“Ke mana Gabriel dan kekasihnya?” gumam Maria yang sejak tadi tak mendapati cucu kesayangannya itu duduk bersamanya. Padahal sejak siang tadi, ia sudah meminta Gabriel untuk membawa kekasihnya duduk di sampingnya.
Seorang pria berwajah keriput yang berada di belakang Maria mengulum senyum mendengar gumaman wanita itu.
“Clara,” panggil Maria kepada gadis bergaun Navy yang tak jauh darinya.
“Ya, Grandma.”
“Kau melihat di mana Kakakmu berada?”
“Kak Gabriel? Atau Kak Chris dan Delio?” tanya Clara.
“Gabriel.”
Gadis cantik itu menggeleng. “Clara belum melihatnya, Grandma.”
Dahi Maria mengernyit. “Kalau Grandpa?”
Di belakang Maria, William mengisyaratkan gelengan kepala pada Clara. Namun, gadis dua puluh satu tahun itu malah menunjuk ke arahnya.
Maria berdecak sebal. Bisa-bisanya sang suami berdiri di belakangnya saat ia kebin
Suasana pesta semakin meriah. Gabriel yang berpamitan menyapa beberapa relasi bisnisnya sejak tiga puluh menit yang lalu belum juga kembali.Sosok gadis yang sudah merasa tak nyaman karena tatapan para tamu memilih mundur. Berjalan ke belakang, menuju toilet.Embusan napas kasar sesekali terdengar kala ia menyusuri sebuah lorong menuju toilet wanita. Tak jarang ia mendapati beberapa wanita yang memandangnya tak suka.Tak usah menebak. Ini adalah salah satu akibat karena Gabriel melamarnya di atas panggung.Bayangkan saja. Bagaimana ia bisa menghadapi keadaan di luar sana setelah hal ini tersebar di berbagai media cetak dan elektronik?“Semuanya akan menjadi sulit,” gumamnya seorang diri.Masuk ke salah satu bilik toilet, gadis pemilik nama Becca itu mendengar samar-samar tangis seorang perempuan. Ia ingin abai, tapi saat nama Gabriel disebut, sudut hatinya terasa nyeri.‘Aku adalah perusak hubungan dua orang yang tel
“Lain kali ikutlah ke mana pun aku pergi agar hal-hal seperti ini tak terulang lagi.”Gadis bermata cokelat itu berkaca-kaca. Hatinya tersentuh mendengar ucapan Gabriel.“Jangan menangis!” Gabriel melirih. Kembali mengecup punggung tangan Becca lebih lama.“Sir?”Seulas senyum tersungging di bibir Gabriel. Ia memajukan wajahnya. Memberikan satu kecupan di bibir merah itu. Hanya seringan bulu, tapi mengantarkan sengatan listrik yang membuat darah Becca berdesir.“Aku akan menjagamu dan menyayangimu,” janji Gabriel tepat di depan wajah Becca yang berubah sendu.Mereka saling menatap untuk menyelami sedalam apa perasaan masing-masing. Meyakinkan bahwa ada satu hal yang bisa dijadikan alasan untuk tetap bisa bersama. Apa pun statusnya.“Percayakan padaku!” pinta Gabriel dengan sungguh-sungguh. “Tetaplah di sampingku, apa pun yang terjadi.”Permintaan itu menghu
Tubuh mungil Becca menggeliat di dalam pelukan Gabriel saat desakan alamiah tak bisa ditunda lagi. Ia membuka mata dan berusaha melepaskan diri dari dekapan hangat pria dengan deru napas teratur itu.Ia merasa lega karena bisa lepas tanpa membangunkan Gabriel yang masih tidur dengan nyenyak. Namun, alih-alih segera bangkit dan pergi ke kamar mandi, ia mengamati lebih lekat pada wajah damai Gabriel. Mengingat semalam, wajah itu terlihat dingin dan sangat mengerikan.Gadis bermata cokelat itu mengingat betul bagaimana marahnya Gabriel pada pria yang hampir menamparnya. Kemarahan itu pun harus diredakan dengan percintaan yang tak cukup hanya sekali, tapi berlangsung hampir sepanjang malam.Katakan Becca sudah gila telah masuk dan jatuh hati begitu dalam pada Gabriel. Padahal jelas-jelas pria itu belum pernah menyatakan cinta padanya.“Apa pun yang terjadi ... aku akan berada di sampingmu, Gabriel.”Seolah itu adalah jawaban dari pernyataan
“Ahh!” Becca memekik kencang kala tubuhnya diangkat tanpa aba-aba oleh Gabriel yang entah kapan sudah berada di belakangnya.Kedua tangan mungilnya memukul bahu Gabriel sebagai penyaluran rasa kesalnya. “Anda mengagetkan saya, Sir!” ucapnya menggebu dengan debaran dada yang menggila.Gabriel terkekeh. Merasa tak bersalah dan membawa wanita itu duduk di pangkuannya. Mengunci semua pergerakan dengan mengistirahatkan tangannya di lingkar pinggang ramping itu.“Sir?” Becca melirih. Ia masih belum bisa menyesuaikan keadaan intim seperti ini jika dalam kesadaran penuh.Sepasang mata Gabriel berkedip dengan satu sudut bibir tertarik ke atas, melihat wanita di pangkuannya ini sangat menggemaskan.Lihatlah bagaimana tubuh mungil itu menggeliat untuk melepaskan diri.“Panggil namaku,” bisik pria itu lirih di dekat telinga Becca.“Ga-Gabriel.”“Ya, seperti itu.” Satu
“Gerald.”“Hm.” Kecupan bertubi-tubi dari bibir Gerald mendarat sempurna di puncak kepala Lucia. Wanita yang kini berada di dalam dekapan pria itu semakin mengeratkan tangannya.Sungguh! Hari ini bagaikan mimpi yang tak ingin ia akhiri. Bagaimana bisa pria itu sudah berada di dekatnya sekarang?“Apa yang sedang kau pikirkan, Honey?” tanya Gerald dengan suara beratnya. Seraya membelai punggung polos wanita itu, ia tak mengurangi ekstensi kecupannya.“Aku masih tidak percaya dengan hari ini.” Desahan Lucia tertahan di pangkal tenggorokannya. “Aku –“Gerald menarik kepala Lucia dengan lembut. Membuat pandangan wanita itu berfokus padanya.“Aku di sini, Lucia. Aku ... di sini.” Tatapan mata Gerald memaku bola mata Lucia. Tanpa berkedip, ia memandang cukup lama hingga kembali menutup mata sejenak untuk melabuhkan satu kecupan lembut di bibir tipis Lucia yang membuka.
“Aku tidak mau tau. Bereskan semua berita itu saat ini juga!” ucap Gabriel dengan rahang mengeras pada lawan bicaranya di seberang sana.“...”“Semuanya. Jangan sampai ada yang masih tersisa! Cari pelakunya dan bawa ke hadapanku secepatnya!” Gabriel langsung mematikan ponsel setelah selesai berbicara. Ia meletakkan benda itu asal dan segera menghampiri Becca yang saat ini masih terisak.Sial! Harusnya ia tadi segera menyusul gadis itu ke kamar.“Ssst ...” Gabriel yang sudah duduk di samping Becca mendesis pelan. Menggenggam lembut kedua tangan mungil yang bergetar itu. Berusaha untuk menenangkan perasaan wanitanya. “Jangan khawatir, Baby. Aku akan membereskan semuanya.”Dengan air mata yang mengalir deras dan hidung memerah, Becca menatap bola mata Gabriel, rapuh.“Be-berita itu ... ti-tidak benar, Gabriel. I-itu –““Ssst ...” Gabriel merai
Suara dengkuran lembut dari wanita dengan tubuh polos yang berada dalam dekapan Gabriel, cukup menjadi bukti bahwa ia sudah terlelap. Setelah percintaan panas mereka kedua kalinya, wanita berwajah sembab itu memejamkan matanya begitu saja setelah Gabriel mendapatkan pelepasannya.“Kau itu menggemaskan sekali, Baby.” Itulah pujian yang Gabriel agungkan tatkala mendapati hal-hal seperti saat ini.Lihat saja! Bahkan pria bertubuh polos dan penuh keringat itu belum menarik kejantanannya yang telah layu.Satu kecupan mendarat bebas di atas bibir tipis yang sedikit membuka. Ia menarik diri dan meraih satu kotak tisu untuk membersihkan sisa-sisa cairan cinta di seputar area feminin wanitanya.Tak lama kemudian, suara getaran ponsel di atas nakas mengalihkan fokus sepasang matanya yang memandangi keindahan di hadapannya. Ia mengulurkan tangan dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.“Selamat malam, Tuan. Saya sudah membereskan
Sebuah mobil Maybach Axelero memasuki halaman rumah yang dijaga beberapa pria berbaju hitam. Mobil itu berhenti di dekat mobil fan hitam yang berjejer rapi.“Selamat pagi, Tuan.” Salah satu pria itu segera mendekat kala Gabriel membuka pintu mobilnya.“Di mana Peter?”“Ada di dalam, Tuan. Mari saya akan mengantar Anda.” Pria berbaju hitam yang merupakan salah satu anggota pengawal itu menyilakan Gabriel berjalan lebih dulu.Setelah melewati ruangan luas yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para pengawal, Gabriel di persilakan memasuki satu ruangan di mana Peter berada.“Selamat pagi, Tuan Muda,” sapa Peter seraya membungkukkan badannya.“Bagaimana?” tanya Gabriel tanpa melepaskan tatapan mata tajamnya ke arah pria yang sedang berada di dalam ruangan berkaca dengan keadaan terikat.“Sampai saat ini dia tidak mau mengaku, Tuan. Dia hanya diam ketika saya memperlihat
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen