Detik demi detik berlalu. Menit-menit terasa seperti selamanya.
Beberapa saat kemudian, seorang suster keluar dari ruang operasi. "Kami membutuhkan donor darah segera. Golongan darahnya langka, dan stok di rumah sakit tidak mencukupi."Lena terkejut mendengar kata-kata itu. Selama ini, mereka semua fokus pada keadaan Zara, namun bayinya, kehidupan yang sedang berkembang di dalam rahimnya juga harus menjadi perhatian utama.Keadaan seperti ini memunculkan banyak ketakutan, bukan hanya karena nyawa Zara yang dipertaruhkan, tetapi juga karena anak mereka yang masih sangat rentan.Sandi, yang juga mendengarnya, tampak tertegun. Ia tahu bahwa kondisi bayi dalam rahim sangatlah rapuh, terutama dalam situasi seperti ini. "Nona Zara pasti bertahan," kata Sandi dengan suara tegas, meskipun ia tahu bahwa kata-kata itu hampir tidak cukup untuk memberikan kenyamanan. "Zara dan bayi itu... mereka harus bertahan."Rian menunduk, menahan air mata yangSuasana hening. Hanya suara mesin pendingin dan langkah kaki perawat yang sesekali terdengar.Tiba-tiba, langkah cepat terdengar dari lorong."Rian!"Rian menoleh dan melihat orang tuanya berlari ke arahnya. Wajah Bu Sari, mertuanya, penuh kekhawatiran, sementara Bu Hanan tampak tegang."Apa yang terjadi? Kami baru mendapat kabar!" tanya Bu Sari, hampir menangis.Rian menelan ludah, berusaha berbicara. "Zara... dia di operasi. Dia kehilangan banyak darah..." suaranya bergetar.Kedua wanita itu langsung menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir. Bu Hanan mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi."Ini semua salah, Ibu. Harusnya Ibu tidak pernah membawa Luna ke dalam keluarga kita," kata Bu Hanan, penuh penyesalan.Tak lama kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.Semua orang langsung berdiri."Bagaimana keadaannya, Dok?" Rian bertanya dengan napas tertahan.Dokter menghela napas panjang.
Rian duduk di kursi roda di luar ruang ICU, tangannya mengepal di atas pahanya yang tak lagi bisa digerakkan seperti dulu. Matanya yang sembab terus terpaku pada pintu ruangan tempat Zara berjuang antara hidup dan mati."Rian..." suara lembut itu berasal dari Lena yang baru saja tiba bersama Sandi.Rian menoleh, ekspresinya kosong. "Bagaimana?"Lena menelan ludah sebelum menjawab, "Jerry setuju. Dia akan mendonorkan darahnya."Tangan Rian mengepal lebih erat, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Hatinya terasa dipukul keras.Tentu saja.Jerry pasti akan setuju.Dia pasti akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Zara.Rian menundukkan kepala, napasnya terasa berat. Kenapa bukan dia? Kenapa dia tidak bisa melakukan apa pun?Sejak Zara jatuh bersimbah darah di hadapannya, dia merasa begitu tak berdaya. Dia bahkan tidak bisa berdiri untuk menolongnya. Dia hanya bisa merangkak ke arah istrinya yang berlumuran darah. Sekarang pun,
Langit masih berwarna jingga keemasan saat mentari pagi perlahan muncul dari ufuk timur. Sinar lembutnya menerobos masuk melalui celah jendela rumah sakit, menciptakan suasana yang lebih tenang setelah malam panjang yang penuh kecemasan.Di dalam ICU, Zara masih terbaring dengan wajah pucat. Mesin medis di sekelilingnya terus berbunyi pelan, menandakan bahwa kondisinya stabil meskipun masih lemah.Di luar ruangan, Rian duduk diam di kursi rodanya. Matanya sembab, lingkar hitam terlihat jelas di bawah kelopak matanya karena semalaman ia tidak bisa tidur. Ia terus menunggu kabar dari dokter, berharap saat berikutnya pintu itu terbuka, ia bisa mendengar sesuatu yang lebih baik.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dengan langkah tenang. Semua mata langsung tertuju padanya."Ibu dan bayinya selamat," kata dokter dengan senyum menenangkan.Sejenak, suasana terasa hening.Lena menutup mulutnya, menahan isak tangis yang hampir pecah. Sandi menepuk pundaknya pelan, sementara Rian han
Rian menatap wajah Zara yang masih tampak pucat, tetapi kini lebih tenang. Setelah semua yang terjadi, ia merasa bersyukur bisa tetap berada di samping istrinya. Sentuhan hangat di perut Zara tadi masih terasa di tangannya, sebuah keajaiban kecil yang membuatnya semakin ingin berjuang.Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan. Dengan kondisi tubuhnya yang masih lumpuh, ia tahu ada banyak hal yang tidak bisa ia lakukan sendiri.Meski begitu, ia tidak akan menyerah.Dengan susah payah, Rian menyesuaikan posisinya di kursi roda. Ia lalu mengambil handuk kecil di meja samping tempat tidur dan merendamnya dalam air hangat. Tangannya sedikit gemetar saat memeras handuk itu, tapi ia tetap berusaha."Rian, kamu tidak perlu melakukan ini... panggil saja perawat," kata Zara dengan suara lemah, tapi penuh perhatian.Rian menggeleng tegas. "Aku suamimu. Sudah tugasku merawatmu."Ia lalu menempelkan handuk hangat itu ke dahi Zara, menye
“Bu, kenapa rasanya jantungku nggak berhenti berdebar?” Zara memegang dadanya, mencoba mengatur napas yang terasa sesak.Ibunya, Bu Sari, yang tengah merapikan gaun Zara berhenti sejenak, memandang wajah putrinya yang penuh kegelisahan. “Itu wajar, Nak. Semua pengantin pasti gugup.”Zara mengangguk pelan. Ia menatap cermin di hadapannya, mencoba tersenyum, namun bayangannya membuatnya merasa asing.“Zara, tamu sudah berdatangan. Kamu siap?” suara lembut ibunya membuyarkan lamunan.“Ya, Bu,” jawab Zara, tersenyum canggung menutupi kegelisahannya.Hujan pagi itu seharusnya menjadi latar hari paling bahagia bagi Zara. Gaun putih dengan renda halus melekat sempurna di tubuhnya, tetapi firasat ganjil sejak pagi tak mau hilang.Segalanya tampak sempurna. Musik klasik mengalun, dekorasi gereja memukau, tetapi sebuah ketukan di pintu ruang rias mengubah segalanya.“Kecelakaan?” Zara menatap pria berjas formal yang berdiri di ambang pintu, tubuhnya terasa kaku. Suaranya gemetar, nyaris tak kel
Zara menatap cermin di depannya. Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu anggun, menjadikannya sosok yang hampir sempurna di mata orang lain. Tapi bagi Zara, gaun itu seperti tali yang membelit tubuhnya, membuatnya sulit bernapas.Matanya sembab, bibirnya kering, dan senyumnya menghilang entah ke mana. Ia tidak berkata apa-apa. Apa yang bisa ia katakan? Protes? Tangisan? Semua itu sudah habis beberapa jam lalu.“Zara, ibu tahu kamu mungkin kecewa pada Ibu.” Bu Sari melangkah mendekat, meletakkan tangannya di pundak Zara. “Tapi, kamu harus tahu apa yang sudah dikorbankan mendiang ayahmu untuk memastikan kamu tidak kehilangan segalanya. Pernikahan ini... mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita semua," suara Bu Sari bergetar, penuh beban.Zara ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasa dikhianati oleh dunia, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya. Tapi yang keluar hanyalah desahan panjang. Ia tidak ingin membuat ibunya lebih terbebani.“Jerry… bertahanlah,” bisi
Setelah pernikahan yang terasa seperti pengorbanan dari pada awal kebahagiaan, Zara dan Rian pindah ke rumah baru yang telah disiapkan oleh keluarga mereka. Rumah itu besar, mewah, dan dilengkapi dengan perabotan mahal yang tampak sempurna.Namun bagi Zara, semua itu tidak mampu menghapus kehampaan yang ia rasakan. Ia berdiri di ruang tamu, memandangi sofa kulit yang dingin, chandelier kristal yang berkilauan, dan dinding putih bersih yang terasa asing. Ia merasa seperti tamu dalam hidupnya sendiri.Rian hanya membawa koper ke sudut ruangan dan pergi tanpa sepatah kata. Langkahnya yang tenang namun dingin, menghilang di balik pintu kamar. Zara tetap diam di tempatnya, mencoba menenangkan hatinya."Ini adalah awal yang baru, aku harus kuat,” pikirnya, meski rasa sesak di dadanya semakin menekan.Malam itu, Zara memutuskan menyiapkan makan malam sederhana. Sebuah usaha kecil untuk mencoba membangun komunikasi di antara mereka. Ia menata meja makan dengan rapi, berharap bisa memulai perc
Zara mengalihkan kesepiannya dengan tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat ke rumah sakit, mengenakan jas putih dan menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya. Baginya, pekerjaan di rumah sakit adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa dihargai dan dibutuhkan. "Dokter Zara, pasien di ruang ICU memerlukan pemeriksaan tambahan," panggil seorang perawat. Zara mengangguk, lalu segera menuju ruang ICU. Sepanjang hari, ia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan semua pasien mendapatkan perawatan terbaik. Pekerjaan ini adalah pelariannya, meskipun tubuh dan pikirannya kerap merasa lelah. Namun, bahkan di rumah sakit, pikirannya tetap melayang pada pernikahannya yang terasa hampa. Saat sedang mengisi catatan medis, ia sering terdiam, memikirkan bagaimana ia bisa memperbaiki hubungan dengan Rian. Zara duduk di kursi ruang istirahat setelah shift panjang. Tangannya memijat pelipis, matanya menatap kosong ke loker di depan
Rian menatap wajah Zara yang masih tampak pucat, tetapi kini lebih tenang. Setelah semua yang terjadi, ia merasa bersyukur bisa tetap berada di samping istrinya. Sentuhan hangat di perut Zara tadi masih terasa di tangannya, sebuah keajaiban kecil yang membuatnya semakin ingin berjuang.Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan. Dengan kondisi tubuhnya yang masih lumpuh, ia tahu ada banyak hal yang tidak bisa ia lakukan sendiri.Meski begitu, ia tidak akan menyerah.Dengan susah payah, Rian menyesuaikan posisinya di kursi roda. Ia lalu mengambil handuk kecil di meja samping tempat tidur dan merendamnya dalam air hangat. Tangannya sedikit gemetar saat memeras handuk itu, tapi ia tetap berusaha."Rian, kamu tidak perlu melakukan ini... panggil saja perawat," kata Zara dengan suara lemah, tapi penuh perhatian.Rian menggeleng tegas. "Aku suamimu. Sudah tugasku merawatmu."Ia lalu menempelkan handuk hangat itu ke dahi Zara, menye
Langit masih berwarna jingga keemasan saat mentari pagi perlahan muncul dari ufuk timur. Sinar lembutnya menerobos masuk melalui celah jendela rumah sakit, menciptakan suasana yang lebih tenang setelah malam panjang yang penuh kecemasan.Di dalam ICU, Zara masih terbaring dengan wajah pucat. Mesin medis di sekelilingnya terus berbunyi pelan, menandakan bahwa kondisinya stabil meskipun masih lemah.Di luar ruangan, Rian duduk diam di kursi rodanya. Matanya sembab, lingkar hitam terlihat jelas di bawah kelopak matanya karena semalaman ia tidak bisa tidur. Ia terus menunggu kabar dari dokter, berharap saat berikutnya pintu itu terbuka, ia bisa mendengar sesuatu yang lebih baik.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dengan langkah tenang. Semua mata langsung tertuju padanya."Ibu dan bayinya selamat," kata dokter dengan senyum menenangkan.Sejenak, suasana terasa hening.Lena menutup mulutnya, menahan isak tangis yang hampir pecah. Sandi menepuk pundaknya pelan, sementara Rian han
