Halo semuanya, apa masih membaca cerita ini? Semoga suka dengan ceritanya yaa.
"Kau membunuh anakku hanya karena sejak awal kau tak menginginkannya?" tuduh Oliver. Dia memandangi Lena dengan tatapan sedih dan penuh kekecewaan besar. Lena tak menjawab. Di tempat tidurnya, dengan selang infus yang terpasang pada tangan, Lena hanya menundukan kepalanya.Wajahnya sembab dengan kelopak mata yang merah dan bengkak karena terlalu lama menangis. Tatapannya kosong."Tuan, ini tak seperti yang anda pikirkan. Nona Blade hanya tidak tahu kalau-" maid itu tak melanjutkan kalimatnya ketika Oliver membuat gerakan menghalau."Aku tak sedang bicara padamu. Sebaiknya kau keluar, ini urusanku dengan istriku," tegasnya begitu marah.Maid itu hanya tertunduk patuh dan dengan berat hati melangkah keluar ruangan. Sebelum menutup pintu itu rapat-rapat, maid itu pun lebih dulu melirik ke arah Lena dengan tatapan iba."Jawab aku Aralena, apa kau sengaja membunuh putraku agar kau bisa segera memenuhi keinginanmu untuk menemui Vincent?"Lena masih bungkam."Jawab aku Lena!" bentak Oliver
Luka caesar di perutnya masih berdenyut nyeri juga payudara yang membengkak karena hormon di tubuhnya masih menganggap bahwa janin seharusnya masih tumbuh di rahimnya."Maafkan saya nona Blade, saya tak bisa melakukan apapun selain benar-benar mengantarkan anda ke Bandara..." ucap sopir pribadi Oliver yang melirik Lena dengan rasa bersalah melalui kaca spion tengah.Lena menyeka air matanya dan mengangguk lemah. "Tak perlu merasa bersalah, ini bukan salahmu. Ini memang sudah seharusnya terjadi karena aku yang ingin pergi. Aku menangis karena merasa terkejut, itu saja."Air mata kembali meleleh membasahi pipi Lena tanpa aba-aba. Sehingga untuk kesekian kalinya Lena menyeka airmatanya.Kepulangan yang mendadak dan penerbangan yang sudah diatur oleh Oliver ini seharusnya membuat Lena bahagia, sebab kepulangan ini adalah hal yang sudah lama sekali dia idam-idamkan. Tapi anehnya Lena justru tak merasa bahagia sama sekali, dia justru merasa sangat sedih sampai-sampai tak kuasa menahan air m
"Ada apa dengan perutmu? Apa kau sakit?" tanya Vincent seraya menatap penuh khawatir ke arah perut Lena yang masih membuncit. Sedangkan Lena menggelengkan kepalanya untuk menjawab tidak."Ceritanya panjang." Lena tersenyum canggung ketika mengatakan jawabannya itu.Sejenak, Vincent tampak menatap Lena lekat-lekat, seolah memastikan sesuatu. Sampai akhirnya dia pun mengangguk mengerti."Aku sangat merindukanmu. Apa kau pulang demi diriku, Lena?" tanyanya."Iya, Vincent... aku pulang demi dirimu." Garis bibir Vincent pun melengkung membentuk senyuman termanis yang pernah dia punya. Sarat akan rasa bahagia. Kemudian, sekali lagi dia memeluk Lena dan menghidu aroma tubuh perempuan itu dalam-dalam."Aku sangat merindukanmu, Aralena. Aku pikir... aku pikir kita tak akan bertemu lagi."Lena balas memeluk pelukan itu dan menumpahkan segala kerinduannya pada Vincent yang selama ini dia pendam. "Aku tak mungkin melakukan hal itu. Aku pulang menemuimu," ucapnya."Ayo kita bicara di dalam, sayan
"Apa kau yakin ingin pulang selarut ini?" tanya Vincent memastikan. "Kau pergi hampir satu tahun lamanya, rumahmu pasti kotor karena telah lama ditinggalkan. Apa tak sebaiknya kau menginap saja di rumahku? Maksudku... kau bisa tidur di kamar tamu jika kau tak nyaman jika harus tidur di kamarku," lanjutnya. Kali ini Vincent kembali pada Vincent yang bersikap manis. Tak seperti sebelumnya, setelah Lena menegaskan bahwa perasaan cintanya untuk Vincent tak pernah berubah, dan seketika itu pula Vincent tak lagi memojokannya dengan kalimat-kalimat kejam yang pria itu katakan. "Maaf Vincent... sebaiknya aku menginap saja di hotel untuk malam ini saja lalu besok aku akan pulang untuk membersihkan rumahku. Aku harap kau tak tersinggung," jawab Lena dengan hati-hati. Kemudian dia menatap Risau ke arah Vincent. Setelah melihat bagaimana bengisnya pria itu ketika marah, membuat Lena ketakukan sehingga dia jadi berhati-hati ketika berbicara dengan pria itu untuk pembahasan sensitif seperti ini.
Sepanjang malam itu Lena tak bisa tidur. Tiap kali dia memejamkan mata, maka pada detik itu pula dia melihat wajah tampan anak laki-lakinya yang tak bernyawa, juga... wajah kecewa Oliver terhadapnya. Dadanya terasa sesak dan sakit melihat bayangan itu, sehingga dia memutuskan untuk tak tidur. Dia tetap terjaga, sambil sesekali mengecek ponselnya. Entah dapat bisikan darimana, tapi dia berharap saat itu ponselnya berdering karena panggilan telepon yang datang dari Oliver. "Kau pasti sudah gila karena mengharapkan panggilan telepon darinya," gumam Lena menghardik dirinya sendiri. "Oliver tak akan lagi menghubungimu seperti biasanya setelah kau menghancurkannya dengan cara mengerikan, Lena." Berulang kali Lena menghela napas kasar. Dia menaruh ponselnya itu di samping bantalnya dan kemudian memandanginya dengan tatapan nanar. Padahal baru sehari dia di negeri kelahirannya, tapi dia tak merasakan kenyamanan yang diharapkannya. "Ada yang tak beres dengan hati dan otakku," gumam Lena. K
"Rasanya seperti aku adalah manusia paling bodoh di dunia ini," cicitnya. "Aku merasa begitu percaya diri kalau aku tahu segala hal tentang pria yang akan ku nikahi, padahal aku tak tahu apapun."Penyesalan hanya tinggal penyesalan. Lena pulang ke kamar hotelnya dengan perasaan hampa. Dulu dia merasa sangat benci dan muak ketika Oliver mengatakan hal-hal jahat yang Vincent lakukan, tapi setelah hari ini dia membuktikannya sendiri... Lena merasa luar biasa terluka. Sampai-sampai yang dia rasakan bukan lagi sedih ataupu kecewa, tapi kekosongan yang mengerikan.Dengan langkah gontai, dia menuju tempat tidurnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas sana. Beberapa kali helaan napas kasar terdengar dari Lena, sebelum kemudian perempuan itu menutup kedua mata menggunakan lengannya."Sialan," rutuknya. "Setelah berbuat kejam pada pria yang mencintaiku, aku juga harus kehilangan rassa cinta pada pria yang selama ini aku impikan."Suasana kamar itu cukup hening ketika Lena berhenti bicara. Membuat
"Kau tak bisa aku hubungi. Jika kau membaca pesanku, segera hubungi nomor teleponku. Aku sangat khawatir..." Lena membaca isi pesan dari vincent itu dengan air muka yang datar dan tatapan kosong. Lantas kemudian tanpa kata dia langsung mematikan ponselnya dan memasukannya ke dalam tas, alih-alih segera melakukan panggilan telepon untuk menghubungi pria itu. Kini baru Lena sadari. Yang selama ini dia rasakan ketika bersama oliver adalah dia seperti baterai kosong yang terus terisi penuh tiap oliver memeluknya, tiap melihat wajah pria itu, dan tiap kali mendapatkan perlakuan manis dari pria itu. Baterainya selalu penuh dan dia jadi punya cukup energi untuk sekadar marah atau berdebat dengan oliver. Namun ada satu yang aneh, ketika dia bersama Vincent, kenapa dia jadi merasa kosong? Dia tak punya energi apapun. Semua perasaan cinta dan antusias yang dia bayangkan akan meletup letup ketika bertrmu dengan Vincent ternyata hilang dan menguap begitu saja. "Apa kau yakin akan benar-benar m
"Seharusnya hari itu aku tak membiarkan Oliver yang membelimu. Perempuan murahan sepertimu memang harusnya aku jual pada tua bangka yang gila sex dan-" Tamparan keras dari Lena seketika mendarat di pipi Vincent, membuat pria itu terdiam untuk beberapa saat karena terkejut, sebelum kemudian menatap Lena dengan tatapan meremehkan. Sementara Lena menatap pria itu dengan tatapan tajam, penuh dengan kekecewaan dan amarah. "Apa kau belajar sikap kasar seperti itu dari Oliver?" Vincent kembali terkekeh mencomooh Lena. "Mengisi energi seperti baterai kosong? cih! Romantisme kalian membuatku muak." "Aku kecewa padamu, Vincent..." cicit Lena sedih. "Aku benar-benar salah mengenali iblis. K-Kau... sangat mengerikan.Padahal selama ini aku menganggapmu sebagai pria paling baik yang pernah kutemui, padahal sebersyukur itu aku memilikimu, padahal aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku terus membanggakanmu didepan Oliver... tapi kau sungguh mengecewakanku." "Pergilah, sialan!" bentak Vincent tib