Seorang dokter dan beberapa perawat datang. Mereka terbelalak ketika melihat Debora sudah berdiri di depan pintu.Seorang suster segera menghampiri wanita yang masih memakai pakaian pasien itu."Nona, kenapa di sini? Kondisi Anda belum pulih," Seorang suster segera menggandeng tangan Debora dan membawanya kembali ke kamarnya."Tunggu!" suara Alex menghentikan langkah suster.Dokter dan suster lainnya melempar pandangan ke arah pria yang masih bersandar di kasur."Aku ingin istriku di rawat di sini juga," lanjut Alex menatap punggung Debora.Debora menarik napas dalam. Dia berusaha memasang indra pendengarannya. Wajahnya memerah karena malu. Kenapa Tuan kulkas berubah menjadi Tuan perapian sekarang."Aku tidak mau mengganggumu di sini, aku akan kembali." Debora menarik tangan suster dan mengayunkan langkahnya."Aku tidak merasa terganggu. Bukankah ini mempermudah dokter untuk memeriksa kita," lanjut Alex tidak mau kalah. Mata elangnya menatap sang Dokter. Memberi pertanda kau perintah
Di tempat lain seorang pria sedang duduk di sudut rumah sakit. Di hadapannya terdapat sebuah kolam ikan cukup besar.Dia duduk di sebuah kursi taman. Matanya menatap pantulan wajahnya. Sedangkan tangannya masih menggenggam secarik kertas yang baru saja dia terima beberapa menit yang lalu.Air mata terus membasahi pipi. Dia tidak menyangka akan mendapat kenyataan mengejutkan seperti ini.Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Joe. Joe yang terkejut hanya bergeser sekian centi untuk memberi ruang pada pria itu."Kenapa kau tidak langsung memberikan ini padaku? tanya Joe tersenyum kecut."Aku hanya tidak mau beberapa orang salah sangka, duniamu cukup rumit. Sama dengan Kakakmu," ucap pria bertopi itu."Sudah lama berteman dengan orang bodoh seperti Kakakku?" tanya Joe nanar.Pria itu hanya tersenyum kecil. Dia tau Bagaimana perjuangan sang Kakak yang meregang nyawa di tangan adiknya sendiri."Kalian sama-sama keras kepala. Tapi mau bagaimana lagi, kakak memang punya tanggung jawab penuh
Di tempat yang berbeda. Tepatnya di sebuah kamar rawat rumah sakit. Alex terbangun dari tidurnya. Efek obat telah berhasil membawanya masuk ke alam mimpi.Dia menoleh ke samping kanan. Di sana ada sosok bidadari cantik yang sedang tertidur lelap. Matanya melihat jam yang terpasang di dinding.Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia memutuskan untuk bangun dan melangkah menuju kamar mandi.Selang infus sudah di lepas. Jadi mudah baginya untuk bergerak bebas. Hanya tinggal bagian tubuh tertentu yang masih merasakan nyeri. Setelah menuntaskan pekerjaannya di kamar mandi. Pria itu melangkah kembali menuju kasur. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.Jemarinya mulai menari indah di layar. Dia mulai membuka timbunan chat yang tidak bisa di baca beberapa hari ini.Banyak sekali relasi bisnis yang menghubunginya. Namun ada satu nomor yang menyita perhatiannya. Dia membuka chat tersebut. Kumpulan pesan suara memenuhi layar ponselnya saat ini.Karena penasaran dia membukanya satu
Kita kembali pada satu jam sebelumnya. Debora membulatkan matanya saat melihat kedua mertuanya baru saja datang.Untuk kali ini dia melihat orang tua yang tidak cemas sedikitpun pada anaknya. Mereka masih bisa mengembangkan senyum di wajah berkharisma itu."Halo Sayang, bagaimana keadaan Alex," tanya Lidya menatap Debora.Sepertinya Stevi belum menceritakan segalanya pada Mamanya. Debora bisa sedikit bernapas lega. Wanita itu segera memeluk Lidya dengan mata yang berkaca-kaca."Maafkan Aku Maa, aku selalu merepotkan kalian dan membawa kalian kedalam situasi seperti ini," ucap Debora menyesal."Sudahlah, Alex memiliki sembilan nyawa. Percayalah dia dan malaikat maut bersahabat. Dia bisa menego nyawanya sendiri," jawab Lidya enteng."Kau baru tau bukan? Dia pernah mengalami hal yang lebih parah dari ini. Dia kan baik-baik saja, tenanglah," sahut Andreas menatap menantu kebanggaannya.Napas Debora semakin sesak. Dia tidak tau apa yang terjadi bila kedua orang baik ini mengetahui kenyataa
Di tempat yang berbeda. Seorang dokter wanita melangkah menuju kamar Alex. Di belakangnya terdapat tiga orang suster yang mendorong bed."Astaga, apakah ini serius?" Debora memijat keningnya.Terdengar bunyi ponsel berdering. Andreas merogoh saku celana dan menaruh benda pipih itu di telinganya. "Sebentar Sayang, Papa akan segera kembaliiii," ucap Andreas melangkah pergi.Di saat bersamaan sang dokter sudah berhenti di hadapan Debora dan melempar senyum manis."Nona Debora?" tanya sang dokter."Benar Dok," jawan Debora singkat."Tuan Alex ingin Anda di rawat di ruangan yang sama dan memberi amanat agar saya yang mengurus Anda," ucap sang dokter menjelaskan maksud kedatangannya.Suara pintu kamar terbuka. Dokter keluarga Vernandes keluar sambil membawa sampah medis. Dia melempar senyum penuh arti pada Debora."Anda sangat beruntung Nona," ucap Dokter tersenyum ramah."Lena, dia adalah wanita kesayangan Tuan Alex, jadi berhati-hatilah dalam merawatnya. Kalau tidak, nyawamu yang jadi tar
Kembali di mana Debora dan Alex tertangkap basah di kamar rawat mereka. Wajah Debora memerah. "Astaga, kenapa harus ada pengganggu," keluh Alex."Kami bisa keluar sebentar," kekeh Andreas sambil melempar senyum ke arah Lidya."Tidak perlu Papa, tolong jaga menantumu ini. Aku harus pergi sebentar. Jangan sampai rasa cemburunya membuat lukanya semakin parah," ucap Alex melempar senyum kecil ke Debora.Alex segera memakai bajunya dan melangkah pergi meninggalkan Debora dan kedua orang tuanya di kamar.Terlebih dia sudah tau di mana titik kelemahan sang lawan. Andai dia tau ada cara yang lebih mudah, dia tidak akan merencanakan penyerangan di pulau kemarin.Seorang pria duduk sambil menyesap batang nikotin. Asap nikotin bertebaran di sekelilingnya. seorang wanita baru saja bangun dari tidurnya.Keadaanya saat ini sangat kacau. Rambut dan bajunya acak-acakan. Beberapa tubuhnya terdapat luka memar. Ujung bibirnya terdapat darah yang mengering."Ternyata kau masih sama, luar biasa," Akeno te
Alex melangkah pergi meninggalkan rumah sakit di ikuti oleh beberapa orang di belakang. Di saat yang bersamaan ponselnya berdering kencang."Ada apa?" tanya Alex dingin. Setelah merogoh ponsel yang baru saja berdering."Tuan, Angel ..." ucapan Joe terpotong."Kita di serang di wilayah kita sendiri. Sangat memalukan. Kejar mereka sampai dapat. Sisanya suruh cari tau, siapa yang sudah lancang memberi obat tidur padaku," Alex memotong ucapan Joe."Dan kau? Dimana kau saat tim membutuhkan," tanya Alex penuh penekanan."Nyonya Lidya menyuruh kami mengecek gedung di perbatasan kota sebelah timur," jawab Joe."Mama?" Alex tidak menduga hal ini. "Nyonya ingin mempersiapkan gedung untuk pernikahan Nona Stevi, Tuan." jawab Joe sedikit kikuk."Apa! Menikah? Dengan dokter itu, sangat fantastis." Alex memijat keningnya."Kau putar balik, aku akan segera menyusul," ucap Alex memutus sambungan sepihak. Dia menekan tombol dengan kontak yang berbeda. Jangan kira dia tidak memiliki mata-mata. Bahka
Alex menarik napas panjang. Dia tidak tau harus melakukan apa. Dirinya tidak mau sang istri lebih hancur. Masih ada kemungkinan kalau Angel akan selamat."Apa kau tidak pernah membawa mobil ini ke bengkel, sangat lambat sekali," protes Alex yang merasa tidak cepat sampai tujuan."Maaf Tuan," ucap Sopir. Di tempat yang lain, Joe mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Matanya lekat menatap serpihan cahaya yang seperti kembang api di langit malam.Berulang kali bibir tipisnya mengumpat. Sungguh dia tidak ada memaafkan siapapun mata-mata yang telah membantu Akeno membawa gadis cilik tidka berdosa itu.Kemarin Debora dan sekarang anak tidak bersalah. Otak Akeno memang kotor dan perlu di basmi tuntas."Kau masih di sana?" tanya Joe menekan benda kecil di telinganya."Iya, kami sudah menuju tempat meledaknya helikopter," jawab Dante seolah tau apa maksud Joe."Kau sangat baik, terima kasih. Cari anak itu sampai ketemu," sahut Joe."Tidak masalah, aku sangat terharu. Mau mendaratkan satu
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka