan membenci aku.” “Jelaskan padaku! Sebenarnya apa yang akan kamu lakukan?” Olivia terus saja bertanya pada Nolan. “Aku berencana untuk ....” Sebelum Nolan melanjutkan kalimatnya ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Olivia mengabaikan itu dan dia menunggu Nolan melanjutkan kalimatnya. “Sebaiknya aku pergi! Jika tidak mereka akan terkejut dan membuat keributan,” Nolan berkata lalu dia berjalan menuju balkon. Olivia hanya memandangi kepergian Nolan. Dia benar-benar yakin jika pria itu menyembunyikan rencana yang sangat besar. Dia semakin kesal karena orang yang ada di balik pintu kamarnya terus saja mengetuk. Dia pun t
"Sudah cukup! Aku tidak ingin mendengar perdebatan lagi. Sekarang Aku menyerahkan perusahaan pada Olivia. Dan kamu Sayang lebih baik pikirkan dulu bisnismu yang lainnya!” ucap Leon pada Miranda. “Tapi ....” “Tidak ada tapi-tapi lagi! Jika kamu tidak menurut maka kamu akan menyesal!” potong Leon sebelum istrinya melanjutkan kalimatnya. Olivia tersenyum melihat drama yang ada di depannya. Dia sedikit merasa bingung juga dengan sikap ayahnya. Namun, dia berpikir jika ayahnya memang sengaja menjadikannya perisai perusahaan agar dirinya bisa menyelesaikan semua kekacauan yang dibuat oleh Miranda. Dia pun melihat ibu tirinya yang merasa kesal dengan sikap sang ayah. Olivia melihat sekilas wajah sang ayah yang terlihat sedih. Ada kemungkinan ayahnya merasa sedih karena harus berkata tegas pada istrinya itu. “Sayang, kamu sudah tidak percaya lagi padaku?” tanya Miranda pada suaminya. Sembari menatapnya dengan saksama. “Aku bukannya tidak percaya padamu. Namun, semuanya sudah seperti ini
“Apa ini?” tanya Olivia pada asisten ayahnya. Sembari menatap melihat amplop yang sudah ada di tangannya. “Nona, baca saja di rumah. Biar Anda bisa mencerna semuanya dengan baik. Sehingga bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.” Sang asisten sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. Setelah itu dia pergi meninggalkan nonanya. Dan kembali ke ruangan untuk menjaga sang tuan yang masih perlu perlindungan darinya. Olivia menatap pria itu pergi menjauh darinya. Setelah itu dia kembali melihat amplop yang ada di tangannya. Dia pun naik ke dalam taksi yang tidak begitu lama baru menurunkan penumpangnya. Selama di dalam perjalanan dia hanya memandangi amplop yang ada di tangannya. Dia hendak membukanya dan membacanya tetapi diurungkan olehnya karena dia ingat dengan pesan asisten ayahnya itu. “Lebih baik aku membacanya di rumah,” gumam Olivia. Akhirnya Olivia tiba di rumah. Dia dikejutkan dengan kehadiran Miranda. Wanita itu sedang duduk di atas sofa sembari menatapnya dengan soro
"Bagaimana dengan, Angel? Apakah dia masih ingin membalas dendam padaku?” tanya Olivia pada orang yang ada di sampingnya. “Jika melihat gerak-geriknya ... dia sudah tidak peduli dengan masalahmu. Karena tujuannya saat ini adalah balas dendam pada suaminya.” “Apa kamu yakin akan hal itu?” “Iya. Aku yakin dan aku merasa dia sama sepertimu yang sudah terobsesi untuk balas dendam.” Orang itu pun beranjak setelah mengatakan semua hal yang memang perlu dikatakan pada Olivia. Sekarang dia harus melakukan pekerjaan lainnya. Dia menghela napasnya dan berharap jika Olivia dan Angel bisa kembali seperti dulu. Namun, dia merasa jika semuanya tidak akan terjadi apabila dendam masih ada di dalam hati mereka. Dia pun terus berjalan meninggalkan taman dan menaiki motornya. Sedangkan Olivia masih ada di taman. Dia melihat apa yang ada di depannya. Dia sedang memikirkan tentang Angel. Rasa bersalah yang ada di dalam benaknya pada Angel begitu besar. “Andaikan aku tidak membawanya masuk ke dala
