Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.
Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.
Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik.
"Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda.
"Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda.
"Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan.
"Apa sih. Nggak percaya ya udah, nggak maksa aku tuh." Dinda menjulurkan lidahnya sebentar lalu mata dan jemarinya kembali fokus pada kertas yang ada dihadapannya. Mencatat pesanan dan alamat para pelanggan. Dinda mempunyai toko online yang ia rintis dari tahun lalu. Dan sekarang berkembang cukup pesat karena kegigihan janda beranak satu itu. Meski terkadang harus mengalami jatuh bangun, wanita itu tak pernah menyerah. Apalagi mengingat sekarang ia menjadi tulang punggung keluarganya.
"Aku nggak percaya. Beneran deh." Ucap Amira seraya menopang dagunya mengamati bibir Dinda.
"Terserah." Balas Dinda acuh.
"Jawab deh yang jujur. Itu di pasti di gigit pacar berondong kamu itu kan? Hayo ngaku!" Amira menyipitkan matanya, meledek Dinda. Ia yakin sekali bibir sahabatnya itu akibat gigitan.
"Sembarangan!" Dinda melempar ballpoint yang ia pegang dan tepat mengenai kepala Amira. Sontak saja membuat Amira mengasuh dan mengelus kepalanya.
"Sakit. Lagian, ngaku aja kenapa sih. Kan udah biasa juga." Amira semakin meledek sahabatnya itu.
"Apasih." Dinda tetap menutupi kejadian yang sebenarnya. Ia tak ingin menceritakan kebusukan mantan suaminya.
"Harusnya diem aja pas di cium. Jangan berontak, nikmati aja." Kini tawa Amira memenuhi ruangan itu. Membuat Dinda ikut tertawa mendengarnya.
"Dasar!" Dinda sekarang hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
"Dasar apa? Dasar cantik?" Amira mengedipkan kedua matanya sok imut.
"Iya iya, sahabatku yang paling cantik."
"Terimakasih atas pujiannya. Aku memang cantik dan imut."
"Astaga." Keduanya terkekeh.
"Tapi beneran deh, aku penasaran banget. Jawab yang jujur, sebenarnya bibir kamu kenapa?" Wajah Amira berubah menjadi serius. Ia sangat penasaran, bukan apa-apa ia hanya takut kejadian saat Dinda menjadi istri Bayu terulang lagi.
"Kan aku sudah bilang, di cium tembok." jawab Dinda asal. Ia meraih ballpoint bewarna pink, mengganti ballpoint yang di lempar tadi.
"Nafsu banget tuh tembok sampai nyium bibir kamu." Kini wanita yang mempunyai anak dua itu kembali fokus memasukkan barang pesanan ke dalam kardus.
"Siapa yang bernafsu nyium bibir kamu?" Suara seorang pria mengagetkan keduanya. Membuat mereka menghentikan kegiatan yang sedang mereka lakukan. Tampak Alvian yang sudah berdiri di ambang pintu, menatap Dinda dengan tajam. Membuat Dinda dan Amira saling beradu pandang.
"Mas, kok nggak bilang mau kesini?" Dinda segera berdiri, meninggalkan pekerjaannya dan berjalan menghampiri Alvian yang masih diam mengamati bibir Dinda yang terlihat robek.
"Siapa yang gigit bibir kamu?" Tanya Alvian yang membuat jantung Dinda berdegup kencang. Apa luka di bibirnya sangat terlihat jelas? Padahal ia berusaha menutupinya dengan lipstik.
"Tembok mas, tadi malam aku ngelindur terus nggak sengaja malah nabrak tembok." Dinda beralasan.
"Bohong!" Tuding Alvian yang membuat Dinda salah tingkah. Pasalnya ia tak pernah bisa berbohong pada pria yang ada dihadapannya saat ini.
Sedangkan Amira tak berani menatap Alvian karena ia mulai merasakan kecemburuan dan amarah menyelimuti pria muda itu. Ia sangat mengenal kekasih sahabatnya itu. Selain bucin akut, Alvian akan sangat marah jika ada yang berani menyentuh kekasihnya.
"Aku tidak bohong sayang." Dinda berusaha membujuk Alvian. Alvian menyentuh bibir Dinda, matanya menyiratkan kesedihan. Entahlah, ia merasa sakit melihat Dinda terluka meskipun hanya sedikit.
"Mana temboknya? Akan aku beri pelajaran dia. Berani-beraninya dia menyakitimu!" Alvian bersungut-sungut sembari mengelus bibir Dinda dengan sayang lalu mengecupnya sekilas.
Amira hampir tersedak mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Alvian, matanya melirik ke arah pasangan yang sedang di mabuk asmara itu.
"Dasar micin! Eh, bucin!" Cibir Amira seraya menggelengkan kepalanya. Tangannya sibuk membungkus kardus yang sudah ia isi dengan pesanan para pelanggan.
"Biarin. Syirik aja mbaknya." Balas Alvian, matanya tak lepas dari wajah cantik kekasihnya.
"Aku mah nggak syirik, aku punya suami."
"Iya,sayangnya suami mbak kayak es balok."sahut Alvian tak mau kalah.
"Sudah sudah. Apaan sih, selalu aja ribut." Dinda menengahi. Ia mengelus dada Alvian dengan lembut.
Tanpa aba-aba, Alvian langsung menyambar bibir ranum milik Dinda. Tak menghiraukan Amira yang membelalak melihat keduanya berciuman mesra di depannya.
"Uummm.." Dinda hendak melayangkan protes, tapi Alvian tak mau melepaskan bibir Dinda yang manis. Ia sudah kecanduan dengan rasa bibir kekasihnya itu.
"Dasar bucin! Nggak lihat ada aku disini?" Rutuk Amira sambil menggelengkan kepalanya.
"Maass.." Dinda memukul pelan dada Alvian setelah ciumannya terlepas. Wajahnya bersemu, ia sangat malu pada sahabatnya itu. Bisa-bisanya Alvian menyerangnya ketika ada Amira bersama mereka.
"Kenapa sayang? Mau lagi?" goda Alvian tersenyum, tangannya kini memegang dagu Dinda dan mencubit kecil.
"Astaga Alvian. Gerah woi, gerah disini." Amira mengibaskan tangannya, ia merasakan atmosfer di ruangan yang awalnya sejuk berubah menjadi panas.
"Aku malu ih sama Amira." Dinda menutup wajahnya yang memerah.
"Jangan malu sayang, mbak Amira sudah biasa begitu sama suaminya. Jadi jangan malu!"
"Apaan sih mas." Dinda menurunkan tangannya, lalu memukul dada Alvian pelan.
"Benerkan?"
"Astaga." Dinda menepuk jidatnya.
"Udah ah, aku mau nyelesain kerjaan aku dulu." Dinda membalikan tubuhnya, tapi lengannya segera di Tarik oleh Alvian.
"Cium dulu." rengek Alvian yang membuat mata kekasihnya membulat seketika.
"Tadi kan udah."
"Itukan mas yang cium, kan kamu belum."
"Apa bedanya parmen?" geram Dinda.
"Ya bedalah Tarjo!" Alvian menyentil pelan kening kekasihnya. Parmen dan Tarjo merupakan gelar yang di sematkan keduanya. Entah berawal darimana dan siapa yang memulai, nama itu seperti nama panggilan sayang untuk keduanya.
"Sakit mas." Dinda mengusap keningnya.
"Makanya cium dulu, Jo."
Cupp..
Dinda mengecup bibir Alvian sekilas, lalu berjalan meninggalkan kekasihnya yang tersenyum setelah mendapat kecupan singkat dari wanita pujaannya. Amira hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku keduanya.
"Jelaskan, tembok mana yang sudah berani mencicipi bibir kekasihku?" Alvian bersandar di kusen pintu seraya bersedekap memandangi Dinda yang sekarang sedang berkutat dengan deretan angka.
"Tembok kamar." ucap Dinda tanpa menoleh. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan pergi makan siang bersama kekasihnya.
"Aku akan mendatanginya nanti. Lihat saja! Aku akan memukulnya." ucap Alvian sembari berlalu, ia masuk ke ruangan kecil yang biasa digunakan Dinda untuk beristirahat ketika lelah.
"Astaga, dasar bucin!" Lagi, Amira mengumpat. Sedangkan Dinda hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum mengingat tingkah konyol kekasihnya.
"Sayang, jangan lama-lama. Aku lapar." Kepala Alvian muncul di pintu sembari menatap Dinda.
"Delivery aja mas, biar cepat." usul Dinda.
"Nggak mau." Alvian menggeleng.
"Lalu?"
"Aku lapar, pengen makan kamu." Alvian mengedipkan sebelah matanya menggoda kekasihnya. Dinda tidak bisa membayangkan betapa merahnya muka wanita itu sekarang, ia malu pada Amira.
"Uhuk uhukk.." kali ini Amira benar tersedak.
"Batuk mbak?" ledek Alvian.
"Keselek!" jawab Amira.
"Keselek apa?" tanya Alvian.
"Keselek Meteor!" balas Amira geram. Sungguh kekasih sahabatnya ini membuat ia selalu emosi.
Sontak saja sepasang kekasih itu kompak menertawakan Amira.
"Mbak, mbak. Ada-ada aja sih, kok bisa keselek meteor." Alvian kembali masuk keruangan istirahat itu lalu membaringkan tubuhnya ke sofa yang ada disana seraya bermain ponsel. Melihat kembali foto-fotonya bersama Dinda, kekasihnya. Entahlah, ia juga tak tahu mengapa ia bisa sebucin ini dengan wanita beranak satu itu. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan hal seperti ini dengan mantan kekasihnya. Pesona janda muda itu sungguh membuat Alvian tergila-gila.
Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan. Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang te
Jangan membencinya!Karena itu hanya akan membuat hatimu semakin terikat dengannya. Maafkan, ikhlaskan dan lupakan!"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian.Menyadari raut wajah Alvian yang berubah, Dinda menghentikan ceritanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali,lalu memegang lengan Alvian dengan lembut."Mas," panggil Dinda pelan.*Kenapa berhenti? Lanjutkan!" ujar Alvian dingin."Mas, kamu baik-baik saja?"Alvian mengangguk. "Teruskan!" ujarnya.Dinda menelan Saliva dengan susah payah, ia merasa akan ada perang sebentar lagi. Set
Jangan sesali hari kemarin!Jadikan semuanya pembelajaran. Cukup perbaiki diri, agar lebih baik dari kemarin!Dinda pulang dengan mengendarai motor maticnya, wanita itu memarkirkan motornya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah yang terlihat sangat sepi. Ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia membukanya perlahan, sembari mengucapkan salam."Assalamualaikum, Pak. Nadira.. Ibu pulang sayang."Berkali-kali ia mengucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Perasaannya menjadi tak enak, dimana Bapak dan Nadira?Memikirkan hal yang tidak-tidak membuat wanita itu berjalan lebih cepat memasuki rumah sederhana itu."Nadira, Ibu pulang." teriak Dinda, tapi tak ada sahutan. Ia memasuki kamar, tapi tak terlihat Nadira disana. Ia segera melepaskan sepatu yang ia kenakan dan melempar tas nya ke sembarang arah. Pikiran buruk memenuhi kepalanya, membuat ia sedikit berlari
Malam ini akhirnya Bayu ikut makan malam bersama dirumah Dinda. Pak Ahmad merasa bahagia melihat pemandangan di depan matanya. Sikap Bayu yang begitu lembut, sesekali menyuapi anak mereka. Ia tahu, kesalahan yang di lakukan oleh Bayu di masa lalu sangat fatal. Tapi apa salahnya memberikan kesempatan pada orang yang mau berubah menjadi lebih baik. Begitu pikirnya. Lagipula yang ia lihat semakin hari Bayu semakin baik, tak pernah kasar. "Masakanmu tak pernah berubah Din. Selalu enak dan selalu pas di lidahku." Bayu tak segan memuji masakan mantan istrinya. Sedangkan wanita yang di puji hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya Dinda sangat tidak nyaman dengan adanya Bayu sejak sore tadi. Tetapi karena permintaan Ayahnya, ia terpaksa harus bergabung serta harus memasak makan malam yang tak pernah ia harapkan sama sekali sebelumnya. Hati Dinda saat ini sedang kacau, hari ini Alvian tak ada kabar. Dinda sudah berkali-kali menghubungi pria
Pagi ini, sesuai rencana Dinda dan Nadira akan pergi ke taman hiburan bersama Bayu. Tepat pukul 09.00 pagi Bayu datang dengan mobilnya. Nadira berlarian menyambut kedatangan Ayahnya, raut wajahnya terlihat sangat bahagia."Ayah.. ayo kita pergi. Nadira sudah tidak sabar ingin jalan-jalan bersama Ayah dan Ibu." celoteh gadis kecil itu yang kini sudah berpindah ke dalam gendongan Bayu."Ibumu mana?" Bayu mencari keberadaan Dinda yang belum tampak sama sekali."Ibu masih di kamar. Sepertinya Ibu sedang galau." ujar Nadira asal."Galau kenapa?" tanya Bayu sembari mengerutkan keningnya, tapi hanya di jawab dengan gelengan oleh Nadira."Semalam Ibu menangis sambil main hp." jawab Nadira dengan polos.Apa mereka sudah putus? Bayu tersenyum misterius, ia berharap hubungan Dinda dan Alvian benar-benar berakhir. Sehingga ia lebih memiliki peluang untuk merebut Dinda kembali.Tak lama Dinda keluar dari rumah dengan penampilan
"Mencintai, harus siap dengan segala konsekuensi.Percaya! Merupakan kunci keberhasilan dalam suatu hubungan.Mantan hanya bisa di kenang. Untuk kembali, tak kan mungkin seindah kemarin.Cermin yang telah hancur, memang dapat di satukan kembali. Tapi tak kan bisa kembali utuh seperti semula.Ingat!Yang terbaik, tak kan pernah jadi MANTAN!Mobil yang di kendarai Bayu meluncur di jalanan aspal menuju tempat hiburan membelah kemacetan. Mentari pagi ini sangat cerah, tapi tidak dengan hati Dinda. Jauh dalam lubuk hatinya ia sangat merindukan kekasihnya. Khawatir dan rindu jadi satu. Dinda mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil dengan pikiran yang tak menentu. kamu dimana mas? Aku merindukanmu. Ia sangat merindukan kekasihnya. Hatinya menjerit, tak terasa bulir bening yang terasa hangat mengalir di pipinya. Dengan cepat ia menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. Bayu melirik wani
“Cinta sejatinya membawa kebahagiaan. Tapi jika cinta hanya membawa kesedihan, apakah masih bisa di sebut cinta?” _____________ Angin semilir berembus lembut menerpa wajah wanita yang sedang duduk di bawah sebuah pohon besar di depan toko. Menerbangkan beberapa helai rambut panjang yang tergerai. Wajahnya terlihat pucat, lemah tak bergairah. Pandangannya tampak kosong. Pikirannya berkelana, entah ke mana. Raganya lelah, tapi hatinya kukuh untuk bertahan. Seminggu setelah melihat kekasihnya bersama perempuan lain, Dinda seperti orang yang kehilangan hasrat untuk hidup. Setiap hari menunggu di depan toko, berharap kekasih yang teramat ia cintai itu akan datang menghampiri dan kembali padanya. “Alvian ....” desisnya perlahan. Ia memejamkan mata, perih. Setetes bulir bening jatuh di pipinya yang putih. Dengan cepat ia segera menghapus jejak air mata dengan jemarinya yang lentik. “Tidakkah kau merindukank
“Tak perlu mengulang kisah lama, Karena jalan ceritanya akan tetap sama meski waktunya berbeda"________________________“Apa kalian sudah makan?” sapaan ramah dari Bayu membuat Dinda dan Amira terhenyak. Pria itu memasang wajah ceria dengan senyum yang terbingkai di wajahnya.“Aku sudah, tapi Dinda tidak mau makan dari kemarin.” Sahut Amira yang langsung membuat wajah Bayu menjadi khawatir. Pria itu mendekati Dinda yang terlihat tak memperdulikan kedatangannya. Wanita itu masih setia menatap jalan aspal yang ramai akan kendaraan yang berlalu lalang.Bayu meletakkan bungkusan yang ia bawa di atas meja, duduk di sebelah Dinda. Sedangkan Amira segera masuk kembali ke dalam toko, kendati sudah ada Bayu yang menemani sahabatnya itu. Ia berharap banyak pada sang mantan suami, agar bisa mengembalikan senyum Dinda yang hilang. Alvian tidak hanya menghilangkan raganya dari sisi Dinda, tapi ia juga menghilangkan se
“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
“Apa? Maksudnya ... Dinda hamil anak Alvian?” tanya Rio terkejut.“Astaga aku keceplosan. Aku lupa ada manusia lain di sini.” Amira menepuk jidatnya dengan kencang.“Jawab aku! Apa benar Dinda mengandung anak Alvian?”Kedua wanita itu saling pandang, kemudian kompak kembali melihat pria satu-satunya yang ada di sana saat itu. Dengan wajah terkejut dan mata penuh tanda tanya serta kebingungan yang sangat kentara.Dinda menghela napas berat, sementara Amira memukul mulutnya karena merasa bersalah tidak bisa mengontrol ucapannya.“Maafkan aku, Din.” ujarnya lemah.“Kenapa minta maaf?”“Ya karena aku tidak bisa menjaga ucapanku.”“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Lambat laun semua orang juga akan tahu, kan?”“Iya, tapi kan ....”“Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa benar Dinda sedang mengandung anak si brengsek itu?” tanya Rio sekali lagi, kali ini dengan rasa marah yang akan meledak. Dinda terpekur menatap lantai berwarna putih yang berada di bawah. Meremas kedua jemari yang saling be
‘Cinta bukan tentang dua raga yang selalu bersama. Tapi tentang pengorbanan serta dua hati yang menerima kenyataan bahwa tak selamanya cinta akan berakhir Bahagia'***“Aku akan menikah.” ujar Dinda dengan suara serak. Wanita itu menunduk, menahan kuat-kuat air mata yang kembali menganak sungai.“Jangan bercanda, sayang. Ini sama sekali tidak lucu.” kata Alvian seraya tertawa kaku. Wanita yang di hadapannya hanya diam seribu basa, tak berani sekedar mengangkat kepala. Melihat ujung kaki yang kini mulai terasa dingin.“Sayang, jangan suka mengerjaiku. Kau tidak berubah, selalu sukses membuat jantungku seakan lepas karena kejahilanmu.” Alvian mengangkat wajah wanita itu, kembali menariknya dalam pelukan.“Aku tidak bercanda, mas.” kata Dinda lagi. Ia menggigit bagian bibir bawahnya dengan kuat, meremas jemarinya yang berkeringat.“Sayang, please. Aku baru kembali dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin melepaskan rindu yang selama ini terpendam. Kau tahu? Aku bagaikan mayat hidup. Aku ha
Ketika dua hati yang saling merindu bertemu, meleburkan lara yang selama ini membelenggu. Tapi semua hanya lah sebatas cinta yang semu, saling merindu tapi cinta tak di izinkan menyatu. *** “Apa aku boleh duduk di sini?” tanya seorang pria berkemeja hitam, berdiri di hadapan Dinda seraya memasang wajah ramah penuh senyum. Tapi yang di tanya hanya diam tak merespon. Menatap jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Ntah apa yang tengah di pikirkan wanita itu, sehingga tak menyadari seorang pria yang sedari tadi berdiri memandangnya. Merasa di abaikan, pria itu sengaja duduk di sebelah wanita yang sedang melamun itu. Menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, netranya tak merasa jenuh memandang keindahan yang di ciptakan Tuhan. Meski terlihat sedikit pucat dan tanpa memakai make up, wajah Dinda malah terlihat cantik alami. “Cantik ... Dan kamu akan selalu cantik.” gumamnya seraya tersenyum. “Eh, siapa kamu?” suara Amira membuat Dinda dan pria itu terkejut. Pria it
Cinta ini akan tetap bersemayam di relung hati, Tak kan ku biarkan namamu mati. Ia akan tetap abadi, meski pun engkau telah pergi. ❤️❤️ “Sialan tu Si Alvian, sok suci banget jadi cowok. Kalo nggak karena hartanya, mana mau aku capek-capek ngejar dia!” seorang wanita berambut pirang dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sebuah apartemen. “Memangnya kenapa dia?” tanya seorang pria yang menghampirinya dengan membawa sebotol soda lalu memberikannya pada Amanda. “Kamu tahu sayang, dia itu terlalu dingin dan cuek. Aku tidak bisa sedikit pun merayunya. Bahkan aku sampai nyaris telanjang di depannya, tapi tidak ada sedikit pun ketertarikan di matanya!” wanita itu mendengus kesal. Meneguk soda yang telah di buka sebelumnya. “Wow ... Apa kau benar-benar melakukannya?” tanya sang pria dengan penuh selidik. “Iya, sayang. Aku bahkan menggodanya mati-matian. Meraba tubuhnya yang sangat ... Uhh atletis.” membayangkan betapa sempurnanya tubuh Alvian membuat wanita itu menggigit
“Pergi dari sini! Dasar wanita jalang!” seorang gadis yang nyaris telanjang jatuh terjerembab ke lantai setelah di hempaskan begitu saja oleh Alvian. Gadis itu meringis, menahan nyeri di lutut dan sikutnya yang memerah.“Dasar bajingan sok suci!” umpatnya kasar seraya menatap tajam pria yang berdiri di depan pintu kamar.Alvian berjongkok, meraih dagu gadis itu. Awalnya lembut, tapi lama-lama pria itu mencengkeram dagu Amanda dengan kuat sehingga kini gadis yang awalnya menatapnya dengan nyalang, kini meringis kesakitan.“Lepaskan brengsek!” teriak Amanda seraya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman tangan Alvian di dagunya. Tapi usahanya sia-sia karena tenaga Alvian lebih besar darinya. Sehingga ia hanya bisa meringis, menahan sakit.“Wanita murahan seperti kamu, tidak pantas ada di ranjangku! Kamu itu ... Pantasnya berada di rumah bordir. Atau menjadi simpanan om-om yang membutuhkan jasa kamu. Jadi ....” Alvian menggantung kalimatnya dan mencengkeram lebih kuat dagu wanita itu
Kau sederhana,Tapi kau segalanya.Kau mampu menggantikan mendung menjadi pelangi,Menggantikan kesedihan menjadi senyum kebahagiaan.Cinta tak dapat di lihat,Tapi bisa di rasakan.Tak perlu pengakuan,Tapi sebuah pembuktian.Bertahanlah,Meski semesta menentang.Genggam tanganku lebih erat agar aku yakin dan mampu bisa melewati jalan yang tak mudah ini.Jangan pernah ragukan ketulusan cinta yang ku berikan.Karena cintaku ada tanpa alasan.***“Kamu sudah pulang nak?” tanya wanita yang masih cantik di umurnya yang memasuki usia kepala empat itu.“Sudah, Ma.” Alvian meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu dan mencium punggung tangannya.“Al, sayang. Kok kamu baru pulang? Aku nungguin kamu dari tadi sampai bosan.” seorang gadis cantik dengan pakaian seksi menghambur ke pelukan pria muda itu. Tersenyum dengan gerakan menggoda, kemudian mencium pipi Alvian tanpa sungkan.“Lepaskan!” ujar Alvian dengan tatapan tajam dan dingin.“Jangan terlalu galak denganku. Bagaimana pun juga
‘Sejauh apa pun jarak yang memisahkan, cinta kita tak kan berjarak. Selamanya akan menetap meski kita tak lagi saling tatap.” ~Dinda Fitriah~ Bayu keluar dari ruang rawat Dinda dengan kesal. Sesekali menendang udara untuk menyalurkan emosi yang menguasainya. “Kenapa sih Din, selalu saja nama pria ingusan itu yang keluar dari bibirmu! Bahkan dalam tidur pun kamu masih menyebut nama pria sialan itu!” umpatnya kesal. Ia mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ia temui di koridor rumah sakit. Duduk dengan kedua tangan berada di atas lutut, jemarinya meremas rambut yang mulai tumbuh memanjang. “Apa tidak ada kesempatan itu lagi? Apa tidak bisa kamu membuang saja pria itu dari hatimu? Jelas-jelas aku jauh lebih baik dari pria sialan itu! Aku punya segalanya! Sedangkan dia? Cuma punya motor butut yang tak layak pakai! Cih ... Apa yang bisa kamu harapkan dari bocah tengik itu! Kamu pasti akan lebih bahagia jika hidup denganku!” “Arrghh ... Sial ...
'Bagaimana bisa aku meraih bahagia bersama orang lain, sementara hatiku terus saja menggaungkan namamu dan berharap engkau kembali'___________________“Kapan ya perut kamu buncit.” pria muda itu mengelus lembut perut rata sang kekasih. Wanita cantik itu mendelik dengan bibir yang mengerucut. Ia menjauhkan diri dari pria yang sedang mendekapnya itu.“Ishh ...! Mas do’ain aku gendut? Buncit berlemak gitu?” protesnya.“Kan lucu sayang,”“Apanya yang lucu, mas? Jahat ishh ....” bibirnya semakin maju hingga lima sentimeter. Membuat kekasihnya tak kuasa menahan diri.Sang pria hanya terkekeh geli melihat ekspresi wanitanya. Detik selanjutnya ia menjerit karena gelitikan yang bersarang di perutnya.“Ampun sayang. Hentikan! Itu sangat geli!” pria itu berdiri untuk menyelamatkan diri dari serangan wanita itu. Sementara si wanita kini ikut berdiri, berniat membuat pria itu jera.“Makanya! Apa maksudmu dengan perut buncit?” ia berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak dengan bibir