“Bukankah Dieter dan yang lainnya bersiaga di bandara?!” River bertanya dengan alis menyatu.“Be-benar, Tuan. Harusnya mereka bertemu Tuan Muda Jenson, tapi sejak pesawat landing, katanya mereka tidak melihat Tuan Jenson,” sahut Siegran yang seketika membangkitkan kecemasan River.Pria itu memijit kening, lalu memerintah, “hubungi Dieter sekarang!”“Baik, Tuan!” Siegran langsung menelepon rekannya tersebut.Sementara River yang beralih menatap keluar langsung terkejut karena tidak mendapati Johan di sana.“Di mana Johan? Bukankah tadi dia masih di sini?!” tukasnya dengan ekspresi tegang.River bergegas turun dari mobil. Tapi sialnya Johan sudah pergi karena motor sportnya juga tidak ada di sana.‘Aish, aku kehilangan Johan lagi?’ batin River kalut sembari mengusap dagunya resah.“Tuan, saya sudah menghubungi Dieter. Dia dan yang lainnya akan menyisir jalan dari bandara menuju mansion Devante untuk mencari Tuan Muda Jenson,” tukas Siegran saat menghampiri River.“Johan sudah pergi!” Ri
“Aish, brengsek!” Ergy mendesis saat peluru melewati pipinya dan meledakkan vas bunga di nakas belakangnya.Dia memicing tajam pada Siegran yang baru saja menembak ke arahnya. Ya, asisten River itu muncul tepat sebelum Ergy melesatkan pelurunya pada River.“Turunkan senjatamu, Johan. Kita bicara baik-baik,” tukas River berusaha membujuk.Alih-alih menurut, Ergy malah menyeringai sinis.“Siapa kau memerintahku, hah?! Enyahlah, aku bukan orang yang kalian cari!” decaknya pelan, tapi sorot matanya sangat berang.River bisa merasakan kemarahan putranya, tapi dia tak ingin menyerah. Pria itu melangkah lebih dekat, tapi Ergy seketika mengacungkan pistolnya dan membuat Siegran bersiaga.Namun, River langsung menahan Siegran, memberinya kode untuk menurunkan senjatanya. Siegran pun mengangguk, lalu berjalan mundur. Meski sudah menjauh, tapi dia tetap waspada jika Ergy bertindak nekat.“Aku bilang enyah!” dengus Ergy dengan alis menyatu.“Orang-orang memanggilmu Ergy? Siapa yang memberi nama i
‘Matilah, brengsek!’ Ergy membatin sengit, seiring tangannya yang menembakkan peluru pada anggota The Dragon beralis tebal di sana.Deru tembakan sontak membuat orang-orang terkejut, dan lelaki yang tertembak pun ambruk.“Argh, sialan!” Dia mengerang saat anak timah itu bersarang di betisnya.Kakinya serasa terbakar, bahkan kulitnya seolah dirobek-robek begitu gelenyar darah merembes dari titik tembakan.Namun, ketika dia berpaling pada Ergy, matanya langsung terbelalak. Dirinya berkedip beberapa kali, tapi orang yang dilihatnya tidak berubah.“Ergy?!” tukasnya terkejut.Lelaki itu segera menoleh pada Jenson yang terkapar di depannya dan kembali melihat Ergy yang masih mengacungkan pistol padanya. Dia menyeringai, lalu tertawa konyol. “Hei, kenapa si bajingan Ergy ada di sana?!” ujarnya bingung.Bahkan semua anggota The Dragon juga heran saat melihat Ergy ada dua. “Aish, sialan! Siapa dia sebenarnya?!” tutur anggota lainnya.Dia menoleh pada Jenson dan menginjak dadanya. “Apa mereka
*** Malam berikutnya, Johan terlihat mengedutkan alisnya. Begitu maniknya terbuka, pemuda itu malah mengernyit.‘Ma-master?’ batinnya dalam hati.Ya, meski ruangan itu gelap dan sosok di hadapannya menutupi wajah dengan masker, tapi Johan bisa mengenali matanya. Namun, dia belum sanggup bicara karena seluruh tubuhnya masih lemah pasca operasi.Ludwig perlahan mendekat ke wajah Johan, mengusap kepalanya, lalu berbisik, “diam dan cukup dengarkan.”Johan mengerjap, tapi entah mengapa dia merasakan tekanan hanya dari sorot mata Ludwig.“Bagaimana perasaanmu setelah bertemu River? Kau ingat seberapa bajingannya River ‘kan? Jangan lupakan itu, Ergy. River membuangmu demi menunjuk saudara kembarmu sebagai pewaris!” sambung Ludwig yang lantas membuat Johan menegang.“Ma-master ….”“Ssstt ….” Ludwig segera menghentikan ucapan Johan. “Kau tahu hanya aku yang peduli padamu. Aku akan memberimu kesempatan untuk membalas budi,” bisiknya menatap Johan amat tajam. “Masuklah ke keluarga Herakles dan
***Satu minggu berlalu, dokter sudah mengijinkan Jenson dan Johan pulang karena kondisi mereka mulai stabil.River pun meminta lebih banyak bodyguard bersiaga di sekitar rumah sakit, sekaligus mengawal mobil mereka selama perjalanan ke mansion Devante.Namun, sebelum keluarga Herakles meninggalkan rumah sakit, seorang pengawal tiba-tiba menyelinap pergi usai menerima telepon rahasia. Dia berjalan waspada, lalu masuk ke mobil hitam yang terparkir beberapa meter dari rumah sakit.“Master,” tuturnya memberi salam.Ya, rupanya orang yang dia temui adalah Ludwig.Alih-alih beramah-tamah, Ludwig malah mendecak, “sudah aku bilang, aku ingin menemui Ergy sekali lagi!”“Mo-mohon maaf, Master. Mereka menjaga tempat ini sangat ketat. Minggu lalu saat Anda datang, saya harus membuat beberapa orang pingsan. Beruntung saya tidak ketahuan atau—”“Ugh!”Seketika ucapan pengawal itu tersendat saat Ludwig tiba-tiba mencekik lehernya.Dia memicing tajam seraya mendengus marah. “Brengsek! Beraninya kau
“Pesta keluarga Herald. Presdir Herald mengundang keluarga Herakles untuk hadir di pesta ulang tahunnya. Beliau juga memintamu datang, Jenny,” tutur River yang lantas memicu kerutan di kening putrinya. “Aku? Apa Daddy yakin? Aku bahkan tidak mengenal siapa Presdir Herald,” sahut Jennifer mengendikkan bahunya. “Jenny, beliau adalah pemilik Herald’s Gallery yang terkenal. Nenekmu juga mengenal beliau dengan baik.” Jennifer menyipitkan pandangan, lalu menyambar, “Nenek?” “Ya, Presdir Herald sahabat baik nenekmu. Saat itu beliau melihat pertunjukanmu di kompetisi balet dan terpukau karena kau menjadi pemenangnya. Selain itu, cucu laki-laki beliau juga pulang dari luar negeri. Beliau ingin—” “Tunggu, apa maksud Daddy? Semua itu tidak ada hubungannya denganku ‘kan?!” Jennifer menyambar sebelum ucapan River tuntas. Gadis itu sadar kalau pembicaraan ini akan mengarah ke hal yang tak diinginkannya. Dia pun menoleh pada Adeline dengan ekspresi bertanya-tanya. Jelas sekali dia ingin minta b
Johan tersentak saat melihat River datang. Dia buru-buru menolak panggilan Ludwig dan mematikan ponselnya. River memasukan kedua tangannya ke saku celana dan lantas bertanya, “Daddy boleh masuk?” Johan pun mengangguk samar, hingga membuat River masuk dan duduk di sampingnya. “Kenapa kau mematikan teleponnya?” kata River sembari menaikkan kedua alisnya. Alih-alih menjawab, Johan malah balik bertanya, “ada perlu apa?” “Tidak ada. Daddy hanya ingin mengobrol denganmu. Daddy kehilanganmu bertahun-tahun, dan Daddy tidak tahu apapun tentangmu. Daddy ingin tahu seperti apa hidupmu selama ini,” tutur River disertai senyum tipis. “Tidak ada yang menarik dalam hidupku dan itu tidak pantas dibicarakan,” sahut Johan dingin. Ya, semua penyiksaan Ludwig memang bukan topik obrolan yang baik. “Baiklah, Daddy tidak akan memaksa jika kau tidak mau membicarakannya. Tapi Daddy benar-benar minta maaf, Johan.” “Kenapa selalu minta maaf?” Johan menyambar ketus. Entah kenapa saat bicara
Jennifer berpaling dan langsung membelalak. “Ester? Kenapa kau ada di sini?” Ya, rupanya orang yang tadi memanggilnya adalah teman sekolahnya. “Menurutmu apa lagi? Tentu saja aku mau belan … ah?!” Ester tiba-tiba memangkas katanya saat melihat wajah Johan. Gadis itu melotot pada Jennifer, lalu kembali melirik Johan dengan canggung. “Ka-kak Jenson?” tuturnya sembari menyelipkan anakan rambutnya ke balik telinga. Dia menyikut lengan Jennifer yang berdiri di sebelahnya sambil berbisik, “hei, kenapa kau tidak bilang kalau Kak Jenson sudah pulang?!” “Kau salah paham dia bukan Jenson!” sahut Jennifer menyatukan alisnya. “Jangan menipuku. Jelas-jelas Kak—” “Maaf, apa kalian menunggu lama?” Jenson yang baru datang langsung membuat Ester tercengang. Gadis itu mengerjap beberapa kali, bergantian menatap Jenson dan Johan dengan bingung. “Tu-tunggu, kenapa Kak Jenson ada dua?!” ujarnya menodong penjelasan. Jennifer menahan tawa dan itu kian membuat Ester pusing. “Hei, J
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho