CATALEYAAku meninggalkan studio diiringi tatapan heran Tyo. Dia pasti bertanya-tanya bagaimana mungkin aku tidak tahu mengenai kepergian Fai mengingat aku selama ini begitu akrab dengan Fai.Sekarang hanya Devanka harapanku satu-satunya. Sebagai teman dekat Fai aku yakin dia menyimpan nomor ponsel Fai.‘Fai, aku bakalan gila kalo kita nggak ketemu.’Aku mencari Devanka ke kantornya. Reaksinya sudah kuduga. Dia kaget aku muncul di sana."Leya?""Dev, Fai mana?" tanyaku to the point tanpa kalimat basa-basi.Aku harap jawaban yang kudengar akan berbeda. Tapi nyatanya tidak berubah."Fai udah balik ke Amrik. Kamu nggak tahu?" Devanka menatapku persis Tyo tadi. Tatapan bernada heran yang begitu kentara.Aku menggelengkan kepala. "Kalau aku tau aku nggak mungkin nanya kamu, Dev.”Devanka terdiam."Kapan dia pergi, Dev?""Dua minggu yang lalu, waktu malam tahun baru.""Kenapa dia nggak bilang sama aku? Kenapa dia main langsung pergi?" cecarku melampiaskan emosi padahal Devanka tidak salah a
FAIDua minggu berada di rumah aku mulai menata hidup. Aku akan melanjutkan karir fotografiku. Mulai bulan depan aku sudah mulai mengerjakan job yang dulu kuambil waktu masih di Indonesia. Jadi aku masih punya waktu untuk santai di rumah selama dua minggu lagi.Ponselku berbunyi saat aku sedang membuka-buka galeri. Dari Devanka.“Ya, Dev, belum tidur lo?” tanyaku menyapa. Saat ini di Indonesia sedang tengah malam.“Fai, lo masih ingat Cataleya?”“Dibilang ingat nggak juga, dibilang lupa juga belum. Kenapa?” tanyaku tak berminat.“Dia nyari gue tadi pagi.”“Terus?”“Dia nanyain lo, Fai.”Aku terdiam dengan tanda tanya berkumpul di kepala.“Dia mau apa?”“Dia nggak terima lo pergi nggak bilang-bilang.”“Gimana mau bilang, kan dia sendiri yang nggak mau berhubungan sama gue lagi. Dia yang ‘mutusin’ gue.”“Iya sih, tapi anehnya dia minta alamat lo di DC.”“Buat apa dia nanya-nanya?”“Gue nggak tau, Fai.”“Lo kasih?”“Mana berani gue ngasih alamat orang tanpa izin.”“Bagus, Dev. Kalo dia n
FAIAku memaksakan senyum lalu mengikuti pandangan Tante Nira ke arah meja panjang tempat berbagai makanan dihidangkan. Tampak di sana seorang gadis berambut coklat gelap sedang meletakkan makanan yang dibawanya.“Fai, buruan sana, letakin kuenya,” suruh Mama sambil menepuk pundakku.“Iya, Ma.”Aku meneruskan langkah dengan tangan menenteng kantong-kantong berisi kue sedangkan Mama melanjutkan perbincangan dengan Tante Nira.Meja panjang itu penuh oleh berbagai makanan saat aku tiba di sana. Sampai aku bingung harus meletakkan di mana kue buatan Mama.Aku berdeham.Refleks dehemanku itu membuat gadis berambut coklat yang tadi membelakangiku memutar tubuhnya. Setelah kami berhadapan dia tampak terkejut karena tidak menyangka kami akan bertemu di sini. Namun kemudian dia mengembangkan senyumnya.“Fai kan?” sapanya dengan nada bertanya.“Ya.” Aku membalas senyumannya.“Ke sini juga?”“Tadinya cuma mau mengantar Mama, tapi Mama maksa buat ikut acara.”“Terus Tante Zola-nya mana?”“Ada tuh
CATALEYASetiap kali melihat muka Alan aku merasa muak dan ingin marah padanya, terlebih setelah aku mengetahui dialah yang membuat Fai pergi lebih awal sebelum kontraknya selesai. Aku ingin ngamuk pada Alan dan memaki-makinya, tapi pengalaman mengajarkanku bahwa menghadapi laki-laki itu tidak bisa dengan cara biasa. Dia bisa saja licik, namun aku harus jauh lebih cerdik.“Kamu nggak keluar hari ini?” tanya Alan pagi ini melihatku selonjoran di sofa sambil membolak-balik halaman majalah.Aku menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban tanpa menatap wajah Alan.“Tumben? Biasanya kamu mana betah berada di rumah.”Ucapan yang kudengar membuatku merasa perlu untuk mengangkat kepala.“Jadi maunya kamu aku harus ke mana, Lan?”“Aku kan nanya baik-baik, Sayang, kok kamu-nya ngegas?” Alan mengulurkan tangan membelai kepalaku yang langsung kutepis.Berhadapan dengan Alan tidak lagi menyenangkan seperti dulu. Hanya ada satu kata untuknya. Muak, muak, dan muak.“Ya, aku tahu kalau ibu hamil emosi
CATALEYAMenuruti anjuran Fai, aku berhenti di café yang kutemui lalu menanti Devanka di sana.Aku memesan segelas caramel macchiato dan mengganjal perutku dengan sepotong banana bread. Namun keduanya terasa hampa saat menyentuh lidahku. Cinta gini amat ya?Devanka tiba setelah hampir dua puluh menit aku menunggu. Dia langsung duduk di depanku dan menatapku begitu lekat.“Jujur sama aku, apa kamu dan Alan sedang bertengkar?” Itu kalimat pertama yang kudengar terucap dari mulutnya.“Nope,” jawabku singkat.Kalau aku mau, aku bisa saja berdebat dengan Alan dan menghakimi segala perbuatannya pada Fai. Tapi aku juga tahu, aku harus main cantik menghadapinya. Aku tidak ingin Alan mengekangku seperti dulu jika aku bersikap frontal padanya. Hal itu hanya akan merugikanku.“Aku nggak mau banyak basa-basi, Dev. Langsung aja kasih aku alamat Fai. Aku maafkan segala kebohongan kamu selama ini. Tapi tolong untuk kali ini saja bantu aku. Aku nggak punya banyak waktu. Kesempatanku hanya kali ini.”
FAI"TPOA ngadain kompetisi, kamu nggak mau ikut?"Aku mengangkat wajah dari balik kamera lalu memindahkan pusat atensi pada Papa yang mengajakku bicara. TPOA adalah nama salah satu komunitas fotografi profesional di Amerika yang sering mengadakan lomba atau kompetisi foto bergengsi."Boleh, Pa. Temanya apa?""Her little food."Jawaban Papa membuatku mengernyit. Dulu waktu masih muda Papa sering sekali ikut kompetisi dan berkali-kali memenangkannya. Dari sana karir fotografi Papa berkembang sampai Papa menjadi seorang fotografer profesional dengan segudang penghargaan dan pengalaman."Kenapa, Fai?” tanya Papa heran menyaksikan ekspresiku."Lagi nggak ada ide, Pa.""Gampang kok. Cuma mesti ada her and food.""Wajib banget ada her nya, Pa? Kalau cuma food gimana?"Papa tertawa. "Ya nggak sesuai tema namanya. Foto-foto lama juga nggak apa-apa. Coba submit aja dulu.""Deadline-nya kapan?""Tiga hari lagi.""Telat banget Papa ngasih taunya,” kataku menyesalkan."Papa lupa, apalagi sekarang
CATALEYAAngin dingin menyampaikan selamat datang padaku saat aku menginjakkan kaki di Dulles International Airport. Aku merapatkan long coat yang membungkus tubuhku sejak di pesawat.Berdasarkan petunjuk dari Devanka, aku langsung mencari taksi untuk kemudian menuju alamat hotel yang diberikannya.Badanku terasa remuk akibat penerbangan panjang yang melelahkan. Seharusnya aku tiba sejak kemarin malam. Namun, penerbangan terasa lebih panjang karena transit di Doha berjam-jam lebih lama dari yang seharusnya.Semakin jauh meninggalkan bandara, suasana tidak lagi seramai tadi. Beberapa kendaraan masih terlihat di jalan raya namun tidak sepadat tadi. Aku mengambil ponsel lalu membuka Maps untuk mengetahui posisiku saat ini. Sekitar tiga kilometer lagi aku akan tiba di One Season Hotel. Bersamaan dengan itu detak jantungku mulai mengencang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Fai. Aku akan berterus terang padanya mengenai keadaanku tanpa ada satu pun yang di-skip.“We’ve arrived.”Perkat
FAIKamarku terasa begitu dingin walau pendingin udara tidak menyala. Sampai saat ini musim dingin masih berlangsung yang menurut prediksi baru akan selesai akhir Maret nanti.Aku merapatkan selimut lalu menyambung tidur yang belum puas. Hari ini aku akan tidur seharian. Mumpung hari libur, mumpung nggak ada Mama Papa. Sejak kemarin kedua orang tuaku itu pergi. Papa mengajak Mama ke Arizona untuk menyaksikan pertandingan basket klub favorit mereka berdua, Phoenix Suns.Dengan mata terperjam, dahiku mengenyit saat merasakan ada tangan melingkupi tubuhku. Seseorang memelukku dari belakang.Baru akan menebak siapa dia, dengan cepat indera penciumanku mengenali aromanya. Aku sudah sangat hafal bau chamomile yang saat ini terhirup oleh hidungku.“Guess what?” Bisikan lembut itu tertangkap gendang telingaku.“Definitely my queen,” jawabku asal dengan bibir melengkungkan senyum.Rasti tertawa yang mengukuhkan dugaanku bahwa itu adalah dia. Pelukannya bertambah erat di tubuhku.“Fai, Tante Zo
CATALEYAMalam ini akhirnya aku check out dari hotel ditemani Fai dan Rasti. Sejak tadi Rasti tidak pulang ke rumahnya. Dia selalu menempel pada Fai seperti lintah. Aku berpikir jangan-jangan sudah berhari-hari Rasti menginap di rumah Fai. Dan mereka hanya berdua. Mereka bisa melakukan segalanya.Lalu sekarang hatiku kembali diuji saat menyaksikan keduanya bermesraan di hadapanku. Fai menyetir. Rasti duduk di sebelahnya sambil sesekali menyandarkan kepala ke pundak Fai sedangkan aku duduk sendiri menjadi nyamuk di belakang. Saat Fai bersiul mengikuti musik dari audio mobil, Rasti ikut bersenandung kecil. Mereka terlihat begitu kompak dan mesra. Mereka selaras dan serasi. Keduanya couple goals abad ini yang pernah aku lihat.Setiba di rumah, Rasti mengatakan padaku bahwa aku harus pindah kamar."Leya, kamu tidur di kamar Cleo aja ya."Aku hanya bisa menurut apa kata tuan rumah. Aku hanya tamu di sini. Dan bisa kutebak Rasti akan tidur berdua di kamar Fai. Kenapa bukan aku saja yang ber
FAIAku menemukan Rasti dan Cataleya sedang berbincang di kamarku. Keduanya langsung menutup mulut rapat-rapat saat melihatku muncul.“Kok pada diam? Pasti tadi lagi ngomongin aku?” tudingku memandang keduanya bergantian.“Ih, GR!” Rasti mengelus pipiku mesra yang membuatku salah tingkah karena dia melakukannya di depan Cataleya.Sedangkan Cataleya hanya tersenyum tipis menyaksikan kami.“Dari mana aja sih tadi?”“Beliin apel buat Queen, sama buat Leya juga.” Aku menunjukkan dua bungkusan yang berbeda.Rasti menatapku penuh tanda tanya tapi tidak mengatakan apa-apa.“Queen itu kuda yang kamu pernah kamu ceritain ya, Fai?” tanya Cataleya menyela.“Yup. She is my girl.”“Nope. She’s not your girl anymore,” sanggah Rasti tidak setuju. “I’m your girl.” Dia melanjutkan sambil menyandarkan kepalanya ke perutku yang berdiri di dekatnya sedangkan kedua tangannya melingkariku dengan begitu protektif.Aku memaksakan senyum kaku. Situasi ini membuatku canggung.“Anyway, kamu udah makan, Leya?” A
CATALEYARasti lalu terdiam. Dia memandangku lekat dan dalam yang membuatku sedikit salah tingkah. Apa yang saat ini sedang dipikirkannya mengenaiku?"Cataleya, kamu ngerasa nggak sih kalau kita itu mirip?"Ternyata bukan hanya pikiranku. Rasti juga merasakannya."Dari awal tadi kita kenalan aku juga ngerasa gitu, Ras. Makanya aku heran."Rasti tersenyum. "Katanya ada tujuh kembaran kita di dunia. Jangan-jangan aku dan kamu adalah di antaranya," ucapnya berfilosofi."Bisa jadi sih,” jawabku setuju. Aku juga pernah mendengar mengenai hal tersebut. Dulu aku masih kurang percaya. Namun setelah bertemu dengan Rasti aku mulai meyakininya sedikit demi sedikit."Leya, kamu di Indonesia tinggal di mana?""Jakarta.""Kamu asli Indonesia?"Kalau sudah menyangkut mengenai silsilah dan asal usul terasa ada yang mengganjal di hatiku. Walau menyakitkan tapi aku nggak ingin mengingkari asal usulku. Aku ada di dunia karena kedua orang tuaku."Nggak juga. Aku ada darah Belanda."Pengakuan jujurku memb
CATALEYASaat pertama kali membuka mata yang tertangkap oleh lensaku adalah wajah cemas Fai dan kekasihnya. Sedangkan aku terbaring lemah dikelilingi keduanya. Menilik dari cat dinding ruangan ini aku yakin ini bukanlah hotel tempatku menginap."Fai, aku di mana? Aku kenapa?" suaraku lirih."Tadi kamu pingsan, Leya," jawab Fai memberitahu."Pingsan?" Dahiku berkerut.Aku memaksa otakku mereka ulang kejadian itu. Seingatku tadi aku numpang ke kamar mandi diantar Rasti. Lalu dia meninggalkanku sendiri. Setelah selesai buang air aku merasa kepalaku yang berat tidak hanya sekadar berat tapi juga pusing. Lalu setelahnya aku jatuh terkulai dalam keadaan duduk di depan pintu kamar mandi.Sontak aku memegang perut. Untung tadi aku tidak jatuh saat berdiri yang akan membahayakan calon anakku. Calon anak Fai. Calon anak kami berdua."Sudah ingat?" tanya Fai memandangiku.Kepalaku bergerak perlahan membentuk anggukan."Sekarang aku di mana?""Kamu di kamarku, Leya. Tadi aku menelfon dokter, tapi
CATALEYAGadis yang berdiri di hadapanku saat ini dengan hanya menggunakan sweatshirt dan loose pants terlihat begitu cantik kendati rambutnya terlihat kusut. Mungkin dia sedang tidur saat aku membunyikan bel.Siapa dia sesungguhnya? Fai bilang jika dia hanya dua bersaudara. Dan perempuan di hadapanku bukan Cleo. Fai pernah menunjukkan foto adiknya padaku yang jelas-jelas bukan gadis ini. Karena gadis di hadapanku ini terlihat memiliki sedikit kemiripan denganku. Hidungnya, bibirnya, terlebih matanya bagai meng-copy milikku. Yang berbeda dari kami adalah tubuhnya yang tidak seberisi aku.Kami saling menatap dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. Dia juga tampak bingung. Mungkin pikirannya sama denganku. Menyadari bahwa kami memiliki beberapa kesamaan.“Good morning, is this Fai’s House?” Aku menyapanya setelah terbangun dari ketermanguan.Gadis itu mengangguk sebelum berkata, “Who are you?”“I’m Cataleya from Indonesia.” Aku mengenalkan diri dengan ramah, tak lupa mema
FAIAku membiarkan Rasti pergi lalu memejamkan mata merenungi perbuatanku. Rasti mungkin akan merasa tersakiti kalau tahu aku menganggapnya sebagai Cataleya. Tapi jujur, aku tidak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian.Aroma chamomile kembali menyerbu hidungku bersamaan dengan suara gadisku.“Fai, someone is looking for you.”CATALEYAAku tersentak ketika mendengar suara alarm. Spontan tanganku meraba-raba mencari ponsel. Tadi aku memang menyalakan alarm karena takut kebablasan tidur sampai sore.Sambil menutupi mulut yang menguap dengan telapak tangan, aku mematikan alarm. Tidur hanya satu jam tidak membantu memulihkan tenagaku. Kepalaku terasa berat serta ingin muntah. Entah ini karena jet lag atau karena pengaruh kehamilanku.Dan aku benar-benar muntah ketika masuk ke kamar mandi. Saat berkaca di cermin aku melihat mukaku pucat selain pipiku yang tampak lebih berisi dari sebelum hamil dulu.Wajah Fai melintas seketika.Pikiran-pikiran tentang bagaimana reaksinya setelah tahu men
FAIKamarku terasa begitu dingin walau pendingin udara tidak menyala. Sampai saat ini musim dingin masih berlangsung yang menurut prediksi baru akan selesai akhir Maret nanti.Aku merapatkan selimut lalu menyambung tidur yang belum puas. Hari ini aku akan tidur seharian. Mumpung hari libur, mumpung nggak ada Mama Papa. Sejak kemarin kedua orang tuaku itu pergi. Papa mengajak Mama ke Arizona untuk menyaksikan pertandingan basket klub favorit mereka berdua, Phoenix Suns.Dengan mata terperjam, dahiku mengenyit saat merasakan ada tangan melingkupi tubuhku. Seseorang memelukku dari belakang.Baru akan menebak siapa dia, dengan cepat indera penciumanku mengenali aromanya. Aku sudah sangat hafal bau chamomile yang saat ini terhirup oleh hidungku.“Guess what?” Bisikan lembut itu tertangkap gendang telingaku.“Definitely my queen,” jawabku asal dengan bibir melengkungkan senyum.Rasti tertawa yang mengukuhkan dugaanku bahwa itu adalah dia. Pelukannya bertambah erat di tubuhku.“Fai, Tante Zo
CATALEYAAngin dingin menyampaikan selamat datang padaku saat aku menginjakkan kaki di Dulles International Airport. Aku merapatkan long coat yang membungkus tubuhku sejak di pesawat.Berdasarkan petunjuk dari Devanka, aku langsung mencari taksi untuk kemudian menuju alamat hotel yang diberikannya.Badanku terasa remuk akibat penerbangan panjang yang melelahkan. Seharusnya aku tiba sejak kemarin malam. Namun, penerbangan terasa lebih panjang karena transit di Doha berjam-jam lebih lama dari yang seharusnya.Semakin jauh meninggalkan bandara, suasana tidak lagi seramai tadi. Beberapa kendaraan masih terlihat di jalan raya namun tidak sepadat tadi. Aku mengambil ponsel lalu membuka Maps untuk mengetahui posisiku saat ini. Sekitar tiga kilometer lagi aku akan tiba di One Season Hotel. Bersamaan dengan itu detak jantungku mulai mengencang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Fai. Aku akan berterus terang padanya mengenai keadaanku tanpa ada satu pun yang di-skip.“We’ve arrived.”Perkat
FAI"TPOA ngadain kompetisi, kamu nggak mau ikut?"Aku mengangkat wajah dari balik kamera lalu memindahkan pusat atensi pada Papa yang mengajakku bicara. TPOA adalah nama salah satu komunitas fotografi profesional di Amerika yang sering mengadakan lomba atau kompetisi foto bergengsi."Boleh, Pa. Temanya apa?""Her little food."Jawaban Papa membuatku mengernyit. Dulu waktu masih muda Papa sering sekali ikut kompetisi dan berkali-kali memenangkannya. Dari sana karir fotografi Papa berkembang sampai Papa menjadi seorang fotografer profesional dengan segudang penghargaan dan pengalaman."Kenapa, Fai?” tanya Papa heran menyaksikan ekspresiku."Lagi nggak ada ide, Pa.""Gampang kok. Cuma mesti ada her and food.""Wajib banget ada her nya, Pa? Kalau cuma food gimana?"Papa tertawa. "Ya nggak sesuai tema namanya. Foto-foto lama juga nggak apa-apa. Coba submit aja dulu.""Deadline-nya kapan?""Tiga hari lagi.""Telat banget Papa ngasih taunya,” kataku menyesalkan."Papa lupa, apalagi sekarang