Debora terbangun dari mimpi buruknya. badannya di penuhi keringat sebesar biji jagung. nafasnya tersenggal. Air matanya tiba-tiba bercucuran. Bibi Lauren ikut terbangun karena Debora. Melihat Putrinya menangis, wanita tua itu segera memeluknya erat. "Ada apa Sayang?" tanya BIbi Lauren mengelus punggung debora."Ak-u melihat Alex. Di-a di penuhi darah. Tubuhnya terluka parah. Di-a ..." ucap Debora yang tidak bisa menyusun kalimat dengan benar."Sudah, kau hanya merindukannya. Percayalah dia akan baik-baik saja. Besok kita akan mencari Angel agar kau tidak kesepian, oke." Bibi Lauren menangkup wajah Debora dan mengarahkan pandangannya pada Wanita tua itu.Wanita tua itu turun dari ranjang. Mendengar cerita Debora membuat wanita tua itu cemas. Ingatannya kembali pada ucapan Joe sebelum dia dikirim kembali kemari."Bibi, tolong jaga Nyonya Debora di pulau itu. Tuan Alex akan bertarung, aku tidak taub pasti kapan itu terjadi. Tapi aku yakin pasti dalam waktu dekat ini. Bibi, ingat baik-b
Di ruangan gelap gulita. Seorang pria duduk di depan jendela, asap tipis mengelilinya. Matanya menatap nanar ke luar jendela. Ingatannya kembali pada belasan tahun lalu, saat dimana dia masih mengidolakan sang Papa. Dia selalu bermimpi sama seperti Papanya. Menjadi hebat dan selalu sayang kepada Mamanya.Namun, saat ini dia merasakan hampa. Rasa kecewanya telah membuat semangat hidupnya redup. Sudah sepekan berlalu sejak penyerngan di rumh Akeno. erekaa memang menang. tapi luka yang di tinggalakan begitu dalam. Saat ini dia tidak peduli dengan pengakuan pada dunia kalau dirinya adalah Klan terganas.Dirinya ingin menghilang sekejap di bumi ini. Dia juga belum memberi kabar tentang kematian masal ini pada Debora.Dia tidak pedulu arwah sang Papa akan menangis di langit bila menantunya tidak hadir di acara pemakamannya.Pintu terbuka, seorang wanita melangkah masuk."Sampai kapan kau kan seperti ini?' tanya Lidya sedih."Banyak tugas yang terbengkalai. Dunia akan menertawakanmu bil
Alex bangkit dari kursinya. Dia melangkah keluar kamar. Setelah lam dia mengurung diri. Pada akhirnya dia mulai berdamai dengan keadaan walaupun tidak sepenuhnya.Melihat Alex melangkah menuruni tangga, Lidya menyapanya dengan riang. Tapi pria dingin ini kembali pada dirinya dulu, menjadi kutub utara yang membentengi dirinya dengan pegunungan es.Dante dan Rain saling bertatapan. Melihat Tuannya melewati Mamanya begitu saja membuat mereka cukup khawatir. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Tuannya.Sudah lama mereka memakan gaji buta. Hanya berdiam diri di rumah dan sesekali mengecek perkembangan bisnis Tuan mereka. Harusnya Tuannya berbahagia karena memiliki wilayah yang cukup luas. Perkembangan bisnis ilegalnya pun semakin berkembang pesat.Namun itu semua berbanding terbalik. Dia harus mengorbankan keluarga besarnya untuk itu semuaa. Bila memilih, mungkin Tuan mereka lebih memilih untuk tidak berperang."Berhenti, aku ingin sendiri." ucap Alex menghentikan langkahnya saat m
Debora masuk kedalam rumah. Para pelayan menyambut kedatangan Wanita itu dengan penuh hormat. matanya menyapu keseluruh rungan."Di mana Mama?" tanya Debora pada pelayan."Nyonya besar menjenguk Nona Stevi, Nyonya," jawab salah satu pelayan.Mata Debora membulat, Dia menoleh ke arah pelayaan yang baru saja menjawab pertanyaanya. Wanita itu melangkah mendekat."Stevi sakit apa?" tanya Debora khawatir."Emhh, kami ..." pelayan tersebut tidak enak hati untuk menjawab pertanyaan Debora.Debora mengkerutkan alisnya melihat pelayang yanng di hadapannya kelihatan takut. Apa yang sebenarnya terjadi saat dia pergi."Siapkan mobil, antar aku kesana!" ucap Debora tegas.Wanita itu melangkah menuju garasi mobil. Di sana mobil Papa mertuanya masih di sana, biasanya mobil ini tidak pernah da di rumah. Satu hal yang paling menarik perhatian adalah karangan bunga dan kondisi mobil yang sedikit berbeda.Ada beberapa bagian yang penyok dan kaca yang retak. Di sampingnya ada mobil kerja Alex yang juga t
Debora memeluk erat Mama mertuanya. Dia merasakan kehancuran yang Lidya rasakan. "Apa yang sebenernya terjadi? Stevi kenapa?" tanya Debora di tengah tangisnya.Lidya berusaha menghentikan laju air matanya. Berulang kali tangan lembutnnya menghapus tetesan air di pelupuk mata."Ceritanya panjang, kapan kau datang?" tanya Lidya membelai rambut panjang Debora.Debora hendak menjawab pertanyaan Mama mertuanya. Tetapi perhatiaannya teralihkan oleh seorang yang berjalan mendekat ke arah mereka.Seorang pria yang memakai kacamata dan berjas putih. Di belakangnya terdapat dua Wanita yang memakai pakaian sama."Selamat pagi Nyonya Lidya," sapa sang dokter."Selamat pagi juga Dok," jawab Lidya bangkit dari kursi,Dua orang perawat masuk ke ruang rawat Stevi. Sedang Dokter masih berdiri di hadapan Lidya. Matanya menatap kedua wanita di hadapannya secara bergantian."Nyonya?" tanya Dokter mengulurkan tangan kepada Debora."Dia adalah Debora, istri dari putra saya." Lidya memeluk pundak Debora.
Dengan ragu Joe mengayunkan langkah kakinya mendekat. Pandangannya masih tertunduk, sepertinya Tuannya memang bersenang-senang setelah sekian laam fakum."Maaf Tuan, Nyonya Debora menunggu kedatangan Anda di rumah sakit," ucap Joe dengan suara terbata."Debora? Siapa dia, kenapa aku tidak mengingatnya," kekeh Alex sambil mengecup salah satu wanita yang sedang duduk di pangkuanya.Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Debora melihat semua ini. Sang suami dan empat orang wanita sedang bersama meraih puncak nirwana.Untung saja Tuannya tidak merasa terganggu atas kehadirannya. Yang menjadi tugas tersulit adalah, bagaimana dia bisa membuat Tuannya sadar kembali."Maaf Tuan, Anda harus pergi sekarang. Nyonya sedang menunggu Anda," ucap Joe meninggikan suaranya.Keempat wanita itu menoleh ke arah Joe. Salah satu di antara mereka bangkit dari sofa dan melangkah mendekati pria yang baru saja bergabung.Joe melangkah mundur teratur, sampai wanita itu menghentikan langkah kakinya. "Aku tidak
Seorang pria baru saja bangun dari tidurnya. Dia menatap hamparan pepohonan yang seperti awan berwarna hijau."Kau sudah bangun?" tanya Seorang yang baru saja membuka pintu.Pria itu membalikkan tubuhnya dan melangkah mendekati pria yang baru saja masuk. Mereka duduk di sofa dan menikmati secangkir kopi panas."Kau tidak ingin memberi salam terakhir pada Mamamu?" tanya Pria kekar yang tidak lain adalah pamannya sendiri."Tidak, bagiku Mama sudah mati sejak dia menitipkan ku padamu," jawab Akeno tanpa ekspresi.Dia menyesap kopi dan melempar pandangan ke kaca yang menampakkan pemandangan indah saat ini.Sinar matahari pagi yang cerah, langit biru bersih, dan pepohonan yang memantulkan cahaya hangatnya ke sekitar.Carlos menatap lekat keponakannya. Dia tau bibir dan hatinya tidak sejalan. Dirinya tau bagaimana rasa rindu untuk Mamanya. Hanya saja pria itu terlalu arogan untuk mengakuinya."Ikutlah denganku kembali ke kota, kita harus mencari sekutu untuk merebut wilayah kita kembali," uc
Mata Joe berbinar ketika mendengar suara serak Stevi yang memanggil namanya. Dia segera mencondongkan tubuhnya mendekat."Stevi, kau sudah ingat aku?" tanya Joe pelan. Stevi membuka matanya. Perlahan dia bangun dari tidurnya. Wanita itu menyapu sekitar dengan tatapan kebingungan. Melihat reaksi Stevi membuat Joe tersenyum bahagia.Joe naik ke ranjang dan duduk di hadapan Stevi. Menatap lekat manik mata yang saat ini sudah bisa merespon keadaan sekitar."Stevi, kamu lapar nggak?" tanya Joe menatap teduh.Manik mata Stevi hanya memandang sekilas lalu berpaling begitu saja. Sayangnya tatapan kosong itu kembali lagi.Dengan semangat Joe mengayunkan langkahnya keluar kamar dan membeli sebungkus roti di kantin rumah sakit. Pria itu kembali dengan napas terengah-engah.Joe kembali duduk di ranjang. Posisi Stevi masih sama duduk dengan tatapan kosong. "Buka mulutmu!" ucap Joe sambil menyuapkan sepotong roti ke mulut Stevi.Stevi menatap sepotong roti itu untuk sekian detik, baru melempar pan
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka