“Sebentar lagi obatnya pasti akan bekerja!” tukas Ludwig yang seketika membuat gelas wine di cengkeraman Adeline terlepas. Bunyi pekak beling yang berhamburan, sontak menarik perhatian banyak orang yang tengah berada di acara lelang lukisan I&S Hotel. Dengan manik terbelalak, Adeline segera menyahut, “apa yang kau lakukan, Kak Ludwig?!” Bukannya menjelaskan, Ludwig Daniester malah mendekati adik tirinya. Dengan tatapan penuh hasrat berbahaya, pria itu menyeringai seolah mengejek Adeline. “Berhenti memanggilku Kakak, Adeline. Wanita ular sepertimu, hanya pantas untuk pria bernafsu binatang sepertiku.” Pria itu berbisik dengan sinisnya. “Jadi, mari kita nikmati malam ini bersama!” Adeline yang tahu rencana bejat Ludwig untuk menidurinya, sekejap panik bukan main. ‘Sialan! Ludwig telah menjebakku. Tidak bisa, aku tidak boleh diam saja!’ “Benarkah? Kalau begitu lihat, apa Kakak bisa menghadapiku?!” sungut wanita itu yang lantas membuat Ludwig mengernyit. Belum sempat sang pria berta
Sungguh gila, akhirnya permainan ranjang panas tak bisa terbendung, hingga malam penuh peluh pun menjadi sejarah mereka. Dan kala bangun di pagi hari, River tampak memasang ekspresi bengis karena Adeline sudah tidak ada di sampingnya. Pria itu menutup dahinya dengan lengan kiri seraya menyeringai tipis. ‘Ternyata dia sengaja bermain denganku agar bisa kabur, ya? Jangan senang dulu, Nona. Aku pasti menemukanmu, meski kau lari ke ujung dunia sekalipun!’ gemingnya bertekad keras. Namun, saat River bangkit dari ranjang, dia menyadari ada barangnya yang hilang. Wajahnya seketika berubah bengis sembari mengumpat, “sialan! Apa wanita itu yang mencurinya?!” Sedangkan di lobi hotel, seorang lelaki dengan potongan rambut cepak tampak cemas menanti seseorang. “Nona Adeline?!” pekiknya kemudian. Wajahnya tampak antusias saat melihat Adeline keluar dari lift dan berjalan ke arahnya dengan terburu-buru. “Akhirnya saya menemukan Anda,” lanjut lelaki tadi yang adalah Sopir Adeline. “Apakah Nona
“Adeline!” Sabrina menggeram saat melihat putri tirinya datang ke ruang keluarga.Matanya memindai penampilan Adeline dari atas sampai bawah sembari melanjutkan. “Apa yang kau pakai sebenarnya? Apa kau ingin mempermalukan keluarga Daniester, hah?!”“Memangnya ada apa, Ibu? Bukankah tidak ada yang salah? Saya hanya memakai pakaian yang menurut saya nyaman. Apakah Ibu juga ingin mengatur baju saya?” Adeline menyambar seiring dengan kepalanya yang menoleh ke arah Sabrina.“Dan lagi, kita hanya bertemu dengan keluarga Lazlo. Mengapa saya harus berusaha keras memberikan penampilan terbaik? Bukankah tidak ada yang spesial, karena keluarga Lazlo dan keluarga Daniester sudah seperti saudara?”Wanita itu kembali menambahkan kata-kata pedasnya, hingga membuat semua pasang mata terheran-heran, termasuk Alfred. Ya, pria yang akan menjadi suami Adeline itu awalnya terkejut, tapi dirinya sungguh tahu cara untuk menghadapi Adeline.“Tidak masalah, Nyonya Sabrina. Apapun yang dikenakan oleh Adeline,
“Apa yang kau bicarakan, Adeline? Sejak kapan kau dekat dengan seorang pria?!” Heinry yang selama ini tak memperhatikan kehidupan putrinya, langsung terkejut.Namun, belum sempat Adeline membalas, Sabrina lebih dulu mendecak sinis. “Apa kau pikir kami akan percaya? Kau sudah berusaha merusak perjodohan saat pertemuan keluarga. Apa kau pikir aku tidak tahu jika kali ini juga trik licikmu untuk lolos dari perjodohan?!”Adeline sempat menegang, tapi dia berusaha keras menata ekspresinya tetap datar di depan ayah dan ibu tirinya.Sabrina pun menjulurkan tangannya ke pipi Adeline sembari bergeming, “sepertinya wajah cantik ini harus mendapat tamparan lebih keras. Kau bilang sudah memiliki calon suami sendiri? Konyol sekali!”“Ya, Ayah dan Ibu tidak salah dengar. Saya memang memiliki calon suami, dan kami sudah menjalani hubungan cukup lama!” sambar Adeline yang seketika membuat alis Sabrina saling bertaut.Alih-alih murka lebih kencang, tawa Sabrina malah meledak. Dia terbahak-bahak meliha
‘Apa dia sudah gila? Untuk apa aku menikahi seorang pembunuh?!’ batin Adeline dengan manik membelalak lebar.Meski bungkam, River bisa melihat jelas bahwa wanita di hadapannya sedang terkejut. Namun, dirinya tak peduli dengan hal ini, sebab yang dia butuhkan adalah jawaban. Adeline berusaha menata ekspresinya seraya bertanya, “mengapa saya harus menikah dengan Anda?”“Anda tahu bahwa saya tidak sedang memohon ‘kan? Waktu Anda untuk memutuskan hanya lima menit, jadi pikirkan baik-baik sebelum saya mengambil tindakan tegas!” sahut River dengan wajah tenang, tapi kata-katanya jelas mengandung ancaman.“Mana mungkin saya memutuskan hanya dalam lima menit?!”“Waktu Anda tinggal empat menit lagi!” River mendecak sembari melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Dan itu, sungguh membuat Adeline tak habis pikir sampai dirinya pun mendengus, “a-apa Anda sudah gila?! Bagaimana bisa—”Adeline seketika menghentikan ucapnya saat asisten River tiba-tiba berdiri di belakang sembari mengarahkan p
“Me-mengapa dia datang ke sini?!” Adeline bergeming saat melihat River berdiri dengan sorot mata tajam.Sedangkan Ludwig yang mendengar ucapan adik tirinya, lantas berpaling seraya bertanya, “apa ini? Jadi kau mengenalnya?”Alih-alih menjawab, Adeline justru bungkam. Dia tak ada niatan menjelaskan pada Ludwig hingga kakak tirinya itu tampak semakin kesal.“Jadi kau tidak ingin mengatakan apapun? Kau tahu akibatnya jika membuatku marah ‘kan?!” Ludwig mendecak seiring dengan tangannya yang semakin rapat mencekik leher Adeline.Hal ini sungguh mengusik River sebab Ludwig tak menghiraukan peringatan pertamanya. Pria itu melangkah mendekati mereka dan lantas menarik tangan Ludwig agar menjauh dari wanitanya.“Apa Anda tuli? Saya bilang menyingkir darinya!” dengus River amat tegas. “Jangan pernah menyentuh calon istri saya, atau Anda akan menyesal!”“A-apa? Calon istri?!” Ludwig menyahut dengan ekspresi terkejut.Dia seolah tidak mempercayai ucapan tersebut, tapi baik Adeline maupun River
“Apa maksud Kakek buyut? Mengapa saya tidak bisa menikahi Adeline?!” tukas River menuntut penjelasan. “Sekali Kakek bilang tidak, maka artinya tidak!” Hans-Kakek buyut River itu menyambar dengan tajam. Situasi di ruang makan tersebut berubah lebih tegang. Dan Adeline yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, sungguh merasa terintimidasi sebab tidak ada satu pun keluarga River yang menyambutnya dengan hangat. Akan tetapi, River yang keras kepala tak bisa menurut begitu saja. Dia semakin erat menggenggam tangan Adeline sembari berkata tegas. “Jika Kakek buyut tidak mau mengatakan alasannya, maka saya tidak peduli. Karena apapun yang terjadi, saya akan tetap menikahi Adeline!” “River!” Hans kembali memberang dengan sorot penuh tekanan. “Bukankah Kakek buyut meminta saya untuk segera menikah? Tapi mengapa malah melarang setelah saya membawa calon istri?!” sambar River tak kalah berang. Hans kini merapatkan alisnya, nyaris tak percaya karena River berani meninggikan nada di ha
“Apa yang Anda lakukan?!” Adeline memberang usai River melepas ciumannya. Tatapan wanita itu pun berubah garang karena tak senang dengan tindakan sang pria. Akan tetapi, saat Adeline mendorong River menjauh, pria tersebut malah kian erat memeluk pinggulnya. “Berani sekali Anda bersikap kurang ajar pada saya! Walau saya setuju menikah dengan Anda, tapi bukan berarti Anda bisa memperlakukan saya seenaknya, Tuan Reiner!” tukas wanita itu menambahkan dengan sengit. Mendapati reaksi Adeline, River hanya menyeringai sinis, dan itu semakin membuat sang wanita dongkol. Dirinya pun menatap Adeline lekat dan lantas berbisik, “tenang saja, Nona. Besok pagi kita akan memberi kejutan pada semua orang.” “Kejutan? Apa maksud Anda?!” Adeline menodong penjelasan dengan alis saling bertaut. Meski tahu wanitanya amat penasaran, tapi River tak berniat menjelaskan dengan detail. Hingga esok hari tiba, kediaman Daniester pun dibuat heboh. Semua orang terkejut karena media didominasi dengan berita tak
“Maaf, aku akan datang lagi nanti,” tutur Johan dengan raut wajah dinginnya. Dia tak sengaja bertatapan mata dengan Jenson yang ditindih Ashley. Melihat situasi itu, benar-benar membuatnya canggung. Namun, bukannya buka suara, Jenson justru diam saja. Entah mengapa rasa puas muncul di hatinya, saat sang adik mengetahui betapa dekat hubungannya dengan Ashley. Ashley pun buru-buru menarik diri dari dekapan Jenson. Dia berbalik penuh ke arah Johan seraya berkata, “tunggu. Jika kau ada keperluan dengan Jenson, aku bisa pergi seka—”Belum tuntas ucapan gadis itu, Johan malah berbalik keluar ruang rawat tersebut.“Aish, kenapa dia pergi begitu saja?” ujar Ashley yang lantas menyusulnya.Ya, dia jadi tak enak hati. Rasanya gadis itu harus meluruskan keadaan dengan memberitahu Johan bahwa dia dan Jenson tidak sedang melakukan hal buruk. Selain itu, Ashley juga harus menanyakan mengapa Johan sampai menghubunginya terus kemarin. “Johan! Tunggu sebentar, aku ingin bicara,” pekiknya bergegas
Ashley terkejut melihat nomor asing menghubunginya beberapa kali. Bahkan ada pesan teks juga.‘Aku tidak mengenal nomor ini,’ batin gadis itu mengerutkan alisnya.Pikiran negative langsung menyerang. Dia mengira itu Maximilian karena mantan kekasihnya masih sangat gila. Namun, saat membuka pesan tadi, ternyata nama Johan yang terpampang.“Hah … tumben sekali dia menghubungiku. Dari mana dia mendapat nomor ponsel … ah benar, dia Bos di Oran Bar. Tentu saja dia bisa memiliki nomor pegawainya,” tutur Ashley kemudian.Tapi ini cukup aneh. Kenapa tiba-tiba Johan yang menghubunginya, alih-alih Jenson?Jika itu Jenson, mungkin alasannya karena Ashley tidak datang ke acara makan malam. Tapi kalau Johan yang biasanya dingin padanya malah menelepon, pasti karena keadaan genting ‘kan?Ashley yang berniat abai, kini mencoba menelepon balik Johan.‘Apa yang harus aku katakan jika dia mengangkat teleponnya? Aku tidak biasa basa-basi dengan patung sepertinya,’ batin Ashley ragu-ragu.Detik berikutny
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu