Aaron terdiam sejenak mendengar pertanyaan Ayana, ia menatap bergantian pada bercak merah yang ia tinggalkan di dada Ayana, lalu kembali menatap wajah gadis cantik itu.“Karena ini pertama kalinya kita melakukannya.” Jawab Aaron tenang berhasil membuat Ayana terpaku. “Kita tidak melakukan apapun malam itu.” Aaron menambahkanAyana menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Aaron, ia bergerak menjauh dari tubuh Aaron. Rasanya tidak mungkin. Demi Tuhan ia berharap ia sedang bermimpi sekarang. Malam sial apa ini? Ia seperti kebanjiran Fakta menyakitkan.“Ayana...”“Kenapa? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” Ayana frustasi. “Lalu kenapa di tubuhku pagi itu penuh dengan cumbuan mu?”Aaron ikut bangkit duduk didepan Ayana yang memegang erat bad cover untuk menutup hingga ke bagian dadanya.“Bukankah kau bilang alergi pada alkohol? Malam itu kau minum sedikit wine lalu saat aku mulai menyentuh mu, setelah itu kau jatuh pingsan dan...” Aaron menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku menu
Didepan kaca didalam kamarnya, Ayana menatap lekat-lekat kulit leher dan dadanya yang dipenuhi dengan bekas hisapan Aaron semalam.Dada nya bergemuruh dan rasanya Ayana benci perasaan ini. Sejak bangun dari tidurnya pagi ini Ayana buru-buru meninggalkan kamar hotel Aaron dengan menggunakan jaket super besar milik pria itu yang mampu membungkus tubuh langsingnya dengan sangat baik.Untungnya begitu tiba di mansion keluarga mereka, hanya ada beberapa petugas kebun yang sedang membersihkan halaman dan taman samping mansion, sedangkan yang lainnya lebih banyak sibuk dapur. Dan entah dimana Henry dan Hana. Ayana hanya bisa yakin tidak ada satu orang pun yang melihatnya masuk pagi ini.Ayana memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan diri namun lagi dan lagi hanya bayangan Aaron yang menindih tubuhnya lah ya selalu muncul di kepalanya.“Aaron...” Ayana mendesahkan nama pria itu sebelum akhirnya tertarik kembali pada kenyataan.“Ayana... Apa yang kau pikirkan?” Ayana meremat rambut tebaln
Rumah Sakit Saint Carolus,“Kau kemana saja Ayana? Aku mencari mu sejak tadi pagi tapi tidak satu pun pesan ku yang kau balas.” Ayana langsung disambar ocehan dari Mattew begitu ia keluar dari toilet wanita.“Oh astaga Matt kau mengagetkanku!” Protes Ayana yang langsung diikuti pukulan kecilnya pada punggung tangan Mattew. Pria jangkung dengan tinggi hampir mencapai seratus delapan puluh senti itu hanya menatap geli padanya.“Jangan berpura-pura kaget, sekarang beritahu aku kenapa kau tidak membalas pesan ku. Apa aku telah membuat kesalahan padamu?” Tanya Mattew panjang lebar. Ia sudah mengikuti Ayana yang berjalan kembali menuju ruangan kerjanya.Gadis itu membuat pandangannya pada jam tangan kulit berwarna coklat yang di pakainya lalu menghela napas pelan.Entahlah ponselnya berada dimana sekarang, dari sejak bangun tidur pagi ini, ia sudah berusaha mencari ponselnya ke seluruh kamar hotel namun entah dimana benda pipih itu terlempar.Ia tidak mungkin kembali ke kamar hotel itu jika
Ayana mempercepat langkahnya saat menyadari bahwa Aaron masih terus mengikutinya sejak mereka berpapasan di depan pintu tadi. Oh shit, jika begini terus, ia bisa memutuskan untuk kembali ke Amerika.“Aaron, jangan mengikuti ku. Aku ingin sendiri sekarang!” Ayana tidak tahan, ia berbalik dan meneriaki Aaron yang berada tidak jauh di belakangnya.Aaron melonggarkan dasinya sebelum melangkah mendekati Ayana yang menatap tajam padanya.Tanpa mengatakan apapun pria itu mengeluarkan ponsel Ayana dari dalam kantong celananya lalu menyodorkannya pada gadis itu.Ayana mengangkat alisnya kikuk saat menatap ponselnya yang berada di tangan Aaron. Baiklah jadi entah ada dimana ponselnya pagi ini sehingga ia tidak bisa menemukannya dan Aaron menemukannya dengan begitu mudah. Dan ia sudah salah paham mengira Aaron akan menggangunya lagi.“Kau meninggalkannya di hotel.” Tangan Aaron menggantung dengan ponsel Ayana yang masih berada di tangannya.Ayana menggigit tepi bibirnya merasa kikuk sebelum meng
Pagi di bulan September itu dingin dan seperti hari sebelumya, cuaca tidak begitu cerah. Senin adalah hari favorit Aaron Xavier, karena ia sangat suka bekerja. Namun pagi itu langkah kaki Aaron bukan melangkah menuju perusahaannya.Kaki Aaron sudah menapak sempurna di depan Craven Cottage lengkap dengan pakaian serba biru gelap, khusus untuk bermain hoki, sedang ditangan kanannya sebuah hockey stick sudah dipegang erat.“Apa semalam sebuah meteor jatuh di London?” Suara berat seorang pria melangkah mendekati Aaron dari arah belakang.Tanpa menoleh Aaron sudah bisa mengenali suara itu. Felix Dalles, sepupu dari pihak ibunya berdiri tepat disamping Aaron.Aaron menoleh singkat dengan tatapan dingin, sedingin ice yang membuat Fellix menggelengkan kepala acuh tak acuh.“Ada project mu yang gagal? Atau bibi Gisel membuat masalah lagi?” Felix tertawa lebar. Ia sudah mengenal Aaron sejak kecil, hampir seluruh pria didalam keluarganya menyukai olahraga hoki ini kecuali Aaron, jika ia bisa ber
"Tidak, Ayana!” Sentak Mattew begitu sadar dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria jangkung itu berjalan ke arah meja kerja Ayana. “Omong-omong kau masih punya pasien?” Tanya Mattew setelah menyadari bahwa ia terlalu berisik. “Untungnya sudah tidak ada, kalau tidak kau hanya akan membuat pasien ku semakin sakit.” Ayana mendengus kesal lalu menyandarkan b*kongnya di tepi meja sembari melipat kedua tangannya di depan dada.Mattew mengangguk kecil lalu menatap serius Ayana, “Kau serius dengan ucapan mu tadi?” Tanya Mattew lagi.Ayana menggigit bibirnya pelan kedua bola matanya bergerak-gerak mencari ide di atas langit-langit ruangan tersebut.Akhir-akhir ini, terutama setelah ia kembali ke London, Ayana merasa sering sekali menemui kesialan, tidak ada yang benar dalam hidupnya. Dari sejak hari pertama ia menginjakan kakinya di mansion mereka, ia sudah bertemu dengan Aaron Xavier, lalu setelah itu kesialan-kesialan terus membuntutinya. Rasanya tidak ada yang benar terkecuali deng
Ayana menggelengkan kepalanya tidak percaya pada pandangannya saat ini, iris mata haselnya menatap lurus pada sosok tampan Aaron yang berjalan lurus menyusuri lobi rumah sakit tersebut dengan serangkaian buket bunga berwarna merah yang membuatnya semakin mencolok ditengah-tengah suasana rumah sakit yang berwarna putih.Ayana nyaris gila karena warna bunga tersebut mulai mengundang tatapan para gadis muda yang berada disana, oh tidak sepertinya bukan karena warna bunga itu, namun karena ketampanan Aaron yang terlalu sempurna.Shit! Ayana yakin ia pasti gila karena ia baru saja memuji ketampanan Aaron.Ayana memegang erat tas nya lalu membawa pandangannya ke sekitar, semua mata terus tertuju pada Aaron. Ayana tidak cukup yakin apakah buket bunga itu untuk partner bisnis nya yang bernama Robert atau mungkin ada partner bisnis lainnya yang sedang dirawat di rumah sakit ini.Aaron terus melangkah, hingga tidak ada waktu bagi Ayana untuk menghindari Aaron yang terlihat semakin mendekatinya.
‘Bernapas Ayana…’ Ayana sibuk mengutuk pikiran kotornya sendiri saat melihat bibir Aaron. Sial, Aaron pasti bukan pria perokok, warna bibirnya semerah warna jambu dan mulutnya wangi. “Aaron…” Ayana menghentikan ucapannya sendiri saat mendengar suara yang sangat memalukan dari perutnya sendiri. Oh Tuhan.Ayana menundukan kepalanya dalam-dalam didepan dada Aaron mencoba menahan malu saat senyum kecil pria itu mengembang.“Sebaiknya kita makan malam.” Bisik Aaron dengan senyum usilnya lalu menarik Ayana menuju mobilnya sendiri.“Aaron, kau tidak bisa seperti ini.” Protes Ayana mencoba menahan Aaron yang terus menariknya. Aaron seolah tidak peduli jika ada yang melihat mereka.“Masuk.” Aaron mendorong tubuh langsing Ayana masuk ke dalam mobilnya dan langsung memasang seat belt ketika ayana sudah duduk. Buket bunga besar itu masih di pegangnya.Setelah memastikan Ayana tidak akan melepas seat beltnya dan melompat keluar, Aaron baru berjalan mengitari porche mahalnya itu dan langsung duduk