"Hanya sedikit kejutan saja,” Nolan menimpali Olivia. Sembari menatap mereka yang ada di depannya. “Aku pikir mereka sudah tidak ingin bersama lagi.” “Bagaimana jika mereka berdua memutuskan untuk bersama kembali?” “Aku tidak masalah. Yang terpenting adalah Adel bahagia dengan pria yang menjadi pilihannya.” Olivia melayangkan senyumannya pada Adel yang tersenyum juga padanya. Dia pun mendekat ke arah Adel dan Ian yang sepertinya sudah menunggu kehadirannya dan Nolan. “Kamu tidak mengatakan padaku jika malan ini akan hadir di sebuah pesta?” tanya Olivia pada Adel yang ada di depannya. “Bagaimana aku tidak datang. Ini adalah pesta salah satu temanku.” “Kita masuk sekarang!” Nolan memotong pembicaraan antara Olivia dan Adel. Mereka semua pun masuk ke dalam ruangan. Di mana pesta malam ini diselenggarakan. Olivia melihat semua orang yang ada di dalam ruangan itu adalah para pengusaha muda. Yang bisa dikatakan sukses. “Nolan, bagaimana kabarmu?” tanya seorang pria yang baru saja
Olivia berdiri di balkon apartemennya. Dia hanya diam sembari melihat langit biru yang cerah. Wajahnya terpancar kesedihan dan rasa kesepian karena selama dua bulan ini dirinya tidak bertemu dengan Nolan. “Sampai kapan kamu akan terus berada di dalam apartemenmu ini?” tanya Adel yang baru saja berdiri di sampingnya. “Malam ini aku akan berada di apartemen ini. Setelah itu aku akan kembali ke rumahku.”“Apakah kamu masih belum mau menemui, Nolan?” “Dia sudah bahagia bersama dengan wanita itu.”“Kamu salah.”“Aku tidak salah.”Olivia melihat ke arah Adel dan wanita itu menggelengkan kepalanya. Dia tidak paham mengapa Adel masih saja membela Nolan yang sudah memutuskan untuk bersama dengan wanita itu bukannya menemuinya. “Olivia, malam itu dia memang menemui Miranda. Namun, setelah itu dia pergi dan langsung menuju ke Paris. Ada rekan bisnisnya yang mengalami penyerangan.”“Kalau itu aku tidak tahu. Ceritakan lagi padaku yang sebenarnya terjadi!” “Makannya kalau dia menghu
Sudah satu minggu Olivia belum mendapatkan kabar tentang Nolan. Rasa khawatir semakin bergelayut di dalam hatinya. Akan tetapi, dia selalu berusaha untuk bersikap tenang. Sebab dia yakin jika Nolan akan kembali ke sisinya. Di saat kepergian Nolan semua rencananya berjalan dengan lancar. Dia berhasil merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Dia juga berhasil membuat Miranda mundur beberapa langkah dari rencana yang sudah dibuat. “Apa kamu sudah puas, Olivia?! Kamu sudah mengambil semuanya. Sekarang biarkan aku bersama dengan ayah dari bayi yang aku kandung ini,” tanya Miranda dengan nada kesal. “Puas? Aku sama sekali tidak puas karena kamu sudah membuat hidupku hancur. Apakah kamu sempat berpikir yang kamu lakukan itu adalah hal buruk?” “Aku tidak peduli akan hal buruk atau baik. Karena aku hanya ingin memiliki apa yang seharusnya menjadi milik aku!” Olivia tersenyum kecut saat mendengar perkataan Miranda. Dia tidak habis pikir semua yang dimilikinya mengapa bisa seh
Olivia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh wanita yang ada di depannya. Akan tetapi, dia tidak bisa mempercayai semua perkataan yang diucapkan oleh wanita itu tentang Nolan. “Jangan asal bicara! Sebaiknya jangan mencari masalah di sini!” tukas Nolan. Yang kesal dengan apa yang dilakukan oleh wanita yang ada di depannya yang tidak lain adalah Miranda. “Jangan membuangku begitu saja Nolan! Kamu harus bertanggung jawab! Ini adalah bayimu dan aku tidak ingin bayi ini lahir tanpa seorang ayah.” Miranda terus saja mengatakan jika dirinya tengah hamil. Dia pun menunjukkan buktinya. Dia begitu percaya diri jika dirinya sedang hamil anak dari Nolan dan tidak lama lagi pria itu akan menjadi miliknya. Dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang sudah dilakukan Nolan dengan semua bisnisnya. Olivia hanya diam mendengar semua perkataan yang dilayangkan oleh Miranda. Dia mengingat kembali kedekatan Nolan bersama Miranda selama satu tahun terakhir ini. Dan itu memungkinkan terjadinya hal i
“Kamu akan tahu sebentar lagi,” Nolan menjawab pertanyaan yang barusan dilayangkan oleh Olivia kepadanya. Olivia pun kembali melihat ke arah Tom setelah mendengar jawaban Nolan. Dia melihat Tom yang juga menatap ke arah Nolan dengan tatapan penuh rasa kesal. Dan pria itu memutuskan sambungan teleponnya. “Mengapa kamu melakukan semua ini?!” tanya Tom dengan nada tinggi pada Nolan. “Sudah aku katakan bukan padamu. Jika aku tidak akan melepaskan siapa saja yang ada kaitannya dengan kecelakaan itu.” “Aku yang menyelamatkannya. Jika tidak ada aku maka dia akan mati.” “Sungguh? Kamu begitu yakin.” Olivia masih merasa bingung dengan perdebatan mereka berdua. Dia pun mulai berpikir apakah kecelakaan yang sedang mereka bicarakan adalah kecelakaan yang menimpanya satu tahun yang lalu di Bali. “Yang aku tahu jika kamu memang melakukan semua itu hanya ingin membuat Olivia berada di sisimu,” Nolan kembali berkata pada Tom. “Apa tujuannya melakukan semua ini?” Olivia akhirnya bertanya p
Olivia masih mendengar pintu apartemennya diketuk. Dia akhirnya kembali melihat siapa orang yang ada di balik pintu. Dia melihat seseorang yang dikenalnya. Sehingga membuatnya bernapas lega. Lalu membuka pintu apartemennya. “Mengapa lama sekali membukanya?” tanya orang itu. Setelah Olvia membuka pintu apartemennya. “Aku pikir bukan kamu.” “Lantas siapa?” “Tadi ada yang mengetuk pintu tetapi sewaktu aku melihat di layar tidak ada siapa-siapa,” jelas Olivia. Sembari memutuskan sambungan teleponnya. Dia merasa sedikit tenang karena yang ada di hadapannya saat ini adalah Tom. Dia berpikir jika pria itu masih ada di luar negeri ternyata sudah ada di Jakarta. “Kapan kamu kembali? Mengapa kamu tidak mengatakan jika kamu sudah ada di Jakarta?” Olivia bertanya pada Tom. “Dua jam yang lalu. Dan aku langsung ke sini karena ada yang harus aku bicarakan denganmu.” Olivia melihat Tom berjalan menuju sofa. Dia pun mengikuti pria itu dan duduk tepat di hadapannya. Dia menunggu apa yang ingi
Karyawan wanita itu menjerit karena terkejut dan itu membuat Angel yang ada di ruangannya ke luar. Dia langsung menuju suara jeritan itu dan akhirnya dia melihat seorang wanita yang sedang membungkukkan tubuhnya ke arah karyawannya. “Siapa kamu?” tanya Angel pada wanita yang terlihat sedang mengancam karyawannya. Olivia langsung mengubah posisi tubuhnya dan dia melihat ke arah Angel. Dia memberikan senyumannya dan mendekat ke arah wanita yang sudah membantunya selama ini dan bahkan sempat bermusuhan juga dengannya. “Olivia ...,” ucap Angel saat melihat wajah wanita yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. “Apa kamu juga akan takut melihat aku?” tanya Olivia pada Angel. Setelah dia ada di hadapannya. “Aku sama sekali tidak takut meski kamu adalah hantunya sekalipun,” timpal Angel. Karena dia memang sudah melihat Olivia saat bertemu dengan Nolan. “Baguslah kalau begitu.” Setelah mengatakan itu Olivia pun berjalan kembali dan melewati Angel. Dia mulai memperhatikan satu per
"Sayang, mengapa kamu begitu manis hari ini? Dan kamu memintanya duluan,” ucap Miranda. Dengan nada sedikit menggoda. Tanpa banyak bicara lagi. Nolan beranjak dan berjalan ke luar dari dalam ruangan. Begitu juga dengan Miranda yang berdiri dan menatap ke arah Olivia. “Kamu dengar barusan bukan? Jika dia menginginkan aku dan bukan kamu. Aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan kemarin di Bali bersama dengannya. Sebab kamu hanya wanita saat saja baginya.” Miranda pun berjalan ke luar setelah mengatakan itu. Dia tersenyum puas dan penuh kemenangan. Dia tidak mengira juga jika Nolan menginginkannya dan mengatakannya di depan wanita yang sangat mirip dengan putri tirinya. Olivia tersenyum miring. Dia pun melihat kepergian Miranda. Dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan mereka berdua lakukan. Tidak begitu lama ada sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang mengirimkannya pesan singkat. “Untuk apa lagi dia mengirimkan aku pesan? Buka
“Terima kasih karena kamu sudah mengantarnya,” ucap Olivia pada karyawan wanita yang ada di depannya. “Nona, apakah ada yang perlu saya bantu?” Karyawan wanita itu bertanya pada nona yang ada di depannya. “Tidak ada. Kamu boleh kembali ke posisimu.” Olivia melihat karyawan wanita itu mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan ruangan. Lalu menutup pintu ruang kerjanya dengan rapat. Sekarang dia menatap orang yang ada di depannya yang juga sedang memandanginya. Dia sama sekali tidak bicara karena dia ingin orang itu yang lebih dahulu mengatakan maksud kedatangannya. “Mengapa? Mengapa kamu tidak begitu lemah?” tanya orang itu pada Olivia. “Lemah? Apakah aku selama ini kamu anggap seperti wanita lemah?” Olivia sedikit geram dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh orang yang ada di depannya. Padahal selama ini dirinya berusaha untuk menjadi wanita yang lebih kuat untuk menghadapi ibu tirinya. “Kalau begitu mengapa kamu memutuskan untuk menjauh dariku?” “Nolan Raymond, bukan
Nolan menunggu jawaban dari pertanyaan yang baru saja dilayangkan olehnya pada Olivia. Dia tidak paham mengapa Olivia mengatakan jika kali ini adalah yang terakhir. Dia sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Olivia. Dan wanita itu beranjak dari atas ranjang lalu berjalan menuju ke kamar mandi. “Sebenarnya apa yang akan dilakukan olehnya?” gumam Nolan. Sembari mengambil ponselnya yang ada di atas lantai. Dia melihat ke layar ponselnya dan melihat nama Miranda. Dia mengabaikan panggilan dari wanita itu. Sebab dia sudah merasa muak dengan Miranda yang tidak henti membuat masalah. Padahal dia sudah memberikan kesempatan pada wanita itu. Nolan mengabaikan panggilan telepon dari Miranda. Dia sedang tidak ingin bicara dengannya. Dia masih memikirkan apa yang barusan diucapkan oleh Olivia. Tidak berselang lama Olivia ke luar dari dalam kamar mandi. Dia masih melihat Nolan yang duduk di atas ranjang. Dia mengabaikan pria itu dan merapikan barang-barang miliknya karena dia akan kemb