“Bagaimana Tuan Haris? Apakah semua bukti di sini cukup untuk menyeret Stella Allison dan Gerald Franklin membusuk di jeruji besi?” tanya Alex tak sabaran.
Sepuluh menit yang lalu, Vivi mengabarkan bahwa Gerald Franklin akan ke New York, malam nanti menggunakan pesawat komersil.
“Sudah Mr. Johnson. Kita tinggal menunggu Gerald Franklin tiba di New York dan tim saya akan bergerak. Kami akan membagi dua tempat penangkapan, di bandara dan kediaman Stella Allison.” jawab Haris, salah satu petugas kepolisian yang akan membantu Alex menyelesaikan kasus ini ke meja hijau.
Selain itu, Alex sudah menyiapkan lebih dari sepuluh pengacara untuk menjebloskan sepasang manusia iblis ke jeruji besi selamanya.
“Untuk Jennifer apakah dia bisa mendapat keringanan?” tanya Alex.
“Melihat dari semua data ini, kemungkinan dia akan menjadi tahanan luar, yang mana tidak diperkenankan meninggalkan Amerika dalam jangka waktu tertentu,” jawab Haris, yakin.
Alex m
“Apa ini tawaran?” tanya Adelia seraya memberikan elusan di dada Alexander. “Ini bukan sekedar tawaran,” jawab Alex dengan kedua mata terpejam menikmati sentuhan Adelia. “Oh ya?” tanya Adelia sanksi. Ia mengulurkan tangannya menarik ikat pinggang Alex dengan gerakan perlahan. Alex membuka matanya yang berkabut gairah. “Kamu tidak percaya padaku?” tanya Alex seraya memajukan wajahnya. Tangannya terulur meraih pipi Adelia dan memberikan kecupan-kecupan basah di seluruh wajah sang istri. “Ha ha ha, ini menggelikan, Hubby,” jawab Adelia terkikik karena bulu halus di rahang Alex yang terasa menggelitik kulit pipinya. “Tapi aku menyukainya, Baby. Kamu akan mendesah saat bulu halus ini menggesek di sana,” ucap Alex sambil mengerling nakal. “Benarkah? Kenapa aku mendadak lupa, ya?” goda Adelia yang membuat Alexander menjadi geram. “Aku akan membuktikannya dan kamu tidak akan bisa mundur setelahnya,” ucap Alex penuh penekanan syarat gai
Gerald masuk ke mansion miliknya dengan wajah berantakan dan tampang kusut. Beberapa pelayan serta penjaga tak berani bertanya lebih banyak karena takut mendapat amukan darinya. Gerald menatap nanar pintu kamar Fiona yang masih tertutup. Ada penyesalan dan kesedihan yang memenuhi hatinya. “Maafkan kakak, Fio?” gumam Gerald yang berusaha menahan laju air matanya. Sulit memang. Apalagi gadis itu adalah anggota keluarganya yang tersisa. Lalu ia memutuskan untuk masuk ke kamarnya sendiri, melihat USB pemberian Adam. Sepuluh jari Gerald menari di atas keyboard dan membuka dokumen yang terpampang di layar laptopnya. Lebih dari sepuluh dokumen yang tersemat. Ia mulai membuka dari urutan paling atas. Rahang Gerald mengeras ketika dokumen itu terbuka. Ia kembali melihat yang lain. Tapi semuanya mampu membuat kemarahan pria itu meledak. “ARGHHH!” pekik Gerald seraya membuang laptop ke lantai. “Sialan kau Adam!” Gerald memesan tiket p
“Terima kasih, Hubby,” ucap Adelia yang kini membenamkan wajahnya di dada Alex yang masih berkeringat. “Untuk apa?” tanya Alex seolah tak mengerti. Adelia mendongak, menatap kedua mata Alex yang juga menatapnya. “Untuk semuanya. Terutama untuk Jenny,” ucapnya bahagia. Alex menjatuhkan kecupan di bibir Adelia yang membengkak. “Tapi itu semua tidak gratis, Baby.” “M-maksudmu apa?” “Kamu harus membayarnya.” Adelia semakin tak mengerti ke mana suaminya bicara. Biasanya ia akan cepat tanggap jika Alex mulai memberi umpan. Tapi kali ini otak cantiknya tak bisa menebak. “Lalu, aku harus membayar menggunakan apa?” Adelia menyerah. Tenaganya sudah habis dan otaknya tak mau berpikir lagi. Alex menarik dagu Adelia. Memaku kedua mata wanita itu hanya untuk memandangnya seorang. “Kamu harus menjadi istriku selamanya, Baby. Bahkan jika kita dilahirkan kembali di dunia yang berbeda. Kamu harus menjadi milikku.” ucap Alex
Gerald menatap malas kepada seorang wanita mengunjunginya. Ia mengambil tempat duduk yang disediakan dan mengambil gagang telepon agar mendengar apa yang wanita itu ucapkan. “Sepertinya kau baik-baik saja di sini.” “Memang aku harus bagaimana? Harus menangis atau bunuh diri?” balas Gerald santai. “Lupakan dendammu, Gerald! Semua yang kau dengar tidak benar. Aku sudah mengumpulkan semua bukti asli dari kasus Ibumu.” Gerald membulatkan kedua matanya. Ekspresi malas yang sempat ia tunjukkan berganti dengan cepat. “Benarkah?” Wanita itu mengangguk. “K-kamu tidak berbohong?” tanya Gerald seraya bangkit dari kursinya karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Aku tidak pernah membohongimu, Gerald. Aku sudah memastikan semuanya sebelum mengatakan padamu,” ucapnya bersungguh-sungguh. “Aku akan menunggumu keluar dari sini dan menunjukkan semuanya padamu,” ucap wanita itu sambil mengelus perut ratanya
“Kosongkan jadwalku Jumat besok, Tom!” “Baik, Mr. Johnson. Apa ada lagi yang Anda perlukan?” “Datanglah ke rumah malam nanti! Ada yang ingin Daddy bicarakan denganmu,” “Ada apa?” tanya Tommy heran. Helaan nafas Alex terdengar. “Datang saja. Nanti kau akan tahu sendiri.” “Baiklah. Saya permisi Mr. Johnson, mari Mrs. Johnson.” Tommy keluar, meninggalkan ruangan Alexander. Adelia yang baru saja keluar dari kamar pribadi Alex mengambil tempat duduk di paha sang suami. “Ada apa Daddy memanggil Tommy?” “Mungkin akan dinikahkan dengan Jenny,” jawab Alex, santai. “Menikah?” beo Adelia bingung. “Tommy dan Jenny?” Alex memberikan kecupan di bibir Adelia yang terpulas lipstik merah. “Kamu tidak ingin menjelaskan padaku?” selidik Adelia seraya mengerucutkan bibirnya. Alex tertawa. “Daddy ingin tahu seberapa dekat hubungan Tommy dengan Jenny.” “Sejak kapan mereka dekat?” tanya Adelia heran.&nb
Terima kasih aku ucapkan kepada pembaca setia kisah Adelia Giovanni dan Alexander Johnson sejauh ini.Besar harapanku agar bisa update setiap hari, namun karena akhir-akhir ini pekerjaan terlalu padat, menyebabkan aku lambat update nya. Mohon dimaklumi ya readers.Jika kalian menyukai cerita ini, bisa bantu author untuk memberikan ulasan positif dan rate bintang lima di depan cover. Aku selalu membaca komentar-komentar kalian, entah itu di bab atau di depan cover.Pemberitahuan update aku tulis di Page official : Kumpulan Novel AR_Merry, Inst@gram : ar_merry92, dan F@cebook : Merry Anna.Ke depannya, aku akan merevisi pelan-pelan pada bab sebelumnya yang ada kalimat rancu ataupun typo yang mengganggu.Jangan lupa mampir ke ceritaku lainnya ya, Kak.1) My Destiny (Tamat/masih masa revisi)2) My Sweet Wife (On going)3) Perjalanan Cinta Nana (On going) akan mulai aku kerjakan bulan Desember. Kalian bisa menambah
“A-Apa Dad?” William membuka matanya. Menatap putri kesayangannya dengan tatapan lembut seorang ayah. “Kalian harus menikah secepatnya.” Kali ini Jenny tak akan merasa salah mendengar atau pun berkhayal. Ucapan William kedua kalinya cukup membuatnya percaya. Ini sebuah kenyataan. “Daddy tidak salah bicara?” tanya Jenny hati-hati. Alih-alih menjawab, William malah melayangkan pertanyaan lain.“Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengannya?” Jenny gugup. Bukannya ia tak mau menikah. Hanya saja, ia takut jawabannya akan diputar balikkan oleh Daddynya. Seperti tadi.Tak ubahnya dengan Tommy yang juga gugup. Sungguh memalukan bukan? Untuk ukuran pria yang selalu bermain wanita, dia bisa merasakan gugup hanya karena pertanyaan itu. Jelas saja gugup. Bagaimanapun juga, dia ini meminta seorang putri kesayangan dari ayahnya. Dan yang lebih parah, sang ayah seperti memainkan ucapannya. “Kalau kamu tidak mau ...” “Jen
Jenny tak henti-hentinya melebarkan senyuman di bibirnya. Tentu saja itu merujuk pada jawaban Tommy 3 jam yang lalu. Sebuah jawaban yang membuatnya bahagia dan terharu. Dalam mimpinya, ia tak membayangkan jika jodoh yang diimpikan selama ini, sudah berada di dekatnya sejak dulu. Tiga jam yang lalu .... “Saya ....” Tommy menatap Jenny yang tersenyum kepadanya. Dalam satu tarikan nafas dan penuh keyakinan, pria itu lanjut berkata. “Siap menikahi Jenny sesuai keinginan Anda.” Tak ada yang bisa mengukur seberapa bahagianya perasaan Jenny. Pun juga dengan Tommy. Karena perasaan, hanya mereka berdua yang tahu. Tanpa basa-basi Jenny bangkit dan berhambur ke arah Tommy. Memeluk pria itu seerat mungkin. Bahkan tak segan-segan ia memberikan kecupan di bibir Tommy. “I Love You, Honey,” bisik Tommy lirih di dekat bibir Jenny. Wajah Jenny memerah. Panggilan kesayangan yang pria itu berikan mampu membuat gadis itu tersipu.
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen