Suara lenguhan dan desah kenikmatan memenuhi kamar kontrakan Alvian. Setelah bercinta di dapur, Alvian membawa Dinda ke kamar dengan menggendong wanita itu tanpa melepaskan penyatuan mereka. Tubuh Dinda yang mungil memudahkan pria itu membawa kekasihnya. Tinggi Dinda hanya sebatas bahu Alvian yang memang mempunyai postur tubuh yang tinggi.
Kini mereka bercinta di atas ranjang yang empuk."Kamu sangat luar biasa sayang." Alvian masih terus menyatukan miliknya dan milik Dinda. Hingga keduanya mencapai klimaks dan cairan kenikmatan itu tumpah dalam rahim Dinda.
"Aku mencintaimu." Alvian mencium kepala Dinda dengan sayang seraya tersenyum. Hal itu tak pernah ia lupakan setelah mereka selesai bercinta.
"Aku lebih mencintaimu." Balas Dinda dengan tersenyum. Alvian menyatukan kening mereka seraya mengatur nafas yang terengah tanpa melepaskan miliknya yang masih berada dalam milik Dinda. Cairan itu terasa hangat, dan Alvian sangat suka berada dalam milik kekasihnya.
"Satu ronde lagi?" Alvian menarik kepalanya dan menggoda Dinda. Ia menaikkan alisnya seraya tersenyum menggoda. Menatap kekasihnya dengan penuh nafsu. Rasanya ia tak rela jika penyatuan mereka berakhir.
"Maass.. aku lelah. Kamu sudah berkali-kali menghajarku sore ini." Keluh Dinda mengerucutkan bibirnya. Karena sejak tadi Alvian tak sedikit pun melepaskannya. Pria itu seperti tak pernah lelah.
"Tubuhmu itu candu sayang. Aku tak akan pernah puas meskipun kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku selalu mau lagi dan lagi." Ucap Alvian terkekeh.
Dinda mencubit lengan Alvian pelan.
"Turun dari tubuhku.""Tidak akan." Alvian malah gencar menjelajahi leher jenjang kekasihnya. Membuat Dinda kembali mendesah, kini bibir Alvian turun kebawah menyesap bukit kembar milik Dinda. Lidahnya bermain-main cukup lama lidahnya. Membuat Dinda tak kuasa untuk menolak. Ia pun menikmati sentuhan pria muda itu.
"Maass.." Dinda meremas rambut Alvian, merasakan hasrat yang kembali membara. Alvian menggerakkan pinggulnya maju mundur karena miliknya yang masih mengeras dan sejak tadi masih berada dalam milik Dinda.
"Akhh maass.." Desahan Dinda membuat Alvian kembali bersemangat. Ia semakin mempercepat gerakannya, membuat Dinda melenguh nikmat.
Alvian membungkam bibir Dinda menggunakan bibirnya, lidah mereka saling membelit. Menikmati penyatuan yang membuat mereka bagai terbang ke angkasa. Hingga beberapa menit berikutnya Alvian kembali mengerang, ia kembali memuntahkan cairannya.
Alvian merebahkan tubuhnya kesamping, peluh membasahi tubuhnya yang atletis. Meski di luar sedang hujan lebat, tapi kedua insan ini tak merasakan kedinginan. Gelora asmara membakar keduanya.
"Terimakasih sayang."
Alvian mendaratkan ciuman di bibir Dinda dengan lembut. Lalu menarik Dinda kedalam pelukannya. Sesekali mengecup ujung kepala kekasihnya. Sungguh ia sangat mencintai kekasihnya ini meski terpaut usia yang jauh. Ia tak perduli, bahkan status janda yang di sandang Dinda tak menyurutkan rasa cintanya. Tak penting status ataupun usia bagi Alvian, yang penting ia bahagia bersama kekasihnya."Mas.."
Saat ini Dinda berada dalam pelukan Alvian, jemari lentiknya membuat garis abstrak di dada bidang kekasihnya."Iya sayang." Sahut Alvian dengan mata terpejam.
"Siapa gadis tadi?" Bayangan gadis yang menyapa Alvian tadi sore masih berkeliaran di pikiran Dinda. Membuat hatinya tak tenang, karena yang ia lihat gadis itu memiliki ketertarikan pada kekasihnya.
"Langganan ojek sayang." Jawab Alvian masih terpejam. Matanya terasa berat dan tubuhnya lelah setelah pergumulan yang entah sudah berapa kali mereka lakukan.
"Beneran cuma langganan?"
"Iya sayang. Percaya sama mas."
"Aku percaya sama mas, tapi aku tak percaya pada gadis itu."
Alvian terpaksa membuka matanya, menarik dagu Dinda yang berada dalam pelukannya. Mengecup bibir ranum sang kekasih sebentar. Ia menatap manik coklat sang kekasih, menangkup kedua pipi Dinda dengan tangannya yang lebar.
"Percayalah sayang, mas tidak akan tergoda oleh gadis manapun. Kamu tidak akan pernah tergantikan. Cuma kamu yang mas mau, hari ini esok dan selamanya." Ucap Alvian meyakinkan.
Dinda tersenyum, entah kenapa ucapan Alvian sangat menyenangkan. Tapi sedetik kemudian senyum itu surut, digantikan dengan bibir yang mengerucut.
"Tapi dia cantik mas. Dia juga masih gadis, sedangkan aku?" Tiba-tiba Dinda menjadi Insecure mengingat statusnya.
"Bagi mas, kamu yang paling cantik. Memangnya kenapa kalau dia masih gadis? Apa cinta memandang status? Mas tidak sepicik itu sayang. Mas tulus mencintai kamu. Mas cuma mau kamu yang akan menjadi pendamping mas kelak. Cuma kamu!" Alvian kembali menarik wanitanya kedalam pelukan.
Dinda tersenyum, ia selalu bahagia ketika bersama pria ini. Tak perduli temannya sering mengatai nya bermain dengan berondong. Karena kenyataannya ia tak main-main dengan Alvian, ia hanya menginginkan Alvian yang menjadi pendamping hidupnya kelak.
"Sayang, apa benar kamu tidak pernah punya perasaan pada teman lamamu itu?" Kali ini Alvian yang bertanya. Ia sangat cemburu melihat kedekatan mereka saat di Cafe.
"Kita cuma teman lama mas. Aku tidak pernah punya perasaan lebih dari teman."
"Tapi aku melihat cinta dimatanya untukmu. Cara dia memandang kamu, cara dia memperlakukan kamu. Itu berbeda sayang, itu lebih dari sekedar teman. Dan apa maksudnya akan memberikan aku wejangan? Memang dia Bapak kamu. Sok ngasih wejangan segala ." Ujar Alvian gusar. Ia sangat cemburu.
"Dia hanya ingin kamu tidak menyakitiku mas. Itu hanya bentuk kasih sayangnya padaku." Dinda mencubit hidung mancung kekasihnya. Ia tau, kekasih mudanya ini sedang cemburu. Dinda dan Alvian sama-sama posesif. Itu karena rasa cinta dan sayang mereka sama besarnya. Tak ingin ada celah untuk orang lain dalam hubungan mereka.
"Aku cemburu." Ucap Alvian dengan wajah sedih.
"Maaf ya. Aku akan menjaga jarak darinya, aku tidak akan terlalu dekat dengan Rio."
"Beneran ya?"
"Iya sayangku cintaku." Dinda mencium seluruh wajah Alvian.
"Aku mencintaimu. Aku tidak akan rela jika ada lelaki lain yang mendekatimu."
"Aku lebih mencintaimu. Aku tidak akan dekat dengan lelaki lain mas. Aku cuma milikmu."
Alvian mencium pucuk kepala Dinda, lalu memeluknya. Alvian menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka.
"Tidurlah, nanti setelah hujan reda aku akan mengantarmu ke rumah kakak dan menjemput Nadira."
Dinda hanya mengangguk dalam pelukan Alvian. Ia memejamkan mata dan menghirup aroma maskulin dari tubuh Alvian yang menenangkan. Hingga beberapa saat keduanya terlelap tanpa melepaskan pelukan dengan tubuh yang sama-sama polos.
Jam delapan malam, keduanya baru terbangun. Dengan cepat Dinda melepaskan tangan Alvian yang melingkar di tubuhnya.
"Mas ini sudah malam. Aku harus pulang dan menjemput Nadira." Dinda mencari pakaian nya dan ia menemukannya berceceran di dapur. Ia segera mengenakannya dengan tergesa.
"Sayang kita mandi dulu baru menjemput Nadira." Alvian berjalan mendekat seraya memeluk Dinda dari belakang.
"Haish.. aku sudah terlambat mas. Lagipula mandi bersama akan memakan waktu yang lama." Ujar Dinda melepaskan pelukan Alvian.
"Sebentar kok sayang." Bujuk Alvian. Miliknya kembali mengeras membayangkan akan melakukannya di kamar mandi.
"Pakai bajumu dan antar aku!" Dinda mendelik, kali ini ia harus menolak ajakan kekasihnya itu. Ia menyodorkan pakaian Alvian yang berserakan.
"Sayang."
"Stop! Dasar mesum!"
"Mesum-mesum begini kamu cinta kan?" Alvian mengedipkan sebelah matanya.
"Sudah tau masih nanya. Ayo buruan." Dinda mendelik seraya berkacak pinggang.
"Iya sayang iya." Alvian mengenakan pakaian, dan meraih kunci motor di atas meja.
Menyusul Dinda yang telah berjalan keluar rumah terlebih dulu. Wanita itu mencemaskan keadaan putrinya. Ia takut jika nanti putrinya akan menangis jika terlambat menjemput."Sayang tunggu."
"Buruan pria mesum." Dinda sudah naik keatas motor Alvian. Ia sudah tak sabar ingin segera pergi dari kontrakan Alvian.
"Mesum-mesum begini pacarmu yang." "Iyalah. Masak pacar dugong." "Bibirmu yang, jadi pengen cium.""Astaga mesum. Buruaaan.." Dinda benar-benar ingin melempar Alvian dengan sandal.Dinda memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Avanza berwarna putih yang terparkir di halaman rumah. Dinda sudah kenal betul siapa pemilik mobil itu, sehingga ia melangkah malas menuju rumah menyusul Nadira yang sudah berlarian terlebih dulu. Tadi Alvian mengantarkan Dinda kerumah kakaknya untuk menjemput Nadira yang berada disana. Sebelumnya, Nadira tak ingin ikut ke cafe karena ia ingin bermain dengan sepupunya. Sehingga Dinda terpaksa meninggalkan Nadira di rumah kakaknya begitu pula dengan motor maticnya. "Ada apalagi bajingan itu kerumah."gumam Dinda kesal. "Ayah." suara Nadira terdengar sampai keluar rumah, mengganggu indera pendengaran Dinda. "Assalamualaikum," Dinda mengucap salam, yang ada di dalam menjawab salam dengan serempak. Terlihat Nadira yang sudah berada dalam pangkuan mantan suaminya dengan wajah senang. Dinda meraih tangan Bapaknya lalu mencium punggung tangan pria yang sudah beruba
"Ada satu yang tidak kamu miliki dan Al memiliki itu." "Apa? Apa karena dia lebih muda? Dia bisa memuaskan mu diatas ranjang? Begitukah? Tenang saja Dinda sayang, aku akan memuaskan mu!" Bayu tersenyum penuh damba, ia berjalan mendekat. Dinda berdecih. Yang ada di otak pria ini hanya selangkangan saja. "Kamu tidak memiliki hati yang tulus seperti Al. Dan kamu tenang saja, Nadira lebih bahagia bersama Al daripada bersama Ayah kandungnya!" Bayu menatap Dinda dengan geram, tangannya terkepal menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Ia memejamkan mata, menarik nafas perlahan lalu menghembuskanya. "Kenapa kamu selalu menguji kesabaranku?" Bayu membuka matanya, menatap Dinda dengan emosi yang membara. Ingin sekali rasanya pria itu meledak. Sifatnya yang emosian itulah membuat Dinda tidak betah hidup bersa
Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik."Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda."Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda."Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan."Apa sih. Nggak percaya ya udah,
Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan. Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang te
Jangan membencinya!Karena itu hanya akan membuat hatimu semakin terikat dengannya. Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian.Menyadari raut wajah Alvian yang berubah, Dinda menghentikan ceritanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,lalu memegang lengan Alvian dengan lembut."Mas," panggil Dinda pelan.*Kenapa berhenti? Lanjutkan!" ujar Alvian dingin."Mas, kamu baik-baik saja?"Alvian mengangguk. "Teruskan!" ujarnya.Dinda menelan Saliva dengan susah payah, ia merasa akan ada perang sebentar lagi. Set
Jangan sesali hari kemarin!Jadikan semuanya pembelajaran. Cukup perbaiki diri, agar lebih baik dari kemarin!Dinda pulang dengan mengendarai motor maticnya, wanita itu memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah yang terlihat sangat sepi. Ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia membukanya perlahan, sembari mengucapkan salam."Assalamualaikum, Pak. Nadira.. Ibu pulang sayang."Berkali-kali ia mengucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Perasaannya menjadi tak enak, dimana Bapak dan Nadira?Memikirkan hal yang tidak-tidak membuat wanita itu berjalan lebih cepat memasuki rumah sederhana itu."Nadira, Ibu pulang." teriak Dinda, tapi tak ada sahutan. Ia memasuki kamar, tapi tak terlihat Nadira disana. Ia segera melepaskan sepatu yang ia kenakan dan melempar tas nya ke sembarang arah. Pikiran buruk memenuhi kepalanya, membuat ia sedikit berlari
Malam ini akhirnya Bayu ikut makan malam bersama dirumah Dinda. Pak Ahmad merasa bahagia melihat pemandangan di depan matanya. Sikap Bayu yang begitu lembut, sesekali menyuapi anak mereka. Ia tahu, kesalahan yang di lakukan oleh Bayu di masa lalu sangat fatal. Tapi apa salahnya memberikan kesempatan pada orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Begitu pikirnya. Lagipula yang ia lihat semakin hari Bayu semakin baik, tak pernah kasar. "Masakanmu tak pernah berubah Din. Selalu enak dan selalu pas di lidahku." Bayu tak segan memuji masakan mantan istrinya. Sedangkan wanita yang di puji hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya Dinda sangat tidak nyaman dengan adanya Bayu sejak sore tadi. Tetapi karena permintaan Ayahnya, ia terpaksa harus bergabung serta harus memasak makan malam yang tak pernah ia harapkan sama sekali sebelumnya. Hati Dinda saat ini sedang kacau, hari ini Alvian tak ada kabar. Dinda sudah berkali-kali menghubungi pria
Pagi ini, sesuai rencana Dinda dan Nadira akan pergi ke taman hiburan bersama Bayu. Tepat pukul 09.00 pagi Bayu datang dengan mobilnya. Nadira berlarian menyambut kedatangan Ayahnya, raut wajahnya terlihat sangat bahagia."Ayah.. ayo kita pergi. Nadira sudah tidak sabar ingin jalan-jalan bersama Ayah dan Ibu." celoteh gadis kecil itu yang kini sudah berpindah ke dalam gendongan Bayu."Ibumu mana?" Bayu mencari keberadaan Dinda yang belum tampak sama sekali."Ibu masih di kamar. Sepertinya Ibu sedang galau." ujar Nadira asal."Galau kenapa?" tanya Bayu sembari mengerutkan keningnya, tapi hanya di jawab dengan gelengan oleh Nadira."Semalam Ibu menangis sambil main hp." jawab Nadira dengan polos.Apa mereka sudah putus? Bayu tersenyum misterius, ia berharap hubungan Dinda dan Alvian benar-benar berakhir. Sehingga ia lebih memiliki peluang untuk merebut Dinda kembali.Tak lama Dinda keluar dari rumah dengan penampilan
“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
“Apa? Maksudnya ... Dinda hamil anak Alvian?” tanya Rio terkejut.“Astaga aku keceplosan. Aku lupa ada manusia lain di sini.” Amira menepuk jidatnya dengan kencang.“Jawab aku! Apa benar Dinda mengandung anak Alvian?”Kedua wanita itu saling pandang, kemudian kompak kembali melihat pria satu-satunya yang ada di sana saat itu. Dengan wajah terkejut dan mata penuh tanda tanya serta kebingungan yang sangat kentara.Dinda menghela napas berat, sementara Amira memukul mulutnya karena merasa bersalah tidak bisa mengontrol ucapannya.“Maafkan aku, Din.” ujarnya lemah.“Kenapa minta maaf?”“Ya karena aku tidak bisa menjaga ucapanku.”“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Lambat laun semua orang juga akan tahu, kan?”“Iya, tapi kan ....”“Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa benar Dinda sedang mengandung anak si brengsek itu?” tanya Rio sekali lagi, kali ini dengan rasa marah yang akan meledak. Dinda terpekur menatap lantai berwarna putih yang berada di bawah. Meremas kedua jemari yang saling be
‘Cinta bukan tentang dua raga yang selalu bersama. Tapi tentang pengorbanan serta dua hati yang menerima kenyataan bahwa tak selamanya cinta akan berakhir Bahagia'***“Aku akan menikah.” ujar Dinda dengan suara serak. Wanita itu menunduk, menahan kuat-kuat air mata yang kembali menganak sungai.“Jangan bercanda, sayang. Ini sama sekali tidak lucu.” kata Alvian seraya tertawa kaku. Wanita yang di hadapannya hanya diam seribu basa, tak berani sekedar mengangkat kepala. Melihat ujung kaki yang kini mulai terasa dingin.“Sayang, jangan suka mengerjaiku. Kau tidak berubah, selalu sukses membuat jantungku seakan lepas karena kejahilanmu.” Alvian mengangkat wajah wanita itu, kembali menariknya dalam pelukan.“Aku tidak bercanda, mas.” kata Dinda lagi. Ia menggigit bagian bibir bawahnya dengan kuat, meremas jemarinya yang berkeringat.“Sayang, please. Aku baru kembali dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin melepaskan rindu yang selama ini terpendam. Kau tahu? Aku bagaikan mayat hidup. Aku ha
Ketika dua hati yang saling merindu bertemu, meleburkan lara yang selama ini membelenggu. Tapi semua hanya lah sebatas cinta yang semu, saling merindu tapi cinta tak di izinkan menyatu. *** “Apa aku boleh duduk di sini?” tanya seorang pria berkemeja hitam, berdiri di hadapan Dinda seraya memasang wajah ramah penuh senyum. Tapi yang di tanya hanya diam tak merespon. Menatap jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Ntah apa yang tengah di pikirkan wanita itu, sehingga tak menyadari seorang pria yang sedari tadi berdiri memandangnya. Merasa di abaikan, pria itu sengaja duduk di sebelah wanita yang sedang melamun itu. Menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, netranya tak merasa jenuh memandang keindahan yang di ciptakan Tuhan. Meski terlihat sedikit pucat dan tanpa memakai make up, wajah Dinda malah terlihat cantik alami. “Cantik ... Dan kamu akan selalu cantik.” gumamnya seraya tersenyum. “Eh, siapa kamu?” suara Amira membuat Dinda dan pria itu terkejut. Pria it
Cinta ini akan tetap bersemayam di relung hati, Tak kan ku biarkan namamu mati. Ia akan tetap abadi, meski pun engkau telah pergi. ❤️❤️ “Sialan tu Si Alvian, sok suci banget jadi cowok. Kalo nggak karena hartanya, mana mau aku capek-capek ngejar dia!” seorang wanita berambut pirang dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sebuah apartemen. “Memangnya kenapa dia?” tanya seorang pria yang menghampirinya dengan membawa sebotol soda lalu memberikannya pada Amanda. “Kamu tahu sayang, dia itu terlalu dingin dan cuek. Aku tidak bisa sedikit pun merayunya. Bahkan aku sampai nyaris telanjang di depannya, tapi tidak ada sedikit pun ketertarikan di matanya!” wanita itu mendengus kesal. Meneguk soda yang telah di buka sebelumnya. “Wow ... Apa kau benar-benar melakukannya?” tanya sang pria dengan penuh selidik. “Iya, sayang. Aku bahkan menggodanya mati-matian. Meraba tubuhnya yang sangat ... Uhh atletis.” membayangkan betapa sempurnanya tubuh Alvian membuat wanita itu menggigit
“Pergi dari sini! Dasar wanita jalang!” seorang gadis yang nyaris telanjang jatuh terjerembab ke lantai setelah di hempaskan begitu saja oleh Alvian. Gadis itu meringis, menahan nyeri di lutut dan sikutnya yang memerah.“Dasar bajingan sok suci!” umpatnya kasar seraya menatap tajam pria yang berdiri di depan pintu kamar.Alvian berjongkok, meraih dagu gadis itu. Awalnya lembut, tapi lama-lama pria itu mencengkeram dagu Amanda dengan kuat sehingga kini gadis yang awalnya menatapnya dengan nyalang, kini meringis kesakitan.“Lepaskan brengsek!” teriak Amanda seraya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman tangan Alvian di dagunya. Tapi usahanya sia-sia karena tenaga Alvian lebih besar darinya. Sehingga ia hanya bisa meringis, menahan sakit.“Wanita murahan seperti kamu, tidak pantas ada di ranjangku! Kamu itu ... Pantasnya berada di rumah bordir. Atau menjadi simpanan om-om yang membutuhkan jasa kamu. Jadi ....” Alvian menggantung kalimatnya dan mencengkeram lebih kuat dagu wanita itu
Kau sederhana,Tapi kau segalanya.Kau mampu menggantikan mendung menjadi pelangi,Menggantikan kesedihan menjadi senyum kebahagiaan.Cinta tak dapat di lihat,Tapi bisa di rasakan.Tak perlu pengakuan,Tapi sebuah pembuktian.Bertahanlah,Meski semesta menentang.Genggam tanganku lebih erat agar aku yakin dan mampu bisa melewati jalan yang tak mudah ini.Jangan pernah ragukan ketulusan cinta yang ku berikan.Karena cintaku ada tanpa alasan.***“Kamu sudah pulang nak?” tanya wanita yang masih cantik di umurnya yang memasuki usia kepala empat itu.“Sudah, Ma.” Alvian meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu dan mencium punggung tangannya.“Al, sayang. Kok kamu baru pulang? Aku nungguin kamu dari tadi sampai bosan.” seorang gadis cantik dengan pakaian seksi menghambur ke pelukan pria muda itu. Tersenyum dengan gerakan menggoda, kemudian mencium pipi Alvian tanpa sungkan.“Lepaskan!” ujar Alvian dengan tatapan tajam dan dingin.“Jangan terlalu galak denganku. Bagaimana pun juga
‘Sejauh apa pun jarak yang memisahkan, cinta kita tak kan berjarak. Selamanya akan menetap meski kita tak lagi saling tatap.” ~Dinda Fitriah~ Bayu keluar dari ruang rawat Dinda dengan kesal. Sesekali menendang udara untuk menyalurkan emosi yang menguasainya. “Kenapa sih Din, selalu saja nama pria ingusan itu yang keluar dari bibirmu! Bahkan dalam tidur pun kamu masih menyebut nama pria sialan itu!” umpatnya kesal. Ia mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ia temui di koridor rumah sakit. Duduk dengan kedua tangan berada di atas lutut, jemarinya meremas rambut yang mulai tumbuh memanjang. “Apa tidak ada kesempatan itu lagi? Apa tidak bisa kamu membuang saja pria itu dari hatimu? Jelas-jelas aku jauh lebih baik dari pria sialan itu! Aku punya segalanya! Sedangkan dia? Cuma punya motor butut yang tak layak pakai! Cih ... Apa yang bisa kamu harapkan dari bocah tengik itu! Kamu pasti akan lebih bahagia jika hidup denganku!” “Arrghh ... Sial ...
'Bagaimana bisa aku meraih bahagia bersama orang lain, sementara hatiku terus saja menggaungkan namamu dan berharap engkau kembali'___________________“Kapan ya perut kamu buncit.” pria muda itu mengelus lembut perut rata sang kekasih. Wanita cantik itu mendelik dengan bibir yang mengerucut. Ia menjauhkan diri dari pria yang sedang mendekapnya itu.“Ishh ...! Mas do’ain aku gendut? Buncit berlemak gitu?” protesnya.“Kan lucu sayang,”“Apanya yang lucu, mas? Jahat ishh ....” bibirnya semakin maju hingga lima sentimeter. Membuat kekasihnya tak kuasa menahan diri.Sang pria hanya terkekeh geli melihat ekspresi wanitanya. Detik selanjutnya ia menjerit karena gelitikan yang bersarang di perutnya.“Ampun sayang. Hentikan! Itu sangat geli!” pria itu berdiri untuk menyelamatkan diri dari serangan wanita itu. Sementara si wanita kini ikut berdiri, berniat membuat pria itu jera.“Makanya! Apa maksudmu dengan perut buncit?” ia berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak dengan bibir