“Ayo pulang," ucapnya dengan nada dingin yang biasa. Tanpa menunggu jawaban, Kendrick langsung berbalik dan berjalan menuju ke arah parkiran.Serena, yang masih terkejut dengan kedatangan Kendrick, bergegas mengikuti pria itu. Hatinya dipenuhi tanda tanya yang tidak terjawab. Mereka berjalan berdampingan dalam diam, langkah kaki mereka terdengar sinkron di lorong rumah sakit yang semakin sepi.Sesampainya di parkiran, Kendrick berjalan menuju mobilnya. Dengan gerakan yang terlihat manis namun masih menyisakan kesan cuek, ia membukakan pintu mobil untuk Serena. "Masuk," katanya singkat, tanpa melihat mata Serena.Serena, masih dalam kebingungan, perlahan masuk ke dalam mobil. Ia menoleh sejenak, mencoba membaca ekspresi Kendrick yang kini tersembunyi di balik kemudi.“Maaf Tuan jika saya terlalu lama di rumah sakit,” ucap Serena memecahkan keheningan. “Besok aku harus pergi,” tutur Kendrick tiba-tiba membuat Serena menoleh menatap pria itu. “Tetap pulang tepat waktu, jangan berpikir
“Pertemuan diajukan pagi," kata Kendrick ketika mematikan sambungan telepon. Mereka baru saja makan malam dan jam menunjukkan pukul satu pagi. “Jadi, Anda akan pergi sekarang juga?” tanya Serena. Kendrick menganggukkan kepalanya. Serena cekatan memilihkan beberapa kemeja dan dasi yang cocok, serta setelan jas yang rapi. Dia menyusun semuanya di atas tempat tidur, kemudian mulai melipat dengan hati-hati. "Berapa hari Anda disana?" tanya Serena, sambil memasukkan pakaian ke dalam koper."Dua hari," jawabnya, fokus pada ponsel yang terus berdering dengan notifikasi email.“Tuan,” panggil Serena ketika dia selesai menata pakaian Kendrick. Serena berjalan ke arah Kendrick membuat Kendrick memasukan ponselnya ke dalam saku. Kendrick menatap ke arah Serena seolah bertanya kenapa. “Bolehkah saya besok menginap di rumah sakit?” tanya Serena dengan hati-hati. Tatapan Kendrick terlihat menajam membuat bibir Serena terkatup dengan rapat. “Hanya satu malam,” sambung Serena dengan suara yang be
Kendrick, yang duduk di dalam mobilnya, memperhatikan layar macbook yang menampilkan gambar Serena. Serena terlihat sibuk dengan tumpukan dokumen di mejanya. Rambutnya yang panjang terikat rapi, memperlihatkan wajah serius yang sesekali mengernyitkan dahi. Kamera CCTV yang terpasang di sudut ruangan itu menangkap setiap gerakan Serena dengan detail. “Sepertinya hari ini Pak Kendrick tidak datang,” gumam Icha. “Aku dengar dari Bu Sandra beliau di Australia dua hari,” saut Miska. Serena hanya mendengarkan obrolan rekan kerjanya itu tanpa ingin ikut bergabung. Lagipula disana Serena seakan tidak dianggap oleh mereka, kedua rekannya itu masih tidak menyukai Serena karena Serena yang cukup dekat dengan Evan. Padahal di kantor Serena sebisa mungkin bersikap profesional. Dia pun mulai menjaga jarak dengan Evan agar tidak ada kesalahpahaman yang membuat dia kesulitan di kantor. Bukan maksud menjadi kacang lupa kulit, tapi kedekatan dia dan Evan memang akan membuat masalah. Selain masalah
Serena menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruang kerjanya, memaksa senyum yang paling meyakinkan di wajahnya. Matanya yang sembab menandakan bahwa ia baru saja melewati badai emosi, namun dia berusaha keras agar tidak ada yang menyadarinya. Memasuki ruangan, dia langsung mengambil tempat di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan fokus yang tampak terpaksa.Miska dan Icha, yang duduk di sebelahnya, saling pandang. Mereka berdua bisa melihat raut wajah Serena yang berusaha menyembunyikan kesedihannya.Serena mengetik dengan cepat, dokumen-dokumen di layarnya berganti dengan laju. Sesekali, dia menghela napas, memejamkan mata sejenak seolah mencoba mengusir bayang-bayang kesedihan yang masih menggelayut di benaknya. Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya, mencoba menenggelamkan perasaan pribadinya dalam tumpukan tugas yang harus diselesaikan.“Serena,” panggil Evan yang tiba-tiba menghampirinya. “Iya Pak Evan, ada yang bisa saya ban
Serena terbangun dari tidurnya ketika merasakan tangan kekar melingkar di perutnya. Dengan mata yang masih setengah tertutup, dia menoleh untuk memastikan dan benar saja, itu adalah Kendrick yang sedang tidur di sampingnya. Keterkejutan memicu detak jantungnya berpacu lebih cepat. Tubuhnya yang awalnya santai sekarang tegang, rasa tak nyaman memenuhi pikirannya. Dia berusaha bergerak perlahan agar tidak membangunkan Kendrick, tetapi semakin dia bergerak, semakin erat juga pelukan Kendrick. Akhirnya, dengan nafas yang tertahan, Serena berbalik menghadap Kendrick dan menatapnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Kendrick yang merasakan pergerakan itu, perlahan membuka matanya. “Kenapa kamu terkejut melihatku?” Suara Kendrick menyadarkan Serena dari lamunannya. “Maaf Tuan, itu karena Anda mengatakan akan pergi dua hari dan sekarang baru satu hari,” jelas Serena agar Kendrick tidak marah karena salah paham. “Aku sangat lelah, setelah menyelesaikan semuanya aku bergegas pulang agar
Kendrick menuju ke lantai tiga. Setibanya di depan kamar Serena, dia mendapati Nadia yang sedang berdiri di samping pintu. Nadia, yang merasakan kehadiran tuannya, langsung menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Dengan isyarat tangan yang singkat, Kendrick meminta Nadia untuk meninggalkan lorong. Setelah Nadia menghilang dari pandangan, Kendrick membuka pintu kamar Serena dengan lembut.Serena yang tadinya duduk terpaku di tepi tempat tidurnya, terkejut saat mendengar suara pintu dibuka. Aroma parfum Kendrick langsung tercium di indra penciuman Serena, tapi kali ini Serena mencium aroma rokok. Dia bisa menebak jika Kendrick baru saja merokok. Kendrick langsung melangkah ke arahnya dia menarik Serena untuk mendekat, Kendrick langsung melumat bibir Serena. Kali ini Serena bisa merasakan lumatan itu cukup kasar seolah Kendrick tengah melampiaskan amarahnya hingga Serena memukul dada Kendrick karena dia kehabisan nafas. Nafas Serena tersenggal-senggal, dia tanpa sadar meremas lengan K
Serena melangkah gontai memasuki ruangan kantor. Rasa canggung menghantui setiap langkahnya setelah kemarin ia absen tanpa pemberitahuan. Matanya menangkap tatapan sinis dari dua rekan kerjanya, Icha dan Miska, yang duduk di sampingnya. Senyuman paksa terukir di wajah Serena, mencoba mengabaikan atmosfer dingin yang tercipta.Icha memandang Serena dari atas ke bawah, seolah memeriksa kesalahan lain yang mungkin dilakukan oleh Serena. "Menyenangkan bisa tidak masuk tanpa kabar, ya?" sindir Icha dengan nada yang tajam dan mata yang tak lepas menatap Serena.Serena menelan ludah, merasakan ketegangan di ruangan itu semakin memuncak. "Maaf, kemarin aku tidak enak badan,” jawabnya, suaranya terdengar sedikit gemetar.“Kemarin aku tidak enak badan,” Miska menirukan Serena dengan nada mencemooh. "Kami disini bekerja keras, bukan main-main, Serena."Serena merasakan panas di pipinya, pertahanannya mulai goyah di bawah tekanan sinis dua rekan kerjanya. "Aku tahu, dan aku benar-benar minta maaf
Serena berjalan masuk ke dalam rawat inap, terlihat ibunya yang telah menunggu kedatangannya. Saat dia melihat ibunya, dia langsung berlari menuju ke arahnya dan memeluknya erat."Ibu, apa kabar?” .Wajah ibunya pucat, namun senyumnya menghangatkan ruangan itu. "Ibu semakin membaik, sayang.”Serena melepaskan pelukan dan memandang ibunya dengan khawatir. "Maafin Serena karena jarang menjenguk Ibu.’Ibunya menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak apa-apa, sayang. Ibu mengerti. Kamu harus fokus pada pekerjaan kamu. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan sukses."Serena menganggukan kepalanya, “Hari ini aku sangat bahagia.” Raut wajah Serena berubah menjadi cerah. "Aku dipercaya menangani sebuah proyek besar di kantor. Aku sangat bahagia, tapi juga sedikit cemas."Lydia, yang terlihat lemah dan pucat, tersenyum dan mengambil tangan Serena. "Apa yang membuat kamu cemas, sayang?" Lydia bertanya, dengan suara yang lembut.Serena mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku takut tidak bisa menye
Serena berjalan masuk ke dalam rawat inap, terlihat ibunya yang telah menunggu kedatangannya. Saat dia melihat ibunya, dia langsung berlari menuju ke arahnya dan memeluknya erat."Ibu, apa kabar?” .Wajah ibunya pucat, namun senyumnya menghangatkan ruangan itu. "Ibu semakin membaik, sayang.”Serena melepaskan pelukan dan memandang ibunya dengan khawatir. "Maafin Serena karena jarang menjenguk Ibu.’Ibunya menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak apa-apa, sayang. Ibu mengerti. Kamu harus fokus pada pekerjaan kamu. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan sukses."Serena menganggukan kepalanya, “Hari ini aku sangat bahagia.” Raut wajah Serena berubah menjadi cerah. "Aku dipercaya menangani sebuah proyek besar di kantor. Aku sangat bahagia, tapi juga sedikit cemas."Lydia, yang terlihat lemah dan pucat, tersenyum dan mengambil tangan Serena. "Apa yang membuat kamu cemas, sayang?" Lydia bertanya, dengan suara yang lembut.Serena mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku takut tidak bisa menye
Serena melangkah gontai memasuki ruangan kantor. Rasa canggung menghantui setiap langkahnya setelah kemarin ia absen tanpa pemberitahuan. Matanya menangkap tatapan sinis dari dua rekan kerjanya, Icha dan Miska, yang duduk di sampingnya. Senyuman paksa terukir di wajah Serena, mencoba mengabaikan atmosfer dingin yang tercipta.Icha memandang Serena dari atas ke bawah, seolah memeriksa kesalahan lain yang mungkin dilakukan oleh Serena. "Menyenangkan bisa tidak masuk tanpa kabar, ya?" sindir Icha dengan nada yang tajam dan mata yang tak lepas menatap Serena.Serena menelan ludah, merasakan ketegangan di ruangan itu semakin memuncak. "Maaf, kemarin aku tidak enak badan,” jawabnya, suaranya terdengar sedikit gemetar.“Kemarin aku tidak enak badan,” Miska menirukan Serena dengan nada mencemooh. "Kami disini bekerja keras, bukan main-main, Serena."Serena merasakan panas di pipinya, pertahanannya mulai goyah di bawah tekanan sinis dua rekan kerjanya. "Aku tahu, dan aku benar-benar minta maaf
Kendrick menuju ke lantai tiga. Setibanya di depan kamar Serena, dia mendapati Nadia yang sedang berdiri di samping pintu. Nadia, yang merasakan kehadiran tuannya, langsung menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Dengan isyarat tangan yang singkat, Kendrick meminta Nadia untuk meninggalkan lorong. Setelah Nadia menghilang dari pandangan, Kendrick membuka pintu kamar Serena dengan lembut.Serena yang tadinya duduk terpaku di tepi tempat tidurnya, terkejut saat mendengar suara pintu dibuka. Aroma parfum Kendrick langsung tercium di indra penciuman Serena, tapi kali ini Serena mencium aroma rokok. Dia bisa menebak jika Kendrick baru saja merokok. Kendrick langsung melangkah ke arahnya dia menarik Serena untuk mendekat, Kendrick langsung melumat bibir Serena. Kali ini Serena bisa merasakan lumatan itu cukup kasar seolah Kendrick tengah melampiaskan amarahnya hingga Serena memukul dada Kendrick karena dia kehabisan nafas. Nafas Serena tersenggal-senggal, dia tanpa sadar meremas lengan K
Serena terbangun dari tidurnya ketika merasakan tangan kekar melingkar di perutnya. Dengan mata yang masih setengah tertutup, dia menoleh untuk memastikan dan benar saja, itu adalah Kendrick yang sedang tidur di sampingnya. Keterkejutan memicu detak jantungnya berpacu lebih cepat. Tubuhnya yang awalnya santai sekarang tegang, rasa tak nyaman memenuhi pikirannya. Dia berusaha bergerak perlahan agar tidak membangunkan Kendrick, tetapi semakin dia bergerak, semakin erat juga pelukan Kendrick. Akhirnya, dengan nafas yang tertahan, Serena berbalik menghadap Kendrick dan menatapnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Kendrick yang merasakan pergerakan itu, perlahan membuka matanya. “Kenapa kamu terkejut melihatku?” Suara Kendrick menyadarkan Serena dari lamunannya. “Maaf Tuan, itu karena Anda mengatakan akan pergi dua hari dan sekarang baru satu hari,” jelas Serena agar Kendrick tidak marah karena salah paham. “Aku sangat lelah, setelah menyelesaikan semuanya aku bergegas pulang agar
Serena menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruang kerjanya, memaksa senyum yang paling meyakinkan di wajahnya. Matanya yang sembab menandakan bahwa ia baru saja melewati badai emosi, namun dia berusaha keras agar tidak ada yang menyadarinya. Memasuki ruangan, dia langsung mengambil tempat di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan fokus yang tampak terpaksa.Miska dan Icha, yang duduk di sebelahnya, saling pandang. Mereka berdua bisa melihat raut wajah Serena yang berusaha menyembunyikan kesedihannya.Serena mengetik dengan cepat, dokumen-dokumen di layarnya berganti dengan laju. Sesekali, dia menghela napas, memejamkan mata sejenak seolah mencoba mengusir bayang-bayang kesedihan yang masih menggelayut di benaknya. Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya, mencoba menenggelamkan perasaan pribadinya dalam tumpukan tugas yang harus diselesaikan.“Serena,” panggil Evan yang tiba-tiba menghampirinya. “Iya Pak Evan, ada yang bisa saya ban
Kendrick, yang duduk di dalam mobilnya, memperhatikan layar macbook yang menampilkan gambar Serena. Serena terlihat sibuk dengan tumpukan dokumen di mejanya. Rambutnya yang panjang terikat rapi, memperlihatkan wajah serius yang sesekali mengernyitkan dahi. Kamera CCTV yang terpasang di sudut ruangan itu menangkap setiap gerakan Serena dengan detail. “Sepertinya hari ini Pak Kendrick tidak datang,” gumam Icha. “Aku dengar dari Bu Sandra beliau di Australia dua hari,” saut Miska. Serena hanya mendengarkan obrolan rekan kerjanya itu tanpa ingin ikut bergabung. Lagipula disana Serena seakan tidak dianggap oleh mereka, kedua rekannya itu masih tidak menyukai Serena karena Serena yang cukup dekat dengan Evan. Padahal di kantor Serena sebisa mungkin bersikap profesional. Dia pun mulai menjaga jarak dengan Evan agar tidak ada kesalahpahaman yang membuat dia kesulitan di kantor. Bukan maksud menjadi kacang lupa kulit, tapi kedekatan dia dan Evan memang akan membuat masalah. Selain masalah
“Pertemuan diajukan pagi," kata Kendrick ketika mematikan sambungan telepon. Mereka baru saja makan malam dan jam menunjukkan pukul satu pagi. “Jadi, Anda akan pergi sekarang juga?” tanya Serena. Kendrick menganggukkan kepalanya. Serena cekatan memilihkan beberapa kemeja dan dasi yang cocok, serta setelan jas yang rapi. Dia menyusun semuanya di atas tempat tidur, kemudian mulai melipat dengan hati-hati. "Berapa hari Anda disana?" tanya Serena, sambil memasukkan pakaian ke dalam koper."Dua hari," jawabnya, fokus pada ponsel yang terus berdering dengan notifikasi email.“Tuan,” panggil Serena ketika dia selesai menata pakaian Kendrick. Serena berjalan ke arah Kendrick membuat Kendrick memasukan ponselnya ke dalam saku. Kendrick menatap ke arah Serena seolah bertanya kenapa. “Bolehkah saya besok menginap di rumah sakit?” tanya Serena dengan hati-hati. Tatapan Kendrick terlihat menajam membuat bibir Serena terkatup dengan rapat. “Hanya satu malam,” sambung Serena dengan suara yang be
“Ayo pulang," ucapnya dengan nada dingin yang biasa. Tanpa menunggu jawaban, Kendrick langsung berbalik dan berjalan menuju ke arah parkiran.Serena, yang masih terkejut dengan kedatangan Kendrick, bergegas mengikuti pria itu. Hatinya dipenuhi tanda tanya yang tidak terjawab. Mereka berjalan berdampingan dalam diam, langkah kaki mereka terdengar sinkron di lorong rumah sakit yang semakin sepi.Sesampainya di parkiran, Kendrick berjalan menuju mobilnya. Dengan gerakan yang terlihat manis namun masih menyisakan kesan cuek, ia membukakan pintu mobil untuk Serena. "Masuk," katanya singkat, tanpa melihat mata Serena.Serena, masih dalam kebingungan, perlahan masuk ke dalam mobil. Ia menoleh sejenak, mencoba membaca ekspresi Kendrick yang kini tersembunyi di balik kemudi.“Maaf Tuan jika saya terlalu lama di rumah sakit,” ucap Serena memecahkan keheningan. “Besok aku harus pergi,” tutur Kendrick tiba-tiba membuat Serena menoleh menatap pria itu. “Tetap pulang tepat waktu, jangan berpikir
Serena merapikan dokumen-dokumen terakhir di mejanya sambil melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul empat sore. Hari sudah mulai gelap, dan ia berniat segera pulang untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat melihat Evan, atasannya, mendekat dengan senyum ramah."Serena, kamu sudah mau pulang?" tanya Evan sambil memperhatikan tumpukan berkas di meja Serena."Iya, Pak. Saya mau ke rumah sakit, menjenguk ibu," jawab Serena dengan nada hormat."Boleh saya temani? Saya bisa mengantar kamu ke sana," tawar Evan dengan nada yang tulus.Serena terdiam sejenak, merasa terjepit. "Terima kasih, Pak, tapi tidak usah. Saya bisa pergi sendiri," tolak Serena halus.Evan, yang tidak ingin menyerah begitu saja, mendekatkan diri. "Ayo, jangan sungkan. Lagipula, saya juga ingin menjenguk Ibu."Serena menggigit bibir, berusaha keras menjaga ketenangan. "Pak Evan, Ibu saya tidak tahu kalau saya sudah bercerai dengan Leo. Jika saya datang dengan laki-laki lain itu j