CATALEYAGadis yang berdiri di hadapanku saat ini dengan hanya menggunakan sweatshirt dan loose pants terlihat begitu cantik kendati rambutnya terlihat kusut. Mungkin dia sedang tidur saat aku membunyikan bel.Siapa dia sesungguhnya? Fai bilang jika dia hanya dua bersaudara. Dan perempuan di hadapanku bukan Cleo. Fai pernah menunjukkan foto adiknya padaku yang jelas-jelas bukan gadis ini. Karena gadis di hadapanku ini terlihat memiliki sedikit kemiripan denganku. Hidungnya, bibirnya, terlebih matanya bagai meng-copy milikku. Yang berbeda dari kami adalah tubuhnya yang tidak seberisi aku.Kami saling menatap dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. Dia juga tampak bingung. Mungkin pikirannya sama denganku. Menyadari bahwa kami memiliki beberapa kesamaan.“Good morning, is this Fai’s House?” Aku menyapanya setelah terbangun dari ketermanguan.Gadis itu mengangguk sebelum berkata, “Who are you?”“I’m Cataleya from Indonesia.” Aku mengenalkan diri dengan ramah, tak lupa mema
CATALEYASaat pertama kali membuka mata yang tertangkap oleh lensaku adalah wajah cemas Fai dan kekasihnya. Sedangkan aku terbaring lemah dikelilingi keduanya. Menilik dari cat dinding ruangan ini aku yakin ini bukanlah hotel tempatku menginap."Fai, aku di mana? Aku kenapa?" suaraku lirih."Tadi kamu pingsan, Leya," jawab Fai memberitahu."Pingsan?" Dahiku berkerut.Aku memaksa otakku mereka ulang kejadian itu. Seingatku tadi aku numpang ke kamar mandi diantar Rasti. Lalu dia meninggalkanku sendiri. Setelah selesai buang air aku merasa kepalaku yang berat tidak hanya sekadar berat tapi juga pusing. Lalu setelahnya aku jatuh terkulai dalam keadaan duduk di depan pintu kamar mandi.Sontak aku memegang perut. Untung tadi aku tidak jatuh saat berdiri yang akan membahayakan calon anakku. Calon anak Fai. Calon anak kami berdua."Sudah ingat?" tanya Fai memandangiku.Kepalaku bergerak perlahan membentuk anggukan."Sekarang aku di mana?""Kamu di kamarku, Leya. Tadi aku menelfon dokter, tapi
CATALEYARasti lalu terdiam. Dia memandangku lekat dan dalam yang membuatku sedikit salah tingkah. Apa yang saat ini sedang dipikirkannya mengenaiku?"Cataleya, kamu ngerasa nggak sih kalau kita itu mirip?"Ternyata bukan hanya pikiranku. Rasti juga merasakannya."Dari awal tadi kita kenalan aku juga ngerasa gitu, Ras. Makanya aku heran."Rasti tersenyum. "Katanya ada tujuh kembaran kita di dunia. Jangan-jangan aku dan kamu adalah di antaranya," ucapnya berfilosofi."Bisa jadi sih,” jawabku setuju. Aku juga pernah mendengar mengenai hal tersebut. Dulu aku masih kurang percaya. Namun setelah bertemu dengan Rasti aku mulai meyakininya sedikit demi sedikit."Leya, kamu di Indonesia tinggal di mana?""Jakarta.""Kamu asli Indonesia?"Kalau sudah menyangkut mengenai silsilah dan asal usul terasa ada yang mengganjal di hatiku. Walau menyakitkan tapi aku nggak ingin mengingkari asal usulku. Aku ada di dunia karena kedua orang tuaku."Nggak juga. Aku ada darah Belanda."Pengakuan jujurku memb
FAIAku menemukan Rasti dan Cataleya sedang berbincang di kamarku. Keduanya langsung menutup mulut rapat-rapat saat melihatku muncul.“Kok pada diam? Pasti tadi lagi ngomongin aku?” tudingku memandang keduanya bergantian.“Ih, GR!” Rasti mengelus pipiku mesra yang membuatku salah tingkah karena dia melakukannya di depan Cataleya.Sedangkan Cataleya hanya tersenyum tipis menyaksikan kami.“Dari mana aja sih tadi?”“Beliin apel buat Queen, sama buat Leya juga.” Aku menunjukkan dua bungkusan yang berbeda.Rasti menatapku penuh tanda tanya tapi tidak mengatakan apa-apa.“Queen itu kuda yang kamu pernah kamu ceritain ya, Fai?” tanya Cataleya menyela.“Yup. She is my girl.”“Nope. She’s not your girl anymore,” sanggah Rasti tidak setuju. “I’m your girl.” Dia melanjutkan sambil menyandarkan kepalanya ke perutku yang berdiri di dekatnya sedangkan kedua tangannya melingkariku dengan begitu protektif.Aku memaksakan senyum kaku. Situasi ini membuatku canggung.“Anyway, kamu udah makan, Leya?” A
CATALEYAMalam ini akhirnya aku check out dari hotel ditemani Fai dan Rasti. Sejak tadi Rasti tidak pulang ke rumahnya. Dia selalu menempel pada Fai seperti lintah. Aku berpikir jangan-jangan sudah berhari-hari Rasti menginap di rumah Fai. Dan mereka hanya berdua. Mereka bisa melakukan segalanya.Lalu sekarang hatiku kembali diuji saat menyaksikan keduanya bermesraan di hadapanku. Fai menyetir. Rasti duduk di sebelahnya sambil sesekali menyandarkan kepala ke pundak Fai sedangkan aku duduk sendiri menjadi nyamuk di belakang. Saat Fai bersiul mengikuti musik dari audio mobil, Rasti ikut bersenandung kecil. Mereka terlihat begitu kompak dan mesra. Mereka selaras dan serasi. Keduanya couple goals abad ini yang pernah aku lihat.Setiba di rumah, Rasti mengatakan padaku bahwa aku harus pindah kamar."Leya, kamu tidur di kamar Cleo aja ya."Aku hanya bisa menurut apa kata tuan rumah. Aku hanya tamu di sini. Dan bisa kutebak Rasti akan tidur berdua di kamar Fai. Kenapa bukan aku saja yang ber
Aku mengambil kacamata hitam yang kugantung di depan baju tepat di bagian dada lalu membingkai wajahku untuk menangkis serangan cahaya matahari begitu turun dari pesawat.Indonesia ternyata jauh lebih panas dari yang diceritakan Mama dan Papa padaku. Setidaknya itu yang kurasakan saat ini.Sembari kakiku berjalan, mataku mengedar mencari-cari sosok Devanka, sahabatku, yang katanya akan menjemput.Lima belas menit menunggu dia tidak kunjung datang, padahal janjinya tidak akan telat. Aku bisa saja sendiri tapi Devanka mewanti-wanti agar menunggunya sampai datang.Ini bukanlah kunjungan pertamaku. Tahun-tahun sebelumnya aku juga pernah ke Indonesia, tapi hanya dalam waktu yang singkat. Sedangkan kedatanganku kali ini untuk waktu yang cukup lama. Ada project yang harus kukerjakan di sini.Awalnya Mama melarang mengambil project itu. Mama yang sangat menyayangi dan memanjakanku sejak kecil menahan sekuat yang bisa dilakukannya agar aku tidak berangkat. Tapi Papa memberi pengertian pada Mam
Tante Zoia mendelik ketika pagi ini aku mengatakan tidak bisa tinggal di rumahnya. Begitu pun dengan Om Javas yang tidak setuju aku keluar dari rumah mereka.“Apa salahnya tinggal di sini? Om dan Tante nggak akan ngelarang atau mengekang kamu kok. Om kan juga pernah muda.”“Bukannya gitu, Om, tapi sayang aja kalo fasilitas dari mereka nggak dimanfaatin,” jawabku mengemukakan alasan sambil nyengir.Om Javas dan Tante Zoia akhirnya hanya bisa mengesah pasrah karena aku begitu teguh dengan pendirianku.“Ya sudahlah, jaga diri baik-baik. Kalo lagi nggak sibuk jangan lupa main ke sini.”“Baik, Om.”“Kalo butuh mobil bawa aja. Mobilnya Kaka ada tuh yang lagi nganggur. Pilih aja maunya yang mana.”“Sekali lagi makasih, Om, tapi aku dikasih mobil juga, sayang kalo dianggurin.”Selain apartemen, Alan juga meminjamkan salah satu mobilnya padaku untuk memudahkan transportasi selama di sini. Bodoh namanya kalau sampai kutolak.Suara klakson di depan pagar mengalihkan perhatian kami. Aku, Om Javas
Kami tiba di apartemen tempatku tinggal selama di Indonesia. Hunian itu berwarna putih bersih. Furniture yang mengisinya rata-rata juga berwarna aman."Aku nggak tahu kamu suka warna apa jadi kupilihkan saja warna-warna netral," kata Cataleya saat kami melewati sofa abu-abu lalu dia menuntunku mengikutinya. Dia mengajakku room tour mengitari setiap sudut apartemen."Ada satu kamar di sini, kamar mandi di dalam, dapur yang menyatu dengan ruang makan dan balkon." Bersama dengan kata terakhirnya kaki kami tiba di kamar. Lalu Cataleya membuka pintu balkon. Seketika udara segar menyergap masuk.Aku dan Cataleya berdiri di pinggir pembatas balkon memandang keramaian jalanan di bawah sana. Dari ketinggian lantai dua puluh semuanya tampak bagai kotak-kotak kecil."Fai, apa ada yang kurang?" Cataleya bertanya padaku sembari memutar tubuhnya menghadap ke arah kamar. Aku ikut melakukan hal yang sama."Sudah cukup," jawabku. "Kamu suka apartemennya?""Suka sekali." Aku mengacungkan jempol. Satu-
CATALEYAMalam ini akhirnya aku check out dari hotel ditemani Fai dan Rasti. Sejak tadi Rasti tidak pulang ke rumahnya. Dia selalu menempel pada Fai seperti lintah. Aku berpikir jangan-jangan sudah berhari-hari Rasti menginap di rumah Fai. Dan mereka hanya berdua. Mereka bisa melakukan segalanya.Lalu sekarang hatiku kembali diuji saat menyaksikan keduanya bermesraan di hadapanku. Fai menyetir. Rasti duduk di sebelahnya sambil sesekali menyandarkan kepala ke pundak Fai sedangkan aku duduk sendiri menjadi nyamuk di belakang. Saat Fai bersiul mengikuti musik dari audio mobil, Rasti ikut bersenandung kecil. Mereka terlihat begitu kompak dan mesra. Mereka selaras dan serasi. Keduanya couple goals abad ini yang pernah aku lihat.Setiba di rumah, Rasti mengatakan padaku bahwa aku harus pindah kamar."Leya, kamu tidur di kamar Cleo aja ya."Aku hanya bisa menurut apa kata tuan rumah. Aku hanya tamu di sini. Dan bisa kutebak Rasti akan tidur berdua di kamar Fai. Kenapa bukan aku saja yang ber
FAIAku menemukan Rasti dan Cataleya sedang berbincang di kamarku. Keduanya langsung menutup mulut rapat-rapat saat melihatku muncul.“Kok pada diam? Pasti tadi lagi ngomongin aku?” tudingku memandang keduanya bergantian.“Ih, GR!” Rasti mengelus pipiku mesra yang membuatku salah tingkah karena dia melakukannya di depan Cataleya.Sedangkan Cataleya hanya tersenyum tipis menyaksikan kami.“Dari mana aja sih tadi?”“Beliin apel buat Queen, sama buat Leya juga.” Aku menunjukkan dua bungkusan yang berbeda.Rasti menatapku penuh tanda tanya tapi tidak mengatakan apa-apa.“Queen itu kuda yang kamu pernah kamu ceritain ya, Fai?” tanya Cataleya menyela.“Yup. She is my girl.”“Nope. She’s not your girl anymore,” sanggah Rasti tidak setuju. “I’m your girl.” Dia melanjutkan sambil menyandarkan kepalanya ke perutku yang berdiri di dekatnya sedangkan kedua tangannya melingkariku dengan begitu protektif.Aku memaksakan senyum kaku. Situasi ini membuatku canggung.“Anyway, kamu udah makan, Leya?” A
CATALEYARasti lalu terdiam. Dia memandangku lekat dan dalam yang membuatku sedikit salah tingkah. Apa yang saat ini sedang dipikirkannya mengenaiku?"Cataleya, kamu ngerasa nggak sih kalau kita itu mirip?"Ternyata bukan hanya pikiranku. Rasti juga merasakannya."Dari awal tadi kita kenalan aku juga ngerasa gitu, Ras. Makanya aku heran."Rasti tersenyum. "Katanya ada tujuh kembaran kita di dunia. Jangan-jangan aku dan kamu adalah di antaranya," ucapnya berfilosofi."Bisa jadi sih,” jawabku setuju. Aku juga pernah mendengar mengenai hal tersebut. Dulu aku masih kurang percaya. Namun setelah bertemu dengan Rasti aku mulai meyakininya sedikit demi sedikit."Leya, kamu di Indonesia tinggal di mana?""Jakarta.""Kamu asli Indonesia?"Kalau sudah menyangkut mengenai silsilah dan asal usul terasa ada yang mengganjal di hatiku. Walau menyakitkan tapi aku nggak ingin mengingkari asal usulku. Aku ada di dunia karena kedua orang tuaku."Nggak juga. Aku ada darah Belanda."Pengakuan jujurku memb
CATALEYASaat pertama kali membuka mata yang tertangkap oleh lensaku adalah wajah cemas Fai dan kekasihnya. Sedangkan aku terbaring lemah dikelilingi keduanya. Menilik dari cat dinding ruangan ini aku yakin ini bukanlah hotel tempatku menginap."Fai, aku di mana? Aku kenapa?" suaraku lirih."Tadi kamu pingsan, Leya," jawab Fai memberitahu."Pingsan?" Dahiku berkerut.Aku memaksa otakku mereka ulang kejadian itu. Seingatku tadi aku numpang ke kamar mandi diantar Rasti. Lalu dia meninggalkanku sendiri. Setelah selesai buang air aku merasa kepalaku yang berat tidak hanya sekadar berat tapi juga pusing. Lalu setelahnya aku jatuh terkulai dalam keadaan duduk di depan pintu kamar mandi.Sontak aku memegang perut. Untung tadi aku tidak jatuh saat berdiri yang akan membahayakan calon anakku. Calon anak Fai. Calon anak kami berdua."Sudah ingat?" tanya Fai memandangiku.Kepalaku bergerak perlahan membentuk anggukan."Sekarang aku di mana?""Kamu di kamarku, Leya. Tadi aku menelfon dokter, tapi
CATALEYAGadis yang berdiri di hadapanku saat ini dengan hanya menggunakan sweatshirt dan loose pants terlihat begitu cantik kendati rambutnya terlihat kusut. Mungkin dia sedang tidur saat aku membunyikan bel.Siapa dia sesungguhnya? Fai bilang jika dia hanya dua bersaudara. Dan perempuan di hadapanku bukan Cleo. Fai pernah menunjukkan foto adiknya padaku yang jelas-jelas bukan gadis ini. Karena gadis di hadapanku ini terlihat memiliki sedikit kemiripan denganku. Hidungnya, bibirnya, terlebih matanya bagai meng-copy milikku. Yang berbeda dari kami adalah tubuhnya yang tidak seberisi aku.Kami saling menatap dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. Dia juga tampak bingung. Mungkin pikirannya sama denganku. Menyadari bahwa kami memiliki beberapa kesamaan.“Good morning, is this Fai’s House?” Aku menyapanya setelah terbangun dari ketermanguan.Gadis itu mengangguk sebelum berkata, “Who are you?”“I’m Cataleya from Indonesia.” Aku mengenalkan diri dengan ramah, tak lupa mema
FAIAku membiarkan Rasti pergi lalu memejamkan mata merenungi perbuatanku. Rasti mungkin akan merasa tersakiti kalau tahu aku menganggapnya sebagai Cataleya. Tapi jujur, aku tidak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian.Aroma chamomile kembali menyerbu hidungku bersamaan dengan suara gadisku.“Fai, someone is looking for you.”CATALEYAAku tersentak ketika mendengar suara alarm. Spontan tanganku meraba-raba mencari ponsel. Tadi aku memang menyalakan alarm karena takut kebablasan tidur sampai sore.Sambil menutupi mulut yang menguap dengan telapak tangan, aku mematikan alarm. Tidur hanya satu jam tidak membantu memulihkan tenagaku. Kepalaku terasa berat serta ingin muntah. Entah ini karena jet lag atau karena pengaruh kehamilanku.Dan aku benar-benar muntah ketika masuk ke kamar mandi. Saat berkaca di cermin aku melihat mukaku pucat selain pipiku yang tampak lebih berisi dari sebelum hamil dulu.Wajah Fai melintas seketika.Pikiran-pikiran tentang bagaimana reaksinya setelah tahu men
FAIKamarku terasa begitu dingin walau pendingin udara tidak menyala. Sampai saat ini musim dingin masih berlangsung yang menurut prediksi baru akan selesai akhir Maret nanti.Aku merapatkan selimut lalu menyambung tidur yang belum puas. Hari ini aku akan tidur seharian. Mumpung hari libur, mumpung nggak ada Mama Papa. Sejak kemarin kedua orang tuaku itu pergi. Papa mengajak Mama ke Arizona untuk menyaksikan pertandingan basket klub favorit mereka berdua, Phoenix Suns.Dengan mata terperjam, dahiku mengenyit saat merasakan ada tangan melingkupi tubuhku. Seseorang memelukku dari belakang.Baru akan menebak siapa dia, dengan cepat indera penciumanku mengenali aromanya. Aku sudah sangat hafal bau chamomile yang saat ini terhirup oleh hidungku.“Guess what?” Bisikan lembut itu tertangkap gendang telingaku.“Definitely my queen,” jawabku asal dengan bibir melengkungkan senyum.Rasti tertawa yang mengukuhkan dugaanku bahwa itu adalah dia. Pelukannya bertambah erat di tubuhku.“Fai, Tante Zo
CATALEYAAngin dingin menyampaikan selamat datang padaku saat aku menginjakkan kaki di Dulles International Airport. Aku merapatkan long coat yang membungkus tubuhku sejak di pesawat.Berdasarkan petunjuk dari Devanka, aku langsung mencari taksi untuk kemudian menuju alamat hotel yang diberikannya.Badanku terasa remuk akibat penerbangan panjang yang melelahkan. Seharusnya aku tiba sejak kemarin malam. Namun, penerbangan terasa lebih panjang karena transit di Doha berjam-jam lebih lama dari yang seharusnya.Semakin jauh meninggalkan bandara, suasana tidak lagi seramai tadi. Beberapa kendaraan masih terlihat di jalan raya namun tidak sepadat tadi. Aku mengambil ponsel lalu membuka Maps untuk mengetahui posisiku saat ini. Sekitar tiga kilometer lagi aku akan tiba di One Season Hotel. Bersamaan dengan itu detak jantungku mulai mengencang. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Fai. Aku akan berterus terang padanya mengenai keadaanku tanpa ada satu pun yang di-skip.“We’ve arrived.”Perkat
FAI"TPOA ngadain kompetisi, kamu nggak mau ikut?"Aku mengangkat wajah dari balik kamera lalu memindahkan pusat atensi pada Papa yang mengajakku bicara. TPOA adalah nama salah satu komunitas fotografi profesional di Amerika yang sering mengadakan lomba atau kompetisi foto bergengsi."Boleh, Pa. Temanya apa?""Her little food."Jawaban Papa membuatku mengernyit. Dulu waktu masih muda Papa sering sekali ikut kompetisi dan berkali-kali memenangkannya. Dari sana karir fotografi Papa berkembang sampai Papa menjadi seorang fotografer profesional dengan segudang penghargaan dan pengalaman."Kenapa, Fai?” tanya Papa heran menyaksikan ekspresiku."Lagi nggak ada ide, Pa.""Gampang kok. Cuma mesti ada her and food.""Wajib banget ada her nya, Pa? Kalau cuma food gimana?"Papa tertawa. "Ya nggak sesuai tema namanya. Foto-foto lama juga nggak apa-apa. Coba submit aja dulu.""Deadline-nya kapan?""Tiga hari lagi.""Telat banget Papa ngasih taunya,” kataku menyesalkan."Papa lupa, apalagi sekarang