Serena membuka matanya ketika cahaya matahari masuk melalui celah gorden. Tubuhnya begitu sakit seakan dia baru saja lari maraton berkilo-kilo meter. Inti tubuhnya pun sangat nyeri, karena Kendrick tak membiarkannya istirahat. Pria itu menggempurnya hingga pagi.
Serena menatap ke samping dimana Kendrick yang masih tertidur. Wajah Kendrick terlihat begitu tenang berbeda saat Kendrick terbangun maka wajahnya terlihat tanpa ekspresi dan aura dingin menyebar. Serena mengambil bathrobe yang ada di lantai dan segera mengenakannya. Namun, ketika dia akan melangkah turun dari tempat tidur terdengar dering telepon membuat Serena segera mengangkat teleponnya dan mendengar suara Evan di seberang. "Hai, Serena! Aku punya kabar baik untukmu," Evan berkata dengan suara yang ceria. Serena penasaran dan bertanya, "Ada apa, Evan?” "Aku menawarkan pekerjaan sebagai staf di perusahaan kami," Evan menjawab. "Kamu akan bekerja sebagai staf Business Development, dan aku yakin kamu akan sangat cocok untuk posisi itu." Serena terkejut dan senang. "Sungguh?” Sebelumnya Serena memang sempat bertanya tentang pekerjaan kepada Evan. Evan adalah kakak kelas dia saat SMA dan mereka berteman cukup dekat meskipun tidak satu angkatan. “Tentu saja, apa aku pernah bercanda?” perkataan Evan membuat senyum Serena mengembang. “Tapi kamu harus datang hari ini juga, kamu pasti bisa bukan?” “Aku bisa, aku akan segera bersiap.” “Aku menunggumu di kantor, Serena.” “Tapi, apa yang harus aku kenakan?” “Apa saja selagi itu sopan dan membuatmu nyaman, Serena.” Serena mengiyakan dan berterima kasih kepada Evan. Dia tidak sabar untuk memulai pekerjaan barunya “Apa yang membuatmu senang sepagi ini, Bunny?” Suara Kendrick membuat Serena menoleh. “Saya mendapatkan pekerjaan dan hari ini harus segera ke kantor.” “Apa aku pernah berkata mengizinkanmu pergi?” Serena terdiam sejenak ketika mendengar perkataan Kendrick. Dia lalu mendekat ke arah Kendrick dengan tatapan memohon. “Tuan saya hanya pergi untuk bekerja dan akan kembali ke mansion ini, saya mohon izinkan saya,” tutur Serena yang memajukan bibirnya membuat dia terlihat imut di mata Kendrick. Kendrick menarik tubuh Serena hingga berada di atas dadanya. “Kamu semakin pandai menggodaku, Bunny,” tutur Kendrick yang meremas pantat Serena. “Kamu boleh pergi jika kamu berhasil membuatku selesai dalam satu jam.” Serena melihat jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi. Artinya dia memiliki waktu satu jam untuk bersiap setelah semua ini selesai. Meskipun miliknya terasa perih, Serena tetap melakukannya. Dia ingin sekali mendapatkan pekerjaan ini hingga dia pun langsung melumat bibir Kendrick. Di balik bathrobe yang Serena kenakan dia tidak mengenakan apapun. Serena merasakan milik Kendrick yang sudah bangun dengan sempurna. Maka dia langsung naik di atas tubuh Kendrick dan segera melakukan penyatuan. Serena mencengkam Kendrick dengan sangat kuat, erangan juga terdengar keluar dari mulut Kendrick. “Jangan terburu-buru Bunny, milikmu belum sepenuhnya siap itu justru melukai dirimu,” tutur Kendrick mengusap rambut Serena. Serena tidak peduli miliknya terasa robek di dalam sana, dia bertekad untuk memuaskan Kendrick agar dia bisa pergi bekerja. Serena menggoyangkan pinggulnya, jika semalaman permainan dikendalikan oleh Kendrick maka kali ini dia yang mengendalikan permainan. Serena bisa melihat wajah Kendrick yang begitu menikmati permainannya. Serena berusaha membuat Kendrick mencapai puncak tapi justru dirinya yang mencapai puncak terlebih dahulu. Serena ambruk di atas tubuh Kendrick dengan nafas yang tersengal-sengal. Setelah tiga puluh menit dirinya tidak dapat membuat Kendrick mencapai puncak. Justru dia telah mencapai puncak dua kali hingga rasanya dia tidak kuat lagi untuk melanjutkan. “Kamu menyerah, Bunny?” tanya Kendrick yang menatap wajah Serena yang ada di atas dadanya. Kendrick segera menurunkan Serena di sampingnya membuat penyatuan mereka terlepas. Dia menatap wajah Serena terlihat begitu lemas membuat Kendrick ingin langsung menerkamnya. “Mandilah agar kamu tidak terlambat ke kantor,” ucap Kendrick membuat mata Serena berbinar. “Sungguh Anda membiarkan saya pergi?” tanya Serena yang tidak percaya dengan apa yang Kendrick katakan. Kendrick pun menganggukkan kepalanya. “Tapi jangan pernah berpikir untuk pergi dariku.” “Tentu saja,” ucap Serena segera yang mengecup sekilas bibir Kendrick. Ketika Serena turun dari tempat tidur, dia terkejut tubuhnya langsung jatuh ke lantai. Kakinya terasa seperti jelly dan tidak ada tenaga sedikit pun. Serena mengerjapkan matanya. Serena mencoba bangun tapi kakinya benar-benar terasa seperti jelly. Astaga kenapa aku tidak bisa bangun? Batin Serena panik. Kendrick tanpa mengatakan apapun langsung menggendong tubuh Serena, membawanya masuk ke dalam kamar mandi. “Tuan apa yang akan Anda lakukan?” tanya Serena ketika Kendrick mendudukkannya di meja wastafel. “Mandi, bukankah kamu harus segera mandi agar tidak terlambat.” Ucap Kendrick yang tengah mengisi bathtub dengan air. Kendrick terlihat mengecek suhu air itu, setelah penuh dia kembali ke arah Serena. Kendrick melepaskan bathrobe yang Serena kenakan dia lalu kembali menggendong Serena dan masuk ke bathtub bersama. Serena cukup terkejut dengan sikap lembut dan penuh perhatian dari Kendrick. Mereka menyelesaikan mandinya kurang lebih lima belas menit dan saat itu kaki Serena sudah mulai normal. Serena kembali bisa berjalan dia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe. “Tuan, saya kembali ke kamar dahulu,” pamit Serena yang hanya dijawab anggukan kecil oleh Kendrick. Wajah Kendrick nampak kembali datar seolah tidak peduli dengan apa yang Serena lakukan. Serena berdiri di depan lemari pakaian, memilih pakaiannya dengan bingung. Dia ingin hari pertama bekerja berjalan dengan baik, dan dia tahu bahwa penampilannya akan memainkan peran penting dalam mencapai tujuan itu. Dia memilih beberapa pakaian, tapi tidak ada yang membuatnya merasa yakin. Dia ingin terlihat profesional, tapi juga ingin menunjukkan kepribadian dan gayanya sendiri. Akhirnya, dia memilih sebuah rok berwarna cream dengan atasan putih yang sederhana tapi elegan. Serena juga memilih outer semi formal yang warnanya senada dengan rok yang dia kenakan. Tak lupa Serena memilih sepatu hak tinggi yang cocok untuk pakaiannya. Dia kembali merasa beruntung Kendrick menyiapkan semuanya untuk dirinya. Serena melihat dirinya di cermin dan merasa puas dengan penampilannya. Dia tahu bahwa dia telah membuat pilihan yang tepat, dan dia siap untuk menghadapi hari pertama bekerja dengan percaya diri. Dia mengambil napas dalam-dalam, memastikan bahwa dia telah siap untuk menghadapi tantangan baru. Dia kemudian berjalan keluar dari kamar, siap untuk memulai hari pertama bekerja. Saat keluar dari kamar, Serena bersamaan dengan Kendrick yang juga keluar dari kamar. Kendrick terlihat dengan setelan jas berwarna hitam membuat aura dominannya semakin terasa. “Kemarilah,” panggil Kendrick membuat Serena mendekat. Kendrick langsung mengecup bibir Serena dan dia melingkarkan tangannya di pinggang Serena. “Pastikan kamu pulang lebih dahulu untuk menyambutku, Bunny.” “Aku akan selalu usahakan itu, Tuan.” Kendrick membawa Serena menuju ke lift, tangannya masih berada di pinggang Serena membuat Serena bisa mencium jelas aroma parfum Kendrick. Saat pintu lift terbuka terlihat Verdi yang telah menunggu mereka di depan lift. “Selamat pagi Tuan, selamat pagi Nona,” sapa Verdi yang menundukkan badannya. Mereka berjalan ke arah ruang makan diikuti oleh Verdi. Serena mengikuti Kendrick yang duduk, pelayan mengambilkan makanan untuk mereka. Lagi-lagi Serena membandingkan kehidupannya dulu bersama dengan Leo. Saat masih menjadi istri Leo, pagi Serena disibukkan dengan memasak untuk seluruh anggota keluarga. Tak hanya pagi, siang dan sore pun selalu Serena yang memasak. Mereka memang memiliki satu pelayan tapi khusus untuk bersih-bersih. Semua Serena lakukan sebagai pengabdian dan cintanya kepada Leonardo. Tetapi pria itu begitu kejam menjualnya begitu saja tanpa melihat perjuangan Serena selama ini. Sebenarnya setelah kematian ayah Serena, Serena mulai menyadari sedikit perubahan dari Leo. Tapi perubahan itu tidak signifikan, Leo hanya jarang menyentuhnya dan pulang lebih larut malam. Ketika Serena bertanya maka jawabannya tetap sama, dia banyak pekerjaan. Dan Serena yang begitu mencintai suaminya pun selalu percaya begitu saja dengan apa yang Leo katakan. “Bawa satu mobilku,” ucap Kendrick ketika pria itu tiba-tiba berdiri. “Aku harus berangkat sekarang juga, pastikan kamu tidak membuatku marah, Bunny.” Suara Kendrick berkata dengan rendah tetapi mencekam di telinga Serena. Serena pun menganggukkan kepala, dia menatap punggung Kendrick yang berjalan menjauh. Serena segera menghabiskan makanannya, setelah itu Verdi mendekat. “Nona, mari ikut saya,” ucap Verdi membuat Serena bangkit. Serena berjalan di belakang Verdi mengikuti pria paruh baya itu. Pria itu membuka sebuah lemari di sana terlihat banyak kunci mobil. Serena memicingkan matanya saat melihat begitu banyak kunci mobil mewah disana. “Nona bisa mengambilnya yang mana saja.” “Yang paling jelek yang mana, Paman?” tanya Serena. “Saya tidak begitu mengerti tentang mobil, Nona.” “Sebaiknya saya naik taxi saja, akan terlihat mencolok jika saya menaiki mobil mewah,” gumam Serena karena dia tahu semua kunci mobil itu adalah mobil mewah yang harganya lebih dari satu miliar. “Tapi Nona?” “Nanti biar saya yang mengatakannya kepada Tuan Kendrick.” “Baiklah, Nona.” Verdi hanya mengangguk, membiarkan Serena pergi menggunakan taxi yang dia pesan. *** Hari pertama Serena di kantor baru itu dimulai dengan perasaan cemas yang melilit hatinya. “Hy akhirnya kamu datang juga.” “Aku tidak terlambat, kan?” “Tidak, masih ada waktu sepuluh menit. Ayo ikut aku,” ajak Evan yang segera diikuti oleh Serena. Evan, dengan senyum ramah, membimbing Serena untuk berkeliling kantor. “Aku senang kamu mau bergabung dengan kami,” ucap Evan saat mereka tengah berjalan. “Aku yang seharusnya senang karena kamu menawarkan pekerjaan ini,” balas Serena. “Aku mengenal kamu sejak dulu dan aku tahu kamu akan cocok di posisi ini,” jelas Evan yang kembali tersenyum. “Oh ya aku kenalkan dengan Kakakku, dia CEO disini,” sambung Evan yang dijawab anggukan kepala oleh Serena. “Aku dulu tidak percaya kamu berasal dari keluarga kaya yang pengaruhnya sangat besar di kota ini.” “Kenapa kamu tidak percaya?” “Sikap kamu sangat berbeda dengan anak orang kaya yang lain, mereka terang-terangan menyombongkan diri. Sedangkan kamu tampak sederhana.” Evan terkekeh mendengar perkataan Serena, membuat Serena mengerucutkan bibirnya. Evan menatap Serena dengan tatapan yang tidak terlalu jelas. Tapi, jika dilihat lebih dekat, dapat terlihat jika ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya itu. Pintu lift terbuka, mereka keluar dari lift dan berjalan ke arah ruangan CEO. Ketika tiba di ruangan CEO, pintu terbuka dan Serena terkejut bukan kepalang. Di sana, berdiri Kendrick. Detak jantung Serena semakin kencang, dan tangannya mulai berkeringat. Kendrick memandangnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Serena merasa bumi serasa ingin membelah, dia harus bekerja di bawah pengawasan pria yang membelinya. Dan lebih parahnya lagi, Evan teman baiknya, yang ternyata adalah adik Kendrick.“Kak Kendrick, dia Serena karyawan baru yang aku bicarakan.”“Temanmu?” “Iya, dia temanku.”Evan sebelumnya memang sudah mengatakan jika dia akan memasukan karyawan baru yang tak lain adalah temannya waktu SMA. Serena menelan ludahnya, matanya bertemu dengan sosok yang tak pernah dia duga akan ada disini. Wajah Kendrick datar, dia seolah tidak mengenal Serena. “Serena, perkenalkan dirimu,” bisik Evan membuyarkan lamunan Serena. “Sa-ya Serena.”Hanya itu yang keluar dari mulut Serena dia pun mengulurkan tangannya tapi Kendrick tidak menyambutnya. Serena segera menarik kembali tangannya, dia bingung harus mengucapkan apa karena melihat pria di depannya saja sudah cukup membuatnya terkejut. “Hm kami kembali ke ruangan dulu, Kak.”Evan berpamitan kepada Kendrick tetapi tidak ada tanggapan dari Kendrick. Pria itu tetap dengan ekspresi datar menatap mereka seolah tidak peduli dengan kehadiran Serena sebagai karyawan baru. Evan langsung membawa Serena keluar dari ruangan Kendrick. Evan
Satu jam telah berlalu dan jam makan siang telah lewat tapi Evan belum melihat batang hidung Serena. Dia semakin cemas hingga memutuskan untuk kembali ke ruangan Serena. “Apa Kalian tidak ada yang melihat Serena?” tanya Evan kepada Echa dan Miska. “Sepertinya Serena belum kembali, Pak,” jawab Echa. Evan langsung keluar dari ruangan itu, dia masuk ke dalam lift menuju ke lantai paling atas perusahaan itu. Dia begitu gelisah hingga pintu lift terbuka membuatnya terkejut. “Serena?”“Pak Evan?”Evan langsung menarik tangan Serena untuk masuk ke dalam lift. “Apa Kakakku melakukan sesuatu yang buruk?” tanya Evan yang melihat peluh di dahi Serena dan rambut Serena yang tidak serapi siang tadi. “Pak Kendrick hanya menyuruh saya membersihkan ruangan, Pak.”“Jika hanya ada kita berdua maka santai saja,” tutur Evan yang kini keluar dari lift membawa Serena masuk ke ruangannya. “Duduk.”Setelah menyuruh Serena duduk maka Evan membukakan air mineral untuk Serena. “Kamu terlihat lelah, apa kamu
Serena masuk ke dalam kamar dia, merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Ponselnya yang ada didalam tas bergetar membuatnya segera mengambil ponsel itu. Tertera nama Evan disana, Serena pun mengangkat telepon itu. “Halo Evan, ada apa?”“Kamu dimana?” “Aku, udah pulang. Kenapa?”“Tidak apa-apa, aku pikir kamu belum pulang. Kamu tinggal dimana?”Sebenarnya Evan berniat untuk mengantar Serena pulang, dia yang tahu jika Serena telah berpisah dengan suaminya membuat dia mendekati Serena. Belum sempat Serena menjawab dia melihat pesan dari Julian jika Kendrick akan segera pulang. Serena yang panik pun langsung terduduk. “Evan, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku tutup teleponnya, bye!”Serena segera masuk ke dalam kamar mandi, dia tanpa berendam langsung membasuh tubuhnya di bawah shower. Serena berniat bersantai terlebih dahulu karena tadi Julian sempat mengatakan jika Kendrick paling awal pulang pukul tujuh. Sedangkan ini baru pukul lima sore. Serena segera bersiap menyambut Kend
Kamar itu dipenuhi dengan hening yang berat saat Kendrick membuka pintu perlahan. Serena terlihat damai, tidur pulas dengan posisi tengkurap, kepala bersandar pada bantal putih yang tampak sedikit kusut karena gerak tidurnya yang tidak tenang. Sebuah senyuman kecil terukir di wajah Kendrick saat dia mengamati Serena yang tampak begitu polos dan tidak bersalah dalam tidurnya.Dia berjalan perlahan mendekati tempat tidur, menatap wajah Serena yang tenang. Kendrick merasa ada secercah kedamaian yang menyelimutinya hanya dengan melihat Serena tidur. Amarah yang hampir saja meledak tiba-tiba lenyap dengan menatap wajah Serena. Setelah beberapa saat berdiri mematung, dia berbalik perlahan, menuju ke walk-in closet untuk memilih setelan terbaiknya. Selama ini dia jarang sekali menghadiri makan malam yang diadakan oleh kakeknya. Namun, kali ini sepertinya dia harus hadir. Setelah kedatangan Evan yang melihat Serena, itu cukup mengusik ketenangannya. Kendrick berjalan keluar dari kamar deng
“Sepertinya kabar yang aku dengar itu salah,” gumam Kendrick yang duduk di hadapan Calvin. Kendrick datang malam itu bukan hanya provokasi dari Evan tetapi dia juga ingin melihat keadaan Calvin karena dia mendengar jika pria yang usianya sudah tak muda lagi tengah sakit. “Jadi wanita mana yang akan kamu nikahi,” Calvin mengalihkan topik pembicaraan mereka membuat Kendrick berdecak. “Posisimu akan semakin kuat jika kamu menikah dan memiliki anak, Kendrick.” “Aku tidak membutuhkan wanita.” Terdengar helaan nafas dari Calvin, meskipun keduanya tampak tidak akrab dalam pembicaraan tersebut. Pada dasarnya, mereka saling mengkhawatirkan satu sama lain. “Aku harus segera pergi,” ucap Kendrick yang bangkit dari duduknya. “Tidak bisakah kamu tinggal di sini, Kendrick?” Perkataan sang kakek membuat langkah Kendrick tertentu. “Kamu pewaris Alonzo sudah seharusnya mansion utama ini milikmu.” “Apa Kakek kira aku miskin, hingga tidak dapat membeli mansion sendiri?” Setelah berkata, Ke
Serena merapikan dokumen-dokumen terakhir di mejanya sambil melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul empat sore. Hari sudah mulai gelap, dan ia berniat segera pulang untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat melihat Evan, atasannya, mendekat dengan senyum ramah."Serena, kamu sudah mau pulang?" tanya Evan sambil memperhatikan tumpukan berkas di meja Serena."Iya, Pak. Saya mau ke rumah sakit, menjenguk ibu," jawab Serena dengan nada hormat."Boleh saya temani? Saya bisa mengantar kamu ke sana," tawar Evan dengan nada yang tulus.Serena terdiam sejenak, merasa terjepit. "Terima kasih, Pak, tapi tidak usah. Saya bisa pergi sendiri," tolak Serena halus.Evan, yang tidak ingin menyerah begitu saja, mendekatkan diri. "Ayo, jangan sungkan. Lagipula, saya juga ingin menjenguk Ibu."Serena menggigit bibir, berusaha keras menjaga ketenangan. "Pak Evan, Ibu saya tidak tahu kalau saya sudah bercerai dengan Leo. Jika saya datang dengan laki-laki lain itu j
“Ayo pulang," ucapnya dengan nada dingin yang biasa. Tanpa menunggu jawaban, Kendrick langsung berbalik dan berjalan menuju ke arah parkiran.Serena, yang masih terkejut dengan kedatangan Kendrick, bergegas mengikuti pria itu. Hatinya dipenuhi tanda tanya yang tidak terjawab. Mereka berjalan berdampingan dalam diam, langkah kaki mereka terdengar sinkron di lorong rumah sakit yang semakin sepi.Sesampainya di parkiran, Kendrick berjalan menuju mobilnya. Dengan gerakan yang terlihat manis namun masih menyisakan kesan cuek, ia membukakan pintu mobil untuk Serena. "Masuk," katanya singkat, tanpa melihat mata Serena.Serena, masih dalam kebingungan, perlahan masuk ke dalam mobil. Ia menoleh sejenak, mencoba membaca ekspresi Kendrick yang kini tersembunyi di balik kemudi.“Maaf Tuan jika saya terlalu lama di rumah sakit,” ucap Serena memecahkan keheningan. “Besok aku harus pergi,” tutur Kendrick tiba-tiba membuat Serena menoleh menatap pria itu. “Tetap pulang tepat waktu, jangan berpikir
“Pertemuan diajukan pagi," kata Kendrick ketika mematikan sambungan telepon. Mereka baru saja makan malam dan jam menunjukkan pukul satu pagi. “Jadi, Anda akan pergi sekarang juga?” tanya Serena. Kendrick menganggukkan kepalanya. Serena cekatan memilihkan beberapa kemeja dan dasi yang cocok, serta setelan jas yang rapi. Dia menyusun semuanya di atas tempat tidur, kemudian mulai melipat dengan hati-hati. "Berapa hari Anda disana?" tanya Serena, sambil memasukkan pakaian ke dalam koper."Dua hari," jawabnya, fokus pada ponsel yang terus berdering dengan notifikasi email.“Tuan,” panggil Serena ketika dia selesai menata pakaian Kendrick. Serena berjalan ke arah Kendrick membuat Kendrick memasukan ponselnya ke dalam saku. Kendrick menatap ke arah Serena seolah bertanya kenapa. “Bolehkah saya besok menginap di rumah sakit?” tanya Serena dengan hati-hati. Tatapan Kendrick terlihat menajam membuat bibir Serena terkatup dengan rapat. “Hanya satu malam,” sambung Serena dengan suara yang be
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia
Hujan turun dengan rintik halus, seolah langit ikut berkabung atas kepergian Lydia. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tertata di sekitar pusara. Serena berdiri di sana, mengenakan gaun hitam sederhana, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Dia menggenggam erat ujung syal milik Ibunya—satu-satunya kenangan yang masih bisa dia peluk. Nafasnya bergetar saat menatap nisan yang kini terukir nama Lydia Quirino, Ibunya, satu-satunya keluarga yang pernah dia miliki.Melody, Sofia, dan Luna berdiri sedikit di belakangnya, memberikan ruang tetapi tetap ada di sana untuknya. Mereka tahu betapa sulitnya hari ini bagi Serena. "Aku masih tidak percaya, Serena…" suara Melody terdengar pelan, dipenuhi kesedihan yang tulus.Sofia meremas lembut bahu Serena. "Tante sudah tidak sakit lagi sekarang. Tabte bisa tenang."Serena mengangguk kecil, meski hatinya masih terasa kosong. Seberapa pun dia mencoba meyakinkan diri, kenyataan bahwa Ibunya sudah pergi sel
"Bu… bangun, aku di sini… Ibu, tolong jangan tinggalkan aku!"Serena mengguncang tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Suaranya bergetar, nafasnya tersengal, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Kenyataan yang menyakitkan ini terasa terlalu berat untuk diterima.Tidak ada respons. Tidak ada gerakan.Hanya keheningan yang mengerikan. Keheningan itu seperti pisau, mengiris hati Serena, membuatnya merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak gelap."Ibu, kumohon!" Suara Serena pecah. Tangisannya meluap tanpa kendali. Ia menggenggam tangan Ibunya erat-erat, berharap ada kehangatan yang masih tersisa. Tapi dingin. Terlalu dingin. Dunia yang biasanya hangat dan penuh cinta kini terasa seperti ruang yang membeku.Seorang perawat yang berdiri di dekatnya menunduk, matanya berkaca-kaca. Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lydia hanya bisa menarik napas berat sebelum menatap Serena dengan penuh belas kasih. Rasa empati di mata mereka me
"Kalau kamu mau pulang, aku tidak akan maksa kamu buat tetap di sini," suara Serena terdengar pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan kelelahan.Kendrick, yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit, hanya meliriknya sebelum berjalan ke menghampirinya. "Aku tidak akan ninggalin kamu di sini sendirian."Serena menghela napas. Matanya memandang tubuh Ibunya yang terbaring lemah di ranjang, wajah Lydia terlihat begitu pucat di bawah cahaya redup lampu rumah sakit. Dadanya terasa sesak. Sejak dokter mengatakan kalau kondisi Ibunya sudah tidak bisa diharapkan, Serena tahu waktu yang tersisa sudah tidak lama lagi. Kepanikan dan kesedihan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Kendrick berjalan mendekat, meletakkan tangannya di punggung kursi tempat Serena duduk."Sayang.""Hm?""Kalau kamu butuh sesuatu, bilang padaku ya.”Serena menoleh ke arahnya, menatap mata gelap pria itu yang terasa begitu tajam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sedikit lebih tena
Mobil melaju cepat menembus jalanan kota yang masih basah akibat hujan tadi malam. Di dalamnya, Serena duduk diam di kursi penumpang dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuannya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan cemas menyelimuti dirinya, seolah setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan pada kenyataan yang tak ingin dihadapi.Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Kendrick yang sesekali meliriknya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Namun, Serena tahu, dalam diamnya, Kendrick pasti memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. Kendrick selalu bisa merasakan ketegangan di antara mereka, bahkan tanpa kata-kata."Aku di sini," suara Kendrick akhirnya terdengar, lembut namun tegas. "Apapun yang terjadi nanti, kamu tidak sendirian." Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang meredakan sedikit kegelisahan di hatinya.
Serena masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Kendrick di kulitnya. Dadanya naik turun dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang baru saja terjadi di antara mereka. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan dan ketakutan. Hangatnya sentuhan Kendrick membuatnya merasa aman, tetapi ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya membuatnya sulit untuk sepenuhnya menikmati momen itu.Dia menoleh ke samping, melihat wajah Kendrick yang begitu dekat. Mata tajam pria itu kini terlihat lebih lembut, memandangnya dengan intensitas yang belum pernah Serena lihat sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan, tapi di sisi lain, ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatnya merasa terjepit."Kau masih tidak percaya padaku?" suara Kendrick terdengar pelan, tetapi tetap penuh tekanan. Suaranya seperti sebuah mantra yang berusaha meredakan badai yang mengamuk di dalam diri Serena.Serena m
Serena masih terdiam, pikirannya melayang ke peristiwa tadi. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Kendrick muncul dengan nampan makanan di tangannya."Sayang, ayo makan," ujarnya lembut, suaranya menghangatkan ruangan yang sempat terasa dingin oleh kesunyian.Serena menoleh, senyum tipis menghias wajahnya yang pucat. Dia perlahan beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Kendrick ke sofa.Di sana, Kendrick dengan penuh perhatian menyuapi Serena, sesekali matanya menatap lembut ke arah Serena, memastikan bahwa ia menghabiskan makan malamnya."Kamu tidak perlu memikirkan apa yang terjadi tadi," kata Kendrick, suaranya penuh kepastian. "Aku janji, kamu akan aman di sini, di sampingku."Serena menatap mata Kendrick mencari kebenaran di sana. "Aku sudah memerintahkan Julian untuk mengurus Ibu pulang," tambah Kendrick."Aku sungguh akan melakukannya, Ken?" tanya Serena, masih ragu-ragu."Tentu saja, apa kamu pikir aku hanya bercanda?" jawab Kendrick, tersenyum."Tapi biayanya?" tanya Serena