William memijat pangkal hidung, ia menatap ke dalam rumah, di mana neneknya dan Rose berjalan saling bergandengan tangan.“Anda menemukan wanita yang tepat, Pak,” ujar Ethan tersenyum kecil, ia senang selama menikah bosnya bisa sedikit melunak.“Kau pikir begitu?” tanya William tak begitu yakin.“Seharusnya Anda tidak tahu, Pak. Bu Rose begitu piawai selama ini, kan? Beliau mengurus anda dengan dengan sangat baik.”William mengangguk membenarkan. “Ya, kau benar. Aku bahkan lebih sering sarapan di rumah sekarang. Lihatlah, wajahku sudah terlihat mengembang bukan?”“Benar Pak. Anda seperti balon.”“Ethan,” geram William tidak terima dikatain dengan sebutan balon.“Maafkan saya Pak. Kita berangkat?”“Jalankan mobilnya!”________Sementara itu, setelah mengantar William ke bandara, Ethan kembali ke kantor karena banyak pekerjaan yang menunggu dirinya. Sebagai orang kepercayaan William, ia tidak boleh membuat masalah, apalagi apa yang didapatkannya selama ini sudah begitu banyak.Di parkir
Rose menghela napas lelah, ia menatap Matilda dan Kanaya secara bergantian, “Kenapa bicara seperti itu? Kau tetap cucu nenek juga, jangan khawatir.”“Jangan pura-pura baik padaku, ya.” Kanaya melipat tangan di dada.“Tidak ada yang pura-pura. Kau jangan cemburu padaku,” balas Rose kembali.Kanaya memicingkan mata, ia duduk lebih dekat dari Matilda, mengusap lengan nenek William itu dengan lembut. “Nenek, apa kau percaya jika William dan dua menikah resmi? Maksudku mungkin saja mereka berdua melakukan kebohongan, kan?”“Tentu saja aku kecata,” jawab Matilda seraya terkekeh, “yang menikahkan mereka adalah kenalan nenek. Tidak mungkin ada kebohongan apalagi di hadapan Tuhan.”Kanaya mematung, jika melirik Rose yang diam-diam tersenyum kemenangan, “Tidak mungkin Nek. Mereka berdua pasti sudah membayar pengurus dan–”“Kanaya, William tidak seburuk itu. Lagipula, untuk apa kaki berdua berbohong?” sela Rose mulai jengah, “kau kan teman Willie, bukankah seharusnya tahu bagaimana dia?”Kanaya
Diana menoleh cepat, ia sejenak terdiam mengingat-ingat, “Aku pernah mendengar kabar jika dia menikah secara tertutup.”Mendengus kasar, Nicholas duduk di sebelah sang kekasih. Ia memijat pangkal hidung dengan kuat. Rasa menyesal dan bersalah kini menyelimuti hatinya.“Ada apa, Nico?” tanya Diana khawatir.“Tidak apa-apa, aku hanya lelah,” ujar Nicholas, “sebaiknya aku kembali, ibu pasti mencariku.”Nicholas berdiri, membenarkan jas miliknya dan melenggang meninggalkan Diana dengan rasa kesal.________Malam hari di kediaman Matilda. Mereka semua sudah berada di meja makan, dengan Kanaya yang berada di sebelah nenek William itu.Wanita cantik itu seolah ingin memberitahu Rose jika posisinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dirinya yang hanya wanita baru.Seorang pelayan datang memberitahu Rose jika William sudah datang dan memintanya untuk menemuinya. Mendengar itu, Kanaya ikut berdiri, tetapi dengan cepat Matilda menahan lengannya.“Rose, temui suamimu,” pinta Matilda lembut.“P
“Bu, makan malam Anda,” kata pelayan wanita sudah dengan troli di tangannya.Rose mengangguk dan mengambil alih troli yang dibawa oleh pelayan, kemudian mengganti untuk membawanya masuk ke dalam.Sebelum ia benar-benar membawa makan malam mereka masuk, Rose mendekat dan berbisik, “Apakah nona Kanaya masih ada di lantai bawah?”Di pelayan mengangguk cepat, ia terlihat ragu, tetapi dengan cepat mengatakan jika Kanaya berada di ruang keluarga bersama Matilda.“Apakah dia memang sering menginap?”“Rose.” Suara seseorang dari dalam kamar mengejutkan Rose juga dengan si pelayan. Rose mengangguk kecil dan meminta si pelayan segera beristirahat karena sudah malam.Ia membuang napas pelan, kemudian membawa troli masuk ke dalam dengan langkah cepat.“Ternyata kau suka bergosip, ya.” William berdecak, ia meraih satu botol minuman di dalam lemari dan membawa ke meja.“Tidak ada yang bergosip,” bohong Rose dengan bibir mencebik.“Jangan berbohong, bahkan dinding pintu itu bisa lebih jujur darimu,”
Sepanjang perjalanan, Nicholas terus memikirkan ucapan sang ibu. Entah apa saja yang Rose katakan hingga bisa membuat ibunya begitu menginginkan dirinya.“Wanita itu telah mencuci otak ibuku,” geram William, tetapi ketika bertatap muka dengan Rose, ia merasa tertarik begitu kuat, apalagi mantan kekasihnya kini terlihat lebih cantik.“Dan sekarang, pak William dalam pengaruh sihirnya. Wanita itu telah bermain api, dia bahkan tidak takut dianggap wanita kedua dalam rumah tangga orang lain,” lanjut Nicholas mencemaskan Rose. Ia kembali ke tempat tinggal Rose sebelumnya, tempat yang biasa dikunjungi jika begitu lelah dengan pekerjaan. Akan tetapi, semua berakhir ketika Diana datang dan menawarkan cinta untuknya. Cinta yang ia butuhkan, seperti sentuhan dan kepuasan.Sekali lagi, ia mengutuk kebodohan Rose yang menolak bersamanya, andai saja, wanita itu tidak menjual maha, sudah pasti mereka menjadi sepasang kekasih yang bahagia.Ia turun dari mobil, berjalan ke arah depan untuk memastika
Di dalam mobil, William dan Rose saling terdiam. Perkataan Matilda kembali mengusik hati kecilnya.Ia menoleh ke arah William yang terlihat begitu santai seolah tak terjadi apa pun sebelumnya.“Kenapa?” tanya William tanpa menoleh.“Tidak,” jawab Bella kembali menatap ke arah jalan.“Jangan dipikirkan. Nenek bukan wanita yang tega, sehingga kau sampai memikirkan banyak hal,” tukas William lembut.“Aku tahu dia hanya bercanda, tapi bagaimana jika kau dan Kanaya–”“Tidak akan terjadi apa pun antara kamu. Dia sudah seperti adik bagiku, Rose.” William menarik Rose lebih dekat ke arahnya. Menekan tombol untuk menghalangi si sopir melihat kegiatan mereka.“Willie, ini di mobil,” bisik Bella begitu terkejut. Ia sudah berada di atas pangkuan William dengan mudahnya.“Aku tahu, untuk itu diamlah!” serunya.Suasana semakin mencekam, Rose menelan ludah kasar ketika melihat wajah William yang semakin mendekat ke arahnya.“William,” ujar Rose kembali.Pria itu terkekeh kecil, ia membenarkan rambut
Ethan menatap Nicholas dengan tenang, kemudian menepuk pundaknya pelan. “Lebih baik Anda fokus dengan pekerjaan Anda Pak. Tentang Bu Rose, lebih baik kita tidak perlu membahasnya.”Nicholas membuang napas pelan, ia menatap lurus pada Ethan yang tetap tenang, “Anda pasti tahu tentang sesuatu, kan? Apa hubungan Rose dengan pak William?”Tersenyum kecil, Ethan menghembuskan napas, “Saya hanya asisten Pak William. Pekerjaan saya hanya memastikan semua berjalan dengan baik, termasuk pekerjaan Anda.”Nicholas memicingkan mata, ia tahu jika Ethan tidak mungkin akan memberikan informasi padanya.“Anda tahu sesuatu dan menyembunyikan,” ujar Nicholas, “saya hanya ingin tahu di mana dia sekarang, jika Anda mengetahuinya tolong beritahukan padaku.”Sekali lagi, Ethan menarik sudut bibirnya begitu tipis, “Saya sudah banyak membuang waktu. Baiklah, Pak. Selamat bekerja.”Nicholas membuang napas kasar, ia mengepalkan tinju ke arah Ethan yang semakin menjauh. Pria itu begitu sulit memberitahu kebenar
Ethan berjalan di belakang Rose yang sejak tadi hanya melangkah tanpa mengambil satu barang pun. Pria itu hampir ingin berteriak, berharap William menggantikan dirinya. Sorot matanya berbinar sejenak ketika melihat Rose mengulurkan tangan, seolah hendak mengambil sesuatu di rak. Namun, harapannya sirna begitu saja saat wanita itu kembali meletakkan barang tersebut dan berlalu tanpa membawa apa pun. “Bu, apakah Anda tidak tertarik dengan tas di sana?” tanya Ethan, segera menghadang langkah Rose yang hendak berbelok ke arah lain. Rose menoleh ke arah yang ditunjuk Ethan, memperhatikan deretan tas yang tertata rapi di lemari kaca. “Tidak,” jawabnya singkat. Dalam hatinya, ia tahu harga tas terkecil di sana bisa mencukupi kehidupannya selama bertahun-tahun. “Tas di sini terjamin keasliannya, Bu. Beberapa istri direktur rela menghabiskan banyak uang hanya untuk memiliki salah satunya,” jelas Ethan dengan tenang. “Anda lihat tas berwarna hitam dengan merek ternama itu?” Rose me
“Dari mana saja kau?”Rose berhenti di depan pintu, ia mendongak dan mendapati William sudah berdiri di tengah tangga dengan tatapan dingin ke arahnya. Di sebelah sana, ada Matilda dan Kanaya duduk dengan santai menikmati adegan suami istri yang belakangan terjadi kesenjangan. Rose membuang napas dan melangkah ragu. Ia merasa bersalah karena kembali terlambat, tetapi ia bisa pastikan bahwa dia tidak bersalah sepenuhnya.“Aku mencari buku,” jawab Rose jujur, ia bahkan menunjukkan barang belanjaannya yang begitu banyak.“Wah, kau habiskan banyak uang William dengan barang yang tidak penting,” timpal Kanaya dengan sinis.“Aku tidak menggunaan uang William. Ini semua kudapatkan dari sisa tabunganku,” balas Rose membalas tatapan Kanaya.“Kau ingin katakan jika William tidak memberikan uang padamu? kata Kanaya, ia berdiri. “kau keterlaluan.”Mendesah lelah, Rose menatap William yang masih berdiri mematung ke arahnya, “Maafkan aku karena pulang terlambat. Supir yang--”“Kau ingin menyalahka
Matilda meminta Kanaya membawanya ke dalam kamar. Ia merasa pusing mendadak setelah meninggikan suara. Diam-diam Kanya merasa senang, ia yakin sebentar lagi, William akan mengusir Rose karena menyebabkan nenek mereka sampai seperti ini.Sementara Rose, ia tetap tinggal di ruang keluarga, menatap Matilda yang semakin menjauh bersama Kanaya, “Bagaimana nenek bisa mengetahuinya,” resahnya, ia ketakutannya terjadi ketika menyadari ada yang mencoba mengambil gambarnya kala itu.“Aku harus bagaimana sekarang. Bagaimana jika William tahu dan dia semakin marah padaku,” katanya semakin merasa gelisah.Tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan, Rose kembali ke kamar atas untuk meraih tas dan ponselnya. Ia sudah memiliki janji dengan seseorang yang tidak bisa diabaikan.Langkahnya pelan menuruni tangga, ia sedikit nyeri ketika mengingat adegan film yang menayangkan seseorang terjatuh di tangga sampai terguling. Ia memegang perutnya untuk menjaga diri. Sampai di lantai bawah, dua pelayan yang bia
William menoleh sekilas. “Mungkin kembali malam, Nek.”Matilda mengangguk, ia kembali fokus pada Rose yang terlihat canggung dengan mata yang sembab. Ia mengerutkan kening. “Ada apa dengan matamu?”Rose mengusap wajahnya seraya tersenyum tipis. “Semalam tidur terlambat, mungkin karena hal itu.”“Kau tidak berbohong padaku?” Matilda membenarkan duduknya semakin anggun.“Tidak mungkin aku berani berbohong, Nek.”Matilda membuang napas perlahan, kemudian menatap kedatangan Kanaya yang terlihat canggung. Wanita cantik itu tidak melihat ke arah Rose sama sekali.“Nenek, apa aku bisa duduk di sini. Di luar aku merasa kesepian,” kata Kanaya dengan suara lembut.“Duduklah, aku ini manja sekali,” balas Matilda tersenyum lembut. Melihat itu, Rose merasa cemburu. Semenjak surat perjanjian itu, Matilda memang terasa lebih berbeda, lebih menjaga jarak darinya.Fokus dengan tatapan kosong Rose, Matilda segera menyadarkan wanita baik di sebelahnya. Ia menepuk pelan paha Rose untuk membuatnya kembali
William terdiam di tempatnya, ia bahkan tidak bisa menggerakkan kaki sekedar untuk menenangkan sang istri yang sudah berlalu dengan kemarahan.“Ya ampun, William,” ujarnya frustasi, “kenapa dia tidak bisa mencerna kata-kataku dengan baik.”William mengusap wajah kasar, kemudian keluar dari kamar mandi dan merenung di dalam kamar miliknya. Sementera itu, di lantai atas. Rose tengah menangis seraya memasukkan ponsel ke dalam tas miliknya. Kata-kata William terlalu menyakitkan baginya. Pria itu dengan tanpa perasaan langsung berkata kasar padanya.“Sudah diingatkan sejak awal, tapi kau memang keras kepala Rose,” ucapnya sambil sesegukan.Ia menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat. Hati kecilnya masih berharap William luluh seperti kemarin dan meminta maaf padanya, tetapi sampai beberapa menit menunggu, tidak ada seorang pun yang membuka pintu.Rose menatap ke arah nakas, memperhatikan tanggal dengan mata sebabnya. Ia berdiri dan segera beranjak ke kamar mandi dengan tubuh yang lem
“Tentu saja, kau meragukan kemampuanku dan aku tersinggung.”Rose memutar mata malas, ia mengambil pisau dan memotong roti dengan tidak sabar. “Ini sangat enak dari wangi ya.”William mengangguk. “Tentu saja, sudah aku katakan, aku berbakat dalam apa pun.”Satu potong kecil masuk ke dalam mulut. Rose menatap William dengan tatapan curiga, “Ini enak.”William menjentikkan jari dengan semangat. “Sudah tidak diragukan lagi bukan, ini enak Nyonya.”Rose terkekeh kembali, “Terima kasih, kau pasti sudah berjuang dengan sangat keras untuk roti yang enak ini.” William menarik kursi untuk istrinya, membantu Rose untuk duduk dengan ayam sembari menikmati roti panggang yang masih panas. “Ah, aku melupakan sesuatu,” kata William segera beranjak dari posisinya.Dengan mulut yang masih terisi dengan roti hangat, Rose kembali dikejutkan dengan apa yang ada di tangan William saat ini. Dua gelas minuman yang keduanya sangat ia sukai.“Willie, kau yang membuat ini semua?” Rose meraih gelas susu yang
Di gedung tinggi yang menjulang kokoh, pria dengan kemeja abu-abu mengusap wajah dengan kasar. Ia membuang napas berulang kali setiap kali mengingat sang istri dan ibunya yang tidak bisa akur. Pintu ruangan terbuka setelah diketuk. Nicholas menyambut tamunya dengan senyum tipis.“Apakah saya mengganggu Anda?” Edwin masuk dan menatap wajah Nicholas yang terlihat kusut, “apa ada masalah serius?”Nicholas mempersilakan Edwin duduk, “Duduklah! Saya merasa tatapan Anda semakin terlihat aneh.”Edwin terkekeh, ia semakin menggeser duduknya lebih dekat. “Aku datang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Anda Pak.”Nicholas mengerutkan kening, bingung karena Edwin bisa tahu sebelum ia menyebarkannya sendiri. Sekarang ia tahu, kenapa karyawan lainnya menatapnya seraya berbisik sejak kedatangannya.“Saya dan anak-anak yang lain sudah sepakat untuk merayakan ini, Pak,” sambung Edwin dengan wajah cerah, “sepulang kerja nanti, kita semua makan bersama dan Anda yang traktir.”Nicholas sampai terb
William dengan tergesa turun dari lantai atas setelah membersihkan diri. Sudah hampir setengah jam, tetapi Ethan belum juga menelpon dan memberinya kabar tentang keberadaan Rose.“Pak sarapan Anda,” kata pelayan mengingatkan.William berbalik, ia menatap dingin pada pelayan wanita yang diminta untuk memenuhi kebutuhan Rose selama ini. “Apa kau tidak bisa mencegahnya untuk tidak pergi?”“Maafkan saya Pak,” katanya seraya menunduk.William membuang napas panjang, ia kembali meneruskan langkahnya karena ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ia juga yakin jika Ethan sudah siap menunggunya di tempat tujuan.“Aku akan memaafkanmu jika itu bukan rumah ibu Nicholas, Rose. Tapi, jika itu rumah wanita itu, aku berjanji akan mengirim mereka semakin jauh dari tempat ini.”William meminta supir membawanya ke tempat yang telah dijanjikan. Urusan Rose biar anak buah Ethan yang mencarinya hingga ketemu.Di tempat yang berbeda, Rose yang sudah sampai beberapa menit yang lalu, terlihat menikm
“Kau yakin?” tanya William dengan wajah mengetat.Dokter dengan usia separuh dari usia neneknya itu mengangguk. “Jika kau tidak percaya, lebih baik bawa dia langsung ke rumah sakit. Aku khawatir pada kondisinya.”William mengusap wajah kasar, ia tidak mengira jika rasa khawatirnya semakin membuatnya sesak napas. Ia berdiri, menatap dokter keluarganya yang ikut berdiri mengikuti dirinya.“Aku akan kirim tagihannya,” kata William berjalan lebih dahulu ke lantai atas.“Apa apa dengannya, kenapa wajahnya tidak terlihat senang,” kata sang dokter kebingungan. Ia meraih tas miliknya kemudian berjalan keluar dengan langkah yang pasti.Sementaa itu, di lantai atas. William yang baru saja membuka pintu di kejutkan oleh Rose yang baru saja kedua dari kamar mandi. Wanita itu menatapnya bingung.“Ada apa?” tanya Rose berjalan dengan handuk kecil di tangannya.“Bagaimana keadaanmu?” William berjalan ke arah sang istri yang masih terlihat pucat. Ia masih bingung, kenapa Rose bisa hamil sedangkan di
“Apa katamu?”Diana terbelalak dengan ucapan Nicholas yang begitu mengejutkan, “Kita akan menjadi orang tua. Anak kita akan lahir dan kau bilang aku tidak waras?”“Aku tidak mau tahu, kita harus mencari rumah dan menyiapkan semua kebutuhan anak kita,” putus Diana sepihak.Nicholas membuang napas kasar, melirik perut Diana yang makin terlihat, sementara ia masih terganggu dengan ucapan Tiana beberapa saat yang lalu, “Biarkan aku bicarakan ini pada ibu dulu, dia sudah tua dan—”“Terserah kau saja, tapi aku tidak ingin ibu serumah dengan kita.”Nicholas menoleh cepat. “Apa kau bilang?”Membuang napas frustasi, Diana membalas tatapan Nicholas, “Ibu tidak menyukaiku, aku khawatir kehamilanku terganggu karena kami saling bersitegang.”“Kau tidak berusaha dengan baik, Diana. Ibu sangat baik jika kau bisa merebut hatinya seperti Rose,” kata Nicholas tanpa sadar.“Rose?” ulang Diana geram, “kita baru saja menikah dan kau bisa menyebut Namanya di hadapanku?”Tersadara dengan kata-katanya, Nicho