"Sekarang, ayo kita fokus di dunia masing-masing." Nilam benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Kalau pada akhirnya kita hanya ketemu buat putus, mending kita nggak usah ketemu aja hari ini. Lebih baik aku Berkhayal jadi pacar kamu dan bahagia, daripada aku harus ngerasain kecewa karena pisah sama kamu, kak." "Maafin aku, Nilam." Gadis itu mendorong Jean menjauh dari hadapannya. Ia membuka pintu mobil dengan agak kasar dan turun dari kendaraan tersebut dengan serampangan. Ia sama sekali tidak menengok ke arah Jean saking kesalnya. Ia begitu terluka dengan keputusan sepihak lelaki itu terhadap dirinya. Nilam tidak tau saja, jika yang sakit hati bukan hanya dia. Tapi Jean juga sama saja. Pria itu terlihat beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar. Jean menempelkan kambingnya di roda kemudi sambil merapalkan kata maaf berapa kali untuk Nilam. Yang tentu saja tidak bisa didengar langsung oleh gadis itu. "Maafin aku Nilam... Maafin aku..." * "Kamu kenapa? Kesambet? Daritad
"Bantuin Sha! Dikta Junior udah nggak tahan pengen dipuasin." Elisha masih mengedipkan kedua matanya ketika pria itu menyuruhnya untuk duduk bersimpuh tepat di depan rudalnya. Bahkan wanita itu sedikit syok ketika menyaksikan dengan mata kepalannya sendiri, betapa gagahnya rudal sang bos. "Puasin aku, Sha!" pinta Dikta sambil menyodorkan miliknya di mulut sang sekertaris. Walaupun sempat kaget, tapi pada akhirnya Elisha pasrah dan mau-mau saja saat Dikta memaksanya untuk mengulum miliknya yang besar itu. Dikta menggeram puas saat ronggs hangat sekertarisnya berhasil membuat nikmat rudalnya yang perkasa. Elisha juga terlihat senang saat melihat ekspresi kenikmatan yang Dikta tampilkan. 'Ahh... Enak... Enak banget Nilam... Ayo puasin aku! Puasin aku pakai lidah kamu! Ahh...' Dikta memejamkan mata. Membayangkan jika yang melakukan ini semua adalah Nilam— gadis incarannya. 'Ahhh... Enaknya... Nilaaam... Kamu bener-bener bikin aku gila... Ugh..." "Mmmpphh..." Elisha langsung menjauhk
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
Nilam mematung. Bahkan dia hanya bisa bengong seperti orang bodoh saat Jean memasangkan cincin platina di jari manisnya. "I- ini maksudnya apa?" tanya Nilam sambil mengedipkan kedua kelopak matanya. "Aku ngelamar kamu, Nilam. Aku ingin kamu jadi istriku." "N—ngelamar? Tapi kita..." "Demi Tuhan Nilam, waktu itu aku beneran nggak bermaksud buat putus dari kamu. Aku hanya ingin mempersiapkan momen ini saja." Ia menangkup pipi Nilam. Gadis itu sudah tak bisa berkata apapun lagi kecuali menangis. "Nilam... Kenapa kamu malah nangis?" Jean panik. Ia buru-buru menghapus air mata gadis itu dan berusaha menenangkannya agar tidak mengundang rasa penasaran orang-orang. Maklum saja mereka masih di acara forum sekarang ini. "Brengsek!" Nilam memukul dada Jean. "Kamu udah bikin aku nangis semaleman gara-gara minta putus, sekarang kamu bilang itu cuma prank? Terus apa gunan
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh