Kaki Debora merasa begitu lemas. Dia tidak percaya dengan ucapan wanita yang memakai baju pasien tersebut.Dia tau hubungannya dengan Alex hanya sebatas status. Tidak ada rasa di antara mereka. Debora juga tidak tau mengapa dadanya tiba-tiba terasa sesak."Aku akan keluar sebentar," ucap Debora melangkahkan kakinya.Langkahnya terhenti saat tangannya di genggam erat oleh seseorang di belakang. "Selesaikan urusanmu dulu, aku tidak mau menganggu," lanjut Debora menghempas tangan Alex.Debora mengayunkan tangannya kasar dan Alex semakin mempererat cengkeramannya. Debora memutar badannya, kemudian menatap lekat Alex yang ternyata sedang melempar pandangan ke arahnya."Biar aku perjelas masalah ini sekarang," ucap Alex masih tetap menatap Debora."Kenalkan, dia adalah Clara. Seorang wanita yang pernah singgah di hidupku. Bahkan telah memiliki semuanya. Nyawaku, Ragaku, dan cintaku." Alex bangun dari tidurnya.Tangannya masih mencengkram erat tangan Debora sampai meninggalkan bekas merah d
Debora memutuskan untuk pulang dari rumah sakit. Tak ada gunanya lagi dia di sini. Moodnya sudah berantakan.Di saat yang berbeda Lidya melangkah menuju mobil yang mengarah ke kamar putranya. Untuk pertama kalinya seorang Ibu sepertinya mengkhawatirkan kondisi anaknya.Alex sering keluar masuk rumah sakit. Dan percayalah, saat itu pula tubuhnya itu sudah siap menerima peluru lagi. Jadi Lidya tidak pernah mencemaskan Alex.Dia dan senjata seolah saudara yang tidak bisa di pisahkan. Ada alasan lain yang membawa Lidya datang. Yaitu seorang wanita yang saat ini sedang berdiri di samping Alex.Di sudut matanya masih mengalir buliran air bening. Tangisnya tidak membuat hati pria yang duduk di ranjangnya luluh. Beberapa anak buah Alex yang menyamar segera memberi jalan untuk sang Nyonya dan masuk ke dalam ruangan.Saat ini ruangan sudah steril. Hanya ada Alex dan dia orang anak buah kepercayaannya. Satu lagi, wanita yang masih mengemis belas kasihnya."Jadi kenapa kau kembali?" tanya Lidya
Mendengar suara dentuman bend yang saling bertabrakan begitu keras, Alex jadi khawatir."Debora!" panggil Alex.Tak ada sahutan. Sambungan terputus dan ini membuat semakin gelisah."Astaga, dasar merepotkan," ucap Alex mengusap wajahnya kasar tanda frustasiBagaimana tidak, baru kemarin dia membereskan kasus tabrakan dan sekarang dia harus kembali mengurusnya lagi? Benar-benar gila.Alex segera membuka ponselnya dan mencari titik di mana wanita itu berada. Sedangkan di tempat yang lainya Debora masih duduk di dalam mobil.Di hadapannya terdapat mobil yang penyok akibat kecerobohannya. Berulang kali dia mengutuk Alex.Dia mencoba menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan pikiran agar otaknya bisa mencari jalan keluar.Otaknya belum mendapatkan ide sama sekali. Akan tetapi, sialnya. Seorang pria dengan paras tampan nan menawan turun dari dalam mobil.Debora sedikit lega karena mobil di depan adalah milik seorang pria. Setidaknya dia bisa memanfaatkan kecantikannya u
Debora memutar laju mobilnya. Untuk saat ini Rumah adalah tujuan yang akhir. Moodnya sudah berantakan dan dirinya tidak mau akan ada tabrakan berikutnya. Hanya membutuhkan waktu kurang lebuh tiga puluh menit. Dirinya sampai di sebuah hunian mewah dengan gerbang yang menjulang tinggi.Pintu gerbang terbuka. Mobil Debora masuk dan secara otomatis gerbang tertutup. beberapa orang hanya menatap kedatangan Debora dengan wajah datar.Melihat banyak orang yang berdiri di depan pintu utama rumah sepertinya sang suami sudah pulang.Meskipun Debora tidak kenal dengan nama satu per satu anak buah alex. Akan tetapi dia bisa mengingat dengan jelas wajah orang yang selalu membuntuti suaminya itu.Kadang Debora penasaran, apakah mereka juga di tuntut oleh Alex agar sama sepertinya. Wajah mereka selalu datar tanpa ekspresi persisi seperti boss nya.Debora melangkah melewati barisan orang dengan pakaian serba hitam itu. Anehnya saat Nyonyanya sudah menghilang di balik pintu. salah satu dari mereka s
Alex menatap lembut wajah Debora yang ketakutan. Dia menghapus buliran bening yang masih melaju deras. Entah mengapa dia tidak dapat mengontrol emosinya saat ini.Mendengar anak buahnya memberi laporan kalau Debora baru saja pergi dengan Akeno membuat amarahnya meletup-letup."A-ku tidap pergi dengan siapapun. Tadi mobilku menabrak dan tiba-tiba orang itu ..." Debora mencoba menjelaskan secara rinci.Sayangnya Alex tidak mau tentang semua itu. Dia kembali menyambar bibir lembut Debora dan memeluknya erat.Kali ini Debora dapat merasakan kelembutan permainan Alex. Tidak seperti sebelumnya yang sangat kasar dan melukainya.Debora hanyut akan kenyamanan ini. Dia tidak tau mengapa tubuhnya tidak dapat dia kontrol. Dia begitu menikmati sentuhan demi sentuhan yang di berikan Alex.Melihat Wanitanya sudah nyaman. Alex menggendong tubuh Debora dan memangkunya. Mereka duduk di sofa.Aliran darah Alex semakin deras menuju kepalanya. Hawa panas tiba-tiba menyelimuti jiwanya dan mendorongnya unt
Tubuh polos Alex semakin mendekat jantung Debora semakin menderu, aliran darahnya mulai mengalir deras. Seluruh tubuhnya bagai tersengat aliran listrik dengan kekuatan tinggi.Debora menutup mata. Mencoba menenangkan degupan jantung yang seolah ingin keluar dari tubuhnya.Bukannya tenang, malah sebaliknya. Sepenggal kenangan buruk yang lama dia tutup mencuat ke permukaan. Adegan demi adegan membuat air matanya kembali mengalir."Perlu kau tau, aku sangat membenci air mata. jadi buka matamu dan nikmati aku." Alex berbisik lirih.Debora membuka mata. Wajah Alex begitu dekat. Rahang tegasnya dan bulu tipis yang membalut janggutnya membuat pria di hadapannya terlihat menggoda."Percayalah, aku tidak sesuai ekspetasi mu. aku adalah barang bekas yang menyedihkan ..." ucapan Debora terhenti saat Alex memangut bibirnya lembut.Keduanya deru darah mereka yang memanas dan menuntut untuk melakukan hal yang lebih dari ini.Alex merobek kain yang membalut tubuh Debora sehingga terlihat sudah leku
Di tempat yang berbeda. Seorang wanita yang memakai pakaian pasien sedang duduk di bed kamarnya. Dia menatap nanar ke arah jendela.Hatinya begitu hancur saat ini. Dia tak menyangka kebodohannya akan membawanya ke dalam kehancuran. Tak ada lagi cinta atau bahkan belas kasih untuknya dari pria yang amat mencintainya dulu.Buliran air bening membasahi pipinya. Berulang kali dia menekan dadanya. Mencoba menahan sesak yang kian membunuhnya."Alex, aku tidak menyalahkanmu dengan apa yang kau perbuat. Setidaknya terima aku kembali ke dalam hidupmu," ucap Clara perih.Dia ingat bagaimana Pria itu menahannya untuk jangan pergi. Akan tetapi Clara yang keras kepala tidak mempedulikannya. Saat itu dia tergoda janji manis orang lain. Yaa ... dia sangat bodoh. Masa depan indah sudah ada dalam genggamannya namun dia malam memilih pergi dengan orang lain."Ck ... sangat malang sekali nasibmu!" ucap seorang yang baru saja masuk ke kamar Clara."Akeno!" Clara terbelalak dan segera menghapus air matan
Di sebuah bangunan dengan lima lantai. Tepatnya di lantai paling atas dan rungan paling luas di antara yang lain.Ada dua orang wanita sedang duduk berhadapan. Hanya keheningan yang menyelimuti tiga puluh menit terakhir. Tak ada canda tawa atau bahkan sekedar obrolan di antara mereka."Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Andreas," ucap Casandra. Wanita dengan wajah anggun dan mata sipit yang dia miliki.Lidya menghela napas panjang. Harusnya ini menjadi kabar baik yang telah dia tunggu selama ini. Akan tetapi entah mengapa semuanya terasa hambar sekarang."Kau bisa memilikinya seutuhnya," lanjut Casandra dengan senyum tipis yang menghiasi wajah oriental khas Asia."Kenapa?" tanya Lidya singkat.Casandra tertawa kecil. Baru kali ini wanita di hadapannya memasang wajah kebingungan seperti ini. Biasanya dia akan memasang wajah datar dan amarah yang memburu di dalam jiwanya.Merasa tidak enak hati, Casandra meraih segelas teh dan menyesapnya perlahan. Kemudian menaruhnya kembali di meja
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka