"Nanti malam datang ke rumah."Gama terdiam cukup lama seraya mengetuk-ngetuk jari di dagu, tumben-tumbenan mamanya menghubungi dan memintanya untuk pulang. Biasanya kalau keluarga sudah seperti itu, pasti ada masalah serius."Aku lagi sibuk, Ma," kata pria itu pelan."Mama disuruh sama papa. Katanya dia merindukanmu."Gama mendengkus keras. Rindu? Cih! Mustahil pria bernama Gunadi itu merindukan anak laki-lakinya."Aku--""Nggak ada alasan, Gama!" sela wanita itu, Lala, mama Gama. "Selama kamu nikah, kamu nggak pernah pulang ke rumah. Jadi Mama mohon nanti malam kamu ke sini ya. Nggak sama Sofia juga nggak apa-apa, yang penting kamu ke sini."Gama menghela napas berat, kalau mamanya sudah merengek, mana bisa dia menolak."Oke," jawabnya kemudian.Setelah panggilan terputus, Gama kembali termenung. Teringat dengan kata-kata Lala, tidak mengajak Sofia juga tidak apa-apa? Gama sudah menduga pasti ada yang tidak beres.**"Bagaimana kerjaanmu?"Saat ini hanya mereka berdua saja, Gunadi d
Gama pulang dengan wajah yang sangat kusut, obrolannya tadi dengan Gunadi sangatlah menguras emosinya.Gama sama sekali tidak takut dengan ancaman Gunadi, sayangnya pria itu menggunakan taktik lain, yaitu mengancam orang terdekatnya, Bunga.Baru kali ini Gama takut melebihi apapun. Dia takut kalau Bunga akan diapa-apakan oleh keluarganya."Brengsek!" Gama kembali mengumpat, seraya meninju dinding dengan keras, akibatnya darah mengucur agak deras, sayang sekali tak berasa bagi Gama.Usai memencet tombol bel rumah, pintu langsung terbuka, pandangan Gama langsung menuju pada sosok di depannya.Wajah polos, bibir mungil, dan mata yang sangat teduh itu memandang Gama."Udah pulang?" tanyanya lirih.Ini yang Gama suka, inilah yang dianggap pernikahan yang sesungguhnya.Ketika pulang kerja ada yang sambut, ketika mau mandi dan mau makan ada yang siapin. Pokoknya sempurna. Kenapa tidak Bunga saja yang dipilih oleh keluarga Gama? Kenapa harus Sofia yang jelas-jelas bukan wanita baik-baik?"Hmm
Gama mendengkus keras ketika melihat kedatangan istri. Pikirannya sedang runyam, dan ini menjadi lebih rumit lagi karena dengan lancangnya Sofia datang ke kantornya."Apa yang membawamu sampai kamu ada di sini?" tanya pria itu dingin."Kamu nggak pernah pulang, jadi wajar aja kalau aku cari-cari kamu," sahut Sofia jutek."Selama ini aku nggak pernah ganggu kehidupan kamu, Sofia, dan kali ini kamu sudah mengganggu privasiku. Datang ke kantorku? Apa sebenarnya tujuan kamu?" Terlihat Gama begitu menahan emosi."Aku mau kamu pulang!""Pulang?" Gama mengernyit heran, tak lama setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. "Sejak kapan kamu mengatur-atur hidupku, huh? Selama ini kita tak pernah saling memperhatikan satu sama lain, itu perjanjian sebelum kita menikah, dan sekarang kamu mau melanggarnya?""Aku ...." Sofia mengepalkan tangannya, kalau bukan karena ancaman mertuanya, dia tidak akan senekat ini untuk datang ke kantor Gama. Dia tahu kalau kelancangannya ini pasti tidak akan ditolerir ol
"Kamu nuduh di antara kami? CK! Yang benar aja, Sofia."Sedari tadi Sofia terus saja menyolot jika di antara Dona dan Sasya adalah salah satu selingkuhan Gama."Papasan sama dia aja nggak pernah, boro-boro mau selingkuh," keluh Dona, menimpali."Mas Gama bilang orang itu ada di antara kami, orang terdekat kami. Sedangkan orang-orang terdekatku itu ya cuma kalian," katanya frustrasi."Ya tapi nggak kami juga, kami ini udah punya suami masing-masing. Meskipun suami kamu lebih tajir, tapi ya masa iya kita ngerebut punya sahabat sendiri. Nggak masuk akal." Sasya masih betah mengoceh, karena tak terima terus saja dituduh. "Bisa aja kalau itu cuma alibi suami kamu aja, kan, biar kamu terkecoh?"Sofia masih menatap kedua temannya curiga. Apa iya Gama membohonginya?"Coba deh sesekali kamu selidiki suami kamu. Cari tahu kebenarannya," usul Dona lagi."Udah berkali-kali, hasilnya nihil. Aku nggak nemuin hal aneh dia.""Mungkin kamu nyuruh orang yang benar-benar nggak bisa. Coba deh suruh detek
Tubuh Sofia tampak gemetar hebat karena tatapan nyalang yang Gama berikan."Sumpah! Bukan aku, Mas." Dia masih berusaha mengelak.Sial! Padahal belum ada waktu sehari dia menyuruh orang bayaran untuk menjadi mata-mata, malah secepat itu ketahuan oleh Gama."Masih nggak mau ngaku rupanya."Sofia terus menggeleng. Namun, bukti-bukti yang Gama lemparkan ke hadapannya membuat dia tidak bisa berkutik."Sebenarnya bisa aja aku menghabisimu, Sofia. Hanya saja, jiwa laki-lakiku pasti akan dipertanyakan. Bukankah laki-laki pantang untuk memukul wanita? Jadi kamu mau pilih yang mana? Mau ngaku sendiri atau tangan perantara yang mengacak-acak tubuhmu?" Sofia menelan salivanya dengan susah payah. Ternyata Gama lebih menakutkan dari yang dia kira. Rupanya selama ini dia telah salah menilai suaminya, yang dia kira acuh tak acuh nyatanya monster berwujud manusia."Oke, oke. Aku ngaku, emang aku yang nyuruh laki-laki itu." Mau tak mau Sofia jujur."Apa tujuanmu?" Suara Gama tampak dingin."Aku ... A
"Kayaknya nggak mungkin deh."Saat ini Bunga sedang bersama Ayu, dia curhat tentang hubungannya dengan Gama yang bisa dibilang semakin ... baik?"Apanya yang nggak mungkin? Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Jadi perempuan jangan polos-polos juga kali, Bunga." Lama-lama Ayu tampak geregetan.Bunga bercerita kalau ada yang berbeda dari Gama, pria itu mulai perhatian, meskipun kebanyakan ucapan pria itu banyak membuat sakit hati."Sudah kubilang, nggak ada istilah nggak ada saling cinta kalau beberapa kali melakukan kontak fisik, apalagi tadi kamu bilang sering, kan? Jangan-jangan setiap hari lagi," imbuh Ayu lagi.Bunga diam, terlalu malu kalau harus mengakuinya."Tapi kan ini cuma pikiran aku aja, Yu. Belum tentu yang dari tadi kita omongin benar. Siapa tahu itu memang sifat mas Gama dari dulu dan kebetulan aku baru tahu sekarang.""Cielah, udah panggil mas aja sekarang," sindir Ayu. "Awas jangan kemaruk loh, dia juga punya istri lain selain kamu, nanti kamunya lupa lagi kalau
"Udah selesai?" tanya Bunga, ketika dia langsung mengangkat sambungan telepon dari Gama."Masih ada kerjaan sedikit lagi. Udah mau pulang?"Bunga mendengkus kesal. Dia sudah mengingatkan Gama berkali-kali kalau tidak perlu diantar jemput ketika ingin main atau ingin pergi jalan-jalan. Sayangnya Gama keras kepala, pria itu selalu mengatakan kalau Bunga harus diawasi, jika ditanya mengapa? Pasti pria itu selalu menjawab kalau Bunga sedang dalam bahaya.Terdengar tidak masuk akal sebenarnya, tapi ya ... mau tidak mau Bunga akhirnya menurut.Namun, lihatlah sekarang, kerjaan Gama yang jadi sasarannya hanya karena ingin Bunga tetap aman."Aku biar pulang sendiri aja deh. Mas nggak usah ke sini, selesaikan aja pekerjaannya. Aku nggak mau ganggu.""Tetap di situ kalau nggak mau aku macam-macam sama kamu, Bunga."Bunga memutar bola matanya malas, selalu itu kalimat Gama. Mengancam!"Aku masih lama kok, belum mau pulang. Ayu juga lagi free, dia minta temenin aku, lagi bosan katanya. Ya udah, M
"Kamu nggak apa-apa, kan?"Gama melihat pria itu melangkah dengan cepat, dia langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel, lalu menghubungi orang suruhannya."Cari tahu siapa orangnya.""Baik, Bos."Klik, sambungan terputus."Kamu nggak apa-apa?" ulang Gama lagi.Bunga menggeleng seraya mengerjap, dia bingung dengan Gama yang tiba-tiba saja meneriakinya, tak hanya itu, raut wajahnya pun begitu panik.'Emangnya aku kenapa?' batin Bunga bertanya-tanya.Gama mengusap wajahnya kasar. "Kamu nggak lihat tadi ada orang di belakangmu? Dia hampir aja ...." Gama menggeleng, sebaiknya tak usah ceritakan hal yang sebenarnya pada wanita itu, takutnya nanti malah membuat istrinya cemas."Hampir aja kenapa?" tanya Bunga penasaran."Lupakan, sebaiknya kita pulang sekarang."Bunga mengangguk. "Iya, kelihatannya Mas juga capek banget, kayak banyak pikiran juga. Ya udah ayo kita pulang."**"Sebenarnya tadi ada apa ya? Kok aku ngerasa ada sesuatu terjadi tadi, tapi apa?" gumam Bunga seraya memandangi Ga
"Apa yang Papa lakukan?""Melakukan yang memang pantas kulakukan," jawab Gunadi enteng.Gama mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka kalau situasinya akan menjadi seperti ini."Bukannya kamu setuju pisah sama dia? Kenapa masih dipertanyakan lagi?" Gunadi menatap putranya dengan sorot mata tajam."Aku emang setuju, tapi kenapa Papa masih ikut campur? Lama-lama aku muak sama kelakuan Papa. Dengar, aku ini bukan anak kecil yang selalu diatur-atur harus seperti ini, harus seperti itu. Nggak, Pa. Aku nggak habis pikir punya keluarga macam Papa." Gama menggeleng kecewa."Percuma kamu meratapi nasib, orang itu sekarang udah pergi jauh. Dia nggak bakal ganggu kamu lagi, sekarang mulai semuanya dari awal. Cari wanita yang setara, supaya tidak malu-maluin keluarga kita jika diajak pergi ke pesta."Gama tersenyum sinis. Segampang itu? Seandainya orang yang ada di hadapannya ini bukan papanya, mungkin sudah dia bunuh, karena sudah berani-beraninya mengacaukan seluruh hidupnya, ikut campur pribad
Apa yang dikatakan Ayu memang benar, Gunadi adalah orang yang sangat berbahaya.Bunga sangat menyesal karena telah berurusan dengan pria itu. Nyatanya uang 5 milyar yang dijanjikan pria itu tidak dikasih, yang ada Bunga diancam kalau tidak menuruti perintah pria itu.Bahkan Ayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka pun ikut terseret."Yu, aku minta maaf. Ini belum terlambat, lebih baik kamu pergi aja sebelum semuanya--""Udah, nggak apa-apa, Bunga," sela Ayu cepat.Sebelum orang suruhan Gunadi benar-benar pergi, berkali-kali Bunga menyuruh Ayu untuk membuntuti mereka, sayangnya Ayu tidak mau. Dia malah memilih untuk bersama Bunga. Dia tidak tega meninggalkan Bunga seorang diri di tempat sepi seperti ini.Bunga tahu kalau Ayu juga syok dengan kekacauan yang terjadi. Bunga berkali-kali menyesali keputusannya, berkali-kali juga meminta maaf pada Ayu.Awalnya Bunga meminta uang 5 milyar hanya ingin basa-basi saja, atau ... bisa dikatakan sekadar iseng, untuk memastikan ucap
"Aku nggak nyangka kalau dia bakalan buang aku, Yu. Padahal selama ini aku udah ngotot pertahanin dia. Kenapa dia ... jahat banget sama aku, Yu."Ayu menatap Bunga prihatin, Bunga sedari tadi menangis sesenggukan dan beberapa kali juga memaki Gama.Sedari tadi mulut Ayu terasa begitu gatal, hanya saja dia terus menahannya. Tunggu benar-benar Bunga membaik, barulah Ayu akan mengeluarkan sumpah serapahnya itu."Yu, kok kamu dari tadi diam aja sih, biasanya juga ngomel-ngomel. Kamu nggak lagi di pihak aku ya?" omel Bunga di sela-sela tangisnya.Ayu menghela napas berat. "Kamu ini ngomong apa sih, justru aku kasih kamu kesempatan buat nenangin diri.""Dia tiba-tiba bilang kalau lebih baik aku sama dia pisah aja. Tiba-tiba banget loh, Yu, nggak ada angin nggak ada hujan, kamu bayangin aja gimana syoknya jadi aku.""Kan dari awal aku juga udah bilang, jangan pernah berurusan sama laki-laki kaya, apalagi sampai jatuh cinta. Nih lihat sendiri kan akibatnya, dan lagi saat ini kamu lagi bunting
"Kamu tahu kalau istri kamu itu hamil?"Gama tersenyum menyeringai, mencengkram ponsel itu dengan erat. Saat ini dia sedang berbicara dengan Gunadi melalui telepon.Entah mengapa tiba-tiba Gunadi berbicara seperti itu, dan apa alasan Sofia mengatakan hal itu pada Gunadi? Apa karena tidak terima karena dirinya meminta cerai?"Papa yakin kalau itu anakku?""Kamu tanya sama Papa? Yakin? Kan kamu sendiri yang nanam benih," cibir Gunadi dari ujung sana.Gama mengacak rambutnya frustrasi. "Pa, aku udah bilang, aku nggak pernah sentuh Sofia. Mana mungkin itu anak aku, keputusanku udah bulat ya, mulai sekarang Papa nggak usah ikut campur lagi sama aku dan Sofia. Aku sama Sofia udah selesai, Pa.""Sofia?" Gunadi tertawa terbahak-bahak. "Emangnya Papa ada bahas dia?"Gama terdiam beberapa saat, mencerna apa yang barusan dia dengar. Apa maksud Gunadi?Lalu pandangan Gama beralih pada pintu kamar yang saat ini ditempati oleh Bunga istirahat.Apa mungkin yang dimaksud Gunadi adalah Bunga? Sial! Ba
"Bunga, kamu ... maaf aku baru bisa ngabarin kamu sekarang, semalam aku pulang ke rumah, mamaku sakit dan entah kenapa dia tiba-tiba manja banget sama aku, dia nggak mau aku tinggalin, alhasil aku nginep di sana, ponselku kehabisan daya. Aku minta maaf, aku dengar dari satpam kalau kamu habis kelahi sama Sofia, iya?"Bunga tersenyum kecut. Apa tadi kata pria itu? Mamaku ya? Sudah sangat jelas bukan kalau Bunga sama sekali tidak diharapkan dalam pernikahan ini?Bahkan selama mereka menikah pun Bunga sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh keluarga Gama. Entah, Bunga juga bingung kenapa dia harus mempermasalahkan ini sekarang, padahal sudah jelas-jelas pernikahan mereka didasari karena terpaksa.Argghh! Bunga benci dengan situasi ini, dia heran kenapa berubah menjadi serakah?"Aku nggak papa," sahutnya ketus."Aku tahu kamu marah, aku minta maaf atas perlakuan Sofia. Kamu habis dari mana, kok baru pulang?"Bunga tak menjawab, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Stok kesabarannya kali
Hingga pagi menjelang, Bunga masih berharap jika Gama akan menjemputnya. Kenyataannya? Menghubungi dirinya saja tidak, boro-boro untuk menghampiri dirinya ke sini.Sebenarnya Gama pergi ke mana? Kenapa menjadi tanda tanya besar laki-laki itu tiba-tiba menghilang?Bunga hanya bisa menghela napas berat, dilihatnya sudah jam delapan pagi, kondisinya juga sudah lumayan membaik, dan dia juga sudah diizinkan pulang karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Dokter hanya berpesan jika dia harus menjaga kandungannya sebaik mungkin, untuk biaya rumah sakit pun Bunga juga sudah membayarnya sendiri, untungnya waktu itu dia masih mengingat dompetnya, jaga-jaga untuk keperluan mendadak, dan ternyata benar. Bunga berjalan menuju koridor rumah sakit, sesekali mengecek ponselnya, berharap Gama menghubunginya, sayangnya nihil."Apa sebegitu nggak penting aku bagimu, Mas? Sampai-sampai aku nggak ada di rumah pun kamu sama sekali nggak peduli," gumam wanita itu tersenyum miris.Sesampainya Bunga d
