Jean mengangguk. "Saya nggak ada niatan sama sekali buat ninggalin dia."
Bu Mala menggelengkan kepalanya. Anak muda jaman sekarang memang super keras kepala. Terutama si Jean, padahal dia sudah pernah menikah dan merasakan pahit manisnya berumah tangga. Tapi masih saja bersikeras untuk mendekati Nilam."Oke-oke. Tante ngerti kok. Yah anak jaman sekarang kan emang susah kalau sekedar dikasih teori aja.""Maafin saya Tante.""Enggak usah minta maaf," ucap Bu Mala lagi. "Yang penting kamu harus bisa buktiin kalau omongan kamu ini bener. Nggak sekedar tong kosong doang."Jean menganggukkan kepalanya. Dia menerima tawaran bu Mala dengan sangat terbuka. "Saya nggak akan bikin Tante kecewa.""Lebih tepatnya Nilam. Tante nggak mau, kamu buat dia kecewa.""Saya paham, Tante."Suasana tegang di antara kedua orang itu mulai mereda. Bahkan Bu Mala dengan senang hati mempersilahkan Jean untuk menikmati minumannya lagi.<"Hai sayang, gimana kabar kamu?" Nilam yang baru saja masuk kerja lagi setelah absen hampir seminggu, dibuat merinding gara-gara panggilan sayang yang Dikta tujukan padanya. "Sayang! Sayang! Emang gue cewek apaan sembarangan dipanggil sayang!" CEO tampan itu tertawa. "Kayaknya kamu beneran udah sehat. Buktinya, udah bisa segalak ini." Nilam mendengkus. Ia memilih diam dan fokus memperhatikan angka di lift yang menujukan sampai di lantai mana dia saat ini. "Kamu bolos nya lama banget, kan aku kangen." "Nggak tau malu!" "Kenapa harus malu! Kangen ini kan bukan kesalahan atau aib," balas Dikta sambil menarik sebelah sudut bibirnya. "Lo kan udah punya Bu Elisha, urus aja dia yang bener!" amuk Nilam sambil menatap Dikta dengan tajam. "Gimana ya..." Dikta menggaruk belakang kepalanya. "Aku udah mulai jenuh ama dia."
"Ahh!" Nilam tersentak saat jari Dikta mulai menggerilya di area sensitifnya. Menggosok bibir kewanitaannya hingga membuat Nilam was-was. "Di sini ada yang basah, Nilam." Gadis itu menggelengkan kepalanya. Menatap Dikta yang menyeringai puas ke arahnya. "Kayaknya bagian ini minta dipuasin juga." "Diam! Jangan macam-macam lo!" "Makanya, jangan cari gara-gara." "Di— Dikta jangan! Jangan! Aku mohon—" Nilam kian panik saat Dikta mulai melucuti dalamannya. Ia berusaha menutupi miliknya yang jadi pusat perhatian Dikta dengan tangannya. Tapi tentu saja, hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada Dikta. Lelaki itu dengan mudah mencengkram kedua tangan Nilam dan menaruhnya di atas kepala. Rudal miliknya sudah siap menerobos masuk lubang surgawi milik Nilam. Tapi belum sempat itu terjadi, seseorang memanggil namanya dari arah luar. "Pak! Pak Dikta! Pak Dikta!" "PAK!!!!" Pemuda itu tersentak dari lamunannya. Ia mengerjabkan kedua matanya dan melihat ke sekitar. Dia masih berad
"Kenapa baru sekarang?" Pertanyaan Elisha barusan membuat Jean kembali melirik ke arahnya. "Kenapa nggak dari dulu kamu cari kerjaan yang tepat? Kenapa harus nunggu kita cerai dulu?" "Emang penting bahas itu sekarang?" tukas Jean balik. "Bukannya kamu juga udah nyaman sama selingkuhan kamu." "Ya kalau kamu bisa nyukupin semua kebutuhanku dan Qila, mana mungkin dulu aku selingkuh." Elisha membalas sindiran Jean dengan kalimat barusan. Berharap Jean paham kalau dia turut andil dengan segala perbuatan yang dulu pernah ia lakukan. "Anggap aja kita emang nggak jodoh," tutur Jean lagi. Sesekali pandangan matanya tertuju ke arah Qila yang sedang bermain dengan sangat riang tak jauh darinya. Elisha berdecak. Dia kadang tidak bisa memahami dengan betul isi kepala mantan suaminya ini. "Oh ya, omong-omong soal Qila. Lain kali kalau mau ajak pergi jangan dadakan! Soalnya aku nggak bisa tiba-tiba ijin cuti gitu aja!" "Ya harusnya kamu nggak perlu ikut kan? Toh, Qila pergi sama Papan
Nilam berjalan mondar-mandir di area pintu keluar mall. Bukannya dia caper atau kurang kerjaan, tapi dia sengaja berdiri di sana karena sedang menunggu Jean. Yup, kali ini mereka harus bicara. Dia tidak mau digantung dengan ketidakpastian seperti sekarang. "Kak Je—" Nilam menutup mulutnya. Dia bisa saja meneruskan panggilannya. Tapi sayangnya, saat melihat Qila, dia reflek merungkan niatnya. 'Enggak Nilam! Lo nggak boleh egois. Kalau lo buat keributan di sini, kasian nanti sama Qila.' 'Tahan Nilam! Tahan!' Gadis dengan rambut di ikat di belakang tengkuk itu memilih untuk menjauh dan mengawasi Jean dengan sembunyi-sembunyi. Gadis itu memperhatikan ketiga orang tersebut yang sibuk menata barang yang mereka beli dan memasukkannya ke bagasi. Ia mengintip Jean dari kejauhan dengan gaya lucu karena beberapa kali hampir ketahuan. "Kali ini, lo nggak akan gue lepasin kak," gumam Nilam pada dirinya sendiri. * Nilam itu super nekat kalau sudah ada kemauan. Apa yang jadi tujuannya,
Nilam yang sedang mengusap air matanya dengan telapak tangan, dibuat membeku ketika Jean berkata begitu padanya. Apa maksud pria ini? Apa Jean sengaja berkata demikian agar mereka bisa putus? "Kamu kan masih bisa cari pria yang mapan, single, nggak punya masa lalu buruk sepertiku. Di luar sana, banyak lho pemuda-pemuda yang lebih cocok buat dampingin kamu. Seha—" "Tapi hatiku cuma milih kamu, kak! Terus aku harus gimana kalau kayak gitu?" Jean menahan nafas ketika kalimatnya di potong oleh Nilam. Ia jujur agak tertohok dengan kalimat yang di lontarkan oleh perempuan di sebelahnya. "Aku bisa aja cari cowok seperti yang kakak maksud. Tapi aku nggak yakin bisa bahagia jika nggak sama kakak." "Aku duda, Nilam. Dan Elisha bakal terus jadi bayang-bayang saat kita bersama nanti. Emang kamu nggak ngerasa cemburu kalau seandainya Elisha datang dan berusaha menggodaku dengan dalih demi kebaikan Qila?" Ia melihat ke arah Nilam dengan skor matanya. "Aku tau kakak nggak akan tergoda ama
"Sekarang, ayo kita fokus di dunia masing-masing." Nilam benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Kalau pada akhirnya kita hanya ketemu buat putus, mending kita nggak usah ketemu aja hari ini. Lebih baik aku Berkhayal jadi pacar kamu dan bahagia, daripada aku harus ngerasain kecewa karena pisah sama kamu, kak." "Maafin aku, Nilam." Gadis itu mendorong Jean menjauh dari hadapannya. Ia membuka pintu mobil dengan agak kasar dan turun dari kendaraan tersebut dengan serampangan. Ia sama sekali tidak menengok ke arah Jean saking kesalnya. Ia begitu terluka dengan keputusan sepihak lelaki itu terhadap dirinya. Nilam tidak tau saja, jika yang sakit hati bukan hanya dia. Tapi Jean juga sama saja. Pria itu terlihat beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar. Jean menempelkan kambingnya di roda kemudi sambil merapalkan kata maaf berapa kali untuk Nilam. Yang tentu saja tidak bisa didengar langsung oleh gadis itu. "Maafin aku Nilam... Maafin aku..." * "Kamu kenapa? Kesambet? Daritad
"Bantuin Sha! Dikta Junior udah nggak tahan pengen dipuasin." Elisha masih mengedipkan kedua matanya ketika pria itu menyuruhnya untuk duduk bersimpuh tepat di depan rudalnya. Bahkan wanita itu sedikit syok ketika menyaksikan dengan mata kepalannya sendiri, betapa gagahnya rudal sang bos. "Puasin aku, Sha!" pinta Dikta sambil menyodorkan miliknya di mulut sang sekertaris. Walaupun sempat kaget, tapi pada akhirnya Elisha pasrah dan mau-mau saja saat Dikta memaksanya untuk mengulum miliknya yang besar itu. Dikta menggeram puas saat ronggs hangat sekertarisnya berhasil membuat nikmat rudalnya yang perkasa. Elisha juga terlihat senang saat melihat ekspresi kenikmatan yang Dikta tampilkan. 'Ahh... Enak... Enak banget Nilam... Ayo puasin aku! Puasin aku pakai lidah kamu! Ahh...' Dikta memejamkan mata. Membayangkan jika yang melakukan ini semua adalah Nilam— gadis incarannya. 'Ahhh... Enaknya... Nilaaam... Kamu bener-bener bikin aku gila... Ugh..." "Mmmpphh..." Elisha langsung menjauhk
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa
"Umph..." Nilam tercekat. Dia tidak menyangka jika Jean tiba-tiba mendorong belakang kepalanya dan menciumn secara mendadak. "Hmm..." Gadis itu meremas celananya sendiri saat merasakan sensasi dingin sekaligus manis yang menyebar ke dalam mulutnya. Tapi yang makin membuat ia tak fokus karena lidah Jean yang tidak berhenti mengajak lidahnya sendiri untuk saling bergulat satu sama lain. Seandainya saja mereka tidak butuh pasokan oksigen, pasti mereka tidak akan berhenti untuk saling pagut satu sama lain. "Gimana? Makan es krim ala orang dewasa lebih enak kan?" bisik Jean di samping telinga Nilam. Gadis itu reflek mendorong dada Jean. "Untung aja lantai atas sepi. Kalau ada yang liat gimana?" "Paling yang liat CCTV!" Nilam melotot. Dia kaget bukan main saat menyadari hal itu. "Astaga!! Kamu gimana sih? Nanti kalau kita viral gimana? Nanti kalau wajah kita masuk sosmed terus jadi hujatan orang-orang gimana?" "Terus—mmphhh..." Karena berisik, Lagi-lagi Jean memutuskan untuk mencium
"Jadi kamu nganter aku pulang cuma buat marah-marah aja?" "Enggak gitu, Nilam. Aku cuma khawatir." "Aku baik-baik aja. Ngapain harus khawatir." Jean menghela nafas panjang sembari mengusap jari Nilam yang sedang menggenggamnya. "Dasar kamu!" Gadis itu memperhatikan jarinya yang begitu kecil di genggaman sang kekasih. Sampai, iseng dia berucap, "Cincinnya cocok nggak di jariku?" Jean melirik sekilas ke arah jari manis Nilam. "Tentu aja cocok. Kan aku yang pilih." "Emm... Kamu kok bisa tau ukuran jariku?" tanya Nilam sambil memperhatikan Jean. Manik hitamnya memandang sang kekasih dengan binar penuh kerinduan. "Apa gunanya kita sering gandengan tangan kayak sekarang ini?" "Oh, jadi diem-diem kamu ngukur jariku?" "Nggak cuma jari aja. Semua yang ada di kamu, aku tau banget, Nilam."
"Apa?!" Elisha melotot kaget. Dia tidak menyangka jika Nilam akan seberani ini. "Kamu bener-bener nggak punya attitude ya! Kamu mau dapat nilai kualifikasi yang buruk?" tanya wanita itu dengan raut emosi. "Iya Nilam! Kamu jangan gitu ke Bu Elisha!" bisik salah satu rekan Nilam. "Bener. Nanti kalau sertifikat magang kamu nggak keluar gimana? Sia-sia kamu kerja keras selama berminggu-minggu." "Orang dia dulu yang mulai!" Nilam masih saja keras kepala. "Tapi kan—" "Sekarang udah jelas ya gimana sifat asli kamu!" Lagi-lagi Elisha sengaja memotong ucapan Nilam. "Selain licik dan tukang tipu, kamu ini juga pinter banget ngerayu laki-laki." Elisha tertawa mencemooh. Ia lipat kedua tangannya di dada dengan wajah jengah. "Maksudnya gimana?" "Pakai pura-pura segala! Udah lupa dulu waktu masih jadi pembantu gimana tingkah laku kamu? Ke sana- ke sini
Nilam mematung. Bahkan dia hanya bisa bengong seperti orang bodoh saat Jean memasangkan cincin platina di jari manisnya. "I- ini maksudnya apa?" tanya Nilam sambil mengedipkan kedua kelopak matanya. "Aku ngelamar kamu, Nilam. Aku ingin kamu jadi istriku." "N—ngelamar? Tapi kita..." "Demi Tuhan Nilam, waktu itu aku beneran nggak bermaksud buat putus dari kamu. Aku hanya ingin mempersiapkan momen ini saja." Ia menangkup pipi Nilam. Gadis itu sudah tak bisa berkata apapun lagi kecuali menangis. "Nilam... Kenapa kamu malah nangis?" Jean panik. Ia buru-buru menghapus air mata gadis itu dan berusaha menenangkannya agar tidak mengundang rasa penasaran orang-orang. Maklum saja mereka masih di acara forum sekarang ini. "Brengsek!" Nilam memukul dada Jean. "Kamu udah bikin aku nangis semaleman gara-gara minta putus, sekarang kamu bilang itu cuma prank? Terus apa gunan
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa