Matahari menempel di langit utara. Perlahan merangkak ke atas kepala. Kanvas putih kebiruan diraib oleh gurat-gurat kelabu kelam. Katanya musim panas baru akan berakhir, ternyata hujan sudah tidak sabar melepas aspal dari kegerahan. Terdiam di pemberhentian bus, Juna menelisik heran pada cuaca. Apakah air dan sinar sang rawi sedang bertengkar hari ini? Orang bilang ini hujan monyet. Kenapa? Padahal tidak ada monyet turun dari langit. Aneh-aneh saja.
Lalu yang jatuh malah seseorang di depan Juna. Refleks ia meraih lengan gadis itu agar tubuhnya tidak mencium tanah. Bukannya mengeluh, si pemudi malah menampakkan geliginya kepada sang penolong. Entah menertawakan kelalaian diri atau memang dia murah senyuman.Urutan detik-detik membawa detak-detak tak beraturan dari organ bernama jantung milik si adam, sebelum otak menyeretnya pada alam sadar yang sungguhan. Gadis itu belum sepenuhnya aman dari hujan. Juna segera menariknya pelan hingga mereka disatu atap halte yang sama.
"Nggak apa-apa?" tanya Juna kemudian. Perlahan genggamannya pada si hawa meluruh.
Yang ditolong mengusap beberapa bagian bajunya yang basah. Matanya sekilas melirik pada sepatu di kaki kanannya, mencari tahu apa yang membuat ia berpijak tidak sempurna di undakan trotoar. Nihil, sepertinya memang hanya karena tergesa saja usai menyeberang jalan.
"Iya, terima kasih," gadis itu membalas pertanyaan Juna seraya kembali menampilkan senyuman. Kali ini lebih tipis dari tadi.
Sama-sama memposisikan diri menghadap bulevar, tidak ada lagi dialog di antara mereka. Toh, saling kenal pun tidak. Pertemuan perdana, mungkin dengan orang-orang di belakang mereka juga. Jadi tidak aneh jika sama-sama diam.
Tidak tahu kenapa bus terlambat. Karena hujan atau sesuatu yang lain. Membuat orang-orang harus sabar menunggu. Pukul 09:25 pagi, Juna memeriksa waktu di ponselnya. Masih ada sekitar 35 menit untuk jadwal kuliah hari ini. Diam-diam ia bersyukur sebab tak perlu lari atau mengeluarkan rupiah lebih untuk memesan jasa antar. Ada untungnya juga alarm bernyawa yang membangunkan Juna lebih pagi hari ini.
Lelaki itu menyimpan kembali benda pipih hitam di balik saku celana, lalu tidak sengaja melirik eksistensi perempuan tadi. Tidak sengaja, tolong digarisbawahi. Gadis yang cukup tinggi, berbalut sweater lilac dan jins putih. Helai surainya terurai begitu saja. Kadang anak-anak rambutnya beterbangan terbawa angin, punya Juna pun demikian. Tapi tidak begitu mengganggu seperti milik si pemudi, yang sampai membuatnya berulang kali menyingkirkan benang menggelikan itu dari wajah.
Tas kulit kecil tersampir di pundaknya, sedang sebuah map plastik ada di pelukan. Untunglah terbuat dari plastik, lembaran kertas di dalamnya jadi tidak basah.
Drrt
Sena :
| Lupa jalan ke kampus?Juna menatap malas ke arah ponsel yang kembali ia keluarkan sebab bergetar hingga mengalihkan atensinya dari objek cantik tadi. Si alarm yang tadi pagi sudah berteriak-teriak memekakan telinga, kini mengirim pesan pada Juna. Secepatnya cowok itu pun mengetik balasan.
Juna :
Rese lo btch, busnya lama ini |Sena :
| AlasanššJuna :
Gila |Blocked |Sudah, Juna yang masih waras akan mengalah. Meladeni manusia labil itu barangkali hanya akan membuatnya emosi. Juna masih harus sabar sekarang untuk menunggu bus. Sebab motornya yang mogok belum sempat ia bawa ke bengkel, jadilah ia tiap hari naik kendaraan umum dari indekos ke kampus. Lalu tak lama kemudian mesin persegi itu pun hadir di hadapannya.
Juna mempersilakan beberapa orang dewasa yang sudah mengantre untuk masuk lebih dulu. Ternyata si hawa juga bersiap untuk naik. Kebetulan macam apa? Entahlah. Juna hanya akan masuk juga. Tidak perlu teori macam takdir dan sebagainya.
Si cantik duduk di kursi tengah, sampingnya kosong. Tidak ada alasan untuk stranger boy dengan penampilan bad boy seperti Juna menempatinya selama masih ada kursi lain yang kosong. Lantas adam itu memilih singgasananya sendiri, paling belakang dan pojok kiri: zona ternyaman.
Lebih lambat tiga menit dari 10 menit perjalanan biasanya. Jam 09:56 bus baru sampai di depan kampus. Juna hendak turun. Biasanya ia satu-satunya orang yang meninggalkan kursi, tapi kali ini ada yang lebih dulu berdiri. Lagi-lagi si lilac. Di depan, gadis itu merapikan tas dan melangkah menuju pintu keluar bus, begitu pula Juna yang ada di belakangnya beberapa langkah. Tidak disadari, tidak ada basa-basi apapun lagi. Sekadar, "Oh turun juga? Kuliah di sini juga?", tidak ada.
Mengingat waktu, si adam bersiap untuk menggerakkan kakinya cepat. Kalau begini tidak ada keuntungan apapun untuk Juna bangun pagi hari ini. Yang ada malah sial, karena dengan waktu empat menit ia harus sampai di fakultasnya. Gedung itu ada di sisi kiri dan menjorok ke dalam area kampus. Belum lagi kelasnya di lantai dua. Asal tahu saja, cukup menguras tenaga.
"Hei, Sena! Kita ketemu nanti aja, gue telat!"
Cukup mengutarakan kalimat itu dan Juna langsung memutus sambungan telepon. Kakinya sudah berlari menyusuri halaman kampus.
-: ā¤ :-Sisa hujan dan ... kenangan? Tidak.Hujan 100% air, tidak membawa kenangan apapun bagi Juna. Jika diingat, memang hidupnya monoton saja. Tidak ada yang spesial pakai telur. Kuliah, kadang ikut UKM, pulang dengan manusia bar-bar macam Yusi, part time, atau kumpul dengan gengnya. Seperti hari ini, mungkin permintaan Sena untuk bertemu hanya untuk menghabiskan waktu bersama dengan tiga pemuda jangkung yang lain. Lokasinya Juna belum tahu. Jadi ia memutuskan menunggu Sena di area kampus.
Lewat tengah hari, bersandar pada teralis pagar lantai dua Juna mengunyah permen karet yang hampir tak ada rasa manisnya lagi. Matanya menatap ponsel dengan satu ibu jari menggulir layar patah-patah. Jika dikira sedang menyelam di media sosial atau berita harian, itu salah. Memeriksa tagar trending hanya Juna lakukan ketika ingin, dan sekarang sedang tidak ingin.
Jika crush orang-orang adalah cewek cantik atau cowok tampan, berbeda dengan Juna. Crush-nya adalah cewek berkepang dua dengan pita merah di atas kepala yang suka memberinya reward setelah naik level. Si adam yang sudah berkepala dua itu kini tengah menyatukan permen-permen hingga pecah dan menghilang. Dia ingin reward dari crush-nya jadi harus naik level hari ini.
Sekadar informasi, Juna sudah sampai level 760 dalam game Permen Pecah tapi ketika membersihkan memori ponsel yang penuh, data aplikasi itu terhapus, dan mengulang dari level satu.
"Sialan!" Dia mengumpat pelan.
Selain kita yang mengingatkannya tentang kejadian miris itu, kali ini tanda hati warna pink telah habis. Juna tidak bisa main lagi. Hendak beralih aplikasi, sayup-sayup ia mendengar suara yang baru saja ingin ia teriaki di telepon. Siapa yang mengajak bertemu, siapa pula yang terlambat.
Sena kini datang. Tidak sendiri. Berjalan sambil bercakap, dan lawan bicaranya itu...
'Ini bukan takdir, kan?'
"Udah lama?" tanya Sena.
'Sampai gue lumutan, anj-astaga.'
Juna hanya membatin untuk mengucap balasan semacam itu. Tidak etis jika ia berkata kasar di depan orang yangākenapa Sena kenal gadis itu? Alhasil Juna hanya mengangguk sembari menegakkan tubuh dan menghadap mereka. Sebab tak kunjung dijelaskan dengan situasi saat ini, Juna menatap Sena dengan menampilkan gerak limit bibirnya.
Yang dipelototi paham, tumben, lalu membenarkan satu tali tas di bahu kiri sementara tangan kanannya terarah pada gadis di sisinya. "Ah, ini temanku di klub penyiaran. Arina," katanya.
Lalu telapak tangan Sena pun jatuh di pundak Juna. "Ini anak nakal, Arjuna," celetuknya sembari menatap si gadis yang masih berbaju lilac itu.
Lelaki semampai berlesung pipi itu hampir kena bogem dari Juna jika saja si gadis tak kunjung berucap. "Oh, yang tadi pagi?" Arina mengacungkan jarinya pada Juna. Lantas mendapat anggukan dari si adam.
'Oh, masih ingat?' batin lelaki itu sebelum melisankan namanya. "Juna."
"Arina, panggil aja Arin."
Keduanya saling menjura singkat sebagai salam. Menyisakan Sena yang menatap dua manusia itu bergantian. "Apa itu? Kalian udah saling kenal?"
"Tidak, hanya saja... kami bertemu pagi tadi."
Ucapan Arin sudah mewakili. Juna hanya membenarkan dengan anggukan. Sena pun demikian, tanda ia paham.
"Ah begitu," Sena berkata seraya kembali membenarkan tali tasnya. Dia itu membawa seperangkat mikrofon siaran atau bagaimana? Ransel hitamnya terlihat berat sekali.
"Kalau gitu, aku pergi dulu," ucap Arin pada Sena. Lalu setelah diiyakan, ia merunduk singkat untuk pamit pada Juna.
Tinggallah dua manusia tampan itu di tempat. Yang satu sibuk memeriksa ponsel, sedang satunya sibuk menjaga manik yang sulit terkendali. Presensi gadis itu bak zat adiktif yang memabukkan Juna, candu sekali, terlebih... senyumnya. Usai kembali sadar, ia berbalik menghadap Sena.
"Siapa dia?" Kali ini dengan terang Juna bertanya. Ya, meskipun tadi sudah dijelaskan, tapi belum jelas, dan Juna ingin sejelas-jelasnya. Tiba-tiba hidupnya ribet sekali.
"Kenapa?" Sena menyipitkan mata, menelisik gelagat tak biasa dari seorang Arjuna Abisatya. Empat tahun berteman, baru kali ini tingkah pemuda itu menandakan manusia normal. Sena kira hidup Juna hanya didedikasikan untuk Yusi Hareshandi seorang
"Gue tanya, dia siapa?" Masih kekeh juga Juna itu. Rasa penasarannya belum kelar, bahkan ketika Sena sudah mulai mengajaknya melangkah pergi.
"Arin, Arina Sekar Pramesti. Teman gue di penyiaran. Harus berapa kali gue bilang?" Sena menggerutu pelan ketika melafalkan kalimat terakhir dari ucapannya.
"Kuliah di sini juga? Jurusan apa? Tunggu, sejak kapan lo bisa kenal cewek selain Lila?"
"Permisi, apa lo ibu gue?" Dengan jari tersemat di lubang telinga sendiri, Sena sedikit berteriak untuk menghentikan kebangkitan rapper Juna. "Lagian lo kenapa tanya gue? Bukannya kalian udah menghabiskan waktu bersama sepagian?" sindirnya kemudian. Nampaknya ia masih dongkol sebab penantiannya tadi pagi sia-sia. Teriakannya membangunkan Juna pagi-pagi juga tidak berguna.
"Sialan, gue beneran nunggu bus ya!"
"Nunggu bus apa nunggu bus?" Kali ini Sena menyenggol lengan Juna dengan pundaknya. Sedangkan wajahnyaājangan tanya, habis-habisan menggoda temannya itu.
"Serah," final Juna. Ia sendiri tidak paham kenapa kelepasan bertanya-tanya tentang orang asing itu. Apalagi perempuan. Ini seperti bukan Juna yang biasanya. Tapi, apa itu salah? Apa bertanya semacam itu ada larangan? Tidak, 'kan?
"By the way, tas lo isi apa sih? Berat gitu." Nah, Juna juga penasaran, 'kan.
Sena lantas sedikit menarik tasnya sebelum menjawab. Dan dengan polosnya ia berkata, "Mikrofon."
'Anj-ir...' batin Juna.
Ā»Ā»----- ćā įµā±Ź³įµį¶Ė”įµ āć-----Ā«Ā«Sebutlah Arjuna Abisatya itu anak semata wayang. Sebab nyatanya memang begitu. Tinggal sendiri di tengah-tengah kota Semarang, orang tuanya ada di kota budaya Surakarta. Sang ayah menghabiskan waktu mengelola bisnis furnitur, sementara ibunya merawat orang-orang sakit usai ditangani dokter. Apalah daya, anaknya sendiri malah jarang sekali diurus. Tetapi, Juna enggan mempermasalahkan itu. Selain karena sedang menempuh pendidikan di kota lain, ia juga sudah dewasa, menurut kata hatinya. Tapi sesempurna apa cowok 20 tahun mengurus diri sendiri? Bagaimanapun dia masih membutuhkan keluarga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tapi juga afeksi dan perlindungan. Juna kehilangan potongan puzzle itu. Hendak mencari pun, toh tempatnya sudah ada, hanya sulit diraih saja. "Jadi buat apa ketemu?" Si adam bersurai hitam itu melempar tanya. Dua telapak tangannya menempel pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe. Melukiskan dua bahu yang makin hari makin me
Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap.Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang. "Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata. Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan. "Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya. "Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yu
Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin."Lo beneran suka dia?" "Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.
'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak
ā¬ GD LKING ā Sena :ā Forwarded| Kill me, please! ā Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "Aā" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
ā¬ GD LKING ā Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesaiātapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesaiātapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarinā" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspƤnner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na