Tiga tahun yang lalu...
Plakk..
Sebuah tamparan menggema di sebuah kamar, jeritan tangis seorang bayi terdengar semakin keras karena melihat ibunya di perlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. Wajah wanita itu memerah, bibirnya terlihat lebam dan ujung bibir terlihat robek. Sudut bibir itu berdarah, rambut wanita itu acak-acakan. Tak berhenti disitu, pria itu kembali mencekik istrinya dengan kebencian. Merapatkannya ke tembok kamar, air mata wanita itu meleleh dengan sendirinya. Ia tak dapat berkata sepatah kata pun. Sakit, itu yang ia rasakan saat ini. Pria itu tak memperdulikan jerit tangis anak mereka yang masih berumur satu tahun. Ia terus mencekik istrinya serta mengucapkan kata kasar dan penghinaan yang menyakitkan.
"Dasar wanita jalang! Dasar murahan! Aku akan membunuhmu!" Bayu terus mencekik Dinda dengan amarah yang telah menguasainya.
"Am.. puun.. aaa.. ku tak ber..salah." Suaranya terengah-engah di sela cekikan Bayu yang seperti sedang kesetanan. Dinda mencoba menjelaskan, tapi Bayu tak pernah mendengarkan penjelasan apapun dari mulut Dinda. Bayu tak melepaskan tangannya dari leher wanita yang masih sah menjadi istrinya.
Pintu kamar terbuka, terlihat beberapa orang terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
"Bayu lepaskan!" Teriak seorang pria seraya berlari mendekati keduanya. Seorang wanita yang merupakan Ibu Bayu ikut masuk dan menggendong putri mereka yang menjerit menangis sedari tadi. Pria yang merupakan tetangga mereka itu, menarik Bayu ke belakang. Melepaskan cekikan Bayu di leher Dinda,
"Bayu istighfar! Kamu bisa membunuh Dinda!" Pria itu menarik tangan Bayu untuk menjauh.
"Biarkan aku membunuh wanita jalang itu! Biar dia tau siapa aku!" Teriaknya seraya berusaha melepaskan cekalan tangan tetangganya.
"Sudah Bayu! Ceraikan saja wanita tidak tau diri itu. Ibu tidak mau kamu masuk penjara hanya karena wanita jalang itu. Ceraikan dia Bayu!" Jerit Ibu Bayu dengan emosi yang tinggi.
"Kak, aku tidak punya hubungan apapun dengan Pak Bambang." Dinda mencoba menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Selama ini, Bayu sering mengamuk dan berkata kasar jika sedang marah. Dia selalu cemburu buta, tanpa mendengarkan penjelasan apapun. Terlebih Ibu Bayu yang selalu menjelekkan Dinda di depan Bayu.
"Sudahlah Bayu. Jangan dengarkan wanita jalang ini! Biarkan dia bebas berkeliaran dengan pria manapun yang dia mau. Aku pun tidak sudi jika lebih lama mempunyai menantu seperti dia!" Ucap Ibu Bayu dengan sinis. Ia masih menggendong cucunya yang tak berhenti menangis.
"Keluar kau dari rumah ini! Dasar wanita murahan!" Ibu Bayu mengusir Dinda tanpa belas kasih. Di saksikan beberapa tetangga yang bergerombol ingin tahu. Mereka menonton adegan menyedihkan itu dengan sangat antusias.
"Bu.." Dinda memelas, memohon belas kasih dari mertuanya.
" Jangan pernah panggil aku Ibu! Aku bukan Ibumu! Ibumu sudah membusuk dalam tanah!" Ujar mertuanya dengan bengis. Wajahnya penuh dengan kebencian. Hati Dinda sangat sakit mendengar ucapan mertuanya. Cukup sudah selama ini ia selalu dihina dan di maki, hidup dua tahun serumah dengan mertua yang membencinya. Tak ada pembelaan dari Bayu, ia hanya menatap Dinda dengan mata memendam amarah yang belum surut. Selama ini pun, tak pernah sekalipun Bayu membela Dinda jika Ibunya memaki Dinda. Jika Dinda berbagi cerita, Bayu akan cepat marah bahkan membanting barang yang ada di dekatnya. Hal itulah yang membuat Dinda menyimpan lukanya sendiri karena percuma jika ia berbagi lukanya pada suami yang diharapkan bisa menjadi tempat ternyaman baginya. Yang ada, hanya akan memperbesar masalah dan menambah luka.
"Baik, aku akan pergi. Dari awal, aku memang tak pernah di terima disini."
"Bagus. Pergi sekarang juga dan jangan pernah kembali!" sahut Ibu mertuanya dengan angkuh.
Tak ada pembelaan sama sekali dari Bayu. Ia hanya memandang Dinda kebencian yang menggunung. Tak ada rasa iba ketika melihat perempuan yang telah hidup bersamanya selama beberapa tahun ini. Yang tinggal di hatinya hanya kebencian yang dan hasrat ingin membunuh wanita itu.
Dinda pergi. Seraya menggendong putri semata wayangnya hasil pernikahan dengan Bayu. Membawa serta luka yang ditorehkan oleh Bayu dan Ibunya. Tak pernah ia menyangka sebelumnya, orang yang teramat ia cintai akan membuatnya menjadi seperti ini.
Orang yang ia harapkan untuk membuatnya bahagia, ternyata hanya memberi luka dan trauma yang mendalam. Ia tak mengerti mengapa Bayu berubah setelah menikah, janji tinggallah janji. Janji akan melindungi hanyalah omong kosong. Justru Bayu lah yang menjadi penyebab Dinda tersakiti. Bukan hanya fisik, tapi juga batin yang sangat sulit di obati.
Seorang wanita muda menatap bocah yang ada dalam pelukannya, membelai rambut putri kesayangannya dengan lembut. Hatinya teriris mengenang kejadian tiga tahun lalu, dimana rumah tangganya hancur begitu saja hanya karena kesalahpahaman dan suami yang cemburu buta. Wanita muda itu ialah Dinda Fitriah, yang tiga tahun silam mendapatkan perlakuan buruk oleh mantan suami dan Ibu mertuanya. Meskipun Dinda berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, tapi ia selalu salah di mata mereka. Kini, ketika ia sudah baik-baik saja dan bahagia, mantan suaminya kembali dan mengusik kehidupannya. Ingin merajut kembali cinta yang telah hancur disaat Dinda mati-matian menghilangkan rasa trauma akan cinta.
"Aku mohon maafkan aku, Din. Aku sudah berubah, aku tidak akan kasar lagi padamu Din" ucap Bayu sang mantan suami yang tiga tahun silam menyakitinya. Entah ada angin apa, siang ini pria itu mengunjungi kediamannya. Lebih tepatnya rumah Ayahnya, karena setelah kepergiannya dari rumah orangtua Bayu, Dinda tinggal bersama Ayahnya dan Nadira anak hasil pernikahannya dengan Bayu.
"Maaf, aku tidak bisa." Jawab Dinda dingin. Luka yang ia torehkan belum sepenuhnya sembuh, apakah ia tega menambah luka baru di hati Dinda? Dinda tak habis pikir dengan mantan suaminya itu.
"Ini demi Nadira. Apa kamu tidak kasihan dengan Nadira yang tumbuh tanpa seorang Ayah?"
Dinda tersenyum sinis.
"Kasihan? Aku lebih kasihan jika mempunyai Ayah seperti kamu!" ucap Dinda dengan lantang dan sangat menusuk. Masih teringat jelas bayangan ketika Bayu marah, Nadira yang masih sangat kecil menjadi pelampiasan kemarahannya. Tubuh kecil itu harus menahan rasa sakit akibat pukulan Ayahnya.
Sungguh, hati Dinda masih sakit sampai sekarang. Dia rela ketika di pukul atau dimaki oleh Bayu, tapi ia tak akan rela jika anaknya juga mendapatkan perlakuan buruk dari Bayu Ayah kandungnya.
