CATALEYAAku menunggu Alan pulang dengan suasana hati yang buruk. Semua rencanaku pergi dari rumah gagal total karena bodyguard yang disewanya untuk menjaga, atau lebih tepatnya mengawasiku, dan itu pun tanpa persetujuanku.Semakin ke sini Alan kian menunjukkan keegoisannya. Aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Namun jangan senang dulu. Dia salah jika berpikir dengan mengekangku maka dia akan menang. Dia memang menguasaiku, tapi dia gagal memenangkan hatiku. Justru sikapnya itu membuatku semakin hilang rasa.Alan baru menginjakkan kakinya di rumah pukul sembilan malam. Begitu dia masuk aku langsung pasang wajah sangar.“Hai, Sayang, kamu baru selesai mandi? Kamu mandi malam-malam begini?” tanyanya melihat rambuutku basah.“Apa maksud kamu, Lan?” tanyaku mengabaikan ucapannya.Dia mengerutkan dahinya, menyipit menatapku. “Ini kamu bicara soal apa?”“Apa nggak cukup kamu mengurungku di rumah? Dan sekarang kamu juga mau mengekangku dengan menyewa bodyguard?” ucapku ketus.Alan terdiam
FAIAku menunggu kedatangan Devanka dengan pikiran tidak menentu. Selama menantinya aku mondar-mandir sendiri. Lelah mengitari apartemen seperti orang gila, aku duduk di sofa ruang depan dengan tatapan tidak lepas dari pintu.Begitu bel terdengar langsung kumeloncat.Sosok Devanka muncul dengan pertanyaan, "Lo kenapa?""Apanya?""Muka lo tegang banget kayak mau ketemu sama camer.""Ketemu sama lo vibes nya emang nyaingin ketemu sama camer, Dev."Devanka tertawa.Aku menggeser rokok padanya setelah kami duduk."Gimana, Dev? Lo udah ketemu Cataleya?" Aku langsung mendesak agar dia bercerita."Gue udah ke rumahnya.""Terus?""Alan bilang dia lagi nggak di Jakarta."Informasi yang ditangkap telingaku membuatku lemas."Jadi dia di mana sekarang?""Katanya di Bandung. Alan mau buka kantor cabang Star Management di sana jadi Leya yang handle karena Alan sibuk.""Berapa hari dia di sana? Lo tau alamatnya?" tanyaku cepat. Setidaknya kalau aku tahu alamatnya aku bisa bertemu dengan Cataleya. Ak
FAIJakarta Selatan, 31 Desember, 19.15 WIBIni adalah hari terakhirku berada di Indonesia. Kontrak kerjaku berakhir sejak kemarin. Aku sudah mengembalikan apartemen serta mobil yang kupakai. Bukan pada Alan tapi melalui asistennya. Dia bilang Alan dan Cataleya pergi liburan akhir tahun. Bukan hanya Alan, tapi Bjorka serta keluarganya juga plesiran ke luar negeri menikmati liburan panjang yang sudah datang.Hanya aku yang masih di sini. Duduk di sudut kamar hotel sambil melamun sendiri. Tidak jauh dari tempatku duduk deretan koper besar bersisi pakaian dan barang-barang sudah siap untuk dibawa. Penerbanganku tinggal beberapa jam lagi. Dan mendadak perasaan sedih mulai merayapi hati. Ini bukan hanya tentang meninggalkan Indonesia tapi juga tentang ... Cataleya.Aku tidak berhasil bertemu dengannya. Jujur, aku sempat mencari ke Bandung sehari setelah bertemu dengan Devanka malam itu. Aku memaksa Devanka. Lalu keesokan harinya kami pergi. Kami mengitari kota Bandung selama dua hari tanp
CATALEYAJakarta Selatan, 31 Desember“Ini bahan-bahannya sudah saya beliin, Mbak Leya.”Aku menatap tumpukan kantong belanjaan yang diletakkan ART di atas meja. Tadi aku memintanya belanja bahan-bahan untuk membuat kue berhubung aku dilarang keras keluar dari rumah.Alan memang sedang ke Thailand, tapi bodyguad nya stand by dua puluh empat jam untuk menjagaku.Berhari-hari aku mempelajari tutorial membuat birthday cake di YT. Lalu hari ini adalah waktunya untuk eksekusi.“Makasih ya, Bi,” ucapku pada si Bibi.“Ada yang bisa saya bantu lagi, Mbak Leya?”“Nggak ada, Bi, Bibi lanjutin aja kerjanya.”Si Bibi tetap tidak beranjak meski sudah kuusir.“Bi, kenapa masih di sini?”“Mbak Leya kan lagi hamil, jangan sampai capek.”“Iya, Bi, makasih ya. Tapi saya nggak capek kok. Kalau udah berasa capek saya akan istirahat.”Barulah pembantuku pergi.Kebetulan Mama Nuri juga tidak di rumah jadi aku bebas melakukan apa saja.Aku menyalakan laptop lalu membuka kanal baking langgananku di YT. Setel
FAI“Fai …” Suara Mama sayup-sayup terdengar bersama usapan di kepalaku.“Bangun, Fai, bentar lagi acaranya dimulai.”Aku memaksakan diri membuka kelopak mata yang berat. Tampak Mama sedang duduk di pinggir ranjang tempatku tidur. Mama berparas cantik. Tipe wajahnya seperti muka-muka sendu. Begitu kontras dengan karakternya. Papa bilang dulu waktu masih muda Mama orangnya keras kepala dan ngambekan. Tapi bagiku Mama adalah seorang ibu yang baik.“Acara apa, Ma?” tanyaku sambil mengumpulkan nyawa.“Lho, kok malah nanya lagi? Ya ngerayain best day kamulah.”Bibirku melengkung. Seketika teringat pada pesan Mama yang kuterima waktu masih di Jakarta. Mama mengambil handuk lalu meletakkan ke atas perutku yang masih berbaring.“Mandi dulu sana.”Aku baru turun dari tempat tidur setelah Mama keluar dari kamar.Ternyata Mama sudah menyiapkan air hangat di bathtub.Aku berendam di sana sambil menikmati wangi menenangkan dari lilin aromaterapi yang menguar ke setiap sudut kamar mandi. Mama juga
CATALEYA“Sayang, lagi mikirin apa?” pelukan di pinggangku beserta suara Alan yang terdengar membuatku terbangun dari lamunan. Sudah sejak tadi aku berdiri menyandarkan tubuh di tepi jendela dengan tatapan lepas ke luar sana.Aku mengambil tangan Alan yang melingkari perutku lantas menepisnya. Namun hanya sesaat, beberapa detik setelahnya Alan kembali menempelkan tangannya di perutku.“Jadi ceritanya kamu masih marah sama aku?”Aku mendengkus mendengar kata-kata Alan. Gimana aku nggak marah kalau dia bersikap semena-mena bagai diktator. Alan mengurungku di rumah ini dengan pengawasan bodyguard sewaannya yang membuatku muak.Embusan napas hangat Alan menerpa kulit pundakku namun nggak ngefek apa-apa. Aku merasa biasa saja. Jika Fai yang melakukannya aku akan meremang. Tubuhku seakan sudah kebal terhadap sentuhan pria mana pun kecuali Fai.“Kamu bosan berada di rumah?” Pertanyaan itu yang selanjutnya mengisi ruang dengarku.Percuma aku menjawab karena nggak akan ada artinya buat Alan. A
CATALEYAAku meninggalkan studio diiringi tatapan heran Tyo. Dia pasti bertanya-tanya bagaimana mungkin aku tidak tahu mengenai kepergian Fai mengingat aku selama ini begitu akrab dengan Fai.Sekarang hanya Devanka harapanku satu-satunya. Sebagai teman dekat Fai aku yakin dia menyimpan nomor ponsel Fai.‘Fai, aku bakalan gila kalo kita nggak ketemu.’Aku mencari Devanka ke kantornya. Reaksinya sudah kuduga. Dia kaget aku muncul di sana."Leya?""Dev, Fai mana?" tanyaku to the point tanpa kalimat basa-basi.Aku harap jawaban yang kudengar akan berbeda. Tapi nyatanya tidak berubah."Fai udah balik ke Amrik. Kamu nggak tahu?" Devanka menatapku persis Tyo tadi. Tatapan bernada heran yang begitu kentara.Aku menggelengkan kepala. "Kalau aku tau aku nggak mungkin nanya kamu, Dev.”Devanka terdiam."Kapan dia pergi, Dev?""Dua minggu yang lalu, waktu malam tahun baru.""Kenapa dia nggak bilang sama aku? Kenapa dia main langsung pergi?" cecarku melampiaskan emosi padahal Devanka tidak salah a
FAIDua minggu berada di rumah aku mulai menata hidup. Aku akan melanjutkan karir fotografiku. Mulai bulan depan aku sudah mulai mengerjakan job yang dulu kuambil waktu masih di Indonesia. Jadi aku masih punya waktu untuk santai di rumah selama dua minggu lagi.Ponselku berbunyi saat aku sedang membuka-buka galeri. Dari Devanka.“Ya, Dev, belum tidur lo?” tanyaku menyapa. Saat ini di Indonesia sedang tengah malam.“Fai, lo masih ingat Cataleya?”“Dibilang ingat nggak juga, dibilang lupa juga belum. Kenapa?” tanyaku tak berminat.“Dia nyari gue tadi pagi.”“Terus?”“Dia nanyain lo, Fai.”Aku terdiam dengan tanda tanya berkumpul di kepala.“Dia mau apa?”“Dia nggak terima lo pergi nggak bilang-bilang.”“Gimana mau bilang, kan dia sendiri yang nggak mau berhubungan sama gue lagi. Dia yang ‘mutusin’ gue.”“Iya sih, tapi anehnya dia minta alamat lo di DC.”“Buat apa dia nanya-nanya?”“Gue nggak tau, Fai.”“Lo kasih?”“Mana berani gue ngasih alamat orang tanpa izin.”“Bagus, Dev. Kalo dia n
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K
Egbert menghela napasnya. Entah apa yang akan dia katakan. Kalau sampai dia tidak mengakui Cataleya bukan masalah bagi kami. Yang penting aku dan Cataleya tahu seperti apa faktanya."Daddy, kenapa nggak dijawab? Apa Daddy pernah menikah sebelumnya? Apa Daddy punya anak selain aku?" Dengan mata berkaca-kaca Rasti ikut mendesak Egbert agar berterus terang."Egbert, please, tolong jawab semuanya sekarang. Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami nggak bermaksud apa-apa apalagi memanfaatkan situasi." Papa ikut turun tangan agar Egbert membuka mulut.Pria berambut pirang lurus itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia menatap kami satu demi satu lalu matanya berhenti lama saat beradu pandang dengan Cataleya. Posisi dudukku dan Cataleya yang tidak berjarak membuatku bisa merasakan saat tubuh Cataleya menegang."Okay. Aku akan jujur." Egbert mengeluarkan suaranya. "Aku memang pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu kalau dia hamil. Aku benar-benar tidak tahu.""Oh my Gosh, Daddy! Jadi i
FAIAku membawa Cataleya ke ruang depan untuk menemui Rasti dan orang tuanya. Mendapat tatapan tajam dari Rasti, Cataleya mengeratkan tangannya di dalam genggamanku.Kami lalu duduk dengan posisi Cataleya di sebelahku berhadapan dengan Rasti yang duduk bertiga di sofa panjang bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rasti menggilir mata memandangku dan Cataleya bergantian sebelum bicara padaku."Fai, kami sudah berbicara dengan orang tua kamu dan sekarang kami ingin mendengar langsung dari kamu. Sejujurnya kami sangat kecewa atas apa yang kamu lakukan pada Rasti," ucap Tante Nira mengawali obrolan."Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti Rasti. Sedikit pun tidak. Tapi aku nggak mungkin terus bersama Rasti. Aku anggap aku dan Rasti tidak berjodoh. Aku juga minta maaf kalau ternyata aku di luar bayangan Tante dan keluarga Tante. Aku nggak sesuai ekspektasi.""Ya, kamu memang sangat jauh berada di luar ekspektasi kami, Fai. Tante kecewa," jawab Tante Nira menaikkan intonasi
CATALEYAAku tidak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Dan aku juga sangat terbebani oleh keingintahuan yang menggebu.Tidak. Sekalipun dia benar ayahku maka aku nggak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa padanya atau pun pengakuan untuk diakui sebagai anak. Aku hanya ingin tahu. Itu saja."Leya?” Usapan lembut Fai di pundakku membuat mataku terbuka. Aku beralih menatapnya."Fai, kalau misalnya namanya Egbert adalah Egbert Van Linden apa menurutmu dia adalah papaku?" tanyaku hati-hati.Fai terdiam mendengar kata-kataku. Dia juga terlihat kaget. Sebelum kebingungannya berlarut-larut, aku mengimbuhkan penjelasan."Foto di dompet itu sangat mirip dengan Egbert. Jadi menurutku dia adalah papaku. Menurut dugaanku, setelah meninggalkan Mama, Egbert menikah lagi lalu memiliki anak perempuan yaitu Rasti. Jadi kemiripanku dari segi fisik dengan Rasti aku pikir sangat beralasan. Tapi ini hanya dugaanku aja sih."Untuk kedua kali Fai aku buat tidak sanggup berkata-kata. Dia memikirkan ana