CATALEYASetiap kali melihat muka Alan aku merasa muak dan ingin marah padanya, terlebih setelah aku mengetahui dialah yang membuat Fai pergi lebih awal sebelum kontraknya selesai. Aku ingin ngamuk pada Alan dan memaki-makinya, tapi pengalaman mengajarkanku bahwa menghadapi laki-laki itu tidak bisa dengan cara biasa. Dia bisa saja licik, namun aku harus jauh lebih cerdik.“Kamu nggak keluar hari ini?” tanya Alan pagi ini melihatku selonjoran di sofa sambil membolak-balik halaman majalah.Aku menggelengkan kepala pelan sebagai jawaban tanpa menatap wajah Alan.“Tumben? Biasanya kamu mana betah berada di rumah.”Ucapan yang kudengar membuatku merasa perlu untuk mengangkat kepala.“Jadi maunya kamu aku harus ke mana, Lan?”“Aku kan nanya baik-baik, Sayang, kok kamu-nya ngegas?” Alan mengulurkan tangan membelai kepalaku yang langsung kutepis.Berhadapan dengan Alan tidak lagi menyenangkan seperti dulu. Hanya ada satu kata untuknya. Muak, muak, dan muak.“Ya, aku tahu kalau ibu hamil emosi
CATALEYAMenuruti anjuran Fai, aku berhenti di café yang kutemui lalu menanti Devanka di sana.Aku memesan segelas caramel macchiato dan mengganjal perutku dengan sepotong banana bread. Namun keduanya terasa hampa saat menyentuh lidahku. Cinta gini amat ya?Devanka tiba setelah hampir dua puluh menit aku menunggu. Dia langsung duduk di depanku dan menatapku begitu lekat.“Jujur sama aku, apa kamu dan Alan sedang bertengkar?” Itu kalimat pertama yang kudengar terucap dari mulutnya.“Nope,” jawabku singkat.Kalau aku mau, aku bisa saja berdebat dengan Alan dan menghakimi segala perbuatannya pada Fai. Tapi aku juga tahu, aku harus main cantik menghadapinya. Aku tidak ingin Alan mengekangku seperti dulu jika aku bersikap frontal padanya. Hal itu hanya akan merugikanku.“Aku nggak mau banyak basa-basi, Dev. Langsung aja kasih aku alamat Fai. Aku maafkan segala kebohongan kamu selama ini. Tapi tolong untuk kali ini saja bantu aku. Aku nggak punya banyak waktu. Kesempatanku hanya kali ini.”
FAI"TPOA ngadain kompetisi, kamu nggak mau ikut?"Aku mengangkat wajah dari balik kamera lalu memindahkan pusat atensi pada Papa yang mengajakku bicara. TPOA adalah nama salah satu komunitas fotografi profesional di Amerika yang sering mengadakan lomba atau kompetisi foto bergengsi."Boleh, Pa. Temanya apa?""Her little food."Jawaban Papa membuatku mengernyit. Dulu waktu masih muda Papa sering sekali ikut kompetisi dan berkali-kali memenangkannya. Dari sana karir fotografi Papa berkembang sampai Papa menjadi seorang fotografer profesional dengan segudang penghargaan dan pengalaman."Kenapa, Fai?” tanya Papa heran menyaksikan ekspresiku."Lagi nggak ada ide, Pa.""Gampang kok. Cuma mesti ada her and food.""Wajib banget ada her nya, Pa? Kalau cuma food gimana?"Papa tertawa. "Ya nggak sesuai tema namanya. Foto-foto lama juga nggak apa-apa. Coba submit aja dulu.""Deadline-nya kapan?""Tiga hari lagi.""Telat banget Papa ngasih taunya,” kataku menyesalkan."Papa lupa, apalagi sekarang
CATALEYAAngin dingin menyampaikan selamat datang padaku saat aku menginjakkan kaki di Dulles International Airport. Aku merapatkan long coat yang membungkus tubuhku sejak di pesawat.Berdasarkan petunjuk dari Devanka, aku langsung mencari taksi untuk kemudian menuju alamat hotel yang diberikannya.Badanku terasa remuk akibat penerbangan panjang yang melelahkan. Seharusnya aku tiba sejak kemarin malam. Namun, penerbangan terasa lebih panjang karena transit di Doha berjam-jam lebih lama dari yang seharusnya.Semakin jauh meninggalkan bandara, suasana tidak lagi seramai tadi. Beberapa kendaraan masih terlihat di jalan raya namun tidak sepadat tadi. Aku mengambil ponsel lalu membuka Maps untuk mengetahui posisiku saat ini. Sekitar tiga kilometer lagi aku akan tiba di One Season Hotel. Bersamaan dengan itu detak jantungku mulai mengencang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Fai. Aku akan berterus terang padanya mengenai keadaanku tanpa ada satu pun yang di-skip.“We’ve arrived.”Perkat
FAIKamarku terasa begitu dingin walau pendingin udara tidak menyala. Sampai saat ini musim dingin masih berlangsung yang menurut prediksi baru akan selesai akhir Maret nanti.Aku merapatkan selimut lalu menyambung tidur yang belum puas. Hari ini aku akan tidur seharian. Mumpung hari libur, mumpung nggak ada Mama Papa. Sejak kemarin kedua orang tuaku itu pergi. Papa mengajak Mama ke Arizona untuk menyaksikan pertandingan basket klub favorit mereka berdua, Phoenix Suns.Dengan mata terperjam, dahiku mengenyit saat merasakan ada tangan melingkupi tubuhku. Seseorang memelukku dari belakang.Baru akan menebak siapa dia, dengan cepat indera penciumanku mengenali aromanya. Aku sudah sangat hafal bau chamomile yang saat ini terhirup oleh hidungku.“Guess what?” Bisikan lembut itu tertangkap gendang telingaku.“Definitely my queen,” jawabku asal dengan bibir melengkungkan senyum.Rasti tertawa yang mengukuhkan dugaanku bahwa itu adalah dia. Pelukannya bertambah erat di tubuhku.“Fai, Tante Zo
FAIAku membiarkan Rasti pergi lalu memejamkan mata merenungi perbuatanku. Rasti mungkin akan merasa tersakiti kalau tahu aku menganggapnya sebagai Cataleya. Tapi jujur, aku tidak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian.Aroma chamomile kembali menyerbu hidungku bersamaan dengan suara gadisku.“Fai, someone is looking for you.”CATALEYAAku tersentak ketika mendengar suara alarm. Spontan tanganku meraba-raba mencari ponsel. Tadi aku memang menyalakan alarm karena takut kebablasan tidur sampai sore.Sambil menutupi mulut yang menguap dengan telapak tangan, aku mematikan alarm. Tidur hanya satu jam tidak membantu memulihkan tenagaku. Kepalaku terasa berat serta ingin muntah. Entah ini karena jet lag atau karena pengaruh kehamilanku.Dan aku benar-benar muntah ketika masuk ke kamar mandi. Saat berkaca di cermin aku melihat mukaku pucat selain pipiku yang tampak lebih berisi dari sebelum hamil dulu.Wajah Fai melintas seketika.Pikiran-pikiran tentang bagaimana reaksinya setelah tahu men
CATALEYAGadis yang berdiri di hadapanku saat ini dengan hanya menggunakan sweatshirt dan loose pants terlihat begitu cantik kendati rambutnya terlihat kusut. Mungkin dia sedang tidur saat aku membunyikan bel.Siapa dia sesungguhnya? Fai bilang jika dia hanya dua bersaudara. Dan perempuan di hadapanku bukan Cleo. Fai pernah menunjukkan foto adiknya padaku yang jelas-jelas bukan gadis ini. Karena gadis di hadapanku ini terlihat memiliki sedikit kemiripan denganku. Hidungnya, bibirnya, terlebih matanya bagai meng-copy milikku. Yang berbeda dari kami adalah tubuhnya yang tidak seberisi aku.Kami saling menatap dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. Dia juga tampak bingung. Mungkin pikirannya sama denganku. Menyadari bahwa kami memiliki beberapa kesamaan.“Good morning, is this Fai’s House?” Aku menyapanya setelah terbangun dari ketermanguan.Gadis itu mengangguk sebelum berkata, “Who are you?”“I’m Cataleya from Indonesia.” Aku mengenalkan diri dengan ramah, tak lupa mema
CATALEYASaat pertama kali membuka mata yang tertangkap oleh lensaku adalah wajah cemas Fai dan kekasihnya. Sedangkan aku terbaring lemah dikelilingi keduanya. Menilik dari cat dinding ruangan ini aku yakin ini bukanlah hotel tempatku menginap."Fai, aku di mana? Aku kenapa?" suaraku lirih."Tadi kamu pingsan, Leya," jawab Fai memberitahu."Pingsan?" Dahiku berkerut.Aku memaksa otakku mereka ulang kejadian itu. Seingatku tadi aku numpang ke kamar mandi diantar Rasti. Lalu dia meninggalkanku sendiri. Setelah selesai buang air aku merasa kepalaku yang berat tidak hanya sekadar berat tapi juga pusing. Lalu setelahnya aku jatuh terkulai dalam keadaan duduk di depan pintu kamar mandi.Sontak aku memegang perut. Untung tadi aku tidak jatuh saat berdiri yang akan membahayakan calon anakku. Calon anak Fai. Calon anak kami berdua."Sudah ingat?" tanya Fai memandangiku.Kepalaku bergerak perlahan membentuk anggukan."Sekarang aku di mana?""Kamu di kamarku, Leya. Tadi aku menelfon dokter, tapi
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K
Egbert menghela napasnya. Entah apa yang akan dia katakan. Kalau sampai dia tidak mengakui Cataleya bukan masalah bagi kami. Yang penting aku dan Cataleya tahu seperti apa faktanya."Daddy, kenapa nggak dijawab? Apa Daddy pernah menikah sebelumnya? Apa Daddy punya anak selain aku?" Dengan mata berkaca-kaca Rasti ikut mendesak Egbert agar berterus terang."Egbert, please, tolong jawab semuanya sekarang. Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami nggak bermaksud apa-apa apalagi memanfaatkan situasi." Papa ikut turun tangan agar Egbert membuka mulut.Pria berambut pirang lurus itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia menatap kami satu demi satu lalu matanya berhenti lama saat beradu pandang dengan Cataleya. Posisi dudukku dan Cataleya yang tidak berjarak membuatku bisa merasakan saat tubuh Cataleya menegang."Okay. Aku akan jujur." Egbert mengeluarkan suaranya. "Aku memang pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu kalau dia hamil. Aku benar-benar tidak tahu.""Oh my Gosh, Daddy! Jadi i
FAIAku membawa Cataleya ke ruang depan untuk menemui Rasti dan orang tuanya. Mendapat tatapan tajam dari Rasti, Cataleya mengeratkan tangannya di dalam genggamanku.Kami lalu duduk dengan posisi Cataleya di sebelahku berhadapan dengan Rasti yang duduk bertiga di sofa panjang bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rasti menggilir mata memandangku dan Cataleya bergantian sebelum bicara padaku."Fai, kami sudah berbicara dengan orang tua kamu dan sekarang kami ingin mendengar langsung dari kamu. Sejujurnya kami sangat kecewa atas apa yang kamu lakukan pada Rasti," ucap Tante Nira mengawali obrolan."Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti Rasti. Sedikit pun tidak. Tapi aku nggak mungkin terus bersama Rasti. Aku anggap aku dan Rasti tidak berjodoh. Aku juga minta maaf kalau ternyata aku di luar bayangan Tante dan keluarga Tante. Aku nggak sesuai ekspektasi.""Ya, kamu memang sangat jauh berada di luar ekspektasi kami, Fai. Tante kecewa," jawab Tante Nira menaikkan intonasi
CATALEYAAku tidak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Dan aku juga sangat terbebani oleh keingintahuan yang menggebu.Tidak. Sekalipun dia benar ayahku maka aku nggak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa padanya atau pun pengakuan untuk diakui sebagai anak. Aku hanya ingin tahu. Itu saja."Leya?” Usapan lembut Fai di pundakku membuat mataku terbuka. Aku beralih menatapnya."Fai, kalau misalnya namanya Egbert adalah Egbert Van Linden apa menurutmu dia adalah papaku?" tanyaku hati-hati.Fai terdiam mendengar kata-kataku. Dia juga terlihat kaget. Sebelum kebingungannya berlarut-larut, aku mengimbuhkan penjelasan."Foto di dompet itu sangat mirip dengan Egbert. Jadi menurutku dia adalah papaku. Menurut dugaanku, setelah meninggalkan Mama, Egbert menikah lagi lalu memiliki anak perempuan yaitu Rasti. Jadi kemiripanku dari segi fisik dengan Rasti aku pikir sangat beralasan. Tapi ini hanya dugaanku aja sih."Untuk kedua kali Fai aku buat tidak sanggup berkata-kata. Dia memikirkan ana