"Aku janji akan berubah! Aku akan menyayangi kalian, aku tidak akan menyakiti kalian." Bayu meraih jemari Dinda, tapi dengan cepat Dinda menepisnya.
"Jangan pernah sentuh aku!" Dinda memperingatkan. Melihat wajah Bayu saja ia sudah merasa jijik, apalagi jika harus di sentuh oleh pria itu.
Wajah Bayu terlihat memerah menahan marah, tapi Bayu dengan cepat berusaha menguasai diri. Ia ingin membuktikan bahwa ia tidak seperti dulu lagi. Ia ingin Dinda kembali padanya, ia sangat menyesal dan merasakan bahwa hidupnya hampa tanpa Dinda dan Nadira.
Di sebuah cafe, Dinda duduk di sebuah meja dekat jendela. Sesekali ia menyesap minuman yang telah ia pesan sebelumnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang ada didalam genggamannya. Mencoba menghubungi seseorang yang telah berjanji temu dengannya disini. Ia terlalu sibuk dengan ponselnya, sehingga tak menyadari ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke mejanya. Cukup lama pria itu berdiri disana, tapi Dinda masih tak menyadari dan terus mengotak-atik benda pipih itu. "Eheem.." pria itu berdehem. Berharap Dinda akan menyadari keberadaannya dan mengalihkan pandangannya dari ponsel. Tapi tampaknya Dinda terlalu fokus dan tak menghiraukan deheman pria asing itu. Pria itu terpejam seraya menggelengkan kepalanya. Ia kembali membuka matanya, dan mencoba menyapa. "Apakah saya boleh duduk disini, Nona?" Tanya pria itu sopan. Dinda mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sebentar dari layar pons
"Siapa pria itu?" Suara yang teramat dingin itu menusuk indera pendengaran Dinda. Membuat Dinda segera memutar kepalanya melihat ke arah sumber suara. Degg.. tubuh Dinda menegang, mendapati pria yang berdiri dihadapannya dengan wajah memerah menahan cemburu. "Mas.. kamu sudah sampai?" Dinda segera berdiri menghampiri kekasihnya yang sedang di kuasai rasa cemburu. "Siapa pria itu?" Tanya Alvian dingin. Tatapan matanya sangat menusuk, membuat Dinda bergidik ngeri. Ia sangat mengenal sikap posesif kekasihnya, sehingga ia harus segera membuat segala hal menjadi baik. "Duduk dulu mas, biar ku jelaskan." Alvian mendaratkan bokongnya dengan kasar, matanya tak lepas dari wajah cantik Dinda yang kini berubah menjadi pucat. Dinda takut jika mereka akan bertengkar, atau bahkan putus. Sungguh Dinda sangat mencintai pria yang saat ini bersamanya. Ia tak akan bisa membayangkan jika hubungan mereka akan berakhir. &nbs
Suara lenguhan dan desah kenikmatan memenuhi kamar kontrakan Alvian. Setelah bercinta di dapur, Alvian membawa Dinda ke kamar dengan menggendong wanita itu tanpa melepaskan penyatuan mereka. Tubuh Dinda yang mungil memudahkan pria itu membawa kekasihnya. Tinggi Dinda hanya sebatas bahu Alvian yang memang mempunyai postur tubuh yang tinggi.Kini mereka bercinta di atas ranjang yang empuk. "Kamu sangat luar biasa sayang." Alvian masih terus menyatukan miliknya dan milik Dinda. Hingga keduanya mencapai klimaks dan cairan kenikmatan itu tumpah dalam rahim Dinda. "Aku mencintaimu." Alvian mencium kepala Dinda dengan sayang seraya tersenyum. Hal itu tak pernah ia lupakan setelah mereka selesai bercinta. "Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum. Alvian menyatukan kening mereka seraya mengatur nafas yang terengah tanpa melepaskan miliknya yang masih berada dalam milik Dinda. Cairan itu terasa
Dinda memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Avanza berwarna putih yang terparkir di halaman rumah. Dinda sudah kenal betul siapa pemilik mobil itu, sehingga ia melangkah malas menuju rumah menyusul Nadira yang sudah berlarian terlebih dulu. Tadi Alvian mengantarkan Dinda kerumah kakaknya untuk menjemput Nadira yang berada disana. Sebelumnya, Nadira tak ingin ikut ke cafe karena ia ingin bermain dengan sepupunya. Sehingga Dinda terpaksa meninggalkan Nadira di rumah kakaknya begitu pula dengan motor maticnya. "Ada apalagi bajingan itu kerumah."gumam Dinda kesal. "Ayah." suara Nadira terdengar sampai keluar rumah, mengganggu indera pendengaran Dinda. "Assalamualaikum," Dinda mengucap salam, yang ada di dalam menjawab salam dengan serempak. Terlihat Nadira yang sudah berada dalam pangkuan mantan suaminya dengan wajah senang. Dinda meraih tangan Bapaknya lalu mencium punggung tangan pria yang sudah beruba
"Ada satu yang tidak kamu miliki dan Al memiliki itu." "Apa? Apa karena dia lebih muda? Dia bisa memuaskan mu diatas ranjang? Begitukah? Tenang saja Dinda sayang, aku akan memuaskan mu!" Bayu tersenyum penuh damba, ia berjalan mendekat. Dinda berdecih. Yang ada di otak pria ini hanya selangkangan saja. "Kamu tidak memiliki hati yang tulus seperti Al. Dan kamu tenang saja, Nadira lebih bahagia bersama Al daripada bersama Ayah kandungnya!" Bayu menatap Dinda dengan geram, tangannya terkepal menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Ia memejamkan mata, menarik nafas perlahan lalu menghembuskanya. "Kenapa kamu selalu menguji kesabaranku?" Bayu membuka matanya, menatap Dinda dengan emosi yang membara. Ingin sekali rasanya pria itu meledak. Sifatnya yang emosian itulah membuat Dinda tidak betah hidup bersa
Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik."Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda."Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda."Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan."Apa sih. Nggak percaya ya udah,
Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan. Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang te
Jangan membencinya!Karena itu hanya akan membuat hatimu semakin terikat dengannya. Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian.Menyadari raut wajah Alvian yang berubah, Dinda menghentikan ceritanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,lalu memegang lengan Alvian dengan lembut."Mas," panggil Dinda pelan.*Kenapa berhenti? Lanjutkan!" ujar Alvian dingin."Mas, kamu baik-baik saja?"Alvian mengangguk. "Teruskan!" ujarnya.Dinda menelan Saliva dengan susah payah, ia merasa akan ada perang sebentar lagi. Set
“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
“Apa? Maksudnya ... Dinda hamil anak Alvian?” tanya Rio terkejut.“Astaga aku keceplosan. Aku lupa ada manusia lain di sini.” Amira menepuk jidatnya dengan kencang.“Jawab aku! Apa benar Dinda mengandung anak Alvian?”Kedua wanita itu saling pandang, kemudian kompak kembali melihat pria satu-satunya yang ada di sana saat itu. Dengan wajah terkejut dan mata penuh tanda tanya serta kebingungan yang sangat kentara.Dinda menghela napas berat, sementara Amira memukul mulutnya karena merasa bersalah tidak bisa mengontrol ucapannya.“Maafkan aku, Din.” ujarnya lemah.“Kenapa minta maaf?”“Ya karena aku tidak bisa menjaga ucapanku.”“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Lambat laun semua orang juga akan tahu, kan?”“Iya, tapi kan ....”“Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa benar Dinda sedang mengandung anak si brengsek itu?” tanya Rio sekali lagi, kali ini dengan rasa marah yang akan meledak. Dinda terpekur menatap lantai berwarna putih yang berada di bawah. Meremas kedua jemari yang saling be
‘Cinta bukan tentang dua raga yang selalu bersama. Tapi tentang pengorbanan serta dua hati yang menerima kenyataan bahwa tak selamanya cinta akan berakhir Bahagia'***“Aku akan menikah.” ujar Dinda dengan suara serak. Wanita itu menunduk, menahan kuat-kuat air mata yang kembali menganak sungai.“Jangan bercanda, sayang. Ini sama sekali tidak lucu.” kata Alvian seraya tertawa kaku. Wanita yang di hadapannya hanya diam seribu basa, tak berani sekedar mengangkat kepala. Melihat ujung kaki yang kini mulai terasa dingin.“Sayang, jangan suka mengerjaiku. Kau tidak berubah, selalu sukses membuat jantungku seakan lepas karena kejahilanmu.” Alvian mengangkat wajah wanita itu, kembali menariknya dalam pelukan.“Aku tidak bercanda, mas.” kata Dinda lagi. Ia menggigit bagian bibir bawahnya dengan kuat, meremas jemarinya yang berkeringat.“Sayang, please. Aku baru kembali dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin melepaskan rindu yang selama ini terpendam. Kau tahu? Aku bagaikan mayat hidup. Aku ha
Ketika dua hati yang saling merindu bertemu, meleburkan lara yang selama ini membelenggu. Tapi semua hanya lah sebatas cinta yang semu, saling merindu tapi cinta tak di izinkan menyatu. *** “Apa aku boleh duduk di sini?” tanya seorang pria berkemeja hitam, berdiri di hadapan Dinda seraya memasang wajah ramah penuh senyum. Tapi yang di tanya hanya diam tak merespon. Menatap jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Ntah apa yang tengah di pikirkan wanita itu, sehingga tak menyadari seorang pria yang sedari tadi berdiri memandangnya. Merasa di abaikan, pria itu sengaja duduk di sebelah wanita yang sedang melamun itu. Menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, netranya tak merasa jenuh memandang keindahan yang di ciptakan Tuhan. Meski terlihat sedikit pucat dan tanpa memakai make up, wajah Dinda malah terlihat cantik alami. “Cantik ... Dan kamu akan selalu cantik.” gumamnya seraya tersenyum. “Eh, siapa kamu?” suara Amira membuat Dinda dan pria itu terkejut. Pria it
Cinta ini akan tetap bersemayam di relung hati, Tak kan ku biarkan namamu mati. Ia akan tetap abadi, meski pun engkau telah pergi. ❤️❤️ “Sialan tu Si Alvian, sok suci banget jadi cowok. Kalo nggak karena hartanya, mana mau aku capek-capek ngejar dia!” seorang wanita berambut pirang dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sebuah apartemen. “Memangnya kenapa dia?” tanya seorang pria yang menghampirinya dengan membawa sebotol soda lalu memberikannya pada Amanda. “Kamu tahu sayang, dia itu terlalu dingin dan cuek. Aku tidak bisa sedikit pun merayunya. Bahkan aku sampai nyaris telanjang di depannya, tapi tidak ada sedikit pun ketertarikan di matanya!” wanita itu mendengus kesal. Meneguk soda yang telah di buka sebelumnya. “Wow ... Apa kau benar-benar melakukannya?” tanya sang pria dengan penuh selidik. “Iya, sayang. Aku bahkan menggodanya mati-matian. Meraba tubuhnya yang sangat ... Uhh atletis.” membayangkan betapa sempurnanya tubuh Alvian membuat wanita itu menggigit
“Pergi dari sini! Dasar wanita jalang!” seorang gadis yang nyaris telanjang jatuh terjerembab ke lantai setelah di hempaskan begitu saja oleh Alvian. Gadis itu meringis, menahan nyeri di lutut dan sikutnya yang memerah.“Dasar bajingan sok suci!” umpatnya kasar seraya menatap tajam pria yang berdiri di depan pintu kamar.Alvian berjongkok, meraih dagu gadis itu. Awalnya lembut, tapi lama-lama pria itu mencengkeram dagu Amanda dengan kuat sehingga kini gadis yang awalnya menatapnya dengan nyalang, kini meringis kesakitan.“Lepaskan brengsek!” teriak Amanda seraya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman tangan Alvian di dagunya. Tapi usahanya sia-sia karena tenaga Alvian lebih besar darinya. Sehingga ia hanya bisa meringis, menahan sakit.“Wanita murahan seperti kamu, tidak pantas ada di ranjangku! Kamu itu ... Pantasnya berada di rumah bordir. Atau menjadi simpanan om-om yang membutuhkan jasa kamu. Jadi ....” Alvian menggantung kalimatnya dan mencengkeram lebih kuat dagu wanita itu
Kau sederhana,Tapi kau segalanya.Kau mampu menggantikan mendung menjadi pelangi,Menggantikan kesedihan menjadi senyum kebahagiaan.Cinta tak dapat di lihat,Tapi bisa di rasakan.Tak perlu pengakuan,Tapi sebuah pembuktian.Bertahanlah,Meski semesta menentang.Genggam tanganku lebih erat agar aku yakin dan mampu bisa melewati jalan yang tak mudah ini.Jangan pernah ragukan ketulusan cinta yang ku berikan.Karena cintaku ada tanpa alasan.***“Kamu sudah pulang nak?” tanya wanita yang masih cantik di umurnya yang memasuki usia kepala empat itu.“Sudah, Ma.” Alvian meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu dan mencium punggung tangannya.“Al, sayang. Kok kamu baru pulang? Aku nungguin kamu dari tadi sampai bosan.” seorang gadis cantik dengan pakaian seksi menghambur ke pelukan pria muda itu. Tersenyum dengan gerakan menggoda, kemudian mencium pipi Alvian tanpa sungkan.“Lepaskan!” ujar Alvian dengan tatapan tajam dan dingin.“Jangan terlalu galak denganku. Bagaimana pun juga
‘Sejauh apa pun jarak yang memisahkan, cinta kita tak kan berjarak. Selamanya akan menetap meski kita tak lagi saling tatap.” ~Dinda Fitriah~ Bayu keluar dari ruang rawat Dinda dengan kesal. Sesekali menendang udara untuk menyalurkan emosi yang menguasainya. “Kenapa sih Din, selalu saja nama pria ingusan itu yang keluar dari bibirmu! Bahkan dalam tidur pun kamu masih menyebut nama pria sialan itu!” umpatnya kesal. Ia mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ia temui di koridor rumah sakit. Duduk dengan kedua tangan berada di atas lutut, jemarinya meremas rambut yang mulai tumbuh memanjang. “Apa tidak ada kesempatan itu lagi? Apa tidak bisa kamu membuang saja pria itu dari hatimu? Jelas-jelas aku jauh lebih baik dari pria sialan itu! Aku punya segalanya! Sedangkan dia? Cuma punya motor butut yang tak layak pakai! Cih ... Apa yang bisa kamu harapkan dari bocah tengik itu! Kamu pasti akan lebih bahagia jika hidup denganku!” “Arrghh ... Sial ...
'Bagaimana bisa aku meraih bahagia bersama orang lain, sementara hatiku terus saja menggaungkan namamu dan berharap engkau kembali'___________________“Kapan ya perut kamu buncit.” pria muda itu mengelus lembut perut rata sang kekasih. Wanita cantik itu mendelik dengan bibir yang mengerucut. Ia menjauhkan diri dari pria yang sedang mendekapnya itu.“Ishh ...! Mas do’ain aku gendut? Buncit berlemak gitu?” protesnya.“Kan lucu sayang,”“Apanya yang lucu, mas? Jahat ishh ....” bibirnya semakin maju hingga lima sentimeter. Membuat kekasihnya tak kuasa menahan diri.Sang pria hanya terkekeh geli melihat ekspresi wanitanya. Detik selanjutnya ia menjerit karena gelitikan yang bersarang di perutnya.“Ampun sayang. Hentikan! Itu sangat geli!” pria itu berdiri untuk menyelamatkan diri dari serangan wanita itu. Sementara si wanita kini ikut berdiri, berniat membuat pria itu jera.“Makanya! Apa maksudmu dengan perut buncit?” ia berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak dengan bibir