Bastian dan Cilla sudah sampai depan rumah di kota. Pasangan suami-isteri itu saling diam sejak perjalanan tadi.“Gak usah turun. Aku tidak mau ibu tahu permasalahan kita. Dan, setelah ini, aku gak mau ketemu kamu Bastian!”“Terus satu Minggu ini memang kita bertemu?” sindir Bastian kesal pada perkataan Cilla.“Maka lanjutkan saja kita tidak bertemu. Memang seharusnya kita tidak bertemu. Aku saja yang bodoh menemuimu.”“Aku suamimu, Kopi.”“Suami yang berselingkuh!”“Sudah berapa kali aku katakan, aku tidak selingkuh!”“Dan aku tidak percaya satupun katamu itu, Biang kerok!” ujar Cilla.“Oke, kamu tidak percaya sama aku. Mungkin memang kamu tidak bisa menggunakan sisi hatimu untuk menilai ku,” kata Bastian dengan suara bergetar.Dengan dramatis, Cilla menoleh ke arah suaminya. Mata bulatnya menangkap sebuah kesungguhan yang Bastian tunjukkan dalam berbicara. Namun, ia menyadarkan diri dengan kenyataan yang ia temui hari ini."Aku percaya pada apa yang aku lihat. Aku tidak akan menguba
Cilla maupun Vika terkejut dengan perkataan Elka. Suasana semakin panas. Gadis itu, termaksud Vika merasa Elka sudah keterlaluan. Sehingga, Vika maju dan menarik rambut Elka.“Pagi tadi aku diam! Tapi tidak untuk sekarang, Pelakor!”Cilla panik melihat mereka saling menarik rambut. Tidak hanya itu, mereka saling mengumpat satu sama lain. Akhirnya Cilla membuka pintu ruangannya dan berteriak minta tolong.“Kamu anaknya pelakor, brengsek!”Cilla kembali hendak melepaskan mereka yang saling menyakiti. Mereka bak anak kecil yqng berebut mainan. Keduanya tidak ada yang mau mengalah.“Kamu yang pelakor menjijikan! Mas Bastian tidak menyukaimu, Elka!”“Tutup mulutmu, ah…” rintih Elka saat rambutnya ditarik semakin keras oleh Vika. Tak lama beberapa karyawan toko datang melerai mereka. Akhirnya mereka terlepas dari saling melilit. Rambut Vika yang diikat kini berantakan. Bahkan ikat rambutnya terlepas. “Dasar anak hasil hubungan haram! Ibumu juga pelakor Vika!” teriak Elka yang sudah dipega
…itu bukan kehebatan Bas. Semua orang mampu dan bisa.…orang lain tidak memiliki ilmu kebatinan yang bisa tahu isi hati kita. Kalau kita gak katakan, terus sampai kapan?Kalimat itu terus mengiang di telinga Bastian. Kata-kata Danilo begitu menyadarkan dirinya. Dia seperti pecundang yang tidak pernah mampu mengungkapkan isi hatinya. “Apa aku harus mengatakan perasaanku pada Cilla?” tanya Bastian pagi itu. Pria itu sedang sarapan bubur ayam yang dibelikan asisten rumah tangga. Beberapa hari ini asam lambungnya naik. Selain stress pencetusnya, waktu makannya berantakan. Sehingga hari ini ia sarapan bubur agar lambungnya tidak bergejolak.“Pagi Mas Bastian,” sapa Vika seraya mencomot kerupuk sang kakak.“Tumben ceria. Mungkin karena sudah punya pacar.” sindir Bastian seraya memasukkan sendok berisi bubur ke dalam mulutnya.“Dih, aku sih selalu ceria. Eh, Mas kok bilang gitu?” tanya Vika dengan tegang sesaat.“Hem, kamu yang pacaran kenapa minta ijin aku segala?”“Ah, uh… itu… anu.”“Ah
“Kop, anu… itu…” Bastian tergagap sesaat sang istri hendak turun dari mobil. Cilla mengurungkan niatnya dan menoleh pada Bastian secara penuh.“Itu apa, Tian?” tanya sang istri dengan keheranan.Bastian hendak menyatakan perasaannya tetapi, mulutnya seperti terbelit sendiri dengan rasa gugupnya yang tidak tertolong.“Am, aku itu…. Aku mau bilang kalau…” Cilla memperhatikan dengan seksama bibir pria itu yang berbicara tidak jelas. Mata wanita itu mengernyit mencoba memahaminya.“Itu, aku… Apa sih, Tian? Aku gak paham.” protes Cilla yang tidak tahan.Bastian membuka mulutnya dan hendak berbicara lagi. Namun, lidahnya tidak bisa diajak kerjasama. Dia bahkan tidak mengeluarkan suara.“Kop, aku…. Aku jemput nanti pulangnya.” kata Bastian pada akhirnya.“Oh, oke. Aku tungguin yah. Terima kasih,” ucap wanita itu kemudian mencium punggung tangan sang suami dengan lembut. “Aku masuk dulu, yah.” Pamit Cilla.Sedang Bastian menetralkan rasa gugupnya dengan penuh. Dahinya berkeringat sebab sesu
Air mata Cilla terus mengalir di pipinya, dan Bastian merasa penyesalan melintas di dalam hatinya. Ia menyadari betapa kata-kata dan tindakannya telah menyakiti hati sang istri. Dengan lengan yang penuh kasih sayang, Bastian mendekatkan dirinya ke Cilla. Tangannya lembut menyeka air mata yang membasahi pipi sang istri. Sesaat, mata mereka bertemu dalam pandangan yang penuh kelembutan."Apa kamu merasa cemburu, Tian?" tanya Cilla setelah ia mampu menetralkan tangisnya.Bastian menelan salivanya dengan tegang. Meskipun kecanggungan masih terasa di dalam dirinya, ia berusaha menutupinya dengan sikap tenang yang ia tunjukkan."Tian, apakah aku penting bagimu?" lanjut Cilla dengan pertanyaan berikutnya.Sebelum Bastian dapat menjawab pertanyaan awal, sang istri kembali melontarkan pertanyaan. Ia merengkuh tubuh Cilla dan memeluknya dengan erat. Bastian tahu bahwa ia lebih mampu mengekspresikan perasaannya melalui tindakan daripada kata-kata."Aku membencimu, Tian. Hiks, hiks..." balas Cill
Cilla masih berusaha menahan tawanya mendengar kalimat sang suami.“Hem, sama si Johan kan?” tebak Cilla.“Ya, aku hajar dia karena waktu aku tidak masuk, kamu dicium kan sama bedebah itu?”Cilla terkejut mendengar hal itu. Sungguh, dirinya tidak tahu jikalau sebab Bastian bertengkar dulu adalah dirinya.“Serius? Waktu itu, aku nangis sampai Eyang lapor ke kepala sekolah.” sambung Cilla mengingat kejadian itu.“Sejak itu, Eyang tahu kalau aku memang posesif sama kamu. Sejak itu juga, aku sadar. Aku jatuh cinta sama kamu, Kopi.”Tawa wanita itu berhenti. Dia melihat mata sipit itu semakin dalam. Dia tidak menyangka bila Bastian menyukainya sejak kecil.“Apa? Itu lama sekali, Tian.”“Ya, memang.”“Jadi, selama ini kamu gak pacaran karena menyukai aku?”“Iya.”“Ah, tapi kamu berpacaran sama Elka. Waktu kita SMP.”sanggah Cilla mengingat gadis itu. Bahkan hingga kini mereka masih saja bersama. Walaupun dalam konteks lain. Namun, Cilla tetap saja merasa tidak rela.“Itu agar kamu cemburu.
“Sayang, ambilkan handuk!” teriak Bastian sesaat membuka pintu kamar mandi.“Tumben lupa gak bawa handuk,” gerutu Cilla. Wanita hamil itu berjalan mengambil handuk sesaat mengulurkan kepada sang suami. Hari ini, mereka sudah kembali ke rumah kampung. Setelah kemarin mengikuti acara tujuh bulanan yang diadakan di rumah kota.“Terimakasih, istriku.” ucap Bastian sambil mengedipkan matanya genit.Pria itu menjadi lebih hangat dengan Cilla. Meskipun, mereka tidak berubah dalam hal berdebat dan bertengkar. Daily activity pasangan teman kecil yang menjadi sepasang suami istri aneh itu.“Hem,” jawab sang wanita dengan menggeram saja.Cilla kembali membuka bukunya yang ia letakkan ketika sang suami berteriak tadi. Dia sedang membaca buku parenting. Tak lama Bastian keluar dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Mata sipit pria itu melirik sang istri yang sedang serius membaca buku di tangannya.“Serius banget,” celetuk Bastian seraya menarik baju dari lemari.“Ini penting banget, Tian.”
Maura membawa rantang susun untuk diantarkan pada sang suami. Beberapa hari, Ali mengeluh tidak sempat ke kota sebab pekerjaan di bengkel begitu banyak. Sehingga, dia datang tanpa memberitahu sang suami.“Siang, bapak ada ya?” tanya wanita itu pada salah pegawai bengkel.Tidak lama berselang, Elka berjalan keluar dengan wajah yang merah padam. Maura tentu memperhatikan wanita itu dengan seksama.“Elka,” sapa Maura.Sesaat mata tajam wanita itu menyorot tepat di wajah Maura. “Ah, ibunya Cilla. Sana lihat kejutan indah di ruangannya suamimu. Kamu bodoh sekali punya suami macam dia!” ujar Elka sarkas.“Maksud kamu apa, El?”“Memang kamu sebelas-dua belas sama anakmu itu! Bodoh dan terlalu munafik!” ujar Elka sarkas.“Elka, kamu keterlaluan ya!”“Hahaha, dasar. Sudahlah! Aku sudah muak dengan keluarga tipu-tipu macam keluargamu ini. Sana, lihat kenyataannya!” ujar Elka kemudian pergi meninggalkan wanita itu mengelus dadanya.Maura menggelengkan kepalanya melihat tingkah Elka seperti itu.
Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C