Siang itu Cilla datang dari pulang dari bekerja. Ia turun dari motor ojek online tepat di depan rumah sang ibu.“Terimakasih, Pak. Saya sudah bayar pakai e wallet ya.” katanya kemudian melangkah memmuka kunci pagar.“Mbak,” panggil pria dengan jaket berlogo khas merek ojek berbasis daring itu.Cilla menoleh stelah berhasil memasukkan kunci ke dalam gembok pagar.“Ada apa Pak?”“Maaf helmnya boleh saya bawa?”Cilla melirik ke atas menyadari masih menggunakan helm milik pengemudi ojek tersebut. Dia memejamkan mata sesaat kemudian meletakkan tas berisi berkas ke bawah. Cilla melepas pengait helm dan segera melepasnya.“Astaghfirullah, maaf saya sampai lupa, Pak.”“Iya, gak apa-apa Mbak. Lagi banyak pikiran ya?”Cilla memandang pengemudi ojek itu yang masih menggunakan masker. Cilla hanya tersenyum singkat kemudian berpamitan masuk.“Assalamualaikum,” ucapnya saat membuka pintu utama. Wanita itu melepas sepatu dan menaruhnya di tempat semula kemudian berganti sandal. “Waalaikumsalam sala
“Gimana proyek kamu?” tanya Cilla.Wanita itu sedang memandang penuh sang suami yang melakukan hal yang sama padanya, mereka berpandangan. Baik Bastian maupun Cilla berbaring dengan posisi menyamping.“Udah mulai proses bikin rumah contoh. Baru pondasi aja tadi,” jawab Bastian seraya memainkan helaian rambut wanitanya.“Jadi kerjasama sama bosnya Danilo?”“Iya,” jawab Bastian mencium rambut sang istri.“Kamu ganti sampo ya?” tanya pria itu usai menghirup dalam-dalam surai sang istri.“Enggak, tetep kok. Kenapa? Bau ya?”Cilla ikut mencium rambutnya.“Gak, wanginya beda aja. Kayak pewangi baju.”“Enak aja pewangi baju.”“Iya, beneran makanya aneh.”“Dari tadi juga kamu ciumin.”“Ya suka cium rambut kamu. Daripada cium…” Bastian berhenti berbicara seraya menatap sang istri lebih dalam.Cilla mengeratkan giginya kesal. Semakin kesal sang suami berkata bau rambutnya seperti pewangi baju. Kini, ia menunggu kalimat apa yang akan diucapkan pria itu. Pria yang seumur hidupnya selalu membuatny
Cilla membuka pintu dan turun dari mobil. Bastian tentu menyusulnya. Pria itu berlari meraih lengan tangan sang istri sedikit Akhirnya Cilla menghentikan langkahnya.“Mau kemana? Berhenti!” ujar Bastian sedikit meninggi.Cilla mengibaskan tangan Bastian. Wanita itu membenarkan posisi tas bahunya kemudian menautkan kedua tangannya di depan dada.“Apa lagi, Biang kerok? Tidak cukup kamu utamakan sahabat kamu itu, sekarang kamu bandingkan aku sama dia?”“Apa sih, maksud kamu?” tanya Bastian tidak paham maksud Cilla.Pria itu berusaha memegang tangan sang istri. Namun, lagi-lagi ditepis dengan cepat.“Aku gak pernah ya mengutamakan dia!” bela Bastian pada dirinya sendiri.“Kalau Elka lebih dari segalanya daripada aku. Kenapa kamu tidak kawinin dia dulu? Kenapa kamu harus nikahin aku, Tian?”Bastian benar-benar tidak mengerti. Dia melihat wajah wanita itu yang mengeras. Kemarahannya begitu terlihat dan tergambar di setiap ekspresi serta ucapannya.“Aku mau sendiri, tinggalin aku. Kita tida
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi