Beranda / Young Adult / Terjerat Gairah Arjuna / 02. Hewan buas dan pawangnya

Share

02. Hewan buas dan pawangnya

Penulis: haihaw
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-01 08:10:18

Sebutlah Arjuna Abisatya itu anak semata wayang. Sebab nyatanya memang begitu. Tinggal sendiri di tengah-tengah kota Semarang, orang tuanya ada di kota budaya Surakarta. Sang ayah menghabiskan waktu mengelola bisnis furnitur, sementara ibunya merawat orang-orang sakit usai ditangani dokter. Apalah daya, anaknya sendiri malah jarang sekali diurus. Tetapi, Juna enggan mempermasalahkan itu. Selain karena sedang menempuh pendidikan di kota lain, ia juga sudah dewasa, menurut kata hatinya. 

Tapi sesempurna apa cowok 20 tahun mengurus diri sendiri? Bagaimanapun dia masih membutuhkan keluarga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tapi juga afeksi dan perlindungan. Juna kehilangan potongan puzzle itu. Hendak mencari pun, toh tempatnya sudah ada, hanya sulit diraih saja. 

"Jadi buat apa ketemu?" Si adam bersurai hitam itu melempar tanya. Dua telapak tangannya menempel pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe. Melukiskan dua bahu yang makin hari makin meruncing saja. Sebenarnya dia makan teratur atau tidak? Yang bertambah pada posturnya hanyalah tinggi, tinggi, dan tinggi badan saja.

Siang menuju keburitan, Juna sudah berbalut apron kerjanya. Telah dikatakan, selain kuliah dia juga part time. Menambah uang jajan, tentu. Mengisi waktu, juga benar. Sendiri di indekos memang nyaman, tapi ada masanya bosan juga. Dan tugas kuliah seringkali tak tahu diri. Dengan part time, terkadang ia melupakan semua itu dan seolah tak ada beban pikiran apapun. 

"Hanya..." Sena mulai berkata dan semua orang memenuhkan atensi padanya. "Ingin kumpul aja," lanjut pemuda bermarga Mahatma itu. Nampak santai sembari meraih kentang goreng di piring. 

Jangan tanya dengan ekspresi empat lelaki lainnya. Usai mendengar pernyataan itu, Juna beserta Banu, Tara, dan si blasteran Kamal saling melempar pandang. Sebelum sang sesepuh menegakkan diri lalu menaikkan lengan-lengan bajunya. Bersiap melayangkan—minimal tamparan mungkin, pada Sena. Sayangnya, emosi Juna masih terkendali. Ia pun mendaratkan dua telapak tangannya di tiap pinggang. 

"Terus tadi pagi?" tanyanya lagi. 

Disela kunyahan, Sena memutar memori tentang apa yang ditanyakan Juna. Tak lain dan tak bukan adalah ketika ia teriak-teriak di telepon untuk membangunkan Juna. "Oh, gue mau barter tugas, tapi lo malah kencan."

'Mulutnya, sialan si Sena!' batin Juna.

"Kencan? Juna kencan dengan siapa?" Kali ini Kamal menyahut. Khas sekali, apa-apa dibuatnya terkesan wah! Tipikal manusia polos sedunia. Bahkan sekarang wajahnya amat sangat penasaran.

"Barter apaan, yang ada lo tinggal nyalin!" Terima kasih kepada otak Juna yang memunculkan ide untuk mengganti topik obrolan sebelum kebablasan. 

"Yusi?"

'Apa lagi ini?'

Nampaknya usaha Juna gagal. Malah sekarang masuk tokoh lain dalam topik awal. Dan kenapa pula Banu mengucap nama itu? Padahal semua orang juga tahu hubungan Juna dan Yusi sebatas ... hewan buas dan pawangnya? Oui, kurang lebih seperti itu.

"Serius?"

Nah, asumsi-asumsi ngawur itu membahayakan manusia mudah percaya macam Tara. Dengan mata berbinar ia malah menatap Juna, meminta penjelasan. Bukan hanya dia, Banu dan Kamal pun demikian. Tapi tidak dengan si penyulut api yang dengan santainya menggerus kentang-kentang dengan gigi kelinci. 

"Bukan Yu—"

"Percaya dia, go to hell now!"

Setelah menyela Sena, Juna segera pergi meninggalkan tempat. Bukannya apa, tapi ada pembeli yang masuk ke kafe, ia harus melayani. Sembari berlari kecil, lamat Juna dengar percakapan keempat kawannya masih berlanjut. Di balik meja kasir, seraya menunggu pembeli merogoh lembar rupiah, mata Juna bersitatap dengan Sena. Dengan cepat ia menggerakkan dua jarinya dari depan mata ke udara. Bermaksud mengancam sebelum temannya itu membongkar hal-hal yang tidak penting. Meski Juna tahu, Sena akan nekat. Mutlak. 

'Tunggu... Kenapa gue setakut ini mereka anggap gue kencan betulan? Itu 'kan nggak bener. Gue cuma nunggu BRT anjir tadi pagi,' paparnya dalam hati. 

"Terima kasih." Frasa lain pun muncul untuk membalas seorang lelaki yang membayar pesanan cappuccino itu. Lalu Juna menyimpan uang sebelum melangkah hendak kembali ke tempat gengnya. Surai itu ia acak perlahan, bingung sendiri dengan perasaan. 

"Berhasil nyebar hoax apa lo?" Setibanya di tempat semula, Juna langsung melempar kalimat itu pada Sena. Mukanya sudah malas, tapi harus bersiap menerima hujatan. 

"Nggak apa, gue dukung."

"Emang cantik sih orangnya."

"Cocok deh. Tapi dia kalem, Juna bar-bar."

'Anjir, kesel nggak sih lo jadi gue? Ngilang bentar aja udah ada rahasia di antara temen lo yang ngumpul. Shit!'

Akhirnya Juna hanya menghela napas berat. Terlanjur tidak bisa dibendung setiap kata yang keluar dari mulut si Sena. Terlebih dia juga tak ada kuasa mengendalikan pikiran-pikiran empat manusia di hadapannya itu. Andai saja ada mantranya.

"Juna, air..."

Suara memelas itu bukan dari Sena yang minum lemon squash, bukan dari Kamal yang makan sosis atau Tara yang memainkan alat makan, bukan juga dari Banu yang merapikan poninya dengan menatap layar hitam ponsel. Itu berarti ada orang lain di sana. Dan semua dibuat menoleh pada sebongkah objek yang sudah menjatuhkan diri di meja sebelah. 

"Gue kira yang diomongin datang," Kamal bergumam pelan usai menunda acaranya mengunyah daging kecoklatan itu. 

"Lagi?" Juna melepas lipatan tangan di dada, lalu melangkah untuk masuk ke area pekerja. Ketika melewati gadis itu, ia menepuk kepalanya dengan bagian luar tangan. "Berhenti nyuruh gue, bitch."

Yang dikatai pun masih diam dengan wajah tak terlihat. Sejak tadi sudah tenggelam di antara lengan yang bertumpu di meja. Tak peduli dengan surainya yang menutupi, bahkan tak peduli dengan celaan Juna. Sudah biasa. Seolah tiap hari ia mendengar candaan itu. 

Tidak sampai semenit, Juna datang dengan segelas air mineral di tangan. Ia pun meletakkan benda itu di depan Yusi yang menyibak anak rambutnya agar enyah dari wajah.

"Thanks," ucap Yusi sembari susah payah mengangkat gelas. Dia itu sedang tertimpa kesialan macam apa? Penampilannya tak beda dengan benang ruwet. Lajur keringat sudah membekas di pelipisnya. Deru napasnya pun tak beraturan lagi. 

"Jangan lupa bayar," celetuk Juna kemudian. 

"Dih, kapan gue gak bayar, ha?" Untunglah air di mulut Yusi sudah tertelan. Jika belum, akan ada hujan lokal yang berakhir perdebatan sengit di sana. "Oh, ada temen-temen lo ternyata." Oh, jadi sekian menit itu dia tak menyadari empat makhluk di meja sebelah?

'Ya... mereka pantas tidak terlihat.'

Nampaknya kini giliran Juna yang dongkol dengan teman-temannya karena telah membicarakan dia di depan itu. Di ruang kafe bagian depan, maksudnya. Ada rahasia pula. Juna sendiri masih sangsi apakah Sena benar-benar sebut merk atau tidak. Semuanya sulit ia tebak, entah itu pembicaraan kawan-kawannya pun atau bisikan-bisikan hati sendiri. 

"Lo sendirian? Pacar gue mana?" Sekarang Banu yang bertanya. Entahlah, memang random sekali orangnya. 

"Nggak tahu. Gue bukan emaknya, please," Yusi membalas. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun gadis itu terseret circle pertemanan Juna. Jadi, mau berkata sekasual apapun juga sudah biasa. Dan catat, meskipun Sherima Sasmaya— pacar Banu—adalah temannya, jika sudah sibuk dengan perkuliahan akan sangat jarang bertemu. 

"Beda fakultas juga, stupid. Kamal yang sama, satu jurusan malah." Juna yang masih berdiri di sisi meja Yusi pun menambahi ucapan gadis itu untuk menjawab pertanyaan Banu. 

"Oh, benar. Pacar gue mana?" Banu mengubah haluan kepala menghadap lelaki bersurai cokelat terang ber. Benar-benar, Manggala Banu... cutest boy ever! 

"Gue bukan bapaknya, please," ucap Kamal dengan nada datar. 

"Lo sendiri juga satu jurusan, bruh." Sayangnya Tara orang kalem. Jika tidak, kalimat itu mungkin sudah ia katakan bersama sumpah serapah atau barang-barang sekitar yang melayang. 

Sepertinya memang hanya Tarachandra yang ingat bahwa Banu dan pacarnya berada di satu jurusan yang sama, yaitu Administrasi Publik. Saking absurd-nya, si adam berponi panjang itu juga tak ingat. Lantas sekarang malah tertawa kencang sendiri seraya mengotak-atik ponsel. Mungkin dia akan menghubungi pacarnya, hingga tak peduli dengan hujatan Juna dan Sena yang bertubi-tubi. 

"Temen lo..." Yusi melirik Juna sembari bergumam. Tangannya yang melepas gelas kini mengacungkan telunjuk miring-miring di dahi. 

"Ngaca, tolong," balas si adam seraya memajukan kepalanya mendekat pada Yusi. Usai mendapat diorama pertautan alis di wajah gadis itu, ia pun berlari menuju kasir. Alasan yang sama, pembeli. 

-: ✤ :-

Sebatas... hewan buas dan pawangnya. 

Oui, seperti itu. 

- - -

Hari benar-benar gelap. Belum terlalu malam, tapi langit sudah pekat. Dan kota, masih saja hidup bersama mesin-mesin berpolusi juga orang-orang yang berlalu lalang di bawah bohlam. 

Selesai dengan aktivitas singkat di kampus, tuntas mengerjakan part time, habis menjadi bulan-bulanan mereka yang ia anggap teman, sekarang tinggal satu hal yang harus Juna kerjakan, yaitu pulang. Satu hal itu tak pernah berlangsung tenang. Setiap hari ada saja yang bermonolog di sepanjang jalan. Bukan orang asing, bahkan eksistensi gadis itu sudah ada sejak Sekolah Menengah Pertama. 

Dikira Juna terganggu, itu salah. Karena Yusi benar-benar teman baiknya. Perjalanan pulangnya tak pernah sepi. Perempuan itu pun selalu ada jika Juna membutuhkan. Begitu juga kembaran Yusi yang tidak tahu sekarang sibuk apa. Mereka ada si satu SMP dan SMA yang sama. Arjuna Abisatya, Yusi Hareshandi, dan Yasa Hareshando, orang-orang menyebutnya The Perfect Triplet. Sebabnya sederhana, jika dilihat sekilas mereka bertiga memiliki aura yang sama: sangar-sangar manis gitu. 

Segala aktivitas pun dilakukan bersama. Sayangnya dunia perkuliahan memisahkan Yasa. Dia ada di universitas lain. Tersisa Yusi yang masih saja menempel dengan Juna. 

Dikata Juna bosan? Tidak benar, tidak juga salah. Lalu apa? Juna hanya ingin suasana baru. Iya. Dua puluh tahun hidup, hanya ada sekali goncangan yang Juna rasa, yaitu ketika berpisah dengan orang tuanya saat hendak tinggal di indekos. Setelah itu, benar-benar flat. 

"Tau nggak sih pusingnya kuliah bisnis?"

Sesi curhat pun dimulai. Melangkah bersama juga menjadi momentum untuk Yusi melepas uneg-unegnya mengenai berbagai hal di dunia. Entah masalah kecil atau besar, entah hal penting atau tidak, keduanya akan saling bertukar pikiran. 

"Nggak tahu, gue kuliah ilkom," Juna menjawab singkat. Ia memasukkan kedua tangan ke saku celana. Udara malam mulai dingin diakhir bulan September dan saat ini tak ada kain tebal di tubuh si adam. Hanya berbalut jins hitam yang sobek di lutut dan sepotong kaus lengan pendek.

Ada suara jentikan jari dari gadis di sampingnya. Oh, sekarang dia dua langkah di depan dengan tubuh yang menghadap Juna. Yusi melangkah mundur sembari bibirnya kembali mengeluarkan kata-kata. 

"Hari ini lebih ke dosennya gue kesel. Seenaknya ngasih tugas bejibun. Harus selesai hari ini juga, anjing—"

"Hei..."

Yusi menutup mulut sembari matanya melirik kesana-kemari. Umpatan semacam itu memang sudah biasa di antara mereka, tapi harus tahu tempat juga. Banyak orang sedang berjalan di trotoar yang sama dengan mereka berdua. Meski tidak kencang, Juna tetap menghentikan Yusi, sebelum gadis itu semakin meluapkan emosi dan semakin banyak nama hewan yang keluar dari antrian.

'Dia akan jatuh.'

Apa yang dibatin Juna menjadi nyata. Ia melihat cekungan kecil di bidang yang akan Yusi tapaki. Naasnya si gadis tidak menyadari sebab sibuk merangkai kata untuk kembali bercerita. Bahkan tubuhnya pun belum berbalik seperti semula, masih berjalan mundur dan menghadap si pemuda. 

Mari akui bahwa Juna memiliki refleks yang bagus. Tahu-tahu tangannya sudah meraih lengan Yusi sebelum gadis itu menjatuhkan punggungnya ke trotoar. 

"Woah, thank you," ucap Yusi seraya mengembalikan keseimbangan tubuh. 

"Sangat merepotkan," Juna berceletuk. Tangannya pun terlepas dari lengan Yusi. Menggeleng singkat, ia lalu kembali melangkah untuk melanjutkan perjalanan pulang. 

"Serius?" Katakanlah Yusi sedikit terkejut dengan ucapan Juna barusan. Nadanya terdengar sungguhan. Takut-takut dirinya memang selalu merepotkan pemuda itu. Sadar diri, dalam hubungan mereka, Juna paling banyak berperan untuk menjaganya. Sedangkan Yusi sebagai manusia ceroboh plus bar-bar sedunia memang paling dominan mendapat perlindungan. 

"Beneran lo ngomong gitu?" tanya Yusi seraya menelengkan kepala mencari manik mata Juna. 

Yang ditanya berhenti melangkah, menghela napas singkat dan membalas tatapan Yusi. "Nope," pungkasnya. 

»»-----  ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««

Bab terkait

  • Terjerat Gairah Arjuna   03. Wanna see her again

    Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap.Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang. "Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata. Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan. "Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya. "Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-01
  • Terjerat Gairah Arjuna   04. Penampilan

    Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin."Lo beneran suka dia?" "Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-01
  • Terjerat Gairah Arjuna   05. A cup of heart

    'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-01
  • Terjerat Gairah Arjuna   06. Nama panggilan

    ❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded| Kill me, please! → Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-14
  • Terjerat Gairah Arjuna   07. He tries his best

    ❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16
  • Terjerat Gairah Arjuna   08. Jalan pulang

    Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-18
  • Terjerat Gairah Arjuna   09. Free mans on the freeday

    Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-21
  • Terjerat Gairah Arjuna   10. Gunting, batu, kertas

    D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23

Bab terbaru

  • Terjerat Gairah Arjuna   It's me, haihaw!

    Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan

  • Terjerat Gairah Arjuna   It's me, haihaw!

    Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan

  • Terjerat Gairah Arjuna   100. Arjuna dan Arina - End

    "Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma

  • Terjerat Gairah Arjuna   99. Sena dan Lila

    Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak

  • Terjerat Gairah Arjuna   98. Banu dan Rima

    "Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se

  • Terjerat Gairah Arjuna   97. Tara dan Chantika

    Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas

  • Terjerat Gairah Arjuna   96. Kamal dan Ayuna

    Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg

  • Terjerat Gairah Arjuna   95. Relationship

    Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.

  • Terjerat Gairah Arjuna   94. Tentang pilihan

    Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status