Setelah acara jumpa pers berita bersliweran semakin ramai. Bahkan ada pro kontra seolah terpecah menjadi dua kubu. Para TKW Indonesia banyak yang mendukung menjodohkan aku dengan Lay Ka karena latar belakang perjumpaan kami bagai di cerita-cerita drama cinta.
Di kubu yang lain seolah mengecam aku yang hanya seorang pembantu hanya mencuri kesempatan memanfaatkan kebaikan keluarga Lay Ka. Sejak itu aku ikut terbawa-bawa dalam kemelut kehidupan Lay Ka.
Kini ponselku sudah kembali ke tanganku. Sopir pribadinya yang mengembalikannya kepadaku saat sekalian menjemput aku untuk kerja paruh waktu di rumah Lay Ka. Devis berasal dari Indonesia yang sudah lama bekerja di Hong Kong.
Dalam perjalanan ke rumah Lay Ka, dia banyak bercerita tentang dia, lelaki muda yang penuh rahasia dalam hidupnya. Hidup yang selalu kesepian meskipun di kelilingi orang-orang yang mengaguminya.
"Kalau dia sendirian di rumah dan terjadi hujan petir, apa yang dia lakukan? Siapa orang yang d
Aku jadi merasa bersalah dengan kejadian ini. Kalau saja aku tidak seceroboh itu, ini tidak akan terjadi. Harusnya aku tahu diri meskipun mereka orang baik tidak seharusnya aku memperlakukan mereka seperti itu di depan umum, apalagi dia publik figur. Tapi apa hendak dikata semua sudah terjadi. "Alien, kita pergi belanja sekarang!" tawar Devis. "Sebentar lagi, biar kubereskan dulu pekerjaanku ya?" jawabku. "Tidak lama kan?" tanya lagi. "Tenang saja, tidak lama kok satu jam cukup," jawabku memastikan. Aku sudah mengelap semua perabotan, dilanjutkan menyedot debu dengan vacum cleaner. Tanpa sengaja aku terus mundur dan menabrak asisten Chengyi. Aku terjatuh dan menindih asisten Chengyi. Tak sengaja aku posisi terkapar pantatku menindih pistol gobyok Chengyi hingga dia menjerit kesakitan. "Auh!" Aku yang terpaku seperti tak terpercaya hanya diam dan tidak berkutik. "Kok kamu jadi keenakan sih, bangun dong, Tante Alien!" teriak Lay Ka dari atas tangga. "Eh maaf!" jawabku spontan.
Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa sakit melihat mereka bercumbu di depanku. Apakah aku cemburu? Ah nggak tahu diri amat sih aku. Aku menunduk malu dan kesal. "Lay Ka, kenapa kamu membiarkan dia mendekati kamu lagi. Gara-gara dia kita bermasalah sampai sekarang belum selesai," runtuk Hanna. "Kenapa kalian baru pulang, memangnya swalayannya pindah jauh sehingga butuh waktu berjam-jam?" ketus Lay Ka. "Maaf, Bos, kita makan siang dulu di luar," jawab Devis. "O begitu, jadi kamu memikirkan perutmu sendiri dibanding perut bosmu?" hardik Lay Ka. "Bukan begitu Bos, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku," sahut Devis. "Maksudmu?" sahut Lay Ka. "Baru saja aku menyatakan cintaku pada Alien, Bos. Dan dia menerimaku, yey!" kata Devis berteriak kegirangan. "Benarkah itu?" sahut asisten Chengyi. Sontak dia menunduk kecewa. Lay Ka melotot tak percaya. Suasana sesaat hening, aku bisa melihat perubahan mimik muka mereka satu-persatu. "Lelucon apa ini?" sahut Lay
Setelah selesai pekerjaanku, Devis mengantarkan aku pulang ke tempat bobo. "Saya datang!" teriakku setelah membuka pintu. "Kamu sudah pulang, Alien? Siapa yang mengantarmu?" tanya bobo. "Diantar Devis, Bobo." "Aku sudah makan malam, Alien. Kalau kamu belum makan kamu bisa makan mi instan atau bihun instan," ujar bobo. "Sudah makan?" sela aku. "QIya tadi adikku ke sini dia mengajak aku makan di luar," jawab bobo. "Bobo, yakin sudah kenyang?" tanyaku meyakinkan. "Sudah kenyang, Alien. Berikan aku obat untuk malam, yang siang tadi sudah kuminum," ujarnya. "Baik, Bobo." Aku membantu bobo minum obat kemudian menyalakan mesin penghangat ruangan. Saat tanganku hendak memijit bobo menolaknya. Baru sekali ini dia menolak aku pijit. "Sudah lekaslah tidur, besuk pagi kamu ke rumah Lay Ka lagi kan? Kamu pasti capek, Lay Ka orangnya super bersih, dia dingin dan kasar. Aku takut kamu kena semprot sakit hati,"
"Jaga dirimu baik-baik, Sayang! By .. by!" ucap Lay Ka kemudian menutup ponselnya. "Pagi, Lay Ka Koko?" sapaku setelah melihat Lay Ka menutup dan menaruh ponselnya di meja. "Pagi, bagaimana keadaan bobo?" tanyanya singkat. "Baik, sudah sarapan dan jongging sebentar tadi, kemudian minum obat terus rebahan," jawabku. "Baiklah!" jawabnya. "Usahakan jangan sampai menonton televisi. Berita televisi yang memojokkan aku dan kamu hanya akan membuatnya bersedih dan berpikir berat!" pesan Lay Ka. "Baik, Koko!" jawabku. Dia mengenakan celana trening dan kaos oblong putih. Baru kali ini aku melihat penampilan apa adanya dari sang artis pujaanku. Tanpa kusadari aku menatapnya dengan tanpa berkedip. "Ngapain kamu masih berdiri di situ? Pingin ikut duduk di sini?" ketusnya. "Ih Alien, bodoh amat sih kamu, orang kasar dan dingin kayak dia masih juga kamu idolakan!" monologku lirih sambil pergi dan tersenyum menahan malu. "Eh go
Setelah selesai pekerjaanku, Devis mengantarkan aku pulang ke tempat bobo. "Saya datang!" teriakku setelah membuka pintu. "Kamu sudah pulang, Alien? Siapa yang mengantarmu?" tanya bobo. "Diantar Devis, Bobo." "Aku sudah makan malam, Alien. Kalau kamu belum makan kamu bisa makan mi instan atau bihun instan," ujar bobo. "Sudah makan, Bobo?" selaku bertanya. "Iya tadi adikku ke sini dia mengajak aku makan di luar," jawab bobo. "Bobo, yakin sudah kenyang?" tanyaku meyakinkan. "Sudah kenyang, Alien. Berikan aku obat untuk malam, yang siang tadi sudah kuminum," ujarnya. "Baik, Bobo." Aku membantu bobo minum obat kemudian menyalakan mesin penghangat ruangan. Saat tanganku hendak memijit bobo menolaknya. Baru sekali ini dia menolak aku pijit. "Sudah lekaslah tidur, besuk pagi kamu ke rumah Lay Ka lagi kan? Kamu pasti capek, Lay Ka orangnya super bersih, dia dingin dan kasar. Aku takut kamu kena semprot s
Aku sudah baikan bahkan pekerjaan di rumah Lay Ka juga sudah beres. "Koko, aku harus segera pulang agar tidak terlalu malam. Aku takut berjalan sendirian malam-malam," pamitku. "Tapi malam ini kata bobo teman-temannya datang ke rumah untuk tamazhok kan? Mereka bersenang-senang bahkan salah satu teman bobo membawa pembantunya untuk memasak di sana?" kata Lay Ka. "Kok Koko tahu?" sahutku. "Sore tadi bobo menelepon," jawab Lay Ka. Jadi bobo tamazhok bersama teman-temannya. Pasti di rumah sangat ramai dan berantakan. Tamazhok adalah jenis judi yang medianya dadu dan papan yang terkenal di Hong Kong. Kalau sudah begitu bukan saja gaduh suara papan dan dadunya tapi juga suara umpatan-umpatan pemainnya. Rumah akan berantakan karena berbagai masakan dan minuman biasanya disiapkan. "Aku sebentar lagi makan malam dengan keluarga Hanna, kebetulan tempatnya di restoran di Admiralty tidak jauh dari rumah bobo. Kamu bisa bareng mobilku, nanti
"Alien, bobo menelepon aku katanya kamu belum sampai di rumah. Emangnya kamu mampir kemana sih? Lihat sekarang pukul berapa! Kamu tidak sedang tersesat kan?" ketus Lay Ka dengan memberondong pertanyaan. "Aku sekarang berada di Chai Wan, Koko! Aku ... aku salah jalur naik kereta," ujarku terbata-bata menahan malu dan sedih. "Kok bisa? Dasar bodoh ... bebal!" umpatnya spontan. "Ya maki terus! Aku bodoh, emang kenapa? Merugikan kamu ya?" jawabku ketus kerena kesal. "Ya iyalah merugikan aku, kalau ada apa-apa dengan kamu polisi pasti mencari aku dan bobo," ketusnya. "Tunggu saja di situ, carilah tempat yang ramai!" pesan Lay Ka. "Aku akan segera datang! Jangan matikan teleponnya, kamu dengar?" lanjutnya berpesan. "Ada apalagi?" tanya suara lelaki dewasa, sepertinya itu suara papanya Diana. Lay Ka melarang menutup teleponnya sehingga aku dengan jelas bisa mendengar apa yang terjadi di sana. "Berulah apalagi dia, dasar licik!"
Aku pasrah saat Lay Ka menarik tanganku dan mengajak berlari dan terus berlari. Aku menengok belakang masih ada beberapa wartawan yang nekat mengejar kami. "Koko, aku tidak kuat," ujarku disela-sela napasku yang ngos-ngosan. "Kita ke toilet," ujarnya dengan kuat menarik tanganku masuk ke toilet. Dia menarik ke dalam bilik dengan napas yang tersengal-sengal dan menatap wajahku. Aku salah tingkah menatap tanganku yang masih digenggamnya. Dengan menundukkan kepala karena canggung sambil perlahan menarik tanganku. Sontak Lay Ka melepas genggamannya, dia mengambil sapu tangan dari sakunya untuk menutupi wajahku. Dia melipat menjadi segitiga dan membantu menutupi mukaku dengan mengikatkan di bekalang kepalaku. Matanya tajam menatap bola mataku, sesaat kami bertatapan mata begitu dalam. Dia melepas topinya untuk kupakai. Rambutku yang tergerai digelung dan dimasukkan ke dalam topi. Selain itu Lay Ka juga melepas mantelnya dan dipakaikan di tubuhku. Kebetulan a
Aku harus bisa menepis keinginanku yang melambung tinggi. Jangankan untuk memiliki, mendekati saja resikonya seperti ini. Aku berani bersu'udzon ini pasti ulah dari keluarga besar Hanna tunangan Lay Ka Shing. Tidak habis pikir bagaimana hanya demi menghancurkan aku yang hanya seorang babu dari Indonesia mereka melakukan pengorbanan yang begitu besar. Narkoba sebagai barang bukti itu bernilai milyaran harus hilang di sita pemerintah Hong Kong hanya untuk menjebakku. "Alien, aku berjanji akan membantumu, ini hanya jebakan belaka untuk menjauhkan kamu dari Bos Lay Ka," janji Devis. "Terima kasih, Devis, kamu melakukan banyak pengorbanan buat aku juga mama dan anakku. Bagaimana cara aku membalasmu, Devis?" gumamku pelan. "Jangan bilang kamu menerima cintaku karena ingin membalas budi, Zhee? Andai memang demikian tak apalah, aku akan membuatmu benar-benar mencintaiku tanpa syarat," kata Devis yakin. "Beri aku kesempatan untuk jatuh cinta lagi, aku butuh waktu, Devis. Apalagi mengingat a
Sudah dua hari wanita penyebab aku mendekam di terali besi itu bungkam tanpa mengungkap pernyataan apapun. Ini membuat aku masih terkatung-katung di tahanan. Geram rasanya, ingin menghampiri nya dan menjambak rambutnya. "Kenapa sih sulit mengakuinya, takut hukuman mati menantimu ya? Tapi kenapa harus aku, coba? Apa salahku padamu?" monologku dengan geram. "Ada apa?" tanya polisi penjaga kepadaku. Aku mengoceh sendiri dalam bahasa Indonesia kayak orang gila. Sehingga membuat polisi Hong Kong merasa terganggu. "Pengacaramu ingin bertemu," kata seorang polisi yang lain yang tiba-tiba muncul. Apakah dia bersama Lay Ka? Kenapa aku merindukannya? Harusnya Devis yang kuharapkan, karena selain Lay Ka dia banyak membantuku juga. Bahkan dia dengan terus terang sudah menyampaikan perasaannya kepadaku. Polisi membuka gembok terali dan mengikutiku saat aku melangkah ke suatu ruangan. Telah duduk pengacara ku Andy Cheong sambil membuka-buka berlembar-lembar kertas fail. "Selamat siang, Tua
Aku berusaha menghubungi Lay Ka. Sepertinya dia masih di lokasi syuting karena saat dia mengangkat teleponnya suaranya sangat ramai. Lay Ka kesulitan mendengarkan suaraku. "Lay Ka, tolong aku ... sekarang aku di kantor polisi Central, aku tidak bersalah!" itu yang aku katakan. Tapi kiranya Lay Ka tidak mendengarnya. Dia berusaha untuk bertanya berkali-kali memperjelas, tapi tetap saja tidak bisa mendengar. "Alien ...halo?" Tidak jelas, Alien!" kata Lay Ka berteriak. "Kirimlah pesan!" lanjut Lay Ka meminta. Padahal aku bisa mendengar dengan jelas suara Lay Ka meskipun berisik. Akhirnya aku menulis pesan dalam bahasa Inggris. Karena aku tidak bisa menulis bahasa kantonis. Padahal aku juga tidak pandai berbahasa Inggris. "Help me, please!, I"m in trouble! Now, I am in police office in Central," itu yang aku tulis entah itu benar atau salah, aku yakin ini cukup dimengerti Lay Ka. Polisi Hongkong mempersilahkan aku duduk di suatu ruangan dan ponselku disita untuk diperiksa juga. Mer
Setelah mendengar ungkapan Lay Ka aku tidak tahu harus senang ataukah bersedih. Sejenak aku tersanjung mendengar pengakuan Lay Ka tentang perasaannya. Apalagi di depan publik, juga di depan Hanna yang selama ini selalu merendahkanku. Tapi juga sedih karena aku terjebak dengan sandiwaraku sendiri. Lay Ka dan publik menganggap aku dan Devis benar-benar pacaran. Tapi Devis benar-benar mencintaiku, haruskah aku menyakitinya? Dia orang yang selama ini tulus mencintai dan begitu baik kepadaku dan mamaku. "Sejak kapan perasaan itu datang, Lay Ka?" tanya salah satu fansnya. "Saya tidak sadar kapan datangnya, yang jelas kebersamaan kami selama ini menumbuhkan perasaan itu yang aku sendiri tidak menyadarinya," ungkap Lay Ka. Aku melambankan langkahku demi mendengar lagi pengakuan Lay Ka. "Terus bagaimana dengan Nona Hanna? Kapan dia hadir dalam hidup anda, Lay Ka?" tanya yang lain. "Mereka hadir di waktu yang berbeda, juga di tempat yang berbeda di hatiku," jawab Lay Ka mengambang. "Alien
Rendy mengirim pesan yang intinya dia minta ganti rugi uang untuk biaya pengobatan Berlian. Seluruh biaya selama dia di rumah sakit dan biaya ini itu aku harus menggantinya. "Aku sudah mentransfernya sesuai dengan permintaanmu," kataku lewat telepon pagi harinya. "Benarkah? Oke nanti aku cek!" jawab Rendy singkat. "Ya sudah aku tutup dulu, satu pesanku, "jangan sia-siakan anakku Berlian!" "Ya tidak mungkinlah, dia adalah kartu As ku. Oh ya, kamu nggak jadi pulang ke Indonesia? Tidak ingin nih ketemu Berlian? Kayaknya dia sedang menahan rindu padamu, Alien," ujarnya sedikit merendah. "Kamu akan sangat menyesal bila pulang nanti dia tidak mengenali kamu sebagai ibunya," bisiknya mengancam dan mengolok. Aku jadi berpikir, aku sendiri juga sedang menahan rindu. Benar apa kata Rendy bagaimana kalau Berlian lebih mengenal Ika daripada aku? Betapa hancurnya hatiku. Apalagi Rendy tidak pernah memberi kesempatan kepadaku untuk video call.
Lay Ka tiba-tiba merasa canggung, dia belum siap dengan jawaban tanpa konsep. "Bukan begitu Om, ini terlalu tergesa-gesa. Saya masih ingin menikmati kebersamaan ini, toh usia kita juga masih muda," jawab Lay Ka sekenanya. "Jawab saya dengan jujur, Lay Ka! Apakah kamu mencintai anakku?" tanya papanya Hanna tegas. "Sebenarnya yang kita lakukan selama ini adalah tuntutan peran, Om. Kalau ada chemistry diantara kita itu karena profesional kita berdua. Untuk ke jenjang yang lebih serius saya belum kepikiran kesana sama sekali." "Oke, om mengerti apa maksud jawaban kamu. Maksudmu kamu menolak Hanna kan? Apa itu karena ada wanita lain?" tanya papanya Hanna dengan tegas karena kecewa. "Usia kita masih sama-sama muda, Om. Masih banyak yang bisa kita lakukan. Kemungkinan Hanna bisa menemukan pria yang jauh lebih baik dari saya" kata Lay Ka pelan. "Kamu sedang menolak saya, Lay Ka? Jangan bilang kamu sedang jatuh cinta pada pembantumu itu,"
Akhirnya aku menunjukkan foto-foto anakku yang sedang terbaring tidak berdaya di bed rumah sakit. Dengan berat hati baik bobo maupun Lay Ka akhirnya mengijinkan. Aku menghubungi mama yang sekarang tinggal di rumah yang dibeli Devis. Mama menjelaskan kalau Berlian sedang terkena campak. Dan pagi ini dia sudah tidak demam. "Kalau kamu memang belum ada tabungan untuk dibawa pulang, kamu tangguhkan dulu tidak apa-apa, Alien," mama menasehatiku. "Yakin tidak apa-apa, Ma?" tanyaku menyakinkan. "Iya Alien, atau begini saja kita tunggu satu sampai dua hari kalau semakin baik berarti kamu tunda saja dulu kepulanganmu. Mama kasihan kamu, takut kamu berkecil hati karena kehidupan di Indonesia tidak mudah, Alien," mama masih menasehatiku. Akhirnya aku mengerti tujuan mama, aku tahun ini harus bisa menabung. Dua tahun yang berlalu gajiku habis kukirimkan ke suamiku yang ternyata habis untuk bersenang-senang. "Koko, malam ini aku pulang ke rum
Lay Ka mulai kewalahan mengendalikan gejolak nafsunya sendiri. Kini dia bisa mengalihkan konsentrasinya untuk lebih fokus menikmati gelora birahinya. Aku pun menikmatinya sekalipun terkadang sadar bahwa apa yang aku lakukan ini tidak benar dan harus segera dihentikan. Hujan berhentilah, aku mohon! "Aku mulai merasakan ada benda yang mengeras diantara pahaku. Aku terbelalak takut, bukan ini yang aku harapkan. Perlahan hujan mulai berhenti, tidak ada lagi kilat maupun petir. Sontak aku mendorong tubuh Lay Ka sehingga Lay Ka tersentak. "Alien!" pekiknya. Dia semakin ganas, dengan matanya yang menyala penuh nafsu dia kembali menubruk tubuhku dan menindihnya. Kembali ciumannya mendarat di bibirku lebih ganas, kemudian lidahnya yang basah dan hangat turun ke leherku yang jenjang. "Jangan, Lay Ka!" bisikku sambil kembali mendorong tubuhnya lebih kuat. Begitu aku bisa terlepas dari pelukan Lay Ka, bergegas aku lari keluar kamar.
Sejak insiden ciuman itu aku malu sekali untuk menampakkan batang hidungnya di depan Lay Ka. Tapi apa boleh buat Lay Ka sedang sakit bahkan bobo meminta aku menemani Lay Ka selama dia belum sehat. Sedang bobo ditemani adiknya yang kebetulan tepat tinggalnya tidak jauh. Aku datang dengan makanan dan susu di nampan. Lay Ka tampak bermain ponsel dan cuek dengan kehadiranku. ""Koko, aku buatkan bubur ayam, makanlah dulu," ujarku menahan kikuk karena malu. "Tadi bobo telepon, sementara kamu disuruh merawat aku dulu sampai sembuh, dia sudah ditemani adiknya," ujar Lay Ka datar. "Iya, bobo juga sudah bicara kepadaku," sahutku. "Makanlah, Koko, keburu dingin!" perintahku lagi. "Nanti saja belum selera," jawabnya. Kalau udah dingin aku yang repot lagi. Saat aku istirahat dia malah ngrepoti dengan permintaan ini itu. Akhirnya aku duduk di bibir ranjang dan menyuapinya. "Koko, aku suapi, aku tidak mau kamu ngerepoti aku saat kerja n