Seminggu kemudian.Kali ini status Bunga sudah bukan pembantu lagi, tetapi istri simpanan Gama. Kendati demikian, meskipun dia menjadi istri dari seorang konglomerat, nyatanya Bunga tak sebebas seperti dulu. Pernikahan mereka dirahasiakan karena perintah Gama.Lantas Bunga bisa apa? Bahkan ingin keluar rumah pun dia selalu dibatasi.Bunga menatap sekeliling rumah itu dengan hampa. Saat ini dia memang serba cukup, tapi entah mengapa Bunga merasa ada yang hilang.Dia sangat merindukan kebebasannya dulu. Wanita itu selalu berandai-andai, kalau saja dia tidak pernah memutuskan untuk datang ke kota, pasti nasibnya tidak akan seperti ini."Huft." Bunga menghela napas berat. Mengambil ponsel yang dia taruh di meja.Dia terus menggulir media sosialnya sampai bosan, sungguh tidak ada yang menarik.[Jalan yuk.]Melihat notifikasi chat, Bunga langsung mengkliknya, ternyata pesan itu dari Ayu.[Nggak bisa ya? Kayaknya sih iya, kamu kan sibuk sama kerjaan.]Bunga menggigit kukunya, dia ingin sekal
"Sudah kukatakan, kalau tidak ada izin dariku jangan pernah keluar rumah!" Gama berkacak pinggang."Aku udah minta izin sama kamu, aku ... Udah coba chat dan juga nelpon kamu, tapi kamu nggak angkat dan nggak balas pesanku," ujar Bunga membela diri."Itu artinya apa, huh? Pasti kamu Udah paham maksudku, kan? Kalau aku sampai tidak membalas, itu artinya aku nggak kasih izin.""Aku sama sekali nggak tahu," jujur Bunga. "Aku nggak bisa memahami isi hati orang, dan aku nggak bisa baca pikiran.""Sekali lagi aku tekankan, jangan pernah keluar rumah tanpa seizinku!""Aku bosan di rumah! Memangnya kenapa kalau aku pergi? Aku juga nggak bakal terang-terangan mengatakan kalau aku istri simpanan mu, kenapa kamu setakut itu?""Bagaimana kalau Sofia tahu?"Bunga mengernyit heran, mengapa tiba-tiba membahas mantan majikannya?"Kenapa dengan dia?" tanya Bunga penasaran."Bagaimana kalau nanti dia curiga?" Ucapan Gama sungguh ambigu."Kamu takut kalau pernikahan ini ketahuan sama Bu Sofia?" tanya B
"Aku curiga kalau Gama menyembunyikan sesuatu.""Kenapa tiba-tiba membicarakan tentangnya?" tanya Nendra heran.Sofia menatap pria yang baru saja berbagi kehangatan dengannya dengan sorot mata tajam. "Dia itu suamiku, wajar kalau aku bahas dia," katanya sewot."Hmm, dia memang suami kamu, tapi nggak pernah bisa puasin kamu. Suami macam apa kayak gitu?"Sofia mengepalkan tangannya. "Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi, memangnya kamu lupa selama ini uang yang aku kasih ke kamu itu dari siapa? Jangan berlagak lupa ingatan ya, tanpa uang darinya hidup kamu bakal luntang-lantung."Nendra mengepalkan tangannya, dari awal yang dia butuhkan bukan uang Gama, melainkan tubuh Sofia.Meskipun dia tidak setajir Gama, tapi dia tetap memiliki pekerjaan. Selama ini setiap mereka sehabis 'main' Sofia selalu memberikan tips, awalnya Nendra menolak, tapi karena Sofia terus saja mendesak, maka mau tidak mau Nendra menerima uang itu."Berhenti mengagungkan nama pria itu, buktinya pernikahan kalian ngga
"Kalau aku ya, punya suami setampan dan setajir kayak Gama, nggak bakal deh aku nyeleweng," celetuk Dona."Betul," timpal Sasya. "Apa sih yang kamu cari lagi, hidup kamu itu udah sempurna banget loh, Sofia."Sofia tersenyum miris. "Kalian nggak bakal paham sama apa yang aku rasakan."Baik Dona dan Sasya menatap temannya heran. Kemarin mereka mempergok Sofia keluar dari hotel, dan setelah mereka desak, akhirnya Sofia mengakui kesalahannya, habis tidur dengan pria lain."Kesalahan apa yang Gama lakukan sampai-sampai kamu kayak gini?" tanya Dona penuh selidik.Sasya menepuk pelan lengan Dona, kemudian menggeleng pelan. "Kita nggak berhak ikut campur rumah tangga mereka, yang menjalani itu mereka berdua."Dona menghela napas gusar. "Emang iya sih, ini rumah tangga mereka."Sofia yang menjadi bahan perbincangan pun hanya bisa tersenyum, rasanya dia masih belum siap untuk mengatakan yang sejujurnya."Ngomong-ngomong kamu jadi pecat pembantu itu?"Sofia mengerutkan keningnya heran. Bukankah
"Nanti malam datang ke rumah."Gama terdiam cukup lama seraya mengetuk-ngetuk jari di dagu, tumben-tumbenan mamanya menghubungi dan memintanya untuk pulang. Biasanya kalau keluarga sudah seperti itu, pasti ada masalah serius."Aku lagi sibuk, Ma," kata pria itu pelan."Mama disuruh sama papa. Katanya dia merindukanmu."Gama mendengkus keras. Rindu? Cih! Mustahil pria bernama Gunadi itu merindukan anak laki-lakinya."Aku--""Nggak ada alasan, Gama!" sela wanita itu, Lala, mama Gama. "Selama kamu nikah, kamu nggak pernah pulang ke rumah. Jadi Mama mohon nanti malam kamu ke sini ya. Nggak sama Sofia juga nggak apa-apa, yang penting kamu ke sini."Gama menghela napas berat, kalau mamanya sudah merengek, mana bisa dia menolak."Oke," jawabnya kemudian.Setelah panggilan terputus, Gama kembali termenung. Teringat dengan kata-kata Lala, tidak mengajak Sofia juga tidak apa-apa? Gama sudah menduga pasti ada yang tidak beres.**"Bagaimana kerjaanmu?"Saat ini hanya mereka berdua saja, Gunadi d
Gama pulang dengan wajah yang sangat kusut, obrolannya tadi dengan Gunadi sangatlah menguras emosinya.Gama sama sekali tidak takut dengan ancaman Gunadi, sayangnya pria itu menggunakan taktik lain, yaitu mengancam orang terdekatnya, Bunga.Baru kali ini Gama takut melebihi apapun. Dia takut kalau Bunga akan diapa-apakan oleh keluarganya."Brengsek!" Gama kembali mengumpat, seraya meninju dinding dengan keras, akibatnya darah mengucur agak deras, sayang sekali tak berasa bagi Gama.Usai memencet tombol bel rumah, pintu langsung terbuka, pandangan Gama langsung menuju pada sosok di depannya.Wajah polos, bibir mungil, dan mata yang sangat teduh itu memandang Gama."Udah pulang?" tanyanya lirih.Ini yang Gama suka, inilah yang dianggap pernikahan yang sesungguhnya.Ketika pulang kerja ada yang sambut, ketika mau mandi dan mau makan ada yang siapin. Pokoknya sempurna. Kenapa tidak Bunga saja yang dipilih oleh keluarga Gama? Kenapa harus Sofia yang jelas-jelas bukan wanita baik-baik?"Hmm
Gama mendengkus keras ketika melihat kedatangan istri. Pikirannya sedang runyam, dan ini menjadi lebih rumit lagi karena dengan lancangnya Sofia datang ke kantornya."Apa yang membawamu sampai kamu ada di sini?" tanya pria itu dingin."Kamu nggak pernah pulang, jadi wajar aja kalau aku cari-cari kamu," sahut Sofia jutek."Selama ini aku nggak pernah ganggu kehidupan kamu, Sofia, dan kali ini kamu sudah mengganggu privasiku. Datang ke kantorku? Apa sebenarnya tujuan kamu?" Terlihat Gama begitu menahan emosi."Aku mau kamu pulang!""Pulang?" Gama mengernyit heran, tak lama setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. "Sejak kapan kamu mengatur-atur hidupku, huh? Selama ini kita tak pernah saling memperhatikan satu sama lain, itu perjanjian sebelum kita menikah, dan sekarang kamu mau melanggarnya?""Aku ...." Sofia mengepalkan tangannya, kalau bukan karena ancaman mertuanya, dia tidak akan senekat ini untuk datang ke kantor Gama. Dia tahu kalau kelancangannya ini pasti tidak akan ditolerir ol
"Kamu nuduh di antara kami? CK! Yang benar aja, Sofia."Sedari tadi Sofia terus saja menyolot jika di antara Dona dan Sasya adalah salah satu selingkuhan Gama."Papasan sama dia aja nggak pernah, boro-boro mau selingkuh," keluh Dona, menimpali."Mas Gama bilang orang itu ada di antara kami, orang terdekat kami. Sedangkan orang-orang terdekatku itu ya cuma kalian," katanya frustrasi."Ya tapi nggak kami juga, kami ini udah punya suami masing-masing. Meskipun suami kamu lebih tajir, tapi ya masa iya kita ngerebut punya sahabat sendiri. Nggak masuk akal." Sasya masih betah mengoceh, karena tak terima terus saja dituduh. "Bisa aja kalau itu cuma alibi suami kamu aja, kan, biar kamu terkecoh?"Sofia masih menatap kedua temannya curiga. Apa iya Gama membohonginya?"Coba deh sesekali kamu selidiki suami kamu. Cari tahu kebenarannya," usul Dona lagi."Udah berkali-kali, hasilnya nihil. Aku nggak nemuin hal aneh dia.""Mungkin kamu nyuruh orang yang benar-benar nggak bisa. Coba deh suruh detek
"Apa yang Papa lakukan?""Melakukan yang memang pantas kulakukan," jawab Gunadi enteng.Gama mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka kalau situasinya akan menjadi seperti ini."Bukannya kamu setuju pisah sama dia? Kenapa masih dipertanyakan lagi?" Gunadi menatap putranya dengan sorot mata tajam."Aku emang setuju, tapi kenapa Papa masih ikut campur? Lama-lama aku muak sama kelakuan Papa. Dengar, aku ini bukan anak kecil yang selalu diatur-atur harus seperti ini, harus seperti itu. Nggak, Pa. Aku nggak habis pikir punya keluarga macam Papa." Gama menggeleng kecewa."Percuma kamu meratapi nasib, orang itu sekarang udah pergi jauh. Dia nggak bakal ganggu kamu lagi, sekarang mulai semuanya dari awal. Cari wanita yang setara, supaya tidak malu-maluin keluarga kita jika diajak pergi ke pesta."Gama tersenyum sinis. Segampang itu? Seandainya orang yang ada di hadapannya ini bukan papanya, mungkin sudah dia bunuh, karena sudah berani-beraninya mengacaukan seluruh hidupnya, ikut campur pribad
Apa yang dikatakan Ayu memang benar, Gunadi adalah orang yang sangat berbahaya.Bunga sangat menyesal karena telah berurusan dengan pria itu. Nyatanya uang 5 milyar yang dijanjikan pria itu tidak dikasih, yang ada Bunga diancam kalau tidak menuruti perintah pria itu.Bahkan Ayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka pun ikut terseret."Yu, aku minta maaf. Ini belum terlambat, lebih baik kamu pergi aja sebelum semuanya--""Udah, nggak apa-apa, Bunga," sela Ayu cepat.Sebelum orang suruhan Gunadi benar-benar pergi, berkali-kali Bunga menyuruh Ayu untuk membuntuti mereka, sayangnya Ayu tidak mau. Dia malah memilih untuk bersama Bunga. Dia tidak tega meninggalkan Bunga seorang diri di tempat sepi seperti ini.Bunga tahu kalau Ayu juga syok dengan kekacauan yang terjadi. Bunga berkali-kali menyesali keputusannya, berkali-kali juga meminta maaf pada Ayu.Awalnya Bunga meminta uang 5 milyar hanya ingin basa-basi saja, atau ... bisa dikatakan sekadar iseng, untuk memastikan ucap
"Aku nggak nyangka kalau dia bakalan buang aku, Yu. Padahal selama ini aku udah ngotot pertahanin dia. Kenapa dia ... jahat banget sama aku, Yu."Ayu menatap Bunga prihatin, Bunga sedari tadi menangis sesenggukan dan beberapa kali juga memaki Gama.Sedari tadi mulut Ayu terasa begitu gatal, hanya saja dia terus menahannya. Tunggu benar-benar Bunga membaik, barulah Ayu akan mengeluarkan sumpah serapahnya itu."Yu, kok kamu dari tadi diam aja sih, biasanya juga ngomel-ngomel. Kamu nggak lagi di pihak aku ya?" omel Bunga di sela-sela tangisnya.Ayu menghela napas berat. "Kamu ini ngomong apa sih, justru aku kasih kamu kesempatan buat nenangin diri.""Dia tiba-tiba bilang kalau lebih baik aku sama dia pisah aja. Tiba-tiba banget loh, Yu, nggak ada angin nggak ada hujan, kamu bayangin aja gimana syoknya jadi aku.""Kan dari awal aku juga udah bilang, jangan pernah berurusan sama laki-laki kaya, apalagi sampai jatuh cinta. Nih lihat sendiri kan akibatnya, dan lagi saat ini kamu lagi bunting
"Kamu tahu kalau istri kamu itu hamil?"Gama tersenyum menyeringai, mencengkram ponsel itu dengan erat. Saat ini dia sedang berbicara dengan Gunadi melalui telepon.Entah mengapa tiba-tiba Gunadi berbicara seperti itu, dan apa alasan Sofia mengatakan hal itu pada Gunadi? Apa karena tidak terima karena dirinya meminta cerai?"Papa yakin kalau itu anakku?""Kamu tanya sama Papa? Yakin? Kan kamu sendiri yang nanam benih," cibir Gunadi dari ujung sana.Gama mengacak rambutnya frustrasi. "Pa, aku udah bilang, aku nggak pernah sentuh Sofia. Mana mungkin itu anak aku, keputusanku udah bulat ya, mulai sekarang Papa nggak usah ikut campur lagi sama aku dan Sofia. Aku sama Sofia udah selesai, Pa.""Sofia?" Gunadi tertawa terbahak-bahak. "Emangnya Papa ada bahas dia?"Gama terdiam beberapa saat, mencerna apa yang barusan dia dengar. Apa maksud Gunadi?Lalu pandangan Gama beralih pada pintu kamar yang saat ini ditempati oleh Bunga istirahat.Apa mungkin yang dimaksud Gunadi adalah Bunga? Sial! Ba
"Bunga, kamu ... maaf aku baru bisa ngabarin kamu sekarang, semalam aku pulang ke rumah, mamaku sakit dan entah kenapa dia tiba-tiba manja banget sama aku, dia nggak mau aku tinggalin, alhasil aku nginep di sana, ponselku kehabisan daya. Aku minta maaf, aku dengar dari satpam kalau kamu habis kelahi sama Sofia, iya?"Bunga tersenyum kecut. Apa tadi kata pria itu? Mamaku ya? Sudah sangat jelas bukan kalau Bunga sama sekali tidak diharapkan dalam pernikahan ini?Bahkan selama mereka menikah pun Bunga sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh keluarga Gama. Entah, Bunga juga bingung kenapa dia harus mempermasalahkan ini sekarang, padahal sudah jelas-jelas pernikahan mereka didasari karena terpaksa.Argghh! Bunga benci dengan situasi ini, dia heran kenapa berubah menjadi serakah?"Aku nggak papa," sahutnya ketus."Aku tahu kamu marah, aku minta maaf atas perlakuan Sofia. Kamu habis dari mana, kok baru pulang?"Bunga tak menjawab, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Stok kesabarannya kali
Hingga pagi menjelang, Bunga masih berharap jika Gama akan menjemputnya. Kenyataannya? Menghubungi dirinya saja tidak, boro-boro untuk menghampiri dirinya ke sini.Sebenarnya Gama pergi ke mana? Kenapa menjadi tanda tanya besar laki-laki itu tiba-tiba menghilang?Bunga hanya bisa menghela napas berat, dilihatnya sudah jam delapan pagi, kondisinya juga sudah lumayan membaik, dan dia juga sudah diizinkan pulang karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Dokter hanya berpesan jika dia harus menjaga kandungannya sebaik mungkin, untuk biaya rumah sakit pun Bunga juga sudah membayarnya sendiri, untungnya waktu itu dia masih mengingat dompetnya, jaga-jaga untuk keperluan mendadak, dan ternyata benar. Bunga berjalan menuju koridor rumah sakit, sesekali mengecek ponselnya, berharap Gama menghubunginya, sayangnya nihil."Apa sebegitu nggak penting aku bagimu, Mas? Sampai-sampai aku nggak ada di rumah pun kamu sama sekali nggak peduli," gumam wanita itu tersenyum miris.Sesampainya Bunga d
"Beneran nggak apa-apa?"Bunga mengangguk. "Iya, nggak papa kok."Ayu berdecak sebal. Tadi dia kembali datang ke rumah Gama karena ada barang yang menurutnya sangat penting tertinggal, tidak tahunya malah dia melihat adegan yang tampak sangat mengerikan.Beruntungnya Ayu langsung sigap menolong Bunga. Sofia? Wanita itu langsung kabur ketika Ayu berteriak ada perampok."Suami kamu mana? Kok dia nggak bantuin kamu waktu kamu diginiin sama istrinya?" tanya Ayu sewot."Dia ada kerjaan.""Kerjaan apa kerjaan? Dasar banyak alasan dia itu. Coba seandainya kalau aku nggak datang, nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kamu, bahkan nyawa anakmu juga dipertaruhkan. Aku udah ingetin kamu dari dulu, jangan pernah berurusan sama orang kaya, lihat nih akibatnya. Ini belum seberapa loh, Bunga."Bunga tampak manggut-manggut. Iya, dia setuju dengan kalimat Ayu.Ini belum seberapa, dan ini baru Sofia yang melakukannya, belum lagi seorang Gunadi. Ya, memang itu resikonya ketika dia memutuskan bertahan d
"Ayo ke rumah sakit."Bunga menggeleng seraya tersenyum. "Aku udah mendingan, emangnya nggak lihat ya kalau aku udah baik-baik aja?"Gama menghela napas. Dia memang melihat wajah Bunga sudah tampak segar. Namun, tetap saja dia masih khawatir. Apalagi meskipun Bunga sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa, tak bisa dipungkiri kalau wajah wanita itu masih terlihat begitu pucat. Mana tega pria itu melihatnya."Kamu yakin udah baik-baik aja?" tanya Gama penuh keraguan.Bunga mengangguk. "Yakin, buktinya aku udah nggak ngeluh-ngeluh lagi, kan? Nggak yang kayak kemarin-kemarin. Mas tenang aja, aku udah nggak papa kok," ujar wanita itu meyakinkan.Bunga berusaha keras menolak, agar tak ketahuan oleh Gama bahwa saya ini dia sedang mengandung anak dari pria itu."Kalau ada apa-apa bilang aku ya, kita langsung ke rumah sakit.""Aku nggak apa-apa, Mas. Ya Tuhan."Gama memutar bola matanya. "Iya, iya. Terserah kamu aja deh. Dasar wanita keras kepala. Aku mau pergi dulu, agak lama. Kalau butu
"Nih, aku beliin dari yang murah sampai yang mehong. Tes aja semuanya kalau kamu ragu," ucap Ayu seraya memberikan kantung plastik berwarna hitam pada Bunga."Banyak banget, Yu.""Iya, kalau yang biasa takutnya nggak valid, makanya aku beli semua aja. Yakin deh itu, pasti di antara semua itu ada yang valid. Aku belum pernah pakai yang beginian, jadi kurang info. Intinya kalau garis dua ya tandanya hamil. Kamu coba aja deh sana.""Caranya gimana?" tanya Bunga bingung.Ayu berdecak malas. "Masa gini-gini harus dikasih tahu sih. Kamu itu udah bukan anak TK lagi, Bunga. Gimana sih kamu ini. Ambil sample taruh di cup kecil, nanti kamu cobain semua testpack ini, masukin satu-satu."Bunga manggut-manggut. "Oke, aku ke kamar mandi dulu kalau gitu. Kamu duduk-duduk aja dulu, kalau mau bikin minum bisa ke dapur sendiri ya, nggak apa-apa, kan?"Ayu mengernyit heran. "Hah? Nggak salah dengar? Ini rumah gede banget loh, Bunga. Masa kamu nggak punya pembantu?" tanya Ayu tak habis pikir."Pembantu a