Pagi kembali hadir dengan begitu cepat. Diana yang tahu jika Nicholas telah kembali dari perjalanan bisnis segera datang ke rumah Margaret pagi-pagi sekali. Wanita itu bahkan sudah membawa beberapa hadiah untuk kekasihnya dan calon ibu mertuanya.Jangan lupa penampilannya seperti seorang pengantin. Cantik dan begitu anggun.“Selamat pagi, Ibu,” kata Diana pada Margaret yang pertama kali membuka pintu untuknya.Wanita itu melihat penampilan kekasih putranya yang terlihat aneh. Namun, ia mencoba mengabaikannya.“Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Margaret sinis, ia bahkan masih memegang pinggiran pintu agar Diana tidak masuk ke dalam rumahnya.“Tentu saja mencari calon ayah anakku,” kata Diana dengan jawaban tak kalah sinisnya, “lebih baik singkirkan tanganmu sebelum aku melakukan hal yang tak kau bayangkan.”Mata margaret terbelalak dengan mulut terbuka karena begitu syok dengan jawaban Diana yang terdengar kasar padanya. Wanita tua itu sampai terhuyung ke belakang tatkala dengan pa
“Apa katamu?”Diana terbelalak dengan ucapan Nicholas yang begitu mengejutkan, “Kita akan menjadi orang tua. Anak kita akan lahir dan kau bilang aku tidak waras?”“Aku tidak mau tahu, kita harus mencari rumah dan menyiapkan semua kebutuhan anak kita,” putus Diana sepihak.Nicholas membuang napas kasar, melirik perut Diana yang makin terlihat, sementara ia masih terganggu dengan ucapan Tiana beberapa saat yang lalu, “Biarkan aku bicarakan ini pada ibu dulu, dia sudah tua dan—”“Terserah kau saja, tapi aku tidak ingin ibu serumah dengan kita.”Nicholas menoleh cepat. “Apa kau bilang?”Membuang napas frustasi, Diana membalas tatapan Nicholas, “Ibu tidak menyukaiku, aku khawatir kehamilanku terganggu karena kami saling bersitegang.”“Kau tidak berusaha dengan baik, Diana. Ibu sangat baik jika kau bisa merebut hatinya seperti Rose,” kata Nicholas tanpa sadar.“Rose?” ulang Diana geram, “kita baru saja menikah dan kau bisa menyebut Namanya di hadapanku?”Tersadara dengan kata-katanya, Nicho
“Kau yakin?” tanya William dengan wajah mengetat.Dokter dengan usia separuh dari usia neneknya itu mengangguk. “Jika kau tidak percaya, lebih baik bawa dia langsung ke rumah sakit. Aku khawatir pada kondisinya.”William mengusap wajah kasar, ia tidak mengira jika rasa khawatirnya semakin membuatnya sesak napas. Ia berdiri, menatap dokter keluarganya yang ikut berdiri mengikuti dirinya.“Aku akan kirim tagihannya,” kata William berjalan lebih dahulu ke lantai atas.“Apa apa dengannya, kenapa wajahnya tidak terlihat senang,” kata sang dokter kebingungan. Ia meraih tas miliknya kemudian berjalan keluar dengan langkah yang pasti.Sementaa itu, di lantai atas. William yang baru saja membuka pintu di kejutkan oleh Rose yang baru saja kedua dari kamar mandi. Wanita itu menatapnya bingung.“Ada apa?” tanya Rose berjalan dengan handuk kecil di tangannya.“Bagaimana keadaanmu?” William berjalan ke arah sang istri yang masih terlihat pucat. Ia masih bingung, kenapa Rose bisa hamil sedangkan di
William dengan tergesa turun dari lantai atas setelah membersihkan diri. Sudah hampir setengah jam, tetapi Ethan belum juga menelpon dan memberinya kabar tentang keberadaan Rose.“Pak sarapan Anda,” kata pelayan mengingatkan.William berbalik, ia menatap dingin pada pelayan wanita yang diminta untuk memenuhi kebutuhan Rose selama ini. “Apa kau tidak bisa mencegahnya untuk tidak pergi?”“Maafkan saya Pak,” katanya seraya menunduk.William membuang napas panjang, ia kembali meneruskan langkahnya karena ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ia juga yakin jika Ethan sudah siap menunggunya di tempat tujuan.“Aku akan memaafkanmu jika itu bukan rumah ibu Nicholas, Rose. Tapi, jika itu rumah wanita itu, aku berjanji akan mengirim mereka semakin jauh dari tempat ini.”William meminta supir membawanya ke tempat yang telah dijanjikan. Urusan Rose biar anak buah Ethan yang mencarinya hingga ketemu.Di tempat yang berbeda, Rose yang sudah sampai beberapa menit yang lalu, terlihat menikm
Di gedung tinggi yang menjulang kokoh, pria dengan kemeja abu-abu mengusap wajah dengan kasar. Ia membuang napas berulang kali setiap kali mengingat sang istri dan ibunya yang tidak bisa akur. Pintu ruangan terbuka setelah diketuk. Nicholas menyambut tamunya dengan senyum tipis.“Apakah saya mengganggu Anda?” Edwin masuk dan menatap wajah Nicholas yang terlihat kusut, “apa ada masalah serius?”Nicholas mempersilakan Edwin duduk, “Duduklah! Saya merasa tatapan Anda semakin terlihat aneh.”Edwin terkekeh, ia semakin menggeser duduknya lebih dekat. “Aku datang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Anda Pak.”Nicholas mengerutkan kening, bingung karena Edwin bisa tahu sebelum ia menyebarkannya sendiri. Sekarang ia tahu, kenapa karyawan lainnya menatapnya seraya berbisik sejak kedatangannya.“Saya dan anak-anak yang lain sudah sepakat untuk merayakan ini, Pak,” sambung Edwin dengan wajah cerah, “sepulang kerja nanti, kita semua makan bersama dan Anda yang traktir.”Nicholas sampai terb
“Tentu saja, kau meragukan kemampuanku dan aku tersinggung.”Rose memutar mata malas, ia mengambil pisau dan memotong roti dengan tidak sabar. “Ini sangat enak dari wangi ya.”William mengangguk. “Tentu saja, sudah aku katakan, aku berbakat dalam apa pun.”Satu potong kecil masuk ke dalam mulut. Rose menatap William dengan tatapan curiga, “Ini enak.”William menjentikkan jari dengan semangat. “Sudah tidak diragukan lagi bukan, ini enak Nyonya.”Rose terkekeh kembali, “Terima kasih, kau pasti sudah berjuang dengan sangat keras untuk roti yang enak ini.” William menarik kursi untuk istrinya, membantu Rose untuk duduk dengan ayam sembari menikmati roti panggang yang masih panas. “Ah, aku melupakan sesuatu,” kata William segera beranjak dari posisinya.Dengan mulut yang masih terisi dengan roti hangat, Rose kembali dikejutkan dengan apa yang ada di tangan William saat ini. Dua gelas minuman yang keduanya sangat ia sukai.“Willie, kau yang membuat ini semua?” Rose meraih gelas susu yang
Suara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer. “Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya meng
“Ah …,” lenguhan lembut terdengar begitu indah. Tubuh yang masih dipenuhi dengan keringat terbaring dengan napas memburu. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. “Nicholas, aku sudah katakan, aku bukan wanita bodoh, aku hebat,” gumamnya dengan bibir tersenyum kecil. Si pria yang masih berada di atasnya kini membaringkan tubuh, menempelkan kulit basah mereka berdua. “Dia bermain denganku, tetapi masih menyebut nama pria lain,” decaknya dengan napas yang sama memburu. Karena lelah, ia memejamkan mata dengan sebelah tangan berada di atas kepala. Bibirnya tersenyum kecil membayangkan panasnya permainan mereka. “Gadis bodoh,” imbuhnya sekali lagi sebelum ia benar-benar tak tertidur karena kantuk. Di tempat yang lain, Nicholas tengah mengumpat karena mendapatkan telepon dari ibunya. “Kemana dia?” geram Nicholas mematikan ponselnya, berjalan ke arah kamar di mana masih ada Diana dengan wajah yang muram. “Kenapa masih saja memikirkan dia, Nich. Bukankah kau sudah memutus
“Tentu saja, kau meragukan kemampuanku dan aku tersinggung.”Rose memutar mata malas, ia mengambil pisau dan memotong roti dengan tidak sabar. “Ini sangat enak dari wangi ya.”William mengangguk. “Tentu saja, sudah aku katakan, aku berbakat dalam apa pun.”Satu potong kecil masuk ke dalam mulut. Rose menatap William dengan tatapan curiga, “Ini enak.”William menjentikkan jari dengan semangat. “Sudah tidak diragukan lagi bukan, ini enak Nyonya.”Rose terkekeh kembali, “Terima kasih, kau pasti sudah berjuang dengan sangat keras untuk roti yang enak ini.” William menarik kursi untuk istrinya, membantu Rose untuk duduk dengan ayam sembari menikmati roti panggang yang masih panas. “Ah, aku melupakan sesuatu,” kata William segera beranjak dari posisinya.Dengan mulut yang masih terisi dengan roti hangat, Rose kembali dikejutkan dengan apa yang ada di tangan William saat ini. Dua gelas minuman yang keduanya sangat ia sukai.“Willie, kau yang membuat ini semua?” Rose meraih gelas susu yang
Di gedung tinggi yang menjulang kokoh, pria dengan kemeja abu-abu mengusap wajah dengan kasar. Ia membuang napas berulang kali setiap kali mengingat sang istri dan ibunya yang tidak bisa akur. Pintu ruangan terbuka setelah diketuk. Nicholas menyambut tamunya dengan senyum tipis.“Apakah saya mengganggu Anda?” Edwin masuk dan menatap wajah Nicholas yang terlihat kusut, “apa ada masalah serius?”Nicholas mempersilakan Edwin duduk, “Duduklah! Saya merasa tatapan Anda semakin terlihat aneh.”Edwin terkekeh, ia semakin menggeser duduknya lebih dekat. “Aku datang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Anda Pak.”Nicholas mengerutkan kening, bingung karena Edwin bisa tahu sebelum ia menyebarkannya sendiri. Sekarang ia tahu, kenapa karyawan lainnya menatapnya seraya berbisik sejak kedatangannya.“Saya dan anak-anak yang lain sudah sepakat untuk merayakan ini, Pak,” sambung Edwin dengan wajah cerah, “sepulang kerja nanti, kita semua makan bersama dan Anda yang traktir.”Nicholas sampai terb
William dengan tergesa turun dari lantai atas setelah membersihkan diri. Sudah hampir setengah jam, tetapi Ethan belum juga menelpon dan memberinya kabar tentang keberadaan Rose.“Pak sarapan Anda,” kata pelayan mengingatkan.William berbalik, ia menatap dingin pada pelayan wanita yang diminta untuk memenuhi kebutuhan Rose selama ini. “Apa kau tidak bisa mencegahnya untuk tidak pergi?”“Maafkan saya Pak,” katanya seraya menunduk.William membuang napas panjang, ia kembali meneruskan langkahnya karena ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ia juga yakin jika Ethan sudah siap menunggunya di tempat tujuan.“Aku akan memaafkanmu jika itu bukan rumah ibu Nicholas, Rose. Tapi, jika itu rumah wanita itu, aku berjanji akan mengirim mereka semakin jauh dari tempat ini.”William meminta supir membawanya ke tempat yang telah dijanjikan. Urusan Rose biar anak buah Ethan yang mencarinya hingga ketemu.Di tempat yang berbeda, Rose yang sudah sampai beberapa menit yang lalu, terlihat menikm
“Kau yakin?” tanya William dengan wajah mengetat.Dokter dengan usia separuh dari usia neneknya itu mengangguk. “Jika kau tidak percaya, lebih baik bawa dia langsung ke rumah sakit. Aku khawatir pada kondisinya.”William mengusap wajah kasar, ia tidak mengira jika rasa khawatirnya semakin membuatnya sesak napas. Ia berdiri, menatap dokter keluarganya yang ikut berdiri mengikuti dirinya.“Aku akan kirim tagihannya,” kata William berjalan lebih dahulu ke lantai atas.“Apa apa dengannya, kenapa wajahnya tidak terlihat senang,” kata sang dokter kebingungan. Ia meraih tas miliknya kemudian berjalan keluar dengan langkah yang pasti.Sementaa itu, di lantai atas. William yang baru saja membuka pintu di kejutkan oleh Rose yang baru saja kedua dari kamar mandi. Wanita itu menatapnya bingung.“Ada apa?” tanya Rose berjalan dengan handuk kecil di tangannya.“Bagaimana keadaanmu?” William berjalan ke arah sang istri yang masih terlihat pucat. Ia masih bingung, kenapa Rose bisa hamil sedangkan di
“Apa katamu?”Diana terbelalak dengan ucapan Nicholas yang begitu mengejutkan, “Kita akan menjadi orang tua. Anak kita akan lahir dan kau bilang aku tidak waras?”“Aku tidak mau tahu, kita harus mencari rumah dan menyiapkan semua kebutuhan anak kita,” putus Diana sepihak.Nicholas membuang napas kasar, melirik perut Diana yang makin terlihat, sementara ia masih terganggu dengan ucapan Tiana beberapa saat yang lalu, “Biarkan aku bicarakan ini pada ibu dulu, dia sudah tua dan—”“Terserah kau saja, tapi aku tidak ingin ibu serumah dengan kita.”Nicholas menoleh cepat. “Apa kau bilang?”Membuang napas frustasi, Diana membalas tatapan Nicholas, “Ibu tidak menyukaiku, aku khawatir kehamilanku terganggu karena kami saling bersitegang.”“Kau tidak berusaha dengan baik, Diana. Ibu sangat baik jika kau bisa merebut hatinya seperti Rose,” kata Nicholas tanpa sadar.“Rose?” ulang Diana geram, “kita baru saja menikah dan kau bisa menyebut Namanya di hadapanku?”Tersadara dengan kata-katanya, Nicho
Pagi kembali hadir dengan begitu cepat. Diana yang tahu jika Nicholas telah kembali dari perjalanan bisnis segera datang ke rumah Margaret pagi-pagi sekali. Wanita itu bahkan sudah membawa beberapa hadiah untuk kekasihnya dan calon ibu mertuanya.Jangan lupa penampilannya seperti seorang pengantin. Cantik dan begitu anggun.“Selamat pagi, Ibu,” kata Diana pada Margaret yang pertama kali membuka pintu untuknya.Wanita itu melihat penampilan kekasih putranya yang terlihat aneh. Namun, ia mencoba mengabaikannya.“Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Margaret sinis, ia bahkan masih memegang pinggiran pintu agar Diana tidak masuk ke dalam rumahnya.“Tentu saja mencari calon ayah anakku,” kata Diana dengan jawaban tak kalah sinisnya, “lebih baik singkirkan tanganmu sebelum aku melakukan hal yang tak kau bayangkan.”Mata margaret terbelalak dengan mulut terbuka karena begitu syok dengan jawaban Diana yang terdengar kasar padanya. Wanita tua itu sampai terhuyung ke belakang tatkala dengan pa
Kanaya mengusap kepalanya seraya mengerucutkan bibir, sebab Matilda sempat memukulnya karena gemas. “Nenek, ini sakit.”Matilda berdecak, “Jangan asal bicara, Rose tidak seperti itu,” katanya seolah membela, “sekarang jelaskan saja bagaimana keseruanmu selama liburan.”Kanaya tersenyum tipis, “Aku sudah jelaskan di awal. Ini liburan yang paling menyenangkan karena hadiah ini adalah darimu Nenek.”“Lalu bagaimana dengan pria yang kukenalkan? Kau menyukainya?” tanya Matilda penasaran. Beberapa Minggu yang lalu, ia memang memperkenalkan Kanaya dengan anak dari rekan arisan berliannya.Kanaya mengeluh, wajah cerianya berubah sendu, “Seperti yang Nenek jelaskan, dia baik, perhatian dan juga dewasa,” kata Kanaya, “tapi aku tidak tertarik menikah terlalu cepat,” sambungnya.“Tidak ada yang memintamu menikah terlalu cepat, tapi usiamu sudah sangat cukup untuk berumah tangga,” ujar Matilda, “kau sudah seperti cucuku, karena itulah aku tidak akan melewatkan semua yang bisa membuatmu bahagia.”K
Rose terbelalak mendengar kata-kata Tiana, ia menatap temannya dengan tatapan menuntut, “Apa yang kau katakan?” tanyanya seraya berbisik.Tiana mengangguk, membenarkan jika apa yang dibicarakannya adalah kebenaran, “Sebagai dokter ini adalah kesalahan, tapi aku sebagai temanmu tidak bisa menyembunyikan ini Rose,” katanya menyesal, “aku kasihan padamu dan Nicholas, kalian berdua terpisah karena ulah wanita jahat itu.”Rose masih mematung, ia merasa kasihan pada Nicholas, tetap dengan mengatakan kebenarannya sekarang bukanlah hal yang baik.“Tiana, aku tahu kau memang teman terbaikku, tapi mengatakan ini padaku tidaklah tepat. Aku dan Nicholas sudah memiliki kehidupan masing-masing.” Rose sampai berpegangan pada meja karena kakinya terasa lemas.Tiana mengangguk meski ada rasa khawatir pada kondisi Rose. “Kau benar, aku ingin memberitahu Nicholas tentang ini, tetapi kau tahu sendiri kan, dia tidak menyukaiku,” keluh Tiana, “aku juga merasa bersalah memberitahumu setelah kau sudah menika
Di rumah sakit swasta. Rose melangkah dengan tergesa, tak lupa dengan penutup wajah yang harus dipakai setiap kali ia keluar. Bukan keinginannya, tetapi beberapa minggu yang lalu, ketika ia keluar ke supermarket. Orang-orang berdesakan hanya untuk menangkap gambar dan mengabadikan dalam ponsel mereka.“Ibu, kau di sini?” Rose menghentikan langkah ketika tak sengaja bertabrakan dengan Margaret hingga penutup wajahnya hampir saja tersingkap.“Rose, ada apa dengan wajahmu, kenapa memakai benda itu?” tanya Margaret bingung.Rose membenarkan dengan cepat kain penutup wajahnya, kemudian membawa Margaret ke tempat yang lebih sepi. Wanita itu, berbicara dengan napas terengah karena takut ada yang menyadari keberadaannya.“Aku baik-baik saja,” katanya, “Ibu periksa lagi?” tanya Rose melihat kondisi ibu Nicholas.Margaret belum menjawab, tetapi pria lain sudah berjalan mendekat ke arah mereka berdua. Margaret tersenyum, ia meminta Rose berbalik dan melihat siapa yang ada Bersama mereka.“Rose,