"Beneran nggak apa-apa?"Bunga mengangguk. "Iya, nggak papa kok."Ayu berdecak sebal. Tadi dia kembali datang ke rumah Gama karena ada barang yang menurutnya sangat penting tertinggal, tidak tahunya malah dia melihat adegan yang tampak sangat mengerikan.Beruntungnya Ayu langsung sigap menolong Bunga. Sofia? Wanita itu langsung kabur ketika Ayu berteriak ada perampok."Suami kamu mana? Kok dia nggak bantuin kamu waktu kamu diginiin sama istrinya?" tanya Ayu sewot."Dia ada kerjaan.""Kerjaan apa kerjaan? Dasar banyak alasan dia itu. Coba seandainya kalau aku nggak datang, nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kamu, bahkan nyawa anakmu juga dipertaruhkan. Aku udah ingetin kamu dari dulu, jangan pernah berurusan sama orang kaya, lihat nih akibatnya. Ini belum seberapa loh, Bunga."Bunga tampak manggut-manggut. Iya, dia setuju dengan kalimat Ayu.Ini belum seberapa, dan ini baru Sofia yang melakukannya, belum lagi seorang Gunadi. Ya, memang itu resikonya ketika dia memutuskan bertahan d
"Ayo ke rumah sakit."Bunga menggeleng seraya tersenyum. "Aku udah mendingan, emangnya nggak lihat ya kalau aku udah baik-baik aja?"Gama menghela napas. Dia memang melihat wajah Bunga sudah tampak segar. Namun, tetap saja dia masih khawatir. Apalagi meskipun Bunga sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa, tak bisa dipungkiri kalau wajah wanita itu masih terlihat begitu pucat. Mana tega pria itu melihatnya."Kamu yakin udah baik-baik aja?" tanya Gama penuh keraguan.Bunga mengangguk. "Yakin, buktinya aku udah nggak ngeluh-ngeluh lagi, kan? Nggak yang kayak kemarin-kemarin. Mas tenang aja, aku udah nggak papa kok," ujar wanita itu meyakinkan.Bunga berusaha keras menolak, agar tak ketahuan oleh Gama bahwa saya ini dia sedang mengandung anak dari pria itu."Kalau ada apa-apa bilang aku ya, kita langsung ke rumah sakit.""Aku nggak apa-apa, Mas. Ya Tuhan."Gama memutar bola matanya. "Iya, iya. Terserah kamu aja deh. Dasar wanita keras kepala. Aku mau pergi dulu, agak lama. Kalau butu
"Nih, aku beliin dari yang murah sampai yang mehong. Tes aja semuanya kalau kamu ragu," ucap Ayu seraya memberikan kantung plastik berwarna hitam pada Bunga."Banyak banget, Yu.""Iya, kalau yang biasa takutnya nggak valid, makanya aku beli semua aja. Yakin deh itu, pasti di antara semua itu ada yang valid. Aku belum pernah pakai yang beginian, jadi kurang info. Intinya kalau garis dua ya tandanya hamil. Kamu coba aja deh sana.""Caranya gimana?" tanya Bunga bingung.Ayu berdecak malas. "Masa gini-gini harus dikasih tahu sih. Kamu itu udah bukan anak TK lagi, Bunga. Gimana sih kamu ini. Ambil sample taruh di cup kecil, nanti kamu cobain semua testpack ini, masukin satu-satu."Bunga manggut-manggut. "Oke, aku ke kamar mandi dulu kalau gitu. Kamu duduk-duduk aja dulu, kalau mau bikin minum bisa ke dapur sendiri ya, nggak apa-apa, kan?"Ayu mengernyit heran. "Hah? Nggak salah dengar? Ini rumah gede banget loh, Bunga. Masa kamu nggak punya pembantu?" tanya Ayu tak habis pikir."Pembantu a