Rian duduk di kursi roda di luar ruang ICU, tangannya mengepal di atas pahanya yang tak lagi bisa digerakkan seperti dulu. Matanya yang sembab terus terpaku pada pintu ruangan tempat Zara berjuang antara hidup dan mati."Rian..." suara lembut itu berasal dari Lena yang baru saja tiba bersama Sandi.Rian menoleh, ekspresinya kosong. "Bagaimana?"Lena menelan ludah sebelum menjawab, "Jerry setuju. Dia akan mendonorkan darahnya."Tangan Rian mengepal lebih erat, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Hatinya terasa dipukul keras.Tentu saja.Jerry pasti akan setuju.Dia pasti akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Zara.Rian menundukkan kepala, napasnya terasa berat. Kenapa bukan dia? Kenapa dia tidak bisa melakukan apa pun?Sejak Zara jatuh bersimbah darah di hadapannya, dia merasa begitu tak berdaya. Dia bahkan tidak bisa berdiri untuk menolongnya. Dia hanya bisa merangkak ke arah istrinya yang berlumuran darah. Sekarang pun,
Suasana hening. Hanya suara mesin pendingin dan langkah kaki perawat yang sesekali terdengar.Tiba-tiba, langkah cepat terdengar dari lorong."Rian!"Rian menoleh dan melihat orang tuanya berlari ke arahnya. Wajah Bu Sari, mertuanya, penuh kekhawatiran, sementara Bu Hanan tampak tegang."Apa yang terjadi? Kami baru mendapat kabar!" tanya Bu Sari, hampir menangis.Rian menelan ludah, berusaha berbicara. "Zara... dia di operasi. Dia kehilangan banyak darah..." suaranya bergetar.Kedua wanita itu langsung menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir. Bu Hanan mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi."Ini semua salah, Ibu. Harusnya Ibu tidak pernah membawa Luna ke dalam keluarga kita," kata Bu Hanan, penuh penyesalan.Tak lama kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.Semua orang langsung berdiri."Bagaimana keadaannya, Dok?" Rian bertanya dengan napas tertahan.Dokter menghela napas panjang.
Detik demi detik berlalu. Menit-menit terasa seperti selamanya.Beberapa saat kemudian, seorang suster keluar dari ruang operasi. "Kami membutuhkan donor darah segera. Golongan darahnya langka, dan stok di rumah sakit tidak mencukupi."Lena terkejut mendengar kata-kata itu. Selama ini, mereka semua fokus pada keadaan Zara, namun bayinya, kehidupan yang sedang berkembang di dalam rahimnya juga harus menjadi perhatian utama. Keadaan seperti ini memunculkan banyak ketakutan, bukan hanya karena nyawa Zara yang dipertaruhkan, tetapi juga karena anak mereka yang masih sangat rentan.Sandi, yang juga mendengarnya, tampak tertegun. Ia tahu bahwa kondisi bayi dalam rahim sangatlah rapuh, terutama dalam situasi seperti ini. "Nona Zara pasti bertahan," kata Sandi dengan suara tegas, meskipun ia tahu bahwa kata-kata itu hampir tidak cukup untuk memberikan kenyamanan. "Zara dan bayi itu... mereka harus bertahan."Rian menunduk, menahan air mata yang
Suara sirene ambulans meraung di udara, memecah hiruk pikuk kota sore itu. Lampu merah dan biru berkedip-kedip, menyorot wajah-wajah panik yang menumpuk di luar gedung pengadilan. Beberapa orang masih terkejut dengan kejadian yang baru saja mereka saksikan, sementara yang lain sibuk menelepon atau membisikkan doa.Di dalam ambulans, Zara terbaring dengan wajah pucat. Napasnya tersengal, darah masih terus mengalir dari luka di dadanya meskipun paramedis telah menekan perban dengan erat. Selang oksigen terpasang di hidungnya, memberikan sedikit harapan bahwa ia masih bertahan.Di sisinya, Rian memegang tangan istrinya dengan erat, jemarinya bergetar. Matanya merah dan basah oleh air mata yang terus mengalir."Zara, aku di sini. Bertahanlaah..." suaranya serak, nyaris tidak terdengar.Wajahnya penuh rasa bersalah dan amarah. Pandangannya terpaku pada tubuh Zara yang semakin lemah. Semua ini terjadi karena Luna. Karena obsesinya yang gila."S
Sidang akhirnya selesai. Ketika polisi hendak membawa Jerry keluar dari ruang sidang, tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras."Tunggu!"Semua orang menoleh. Seorang wanita berlari memasuki ruangan dengan napas tersengal. Luna. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya penuh kegelisahan. Matanya menatap Jerry dengan tajam, seolah ingin menahannya agar tidak pergi."Jangan bawa dia! Jerry tidak boleh dipenjara!"Polisi yang menggiring Jerry terhenti sejenak, menatap Luna dengan bingung. Jerry sendiri mengerutkan kening, tampak tidak senang dengan kehadiran wanita itu.Hakim yang masih berada di tempatnya menghela napas panjang. "Sidang telah selesai. Jika Anda memiliki hal penting untuk disampaikan, silakan lakukan secara resmi melalui jalur hukum."Tapi Luna mengabaikan kata-kata itu. Ia melangkah cepat ke tengah ruangan, wajahnya penuh kepanikan."Jerry! Aku hamil! Aku mengandung anakmu!"Ruangan langsung meledak dalam bisikan dan gumaman kaget.
Beberapa hari kemudian, sidang kedua dilanjutkan. Ruang sidang kembali penuh. Kali ini, suasana lebih panas daripada sebelumnya. Wartawan bahkan terlihat semakin banyak, kamera siap mengabadikan setiap momen penting dari kasus ini. Sementara di kursi pengunjung, keluarga dan orang-orang terkait duduk dengan ekspresi penuh harap dan ketegangan. Jerry Hendrawan duduk di kursi terdakwa, ekspresinya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyiratkan kecemasan. Di sebelahnya, Tuan Arman, pria yang selama ini ia anggap sebagai ayah juga duduk sebagai terdakwa. Sementara itu, Aldo, kaki tangan Tuan Arman yang terlibat dalam sabotase kecelakaan Jerry, duduk di kursi ketiga. Hakim mengetuk palu, menandakan sidang dimulai. "Sidang lanjutan ini akan membahas kasus terdakwa Jerry Hendrawan, yang didakwa atas penggelapan dana, penjualan aset ilegal, serta penyerangan terhadap saksi Rian." Jerry tetap diam, sementara pengacaranya bersiap memberikan pembelaan. Jaksa berdiri, berjalan menuju meja
Zara menatap Bu Hanan dengan mata berkaca-kaca. Sejenak, ia ragu. Wanita itu selalu terlihat begitu tegas dan emosinal, seolah tak ada yang bisa mendikte hidupnya. Dia juga tampak begitu patuh pada suaminya.Namun hari ini, di hadapan pengadilan, Bu Hanan telah melakukan hal yang tidak pernah Zara bayangkan. Berdiri melawan suaminya sendiri, mengungkap semua kejahatannya.Dengan hati yang penuh rasa haru dan terima kasih, Zara melangkah maju dan memeluk Bu Hanan erat. Wanita itu sedikit terkejut, tetapi perlahan-lahan membalas pelukan Zara."Terima kasih..." suara Zara bergetar. "Aku tidak menyangka Ibu akan bersaksi… Terima kasih karena telah berani mengatakan yang sebenarnya."Bu Hanan mengelus punggung Zara dengan lembut. "Aku hanya melakukan hal yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama," suaranya bergetar. "Aku terlalu takut selama ini, membiarkan Arman berbuat sesuka hatinya… Aku hampir kehilangan anakku karena kebodohanku sendiri."