"Jadi gimana? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kira-kira kamu pilih yang mana?""Emangnya harus banget ya kita nikah?" Bukannya menjawab, Bunga malah balik bertanya. "Nikah itu kan janji suci, bukan untuk main-main. Sementara kamu dan Bu Sofia masih suami-istri. Kalau Bu--""Aku cuma minta kamu pilih yang mana, bukan ngurusin yang lain. Kamu nggak perlu ikut campur rumah tanggaku dengan Sofia, paham?!" bentak Gama.Bunga mengangguk, dia ketakutan."Sekarang aku butuh jawabanmu.""Aku--""Dan aku nggak mau dengar kata tidak," sela Gama cepat.Bunga mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sepertinya Gama membaca isi pikiran Bunga."Jadi gimana?"'Apa aku masih berhak menjawab? Bukannya tadi dia bilang aku nggak boleh jawab tidak? Dasar manusia sombong!' decih Bunga dalam hati."Aku--""Kita akan menikah secepatnya. Ya, itu lebih cepat lebih baik. Baiklah, kamu tunggu kabar baik dariku, kamu cukup duduk manis dan patuhi perintahku, paham?"Bunga menghela napas berat, dia hanya bisa memand
"Aku nggak dikasih keluar sama Bu Sofia."Kedua alis Gama mengkerut. "Kok bisa?""Aku juga nggak ngerti. Aku bilang mau ngundurin diri, tapi dia bilang cuma dia yang berhak," keluh wanita itu."Kamu cari alasan apa gitu yang masuk akal, masa cuma ngurusin kayak gini nggak mampu?"Bunga menatap Gama sebal. "Aku juga udah usaha, aku udah kasih alasan yang masuk akal, tapi namanya Bu Sofia tetap nggak mau ya gimana?""Oke, nanti biar aku yang ngomong sama dia."Bunga menggeleng. "Nggak bisa, nanti kalau dia curiga gimana?""Kenapa itu terus yang kamu takutkan? Masalah itu biar aku yang atur, kamu cukup patuhi aturanku saja. Kalau kamu mau denger, maka selalu selamat hidupmu, tapi kalau tidak, maka hidupmu akan hancur dalam sekejap, ngerti?"Bunga menghela napas secara perlahan, kemudian mengangguk mengerti."Bagus, aku suka dengan wanita penurut. Jika kamu sudah menikah denganku, jadilah istri yang penurut."Bunga diam, dia hanya memperhatikan Gama pergi meninggalkannya."Sepertinya aku
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s
"Kamu bentar lagi gajihan, kan? Adek kamu mau lulus, Ibu minta uang ya buat bayar kelulusan sama buat bayar biaya pendaftaran."Bunga menatap koper di depan lemari dengan senyum miris. Awalnya dia berencana untuk mengundurkan diri. Namun, mendengar keluh kesah ibunya dia jadi ragu apakah keluar dari pekerjaan ini keputusan yang tepat?Ya, Bunga memutuskan untuk berhenti karena melihat kondisinya sudah tidak aman. Majikannya itu sering kali bertengkar, entah apa penyebabnya. Itulah yang membuat Bunga tidak nyaman untuk melanjutkan bekerja di sini, karena menurut Bunga, mentalnya juga ikut-ikutan terganggu karena terlalu sering mendengar teriakan, umpatan kasar, dan juga barang pecah.Bisa-bisa nanti dirinya ikut terkena akibat dari pertengkaran sang majikan."Kok diam? Kamu nggak mau bantu Ibu ya, Bunga?” Ibunya kembali berkata. “Terus kalau bukan kamu siapa lagi yang bakal Ibu andalkan? Ayah kamu baru aja dipecat. Katanya pengurangan karyawan karena bentar lagi proyeknya udah selesai.
Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama. Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon."Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta."Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bu
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran."E--enggak kok, Bu. Enggak ada.""Memangnya pesan dari siapa?"Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta.'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati."Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang?"Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?"Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan ya
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s
"Aku nggak dikasih keluar sama Bu Sofia."Kedua alis Gama mengkerut. "Kok bisa?""Aku juga nggak ngerti. Aku bilang mau ngundurin diri, tapi dia bilang cuma dia yang berhak," keluh wanita itu."Kamu cari alasan apa gitu yang masuk akal, masa cuma ngurusin kayak gini nggak mampu?"Bunga menatap Gama sebal. "Aku juga udah usaha, aku udah kasih alasan yang masuk akal, tapi namanya Bu Sofia tetap nggak mau ya gimana?""Oke, nanti biar aku yang ngomong sama dia."Bunga menggeleng. "Nggak bisa, nanti kalau dia curiga gimana?""Kenapa itu terus yang kamu takutkan? Masalah itu biar aku yang atur, kamu cukup patuhi aturanku saja. Kalau kamu mau denger, maka selalu selamat hidupmu, tapi kalau tidak, maka hidupmu akan hancur dalam sekejap, ngerti?"Bunga menghela napas secara perlahan, kemudian mengangguk mengerti."Bagus, aku suka dengan wanita penurut. Jika kamu sudah menikah denganku, jadilah istri yang penurut."Bunga diam, dia hanya memperhatikan Gama pergi meninggalkannya."Sepertinya aku
"Jadi gimana? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kira-kira kamu pilih yang mana?""Emangnya harus banget ya kita nikah?" Bukannya menjawab, Bunga malah balik bertanya. "Nikah itu kan janji suci, bukan untuk main-main. Sementara kamu dan Bu Sofia masih suami-istri. Kalau Bu--""Aku cuma minta kamu pilih yang mana, bukan ngurusin yang lain. Kamu nggak perlu ikut campur rumah tanggaku dengan Sofia, paham?!" bentak Gama.Bunga mengangguk, dia ketakutan."Sekarang aku butuh jawabanmu.""Aku--""Dan aku nggak mau dengar kata tidak," sela Gama cepat.Bunga mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sepertinya Gama membaca isi pikiran Bunga."Jadi gimana?"'Apa aku masih berhak menjawab? Bukannya tadi dia bilang aku nggak boleh jawab tidak? Dasar manusia sombong!' decih Bunga dalam hati."Aku--""Kita akan menikah secepatnya. Ya, itu lebih cepat lebih baik. Baiklah, kamu tunggu kabar baik dariku, kamu cukup duduk manis dan patuhi perintahku, paham?"Bunga menghela napas berat, dia hanya bisa memand
Bunga menggeleng cepat. "Sa--saya tidak tahu orang itu, Bu," katanya gugup."Kamu yakin?" Mata Sofia memicing. "Tapi ... Mas Gama sendiri loh yang ngomong kalau kamu tahu orangnya seperti apa, bahkan kalian sempat ngobrol, malah kata suamiku kalian akrab banget. Kamu nggak menusukku dari belakang, kan, Bunga?""Saya beneran nggak tahu, Bu. Saya malah bingung kenapa Pak Gama bicara seperti itu, padahal pernah bertemu sama orang itu aja tidak pernah," sangkalnya.Sofia diam, dia mengamati gerak-gerik Bunga yang terlihat tenang. Sialnya dia tidak bisa membaca pikiran orang lain.'Jadi siapa yang benar? Mas Gama atau Bunga? Kenapa diantara mereka berdua seperti berbicara dengan sungguh-sungguh? Dan yang bohong sebenarnya siapa?' Sofia bertanya-tanya dalam hati."Saya juga tidak menusuk Ibu dari belakang." Bunga menelan salivanya dengan susah payah. Lidah ini benar-benar sudah lihai untuk berdusta."Terus kenapa sampai saat ini kamu belum membuktikan kalau Mas Gama ada main belakang sama p
Bunga frustrasi, semakin ke sini Gama tampak terang-terangan menunjukkan gelagat di depan Sofia.Dan Sialnya sepertinya Sofia sudah mulai curiga pada mereka, setidaknya itulah yang Bunga pikirkan."Jangan terang-terangan kayak gini," tegur Bunga, karena Gama tampak mendekat dan menepuk bokongnya."Kenapa? Takut?" tanya Gama remeh. Pria itu mengambil air minum di kulkas lalu menandasnya sampai air sisa setengah.'Pake ditanya lagi, jelas aja iya,' gerutu Bunga dalam hati. Sayangnya dia tidak berani berucap dengan lantang, karena takut akan menyinggung Gama."Bukannya aku udah memberimu dua pilihan? Dan sayangnya kamu malah memilih opsi yang kedua, yaitu terima konsekuensinya. Jadi, hari ini aku akan memutuskan untuk memberitahu Sofia tentang masalah kita." Gama mengedipkan sebelah mata."Jangan gila!" Tiba-tiba suara Bunga meninggi."No! Siapa yang gila? Kamulah yang memilihnya."'Arggghhh! Gama sialan! Gama berengsek!' umpat Bunga dalam hati."Beri aku waktu untuk menjawab ulang, tapi
"Aku punya dua pilihan untukmu, dan aku harap kamu mau memilih salah satunya.""Apa itu?" tanya Bunga penasaran."Sebenarnya mudah kalau kamu paham."Bunga mengernyit heran. Ucapan Gama agak sulit untuk dicerna, apa pria itu akan memberikan pilihan yang sulit?"Bisa diperjelas maksudnya apa?" tanya Bunga tak sabaran."Kita akan menikah."Mulut Bunga menganga lebar, syok, pandangannya beralih ke sana-sini lalu pipinya ditepuk-tepuk berkali-kali. Takut kalau dia sedang halusinasi, kenyataannya tidak."Aku nggak salah dengar, kan?" Bunga terus menggeleng, dia berasumsi kalau sedang bermimpi."Menurutmu?""Atas dasar apa mengajakku menikah? Bukannya aku ini statusnya kerja yang digaji dapat uang? Kenapa--""Intinya kamu mau apa tidak?"Bunga menggeleng cepat. "Nggak!" katanya tegas."Alasannya?" Gama menaikkan dagu, sifat songongnya pun muncul, merasa tertantang karena baru saja ditolak secara mentah-mentah."Banyak. Banyak banget. Kamu itu suami orang, kamu itu orang kaya, kamu itu orang
"Sebenarnya aku sudah pasang beberapa cctv, bahkan suamiku juga tahu. Sesekali kami mengeceknya. Ini ide suamiku, awal nikah dia nggak percaya sama aku, dan ya ... sampai sekarang dia pun masih nggak percaya. Makanya cctv itu masih berjalan, dan sekarang aku menambah lagi di area tertentu, sesuai keinginan kalian. Nyatanya apa? Sedingin-dinginnya suamiku, dia tetap nggak tertarik sama perempuan lain, meskipun perempuan itu cantik sekalipun."Usai Sofia berkata seperti itu, tatapan dari teman-temannya tampak berbeda-beda."Ish! Jangan terlalu percaya deh sama laki-laki, mungkin sekarang dia begitu, tapi siapa tahu ke depannya berubah? Apalagi sampai saat ini kalian masih belum berdamai, kan?" semprot Sasya."Iya, kenapa sih kalian nggak coba bicara pake kepala dingin gitu? Iya, kami semua juga tahu kalau kalian dijodohin. Banyak loh teman kita yang awalnya dijodohin tapi ujung-ujungnya saling mencintai, bahkan udah punya anak banyak. Lah kamu gimana kabarnya? Udah hampir tujuh bulan, k
Gama tampak manggut-manggut ketika melihat kedatangan Bunga."Bagus, jam berapa ini? Kenapa baru sampai rumah?" sindir pria itu.Bunga sengaja menulikan telinga, dia melewati Gama begitu saja, sialnya Gama langsung menyentak tangan Bunga."Dengar nggak aku ngomong? Apa akhir-akhir ini aku terlalu baik sama kamu, terlalu membebaskan kamu, makanya kamu sudah mulai berani sama aku, huh!" bentak Gama.Bunga meringis kesakitan, kendati demikian Gama tak melepaskan cekalan tangannya."Bukannya sudah kubilang? Jangan terlalu dekat temanmu itu, lihat sendiri hasilnya, kamu sekarang udah mulai membangkang. Sadar diri, kamu itu di sini siapa, kamu itu pekerja yang seharusnya selalu menurut apa kata bos kamu. Kamu di sini dituntut untuk disiplin, kan? Kenapa ucapanku kamu abaikan?"Benar, Bunga kembali membuat kesalahan yang dilakukan berkali-kali. Dia memang sadar diri, tapi kenapa selalu melakukannya? Dan lagi-lagi karena bertemu dengan Ayu.Apa memutuskan berteman dengan Ayu keputusan yang sa
"Ehem."Baik Ayu maupun Bunga tersentak, mereka langsung menoleh ke arah sumber suara.Awalnya Ayu tercengang, tapi setelah dia ingat siapa pria itu, barulah memasang wajah tak ramah."Ngapain lama-lama di sini?""Aku ketemu sama teman, ngobrol," jawab Bunga acuh.Gama melirik jam yang ada di tangannya, lalu mendesah berat."Udah dua jam kamu ada di sini, nanti kalau Sofia cari kamu gimana?""Bu Sofia tadi pergi sama teman-temannya, dia bilang pulangnya malam," sahut Bunga lagi.Gama tampak manggut-manggut, dia menatap wanita rahasianya yang sudah mulai berani padanya, lalu pandangannya beralih ke arah Ayu yang sedari tadi memperhatikannya.Gama menduga kalau keberanian Bunga pasti asal muasalnya dari Ayu, entah mengapa dari awal Gama tidak suka dengan Ayu, menurutnya wanita itu membawa pergaulan buruk, apalagi dilihat dari pekerjaannya yang tidak beres."Oke, aku tunggu di rumah. Jangan sampai telat kalau kamu nggak mau menanggung akibatnya," ancam pria itu.Belum sempat Bunga menjaw